• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Menurut Mardiasmo (2009) menyatakan bahwa:

2.1.6.2 Kesadaran Wajib Pajak

Kesadaran merupakan kemauan disertai dengan tindakan dari refleksi terhadap kenyataan. Sejalan dengan hal tersebut menurut Padilia,dkk (2002), menyatakan bahwa kesadaran merupakan suatu proses belajar dari pengalaman dan pengumpulan informasi yang diterima untuk mendapatkan keyakinan yang mendorong dilakukannya suatu kegiatan.

Kesadaran menurut Ahmad (1998) kesadaran identik dengan kemauan yaitu suatu dorongan dari alam sadar berdasarkan pertimbangan pikiran dan perasaan serta seluruh pribadi seseorang yang menimbulkan kegiatan yang terarah pada tercapainya tujuan tertentu yang berhubungan dengan pribadinya. Kesadaran merupakan hal yang penting untuk mendorong kemauan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Perlu adanya kerelaan dan keikhlasan untuk membayar pajak yang telah menjadi tanggungannya (Wahyuni, 2013).

Berdasarkan dengan beberapa pengertian diatas, maka dalam kesadaran terdapat hal – hal seperti :

1. Pengalaman merupakan proses awal dari kesadaran karena dengan pengalaman orang menjadi sadar akan persoalan dalam kehidupan.

2. Informasi, sebagai proses belajar dan lebih memahami tentang persoalan itu melalui informasi yang diterima.

3. Keyakinan menjadi yakin mengenai persoalan itu berdasarkan pikiran dan perasaan dan pengalaman informasi yang diperoleh dan dalam keyakinan itu terdapat harapan atau tujuan yang mendorong adanya aksi atau tindakan yang sukarela.

4. Tindakan, memutuskan apa yang dilakukan berdasarkan keyakinan yang dimiliki.

Kesadaran perpajakan berkonsekuensi logis untuk para wajib pajak agar mereka rela memberikan kontribusi dana untuk pelaksanaan fungsi perpajakan, dengan cara memenuhi kewajiban perpajakannya secara tepat waktu maupun tepat jumlah pajak yang harus dibayar.

Theory of Planned Behavior (TPB) adalah perilaku yang ditampilkan oleh individu yang timbul karena adanya niat untuk berperilaku. Sedangkan munculnya niat berperilaku ditentukan oleh 3 faktor penentu yaitu: (1) behavioral beliefs, yaitu keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut (beliefs strength and outcome evaluation), (2) normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs and motivation to comply), dan (3) control

beliefs, yaitu keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan (control beliefs) dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power). Hambatan yang mungkin timbul pada saat perilaku ditampilkan dapat berasal dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan. Secara berurutan, behavioral beliefs menghasilkan kesadaran wajib pajak terhadap perilaku positif atau negatif, normative beliefs menghasilkan tekanan sosial yang dipersepsikan (perceived social pressure) atau norma subyektif (subjective norm) dan control beliefs menimbulkan perceived behavioral control atau kontrol keperilakuan yang dipersepsikan (Ajzen ,2002 dalam Elia Mustikasari, 2007).

Adapun beberapa indikator yang mempengaruhi kesadaran wajib pajak menurut Irianto, 2005 yaitu :

1. Kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan negara.

2. Kesadaran bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak sangat merugikan negara.

3. Kesadaran bahwa pajak ditetapkan dengan undangundang dan dapat dipaksakan.

Menurut Mangkoesoebroto (1998) dalam Siska (2015) kesadaran wajib pajak sering dikaitkan dengan kerelaan dan kepatuhan dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan yang berlaku, terutama pada hal sebagai berikut :

untuk menyadarkan wajib pajak terutama mengenai hubungan antara biaya dan manfaat dari setiap aktivitas pemerintahan.

2. Tingkat pendidikan, hal ini diperlukan dalam pemahaman pajak dan pengisisan formulis pajak yang terkadang terasa rumit bagi masyarakat. 3. Sistem yang berlaku terutama sistem pajak yang adil dan sistem

administrasi yang mudah dan sederhana. 2.1.6.3 Kepatuhan Wajib Pajak

Menurut Safri (2005), kepatuhan perpajakan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.

Menurut Jatmiko (2006), kepatuhan Wajib Pajak didefinisikan sebagai memasukkan dan melaporkan tepat waktu informasi yang diperlukan, mengisi secara benar jumlah pajak terutang dan membayar pajak pada waktunya tanpa tindakan pemaksaan. Ketidakpatuhan timbul kalau salah satu syarat defenisi tidak terpenuhi.

Tingkat kepatuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara, pelayanan pada wajib pajak, penegakan hukum perpajakan, Pemeriksaan pajak dan tarif pajak. Kesadaran dan kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan juga tergantung pada kemauan wajib pajak, sampai sejauh mana wajib pajak tersebut akan mematuhi ketentuan peraturan perundang – undangan.

Dalam hal perpajakan yang dimaksud dengan Wajib Pajak Patuh memiliki arti dan kriteria. Wajib Pajak dikatakan patuh apabila menyampaikan (membayar dan melapor) SPT tepat waktu dan juga SPT yang disampaikan benar penulisan maupun perhitungannya serta lengkap dokumen-dokumen yang diperlukan.

Maka, sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 192/ PMK. 03/2007, pada prinsipnya kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu Negara.

Dari definisi yang diuraikan diatas adapun jenis-jenis kepatuhan menurut Mardiasmo (2011), yaitu :

• Kepatuhan Formal

Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan. Misalnya, ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT).

• Kepatuhan Material

Kepatuhan material adalah keadaan dimana Wajib Pajak secara substantive memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang perpajakan. Kepatuhan material dapat melalui kepatuhan formal.

Beberapa kriteria mengenai kepatuhan Wajib Pajak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 pasal 3 perubahan keempat tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut :

1. Setiap Wajib Pajak mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, dan satuan mata uang Rupiah.

2. Penandatanganan Surat Pemberitahuann (SPT) yang disampaikan oleh Wajib Pajak.

3. Menyampaikan SPT Masa tidak lebih dari 20 hari setelah masa terutangnya pajak.

4. Menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan terutang tidak melampaui 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

5. Menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi terutang tidak melampaui 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

6. Memberikan surat teguran kepada Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT sampai batas waktu yang telah ditentukan.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 192/ PMK. 03/2007 Wajib Pajak dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Patuh yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila memenuhi semua syarat berikut :

1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan yang meliputi : • Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tepat waktu dalam 3 (tiga)

• Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk Masa Pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut, dan • Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud pada

poin sebelumnya telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.

2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Keadaan tersebut berlaku pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak Patuh dan tidak termasuk utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan.

3. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut. Laporan tersebut harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiscal bagi Wajib Pajak yang wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan. Pendapat Akuntan atas Laporan Keuangan yang diaudit oleh Akuntan Publik ditandatangani oleh Akuntan Publik yang tidak sedang dalam pembinaan lembaga pemerintah pemerintah pengawas Akuntan Publik. 4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Penetapan Wajib Pajak Patuh dilakukan oleh Kepala Kantor Direktorat Jenderal Pajak setelah menerima daftar nominative Wajib Pajak Patuh dari Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 Januari dan mengirimkan penetapan Wajib Pajak patuh kepada :

• Kepala KPP tempat Wajib Pajak domisili terdaftar; • Kepala KPP tempat Wajib Pajak lokasi terdaftar;

• Kepala Kantor Wilayah atasan KPP tempat Wajib Pajak lokasi terdaftar. Penetapan Wajib Pajak patuh tersebut berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun kalender.

Surat Penetapan Wajib Pajak patuh dicabut oleh Kepala Wilayah setelah mempertimbangkan usulan Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam hal memenuhi kriteria pembetulan, yaitu :

1. Terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindak penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;

2. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk semua jenis pajak;

3. Dalam hal Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak, terdapat penyampaian SPT Masa yang lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa berlaku berikutnya;

4. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk 2 (dua) Masa Pajak atau lebih berturut-turut untuk semua jenis pajak; atau

5. Dalam suatu Masa Pajak, ternyata tidak memenuhi kriteria tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan

dalam jangka watu 10 (sepuluh) tahun terakhir sejak Masa Pajak yang bersangkutan.

Dokumen terkait