• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

C. Kerusakan Hepar

Klasifikasi dari kerusakan hepar utamanya didasarkan pada pola kerusakan dan gambaran histopatologi. Jenis kerusakan hepar berdasarkan pada tipe agen perusak atau agen toksik, apakah termasuk jenis kerusakan akut atau kronis (Hodgson, 2010).

a. Perlemakan Hepar

Perlemakan hepar atau steatosis merupakan akumulasi abnormal dari lipid pada sel-sel hepar, misalnya trigliserida, ada ketidakseimbangan antara pengambilan dari trigliserida ekstrahepatik dan sekresi hepatik dari trigliserida yang mengandung lipoprotein dan katabolisme asam lemak (Hodgson, 2010). Pada perlemakan hepar, terjadi penimbunan lemak melebihi 5% dari berat hepar. Perlemakan hepar berpotensi menjadi penyebab kerusakan hepar dan sirosis hepar (Gregus dan Klaaseen, 2001).

Menurut Lu (cit., Nopitasari, 2013), agen toksik yang menyebabkan penimbunan lipid dalam hepar yang paling umum adalah karbon tetraklorida. Mekanismenya adalah karbon tetraklorida

menyebabkan adanya kerusakan pelepasan trigliserida hepar ke plasma. Karbon tetraklorida bekerja melalui radikal triklorometri yang merupakan metabolit reaktifnya, yang secara kovalen akan mengikat protein dan lipid tidak jenuh dan menyebabkan peroksidasi lipid.

(a) (b)

Gambar 2. Struktur mikroskopik hati yang mengalami steatosis (Brunt, 2007)

Etiologi steatosis dapat disebabkan oleh adanya toksin, dan infeksi virus hepatitis C. Bentuk hepatosit pada steatosis mikrovaskular biasa berbentuk seperti balon. Gambar di atas adalah contoh dari steatosis akut. Hepatosit membesar dan sitoplasma diretikulasi oleh agregat kecil steatosis (Gambar 2a). Steatosis mikrovesikular pada awalnya sering dilihat seperti bengkak sehingga hepatosit berbentuk seperti balon (Gambar 2b) (Brunt, 2007).

b. Kolestasis

Kolestasis merupakan bentuk penekanan atau penghentian dari aliran cairan empedu, dan kemungkinan ada penyebab intrahepatik dan ekstrahepatik. Inflamasi atau halangan dari saluran empedu menyebabkan retensi garam empedu sehingga terjadi akumulasi bilirubin, dan akan mengakibatkan jaundice (Hodgson, 2010).

Mekanisme lain yang juga dapat menyebabkan kolestasis adalah perubahan fluiditas membran yang mengubah fungsi protein transport dan enzim, gangguan sitoskeleton dan transportasi vesikel yang biasanya menentukan sekresi polaritas dan transport protein target terhadap membran basolateral dan kanalikular, kerusakan pada struktur junction yang menyebabkan hilangnya gradien osmotik karena adanya kebocoran pada jalur paraseluler, dan kerusakan jalur transduksi sinyal yang normalnya mengkoordinasikan fungsi sel dalam lobus hati melalui gap junction dan merangsang kontraksi empedu kanalikular (Acalovschi and Paumgartner, 2001).

Gambar 3. Struktur hati yang mengalami kolestasis (Arora, 2012)

Gambar 3 merupakan gambar histopatologi dari kolestatis yang diakibatkan oleh reaksi obat, obstruksi empedu, dan pembedahan (Arora, 2012).

c. Fibrosis dan Sirosis

Fibrosis dikarakterisasi oleh deposisi dari kolagen, proteoglikan, dan glikoprotein. Fibrosis yang luas dapat mengacaukan bentuk hepar. (Hodgson, 2010). Keberlanjutan dari fibrosis adalah sirosis, gagal hepar, dan hipertensi portal (Bataller and Brenner, 2005).

Sirosis merupakan suatu bentuk perubahan hepar karena ada pemaparan dari agen toksik pada hepar. Sirosis dikarakteristik oleh fibrosis yang memperluas deposisi kolagen (Hodgson, 2010). Sirosis hepatis dapat disebabkan oleh intrahepatik dan ekstrahepatik, kolestasis, hepatitis virus, dan hepatotoksin. Alkoholisme dan malnutrisi adalah dua faktor pencetus utama untuk sirosis Laennec. Sirosis pascanektrotik akibat hepatotoksin adalah sirosis yang paling sering dijumpai. Ada empat macam sirosis, yaitu:

1. Sirosis Laennec. Sirosis ini disebabkan oleh alkoholisme dan malnutrisi. Pada tahap awal sirosi ini, hepar membesar dan mengeras. Namun pada tahap akhir, hepar mengecil dan dan nodular.

2. Sirosis pascanekrotik. Pada sirosis ini, terjadi nekrosis yagn berat karena hepatotoksin biasanya berasal dari hepatitis virus. Hepar mengecil dengan banyak nodul dan jaringan fibrosa.

3. Sirosis bilier. Penyebabnya adalah obstruksi empedu dalam hepar dan duktus koledukus komunis (duktus sistikus).

4. Sirosis jantung. Penyebabnya adalah gagal jantung sisi kanan (gagal jantung kongestif).

(Baradero, Dayrit, dan Siswadi, 2005). Sirosis merupakan titik ketika terjadi kerusakan berulang dan ada akumulasi luka yang kemudian tidak dapat kembali ke bentuk semula atau menjadi ireversible. Kondisi ini memicu terjadinya sirosis yang semakin parah, diikuti dengan kerusakan hepar pada level akhir, penyakit hati, dan sirosis terdekompensasi atau gagal hepar (Lee, 2013).

Sirosis terjadi ketika ada kerusakan berulang dan ada akumulasi luka yang menyebabkan luka yang tidak dapat kembali ke bentuk normal (irreversible). Sirosis kemudian akan berlanjut menjadi sirosis yang lebih parah diikuti oleh terjadinya penyakit hepar pada tahap akhir, hingga akhirnya terjadi sirosis yang terdekompensasi atau kegagalan hepar (Lee, 2013).

d. Nekrosis

Nekrosis adalah suatu bentuk hilangnya fungsi sel-sel hepar secara permanen. Nekrosis biasanya diketahui sebagai kerusakan hepar akut, dapat terlokalisasi dan dapat mempengaruhi beberapa sel hepar (fokal nekrosis), atau dapat mempengaruhi seluruh lobus (nekrosis luas) (Hodgson, 2010). Nekrosis biasanya terjadi karena adanya gangguan

metabolik dengan deplesi ATP seperti yang terjadi pada iskemi ( Malhi, Gores, and Lemasters, 2006 ).

e. Apoptosis

Apoptosis adalah suatu bentuk kematian sel terkontrol yang berfungsi sebagai titik regulasi untuk proses biologis dan dianggap sebagai tanda adanya pembelahan sel secara mitosis. Apoptosis merupakan fisiologis yang normal, namun dapat juga diakibatkan karena ada faktor-faktor eksogen seperti pemaparan xenobiotika, radiasi, dan anoxia (Hodgson, 2010).

D. Hepatotoksin

Menurut Zimmerman (cit., Rahmamurti, 2013), hepatotoksin adalah senyawa kimia yang memiliki efek toksik terhadap hepar dengan dosis berlebihan atau dilakukan pemejanan dalam waktu yang lama. Senyawa yang dapat menyebabkan kerusakan hepar ada dua, yaitu:

a. Hepatotoksin teramalkan (tipe A)

Merupakan golongan senyawa yang memiliki sifat dasar toksis terhadap hepar. Perkembangan dan tingkat kerusakan hepar tergantung pada dosis yang diberikan. Contoh dari hepatotoksin ini adalah etionin, kloroform dan karbon tetraklorida.

b. Hepatotoksin tak teramalkan (tipe B)

Pada dasarnya, obat atau senyawa pada hepatotoksin tak teramalkan tidak bersifat toksik pada hepar tetapi pemberiannya pada beberapa orang tertentu dapat menimbulkan efek toksik. Hepatotoksin ini

tidak bergantung pada dosis pemberian. Frekuensi kejadian hanya 1 : 1000 orang. Contoh dari hepatotoksin ini adalah isoniazid dan halotan.

E. Karbon Tetraklorida

Karbon tetraklorida adalah cairan tidak berwarna ( Rieth, Sams, Manibusan, Jinot, Kopylev, White, et. al, 2010). Karbon tetraklorida dengan cepat diabsorbsi melalui berbagai rute pejanan pada manusia dan hewan uji. Karbon tetraklorida terabsobsi secara luas ke berbagai jaringan, terutama yang mempunyai kandungan lipid yang tinggi, maka konsentrasi karbon tetraklorida akan mencapai konsentrai puncak dalam jangka waktu kurang dari 1-6 jam, tergantung konsentrasi atau dosis pejanan (Rieth, et al., 2010).

Karbon tetraklorida dikonversi menjadi triklorometil radikal (CCl3• ) kemudian menjadi triklorometilperoksi (CCl3O2•

). Senyawa radikal mempunyai tingkat kereaktifan yang sangat tinggi dan jika senyawa radikal ini masuk ke sel sentrilobular hepar yang mengandung konsentrasi tinggi sitokrom P450, maka senyawa radikal ini akan diaktivasi dan dapat menyebabkan terjadinya nekrosis (Hodgson, 2010).

Gambar 4. Mekanisme biotransformasi karbon tetraklorida (Rieth, et al., 2010)

Radikal triklorometil bergantung pada availabilitas oksigen, termasuk beberapa jalur alternatif untuk kondisi aerob dan anaerob. Secara anaerob, radikal triklorometil akan berdimerisasi membentuk hexakloroetana. Penambahan proton dan elektron ke radikal menghasilkan formasi berupa klorofom. Radikal triklorometil dapat melalui dehalogenasi reduktif lebih lanjut yang dikatalis oleh

enzim CYP450 untuk membentuk diklorokarben (CCl2), yang dapat berikatan secara irreversible dengan komponen jaringan atau bereaksi dengan air membentuk formyl chloride (ClCHO), dan akan menjadi karbon monoksida (gambar 4). Radikal triklorometil dapat berikatan secara langsung dengan lipid mikrosomal dan protein (Rieth, et al., 2010).

Secara aerobik, radikal triklorometil dapat dijerat oleh oksigen untuk membentuk radikal triklorometil peroksi, yang dapat berikatan dengan protein jaringan atau terdekomposisi menjadi bentuk fosgen (COCl2) dan elektrofilik akan membentuk klorin. Radikal triklorometil peroksi merupakan initiator utama dari peroksidasi lipid yang terbentuk dari paparan karbon tetraklorida. Karbon dioksida dihasilkan dari pemecahan hidrolitik fosgen dan fosgen tersebut dapat terkonjugasi untuk mengurangi glutation (GSH) untuk membentuk diglytathionyl dithiocarbonate atau sistein untuk membentuk asam ozotiazolidin karboksilat (Rieth, et al., 2010).

Induksi karbon tetraklorida dapat mengakibatkan kerusakan pada hepar, ditandai dengan peningkatan enzim yang ada di hepar yaitu Alanin transaminase (ALT) dan aspartat transamniase (AST). Kerusakan hepatoseluler akan melepaskan ALT dan AST ke aliran darah. ALT ditemukan di hepar, sedangkan AST ditemukan di hepar, pankreas, ginjal, otak, paru-paru, otot skeletal dan eritrosit, oleh karena itu peningkatan ALT lebih spesifik untuk menandakan adanya kerusakan hepar (Oh, R. C., and Hustead, T. R., 2011).

F. Alkalin Fosfatase (ALP)

Alkaline phosphatase (ALP) merupakan enzim yang dapat mendeteksi reduksi patologi pada aliran cairan empedu (Hayes, 2001). Alkalin fosfatase merupakan kelompok enzim yang bekerja untuk menghidrolisis ester fosfat pada suasana alkalin (Sari, 2008). ALP terdistribusi meluas di hepar dengan 50% tersebar di tulang. Peningkatan konsentrasi ALP dalam jumlah sedikit dapat mengindikasikan adanya gangguan hepar seperti sirosis, hepatitis dan gagal jantungm(Gowda, Desai, Hull, Math, Vernekar, and Kulkarni, 2009). Peningkatkan ALP ini juga dapat dikarenakan adanya gangguan hati akibat induksi hepatotoksin seperti karbon tetraklorida. Mekanisme peningkatan ALP akibat adanya induksi karbon tetraklorida adalah sebagai berikut:

Pemejanan karbon tetraklorida menyebabkan penumpukan trigliserida di hepatosit dan mengakibatkan lipid yang berada dalam hepatosit menghambat sintesis proten. Hambatan sintesis protein ini mengakibatkan berkurangnya produksi lipoprotein kompleks yang bertanggung jawab terhadap transport lipid keluar dari hepatosit. Lipid kemudian terakumulasi di hepatosit dan terjadi steatosis. Toksisitas karbon tetraklorida menyebabkan terjadinya influks kalsium dan kematian sel sehingga terjadi peningkatan ALP di aliran darah akibat kebocoran plasma membran sel (Sacher and McPheerson, 2002).

Peningkatan konsentrasi ALP dapat dihubungkan dengan kerusakan hepar yang disebabkan oleh kolestasis intrahepatik atau ekstrahepatik dan beberapa destruksi membran sel hepar. Mekanisme yang melemahkan eksresi ALP ke saluran empedu mengakibatkan regurgitasi enzim ke sirkulasi darah melalui

sinusoid hepatik. Peningkatan kolestasis menyebabkan kadar ALP meningkat dan akhirnya masuk ke aliran darah, garam empedu yang bersifat hidrofilik memfasilitasi pelepasan ALP ke aliran darah (Hyder, Hasan, and Mohieldein, 2013).

Pada tikus, enzim ini ditemukan di hepar dan usus. Penggunaan enzim ini dalam disfungsi hepar secara kimiawi telah diteliti/diuji. Level normal dari serum ALP pada tikus sangat tinggi, terlepas dari pertumbuhan dan rentan terhadap variase diet (Hayes, 2001).

Alkalin fosfatase (ALP) mempunyai berbagai macam jenis isoenzim. Jenis-jenis isoenzim ALP adalah sebagai berikut:

1. NAP

NAP dapat dideteksi pada perbedaan neutrofil dan monosit dan pada produk hepar atau tulang atau ginjal. Aktivitas enzim ini diinduksi oleh adanya perlakuan dari neutrofil dengan faktor stimulating koloni granulosit (G-CSF). Adanya kebocoran ALP mengindikasikan adanya kerusakan atau kematian sel, neutrofil pada kejadian infeksi dapat mempengaruhi pelepasan NAP ke aliran darah.

2. Bone-Type ALP (BAP).

Peningkatan kadar BAP biasanya tidak memicu adanya misdiagnosis untuk kondisi patologis seperti penyakit tiroid, dan adanya osteomalacia, gagal ginjal kronik, diabetes mellitus atau kanker.

3. PLAP

4. IAP

IAP mengatur absorbsi lipid ke membran apikal melalui enterosit. IAP juga aktif dalam regulasi sekresi bikarbonat dan pengaturan pH permukaan duodenal, membatasi lintasan bakteri transepitel.

(Udristioiu, Iliescu, Cojocaru, and Joanta, 2014).

G. Landasan Teori

Hepar adalah organ terbesar dalam tubuh dan berwarna cokelat kemerahan (Martini and Nath, 2009). Fungsi hepar yang sangat penting adalah regulasi metabolisme, biosintesis, dan produksi asam empedu (Hodgson, 2010).

Karbon tetraklorida digunakan sebagai hepatotoksin yang menginduksi kerusakan hepar. Karbon tetraklorida dapat merusak hati dengan cara terkonversi menjadi triklorometil radikal (CCl3•

) kemudian menjadi triklorometilperoksi (CCl3O2•

). Senyawa radikal mempunyai tingkat kereaktifan yang sangat tinggi dan jika senyawa radikal ini masuk ke sel sentrilobular hepar yang mengandung konsentrasi tinggi sitokrom P450, maka senyawa radikal ini akan diaktivasi dan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan hepar yaitu nekrosis (Hodgson, 2010). Kerusakan hepar (nekrosis) mampu meningkatkan konsentrasi serum ALT dan AST pada dosis pemberian karbon tetraklorida2 mL/kg. Peningkatan enzim-enzim di hepar seperti ALP, ALT dan AST mengindikasikan adanya kerusakan hepar (Janakat and Al-Merie, 2002).

Alkalin fosfatase (ALP) adalah salah satu enzim yang dapat menandakan adanya reduksi patologi pada cairan empedu. Alkalin fosfatase menghidrolisis

ester fosfat pada suasana alkalin (Hayes, 2001). Peningkatan alkalin fosfatase menunjukkan adanyak kerusakan pada hati (Sari, 2008). Peningkatan kadar ALP dapat dihubungkan dengan kerusakan hepar yang disebabkan oleh kolestasis intrahepatik atau ekstrahepatik dan beberapa destruksi membran sel hepar. Mekanisme yang melemahkan eksresi ALP ke saluran empedu mengakibatkan regurgitasi enzim ke sirkulasi darah melalui sinusoid hepatik. Peningkatan kolestasis menyebabkan kadar ALP meningkat dan akhirnya masuk ke aliran darah, garam empedu yang bersifat hidrofilik memfasilitasi pelepasan ALP ke aliran darah (Hyder, Hasan, and Mohieldein, 2013).

Biji P. americana mengandung saponin, flavonoid, alkaloid fenol, sianogenik glikosida, dan steroid (Adindu, Agomuo, Amadi, Anudike, and Duru, 2012). Ekstrak etanol biji P. americana mengandung polifenol, flavonoid, triterpenoid, kuinon, saponin, tanin, monoterpenoid, dan seskuiterpenoid (Sangi, Audy, dan Marlinda, 2012). Kandungan flavonoid dari biji P. americana ini berperan sebagai antioksidan yang dapat menangkap radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh.

Pemberian ekstrak etanol biji P. americana memiliki efek hepatoprotektif pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida, yaitu berupa penurunan aktivitas ALT dan AST (Nopitasari, 2013). Berdasarkan penelitian Kumar, et al (2013), terjadi peningkatan ALT, AST dan ALP pada tikus jantan galur Wistar saat diinduksi karbon tetraklorida sehingga perlu dilakukan penelitian serupa untuk mengetahui perubahan konsentrasi ALP setelah diinduksi karbon

tetraklorida dan diberikan ekstrak etanol jangka panjang kulit P. americana secara per oral.

Kulit P.americana berfungsi sebagai antioksidan karena kandungan fenoliknya (Barreira, et. al 2013). Antioksidan bermanfaat sebagai heptoprotektor yang berperan dalam proteksi tubuh terhadap hepatotoksisitas (AlWasel and Bashandy, 2011). Ekstrak etanol kulit P. americana mengandung kardenolid, bufadenolid, gula 2-deoksi, steroid/triterpenoid tidak jenuh dan flavonoid (Servillon, et. al 2014).

H. Hipotesis

Pemberian jangka panjang ekstrak etanol kulit P.americana secara per oral dapat memberikan pengaruh terhadap konsentrasi ALP pada tikus jantan galur Wistar.

25

Dokumen terkait