• Tidak ada hasil yang ditemukan

kocek dan membayar dua kali lipat harga budak hitam

itu. Tentu saja Umayyah menari kegirangan dibayar dua kali lipat. Bagi Abu Bakar, dakwah itu berarti berinfak dengan nyata, bukan sekadar berorasi.

Daripada uang Anda habis buat kampanye yang tidak-tidak, lebih baik buat wakaf saja. Berikan kepada korban bencana. Pahala sudah pasti terus mengalir sepanjang waktu. Dan ingat, doa-doa mereka yang terzalimi tidak bersekat di sisi Allah.

Alangkah tidak punya nuraninya ketika ada anak bangsa yang tinggal di tenda-tenda darurat, anak-naka kelaparan dan terserang penyakit, kita sebagai pejabat malah enak-enakan tidur di suite hotel bintang lima.

Kenapa dananya tidak dibagikan saja buat orang fakir

miskin? Apakah pejabat yang menginap di hotel bintang lima akan semakin baik kerjanya dibandingkan kalau ikut berkemah di tenda para pengungsi?

Terakhir sebelum Anda memutuskan menjadi pejabat, sadari bahwa kita tidak tahu batas umur kita.

Jadi sewaktu-waktu Allah mencabut nyawa kita, jangan protes. Bisa jadi di tengah kejayaan tiba-tiba Izrail si pencabut nyawa muncul di depan hidung Anda, terus dia berkata, “Well Sir, it's time.”

Karena itu, pastikan Anda tidak punya utang kepada siapa pun, tidak pernah menzalimi siapa pun, juga tidak punya dosa dan maksiat kepada siapa pun.

Jika demikian kondisinya, dengan tenang Anda bisa menjawab pernyataan malaikat Izrail itu: “No problem."

Wallahu a'lam bishshawab.

& Tanya: $ |

Sebagai seorang dokter, saya memiliki kuasa untuk memutuskan obat apa yang harus diberikan kepada pasien, ribuan jenisnya. Secara umum obat-obatan tersebut dibagi menjadi obat generik dan obat paten.

Obat generik umumnya lebih murah daripada obat paten. Kandungannya sama, hanya saja bahan pembawanya berbeda. Khasiatnya sama, namun kualitasnya berbeda dengan obat paten—seperti kemampuan penyerapan obat dan lainnya.

Obat paten umumnya lebih mahal karena ada dana promosi dan marketing untuk dokter, selain dana pokok pembuatan obat tersebut. Setiap dokter yang

146 / Fikih Sehari-Hari

meresepkan obat tersebut umumnya diberi uang dari perusahaan farmasi dari dana promosi.

Pertanyaan saya: Bagaimana hukum uang yang didapatkan dokter dari dana marketing pabrik obat?

& Jawab: $

Saya tidak tahu apakah ada kode etik tersendiri dalam dunia kedokteran tentang hal itu atau tidak. Tetapi kalau dilihat dari segi hukum fikih jual-beli, tidak ada larangan bagi seorang dokter untuk sekaligus berjualan obat atau mengambil keuntungan dari resep yang dibuatnya.

Selama—tentu saja—tidak sampai mengada-ada apalagi menipu pasien. Jangan mentang-mentang pasiennya orang kaya tapi awam dalam masalah medis, dokter lantas memberinya resep obat tertentu yang harganya mahal, padahal sebenarnya pasien itu sama sekali tidak membutuhkannya. Hal ini dilakukan semata-mata karena si dokter sudah kong kalikong dengan perusahaan

farmasi tertentu akan mendapat komisi jika berhasil menjualkan obat itu. Perbuatan seperti ini jelas haram karena ada unsur penipuan dengan memanfaatkan keawaman pasien. Pasien dijadikan sapi perah yang harus ikhlas ketika diambil susunya.

Lain halnya jika obat itu secara ilmiah terbukti bisa menyembuhkan dan resep itu memang harus ditebus. Namun, lebih baik lagi jika pasien masih diberi pilihan, apakah mau obat generik atau mau yang paten.

Beritahukan apa kelebihan dan kekurangan masing- masing obat.

Tidak masalah jika seandainya seorang dokter lebih menyarankan merek obat tertentu karena akan mendapatkan komisi atau semacam imbalan dari perusahaan obat tertentu. Yang penting jangan menipu dan jangan menjual obat yang sekiranya tidak diperlukan

pasien. Sedikit berpromosi juga tidak haram, asalkan—

kembali lagi ke hal ini—tidak bohong atau menipu.

Tentunya kode etik kedokteran bisa membahas masalah ini secara lebih tuntas.

Wallahu a'lam bishshawab.

& Tanya: &

Di Jepang kita bisa memiliki kartu langganan kereta untuk satu rute tertentu. Misalkan rute dari rumah ke kampus. Jangka waktu kartu langganan adalah satu bulan dan bisa diperpanjang. Di kartu ini tercantum nama pemilik. Yang ingin saya tanyakan, bolehkah kartu tersebut dipakai orang lain?

& Jawab: &

Saya tidak mengatakan Anda salah alamat, tapi pertanyaan seperti ini lebih tepat dijawab oleh perusahaan kereta api yang Anda tumpangi: Apakah perusahaan itu mengizinkan kartu berlangganan seorang anggota digunakan orang lain dengan seizin pemilik kartu?

Kalau jawaban dari perusahaan itu boleh, silakan saja, karena yang punya hak sudah

memperbolehkannya. Anda boleh meminjamkan kartu berlangganan itu untuk siapa saja yang diizinkan perusahaan kereta api.

Sebaliknya, bila perusahaan menetapkan kartu tidak boleh digunakan oleh selain orang yang namanya

148 / #ikih Sehari-Hari

tertera di kartu itu, tentu saja hukumnya tidak boleh.

Hukum Islam sangat memperhatikan masalah hak milik. Seseorang dilarang mengambil hak milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Yang dimaksud pemilik di sini adalah institusi atau jawatan yang memang dipercaya dan mendapat hak untuk mengizinkan, bukan oknum yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Di negeri kita sendiri misalnya, perusahan kereta api di Jabotabek mengaku rugi 6 miliar sehari, padahal kereta itu tidak pernah sepi penumpang, bahkan sampai ada yang naik di atapnya. Bagaimana logikanya?

Logikanya sederhana: banyak penumpang bukan berarti banyak yang bayar. Kalaupun bayar, belum tentu membayar secara benar. Karena itu tidak mengherankan pemasukannya selalu tidak sesuai dengan biaya operasional. Mentalitas seperti ini tidak terjadi di Jepang, karena itu sebaiknya Anda tidak membawa budaya tidak Islami dari negeri kita ke Jepang. Cukup negara kita saja yang amburadul manajemen perkeretaapiannya, jangan ditularkan ke negara lain.

Bahkan kalau perlu, budaya tertib dan jujur

membayar tiket kereta dari negeri Jain kita terapkan di Indonesia tercinta ini. Toh seseorang tidak akan jatuh miskin atau mati kelaparan hanya karena membayar karcis kereta.

Jadi, silakan konfirmasi ulang kepada pihak

perusahaan kereta api, bolehkah Anda memakai kartu orang lain? Be a good citizen and a good moslem,

Wallahu a'lam bishshawab.

& Tanya: &

Saat ini kami sering berhubungan dengan konsumen dalam hal jual-beli. Berikut dua kasus yang sangat mengganggu pikiran kami.

1. Orang meminta kami melebihkan (me-mark-up) nominal dan jumlah harga.

2. Pembeli yang sudah berlangganan meminta bon/

nota fiktif, padahal dia tidak membeli barang dari kami.

& Pertanyaan: 5

Bagaimana hukum hal tersebut? Sepertinya hal ini sudah membudaya di Indonesia. Apa yang harus kami lakukan agar pembeli atau konsumen tidak merasa tersinggung?

& Jawab: &

Masalah yang Anda tanyakan berputar pada status jual-beli. Dalam hal ini yang dipermasalahkan adalah status orang yang meminta bon kosong. Tujuannya sudah pasti, dia ingin mendapatkan keuntungan dari transaksi jual-beli antara pihak pembeli dengan pihak penjual. Posisinya ada di tengah-tengah dan wajar bila dia mendapatkan keuntungan. Masalahnya hanyalah cara apa dan posisi apa yang dibenarkan dalam syariat sehingga dia bisa mendapatkan haknya secara halal.

Tiga kemungkinan bisa dipilih dalam hal ini.

Pertama, posisinya sebagai pedagang. Kedua, posisinya sebagai tenaga marketing pihak penjual (toko). Ketiga,

150 / Fikih Sehari-Hari

posisinya sebagai pesuruh pihak pembeli tapi ingin mendapat upah.

Bagaimana hukum masing-masing posisi i ini, mari kita bedah satu per satu.

& Sebagai Pedagang $

Kemungkinan pertama, orang ini bisa menempati posisi sebagai pedagang. Ketika ada permintaan dari pihak pembeli untuk dicarikan suatu barang, sejak awal harus ada kepastian posisinya adalah sebagai pedagang.

Misalkan kantornya membutuhkan 10 unit komputer dan kepadanya diperintahkan untuk mengadakan barang. Maka, yang harus dipastikan adalah posisi karyawan ini—apakah dalam transaksi ini dia diposisikan sebagai karyawan yang digaji, ataukah diposisikan sebagai supplier yang berbisnis dan menjual barang kepada pihak kantor.

Bila antara si karyawan dan kantor telah terjadi kesepakatan—posisi si karyawan dalam hal pengadaan

10 unit komputer ini bukan sebagai karyawan atau pesuruh melainkan sebagai supplier yang berdagang—

inilah yang dimaksud dengan posisi sebagai pedagang.

Kalaupun karyawan ini masih harus mencari dan membeli barang tersebut dari suatu toko, tetap saja transaksi jual-beli bukan antara pembeli dengan toko, melainkan antara pembeli dengan dirinya. Dalam hal ini, masalah bon dikeluarkan oleh si perantara, bukan dari toko.

Bila pihak kantor sepakat bahwa posisi karyawan dalam transaksi ini adalah pedagang, keuntungan yang didapatnya itu halal.