• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mohamad Zain (2007) menjelaskan bahwa: Menurut Mardiasmo (2011) menjelaskan bahwa:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mohamad Zain (2007) menjelaskan bahwa: Menurut Mardiasmo (2011) menjelaskan bahwa:"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

15 2.1.1 Pengertian Pajak

Terdapat beberapa definisi pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli,yaitu:

Menurut Mohamad Zain (2007) menjelaskan bahwa:

“Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan- peraturan umum undang-undang dengan tidak mendapatkan pretasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.

Menurut Mardiasmo (2011) menjelaskan bahwa:

“Pajak adalah iuran rakyat pada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada jasa timbal balik (kontra-prestasi) yang langsung dapat ditunjukan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

Sedangakan pengertian pajak berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 1 ayat (1), adalah:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Dan ketiga definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri atau unsur pokok yang terdapat pada pengertian pajak, yaitu:

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya yang sifatnya dapat dipaksakan.

(2)

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontrapretasi individual oleh pemerintah.

3. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintahan pusat maupun pemerintah daerah. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).

4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

5. Berfungsi sebagai budgeter dan regulerend. 2.1.2 Subjek Pajak

Dalam pelaksanaan fungsinya pajak juga memiliki standarisasi persyaratan dalam menentukan subjek pajaknya. Subjek pajak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu, subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

Subjek pajak atau wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (www.pajak.go.id).

Pengertian dan penjabaran subjek pajak dalam negeri dan luar negeri yang dijabarkan berdasarkan Pasal 2 Undang – undang Republik Indonesia Nomor Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak penghasilan adalah: (1) Yang menjadi subjek pajak adalah :

a. 1) Orang pribadi;

2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;

(3)

b. Badan;

c. Bentuk usaha tetap.

(2) Subjek pajak yang terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

(3) Yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri adalah:

a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria :

1) Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan;

2) Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

3) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah;

4) dan pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara;

c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak

(4)

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan

b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; (5) Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh

orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :

a. Tempat kedudukan manajemen. b. Cabang perusahaan.

c. Kantor perwakilan. d. Gedung kantor. e. Pabrik.

(5)

f. Bengkel. g. Gudang.

h. Ruang untuk promosi dan penjualan.

i. Pertambangan dan penggalian sumber alam.

j. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.

k. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan. l. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.

m. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.

o. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan

p. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya. 2.1.3 Hak Wajib Pajak

Hak-hak Wajib Pajak yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah sebagai berikut :

(6)

1. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari fiskus.

Hak ini merupakan konsekuensi logis dari sistem self assessment yang mewajibkan Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajaknya sendiri. Untuk dapat melaksanakan sistem tersebut tentu hal dimaksud merupakan prioritas dari seluruh hak Wajib Pajak yang ada. 2. Hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT).

Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan SPT apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan, dengan syarat belum melampaui jangka waktu 2 tahun sesudah berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak dan fiskus belum melakukan tindakan pemeriksaan.

3. Hak untuk memperpanjang waktu penyampaian SPT.

Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat menyampaikan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan baik PPh Badan maupun PPh Orang Pribadi.

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT ke Dirjen Pajak dengan menyampaikan alasan-alasan secara tertulis sebelum jatuh tempo.

4. Hak untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak.

Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan menunda pembayaran pajak.

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak kepada Dirjen Pajak secara tertulis disertai alasan-alasannya. Penundaan ini tidak menghilangkan sanksi bunga.

(7)

5. Hak memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak

Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut.

Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Untuk Wajib Pajak masuk kriteria Wajib Pajak Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 sejak permohonan diterima. Perlu diketahui pengembalian bulan untu ini dilakukan tanpa pemeriksaan.

Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui dua cara :

1. melalui Surat Pemberitahuan (SPT)

2. dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala KPP.

Wajib Pajak yang mempunyai kelebihan pembayaran pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atau Setelah melalui proses restitusi. Setelah melalui proses pemeriksaan akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). Apabila Direktorat Jenderal Pajak terlambat mengembalikan kelebihan pembayaran yang semestinya dilakukan, maka wajib Pajak berhak menerima aikan PPh bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan.

(8)

6. Hak mengajukan keberatan dan banding.

Wajib Pajak yang merasa tidak puas atas ketetapan pajak yang telah elum diterbitkan dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana WP terdaftar. Jika Wajib Pajak tidak puas dengan keputusan keberatan Wajib Pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.

7. Hak kerahasiaan bagi Wajib Pajak.

Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas segala sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Disamping pihak lain yang melakukan tugas di bidang perpajakan juga dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak, termasuk tenaga ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan. Kerahasiaan wajib Pajak antara lain:

1. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan dilaporkan oleh Wajib Pajak;

2. Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;

3. Dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku

Namun demikian dalam rangka penyidikan, penuntutan atau dalam rangka kerjasama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti dari atau

(9)

tentang Wajib dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

8. Hak untuk pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan.

Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau karena sebab-sebab tertentu lainnya serta dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan juga bagi Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan, dapat mengajukan permohonan pengurangan atas pajak terutang.

Khusus untuk Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sudah dialihkan ke Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten), pengurusan untuk pengurangan PBB tidak lagi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tetapi di Kantor Dinas Pendapatan Kota kabupaten setempat.

9. Hak untuk pembebasan Pajak.

Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan atas pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan.

10. Hak pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.

Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagai wajib Pajak Patuh dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 bulan untuk PPN dan 3 bulan untuk Ph sejak tanggal permohonan.

(10)

11. Hak untuk mendapatkan pajak ditanggung pemerintah.

Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah.

12. Hak untuk mendapatkan insentif perpajakan.

Di bidang PPN, untuk Barang Kena Pajak tertentu atau kegiatan tenentu diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN Tidak Dipungut. BKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN antara lain Kereta Api, Pesawat Udara, Kapal Laut, Buku-buku, perlengkapan TNI/POLRI yang diimpor maupun yang penyerahannya di dalam daerah pabean oleh Wajib Pajak tertentu. Perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan tertentu seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut antara lain atas impor perolehan bahan baku.

2.1.4 Kewajiban Wajib Pajak

Kewajiban Wajib Pajak yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah sebagai berikut:

1. Kewajiban untuk mendaftarkan diri.

Pasal 2 Undang-Undang KUP menegaskan bahwa setiap wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPwP). Khusus terhadap pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang PPN, wajib melaporkan

(11)

usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). 2. Kewajiban mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan.

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang KUP menegaskan bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan (SP) dalam bahasa Indonesia serta menyampaikan ke kantor pajak tempat wajib Pajak terdaftar. Berikut Surat Pemberitahuan yang harus disampaikan oleh wajib pajak orang pribadi :

Tabel 2. 1

Jenis SPT yang Harus Disampaikan Wajib Pajak Orang Pribadi

No Jenis SPT Batas Waktu pembayaran Batas Waktu Pelaporan Masa

1 PPh Pasal 21/26 Tgl 10 bulan berikut setelah masa pajak berakhir

20 hari setelah masa pajak berakhir 2 PPh Pasal 25 Tgl 15 bulan berikut setelah masa

pajak berakhir

20 hari setelah masa pajak berakhir Tahunan

1 PPh OP

Tgl 25 bulan ketiga setelah

berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak

Akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak

2 PBB 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT

3 BPHTB

Dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak atas tanah dan atau bangunan

(Sumber : www,pajak.go.id)

3. Kewajiban membayar atau menyetor pajak.

Kewajiban membayar atau menyetor pajak dilakukan di kas negara melalui kantor pos atau bank BUMNBUMD atau tempat pembayaran lainnya yang ditetapkan Menteri Keuangan.

4. Kewajiban membuat pembukuan atau pencatatan.

Bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia diwajibkan membuat pembukuan(Pasal 28 ayat (1)). Sedangkan pencatatan dilakukan ol Pajak

(12)

orang pribadi yang melakukan kegiatan usahanya atau pekerjaan neto dengan menggunakan yang dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak Penghitungan Neto mela waji melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

5. Kewajiban menaati pemeriksaan pajak.

Terhadap Wajib Pajak yang diperiksa, harus menaati pemeriksaan pajak, misalnya Wajib Pajak memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan dan dokumen lain yang berhubungan silan yang diperoleh; memberi kesempatan atau memasuki tempat ruangan dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; yang diperlukan oleh pemeriksa serta memberikan keterangan yang diperlukan oleh pemeriksa pajak.

6. Kewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan pajak.

Wajib Pajak yang bertindak sebagai pemberi kerja atau penyelenggara kegiatan wajib memungut pajak atas pembayaran yang dilakukan dan menyetorkan ke kas negara. Hal ini sesuai dengan prinsip withholding system. 7. Kewajiban membuat faktur pajak.

Setiap Pengusaha Kena Pajak wajib membuat faktur pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Faktur Kena Pajak yang dibuat merupakan bukti adanya pemungutan pajak yang dilakukan oleh PKP .

8. Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, Wajib Pajak wajib:

• Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib

(13)

Pajak, atau objek yang terutang pajak;

• Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; • Memberikan keterangan yang diperlukan.

Tidak hanya itu masih ada pula peraturan Kewajiban untuk menyetor dan melaporkan pajak yang terutang. Kemudian Kewajiban Pajak Bagi Wajib pajak pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) Kewajiban Pajak Bagi wajib pajak orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha atau Pekerjaan Bebas. Dan Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Badan. Dimana semuanya memiliki prosedur dan aturan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi wajib pajak.

2.1.5 KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK

Mekanisme Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Membayar sendiri pajak yang terutang:

a. Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25)

Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.

Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran

(14)

PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu:

• Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT).

Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal.

Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran usaha (omset) setiap bulan dari masing-masing tempat usaha

• Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT).

Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT) adalah Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha tanpa melalui tempat usaha misalnya sebagai pekerja bebas atau sebagai karyawan. Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan. Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp 50.000.000,- 5%

di atas Rp 50.000.000,- - Rp 250.000.000,- 15% di atas Rp 250.000.000,- - Rp 500.000.000,- 25%

(15)

Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25 yang terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh adalah 25%. Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai dengan Rp 50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh, yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,-

b. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26). Pihak lain disini adalah:

• Pemberi penghasilan; • Pemberi kerja; atau

• Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.

• Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk pemerintah.

Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor atau nilai lainnya.

• Pembayaran Pajak-pajak lainnya:

• Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).

(16)

Untuk daerah Jakarta dan daerah tertentu lainnya, pembayaran PBB sudah dapat dilakukan dengan menggunakan ATM di Bank-bank tertentu.

Tarif PBB terdiri dari 2 tarif yaitu:

a. 1/1000 dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,-

b. 2/1000, dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,-

• Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan mesin teraan.

Materai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah (kuitansi) di atas Rp 250.000,- sampai dengan Rp1.00.000,- adalah Rp3.000,-.

Untuk dokumen yang menyebut jumlah di atas Rp1.000.000,- dan surat-surat perjanjian terutang materai tempel sebesar Rp6.000,-.

2. Pemotongan / Pemungutan Pajak

Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut,

(17)

antara lain yang ditunjuk tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan pajak. Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari masing-masing pajak tersebut adalah sebagai berikut:

a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan. Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya. Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterimanya.

b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh

(18)

rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:

• Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah; • Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;

• Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;

• Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang pengumpul;

• Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.

c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh

(19)

Pasal 23, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 23 oleh si pihak pemotong tersebut. Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa tertentu (jasa service mesin atau komputer) yang pemotongannya dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.

d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri. Wajib Pajak baik yang berbentuk perseoranan maupun badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 26. Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas penghasilan tertentu (royalty) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.

e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))

Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan lainnya. Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2), sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2). Demikian

(20)

sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut.

f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus.

Wajib Pajak tertentu tersebut adalah perusahaan pelayaran atau penerbangan international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 15 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 15, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 15 oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila

(21)

Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 15 dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 15 tersebut. g. PPN dan PPnBM adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha

Kena Pajak (PKP) atau Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara Pemerintah) atas pengkonsumsian barang dan/atau jasa kena pajak. Pengusaha Kena Pajak yang ditunjuk untuk memungut PPN dan PPnBM adalah pengusaha yang memiliki peredaran bruto (omzet) melebih Rp 600.000.000,- setahun atau pengusaha yang memilih sendiri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Wajib Pajak baik berbentuk perseorangan maupun badan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib memungut PPN dan juga PPnBM (bila barangnya yang diserahkan tergolong mewah) dari pembeli atau pemakai jasanya. Wajib Pajak juga wajib membayar PPN dan PPnBM bila mengkonsumsi barang atau jasa dari Pengusaha Kena Pajak.

Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Undang-Undang Perpajakan untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan kenaikan 100% (www.pajak.go.id).

(22)

2.1.6 Variabel - Variabel Penelitian

2.1.6.1 Pengetahuan Perpajakan Wajib Pajak

Pengetahuan memiliki arti yang luas sehingga sulit untuk menentukan definisi yang pasti. Berikut ini beberapa definisi mengenai pengetahuan:

1. “Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui; kepandaian” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003).

2. “Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga” (Notoatmodjo, 2003).

3. Menurut Mardiasmo (2009) menyatakan bahwa:

“Pengetahuan pajak adalah kemampuan Wajib Pajak dalam mengetahui peraturan perpajakan baik itu soal tarif pajak yang akan mereka bayar berdasarkan undang-undang maupun manfaat pajak yang akan berguna bagi kehidupan mereka”.

Sedangkan Pengetahuan perpajakan wajib pajak dapat diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan tentang peraturan perpajakan yang ada di Indonesia. Seberapa luas pengetahuan pajak oleh wajib pajak tentang perpajakan yang ada.

Pengetahuan Perpajakan merupakan suatu keadaan di mana wajib pajak memiliki pengetahuan mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan, sistem perpajakan, dan fungsi pajak (Septiyani, 2014).

(23)

Menurut Fallan (1999) yang dikutip kembali oleh Siti Kurnia Rahayu (2010) memberikan kajian pentingnya aspek pengetahuan perpajakan bagi Wajib Pajak sangat mempengaruhi sikap Wajib Pajak terhadap sistem-sistem perpajakan yang adil. Dengan kualitas pengetahuan yang semakin baik akan memberikan sikap memenuhi kewajiban dengan benar melalui adanya sistem perpajakan suatu negara yang dianggap adil. Dengan meningkatnya pengetahuan perpajakan masyarakat melalui pendidikan perpajakan baik formal maupun non formal akan berdampak positif terhadap pemahaman Wajib Pajak dalam membayar pajak. Dengan penyuluhan perpajakan secara intensif dan kontinyu akan meningkatkan pemahaman Wajib Pajak tentang membayar pajak sebagai wujud gotong royong nasional dalam menghimpun dana untuk kepentingan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan nasional (Siti Kurnia Rahayu, 2010).

Teori Persepsi dapat menggambarkan pengetahuan perpajakan wajib pajak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia persepsi diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu, atau merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Walgito (1997) dalam Hartoyo (2010) menjelaskan bahwa persepsi memiliki sifat yang subyektif, yaitu melibatkan tafsiran pribadi pada masing- masing individu, sehingga perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang berasal dari dalam individu atau dengan kata lain faktor psikologis yang mempengaruhi persepsi individu. Faktor tersebut diantaranya adalah:

1. Ingatan

(24)

atau dipersepsikannya akan berbeda, ada yang cepat dan ada yang lambat. 2. Motivasi

semakin besar motivasi individu terhadap obyek tertentu maka semakin besar pula perhatiannya terhadap obyek tersebut. Hal ini menjadikan obyek tersebut akan semakin jelas dan mudah dipahami atau dipersepsikan oleh individu. 3. Perasaan

masing-masing individu memiliki tanggapan perasaan yang berbeda dalam menerima rangsangan terhadap suatu obyek, ada yang akan menjadi senang tetapi ada juga yang sebaliknya atau merasa terganggu, dimana hal tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi persepsi seorang terhadap suatu obyek. 4. Berpikir

Cara berpikir seseorang dalam memecahkan suatu masalah berbeda- beda, ada yang berdasarkan logika dan pengertian dan pengertian tetapi ada juga yang hanya dengan coba-coba atau berdasarkan prediksi semata. Cara berpikir yang berbeda tersebut tentu akan mempengaruhi pemahaman seseorang dalam mempersepsikan suatu obyek.

Melihat dari empat faktor diatas dapat disimpulkan bahwa semakin banyak pengetahuan perpajakan wajib pajak yang diterima maka kemampuan untuk mengingat semakin tinggi, motivasi semakin besar, tanggapan perasaan meningkat, dan cara berpikir dalam memecahkan masalah semakin logis.

Pengetahuan tentang pajak dapat dilihat dari pengetahuan yang menyangkut cara melaksanakan kewajiban pajak, siapa yang dikenakan, apa yang dikenakan, berapa besarnya, dan bagaimana cara menghitungnya (Supramono, 2010).

(25)

Menurut pengertian-pengertian diatas terdapat beberapa indikator bahwa Wajib Pajak perlu mengetahui peraturan perpajakan, sebagai berikut:

1. Wajib pajak mengetahui bahwa pajak diatur oleh Undang-Undang Pajak tidak lepas dari peraturan yaitu Undang-Undang Perpajakan dimana segala hal yang berhubungan dengan pajak sudah ada dalam Undang-Undang. Maka dari itu Wajib Pajak tidak dapat menganggap pembayaran pajak adalah hal tidak berhukum.

2. Pengetahuan mengenai hak dan kewajiban sebagai wajib pajak Masyarakat perlu mengetahui bahkan memahami hak dan kewajiban mereka sebagai wajib pajak, maka mereka akan melakukan kewajibannya untuk membayar pajak dengan sendirinya.

3. Kepemilikan NPWP

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada dasarnya harus dimiliki oleh setiap orang pribadi yang memiliki penghasilan di atas batas penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). NPWP merupakan sarana pengadministrasian pajak. 4. Pengetahuan dan memahami tata cara menghitung sendiri jumlah pajak yang

terutang.

Sesuai dengan tax reform yaitu adanya perubahan sistem perpajakan yang digunakan yaitu self assessment system, pengetahuan dan pemahaman mengenai PTKP, PKP dan tarif pajak sangat penting karena wajib pajak akan mampu menghitung sendiri jumlah pajak terutangnya.

(26)

5. Pengetahuan mengenai Surat Pemberitahuan (SPT)

SPT merupakan surat yang wajib disampaikan atau dilaporkan oleh wajib pajak mengenai perhitungan pajak terutang serta pembayaran pajak, oleh karena itu, pengetahuan wajib pajak mengenai SPT sangat penting.

6. Pengetahuan mengenai sanksi perpajakan

Pengetahun wajib pajak mengenai sanksi perpajakan dapat berpengaruh terhadap kemauan wajib pajak untuk membayar pajak, karena wajib pajak akan dirugikan oleh sanksi tersebut apabila wajib pajak melalaikan kewajiban perpajakannya (Supriyanti dan Hidayat, 2008).

2.1.6.2 Kesadaran Wajib Pajak

Kesadaran merupakan kemauan disertai dengan tindakan dari refleksi terhadap kenyataan. Sejalan dengan hal tersebut menurut Padilia,dkk (2002), menyatakan bahwa kesadaran merupakan suatu proses belajar dari pengalaman dan pengumpulan informasi yang diterima untuk mendapatkan keyakinan yang mendorong dilakukannya suatu kegiatan.

Kesadaran menurut Ahmad (1998) kesadaran identik dengan kemauan yaitu suatu dorongan dari alam sadar berdasarkan pertimbangan pikiran dan perasaan serta seluruh pribadi seseorang yang menimbulkan kegiatan yang terarah pada tercapainya tujuan tertentu yang berhubungan dengan pribadinya. Kesadaran merupakan hal yang penting untuk mendorong kemauan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Perlu adanya kerelaan dan keikhlasan untuk membayar pajak yang telah menjadi tanggungannya (Wahyuni, 2013).

(27)

Berdasarkan dengan beberapa pengertian diatas, maka dalam kesadaran terdapat hal – hal seperti :

1. Pengalaman merupakan proses awal dari kesadaran karena dengan pengalaman orang menjadi sadar akan persoalan dalam kehidupan.

2. Informasi, sebagai proses belajar dan lebih memahami tentang persoalan itu melalui informasi yang diterima.

3. Keyakinan menjadi yakin mengenai persoalan itu berdasarkan pikiran dan perasaan dan pengalaman informasi yang diperoleh dan dalam keyakinan itu terdapat harapan atau tujuan yang mendorong adanya aksi atau tindakan yang sukarela.

4. Tindakan, memutuskan apa yang dilakukan berdasarkan keyakinan yang dimiliki.

Kesadaran perpajakan berkonsekuensi logis untuk para wajib pajak agar mereka rela memberikan kontribusi dana untuk pelaksanaan fungsi perpajakan, dengan cara memenuhi kewajiban perpajakannya secara tepat waktu maupun tepat jumlah pajak yang harus dibayar.

Theory of Planned Behavior (TPB) adalah perilaku yang ditampilkan oleh individu yang timbul karena adanya niat untuk berperilaku. Sedangkan munculnya niat berperilaku ditentukan oleh 3 faktor penentu yaitu: (1) behavioral beliefs, yaitu keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut (beliefs strength and outcome evaluation), (2) normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs and motivation to comply), dan (3) control

(28)

beliefs, yaitu keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan (control beliefs) dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power). Hambatan yang mungkin timbul pada saat perilaku ditampilkan dapat berasal dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan. Secara berurutan, behavioral beliefs menghasilkan kesadaran wajib pajak terhadap perilaku positif atau negatif, normative beliefs menghasilkan tekanan sosial yang dipersepsikan (perceived social pressure) atau norma subyektif (subjective norm) dan control beliefs menimbulkan perceived behavioral control atau kontrol keperilakuan yang dipersepsikan (Ajzen ,2002 dalam Elia Mustikasari, 2007).

Adapun beberapa indikator yang mempengaruhi kesadaran wajib pajak menurut Irianto, 2005 yaitu :

1. Kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan negara.

2. Kesadaran bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak sangat merugikan negara.

3. Kesadaran bahwa pajak ditetapkan dengan undangundang dan dapat dipaksakan.

Menurut Mangkoesoebroto (1998) dalam Siska (2015) kesadaran wajib pajak sering dikaitkan dengan kerelaan dan kepatuhan dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan yang berlaku, terutama pada hal sebagai berikut :

(29)

untuk menyadarkan wajib pajak terutama mengenai hubungan antara biaya dan manfaat dari setiap aktivitas pemerintahan.

2. Tingkat pendidikan, hal ini diperlukan dalam pemahaman pajak dan pengisisan formulis pajak yang terkadang terasa rumit bagi masyarakat. 3. Sistem yang berlaku terutama sistem pajak yang adil dan sistem

administrasi yang mudah dan sederhana. 2.1.6.3 Kepatuhan Wajib Pajak

Menurut Safri (2005), kepatuhan perpajakan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.

Menurut Jatmiko (2006), kepatuhan Wajib Pajak didefinisikan sebagai memasukkan dan melaporkan tepat waktu informasi yang diperlukan, mengisi secara benar jumlah pajak terutang dan membayar pajak pada waktunya tanpa tindakan pemaksaan. Ketidakpatuhan timbul kalau salah satu syarat defenisi tidak terpenuhi.

Tingkat kepatuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara, pelayanan pada wajib pajak, penegakan hukum perpajakan, Pemeriksaan pajak dan tarif pajak. Kesadaran dan kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan juga tergantung pada kemauan wajib pajak, sampai sejauh mana wajib pajak tersebut akan mematuhi ketentuan peraturan perundang – undangan.

(30)

Dalam hal perpajakan yang dimaksud dengan Wajib Pajak Patuh memiliki arti dan kriteria. Wajib Pajak dikatakan patuh apabila menyampaikan (membayar dan melapor) SPT tepat waktu dan juga SPT yang disampaikan benar penulisan maupun perhitungannya serta lengkap dokumen-dokumen yang diperlukan.

Maka, sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 192/ PMK. 03/2007, pada prinsipnya kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu Negara.

Dari definisi yang diuraikan diatas adapun jenis-jenis kepatuhan menurut Mardiasmo (2011), yaitu :

• Kepatuhan Formal

Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan. Misalnya, ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT).

• Kepatuhan Material

Kepatuhan material adalah keadaan dimana Wajib Pajak secara substantive memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang perpajakan. Kepatuhan material dapat melalui kepatuhan formal.

(31)

Beberapa kriteria mengenai kepatuhan Wajib Pajak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 pasal 3 perubahan keempat tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut :

1. Setiap Wajib Pajak mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, dan satuan mata uang Rupiah.

2. Penandatanganan Surat Pemberitahuann (SPT) yang disampaikan oleh Wajib Pajak.

3. Menyampaikan SPT Masa tidak lebih dari 20 hari setelah masa terutangnya pajak.

4. Menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan terutang tidak melampaui 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

5. Menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi terutang tidak melampaui 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

6. Memberikan surat teguran kepada Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT sampai batas waktu yang telah ditentukan.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 192/ PMK. 03/2007 Wajib Pajak dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Patuh yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila memenuhi semua syarat berikut :

1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan yang meliputi : • Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tepat waktu dalam 3 (tiga)

(32)

• Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk Masa Pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut, dan • Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud pada

poin sebelumnya telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.

2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Keadaan tersebut berlaku pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak Patuh dan tidak termasuk utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan.

3. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut. Laporan tersebut harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiscal bagi Wajib Pajak yang wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan. Pendapat Akuntan atas Laporan Keuangan yang diaudit oleh Akuntan Publik ditandatangani oleh Akuntan Publik yang tidak sedang dalam pembinaan lembaga pemerintah pemerintah pengawas Akuntan Publik. 4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

(33)

Penetapan Wajib Pajak Patuh dilakukan oleh Kepala Kantor Direktorat Jenderal Pajak setelah menerima daftar nominative Wajib Pajak Patuh dari Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 Januari dan mengirimkan penetapan Wajib Pajak patuh kepada :

• Kepala KPP tempat Wajib Pajak domisili terdaftar; • Kepala KPP tempat Wajib Pajak lokasi terdaftar;

• Kepala Kantor Wilayah atasan KPP tempat Wajib Pajak lokasi terdaftar. Penetapan Wajib Pajak patuh tersebut berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun kalender.

Surat Penetapan Wajib Pajak patuh dicabut oleh Kepala Wilayah setelah mempertimbangkan usulan Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam hal memenuhi kriteria pembetulan, yaitu :

1. Terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindak penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;

2. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk semua jenis pajak;

3. Dalam hal Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak, terdapat penyampaian SPT Masa yang lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa berlaku berikutnya;

4. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk 2 (dua) Masa Pajak atau lebih berturut-turut untuk semua jenis pajak; atau

5. Dalam suatu Masa Pajak, ternyata tidak memenuhi kriteria tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan

(34)

dalam jangka watu 10 (sepuluh) tahun terakhir sejak Masa Pajak yang bersangkutan.

2.2 Penelitian Sebelumnya

Septiyani Nur Khasanah (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Pengetahuan Perpajakan, Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan, dan Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Daerah Istimewa Yogyakarta” dengan mengambil sampel penelitian 139 wajib pajak diacak dan tersebar di kelima Kantor Pelayanan Pajak. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa Pengetahuan Perpajakan (X1) secara signifikan berpengaruh terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Y), Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan (X2) secara signifikan berpengaruh terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Y), dan Kesadaran Wajib Pajak (X3) secara signifikan berpengaruh terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Y). Berdasarkan hasil analisis simultan disimpulkan bahwa antara variabel Pengetahuan Perpajakan (X1), Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan (X2), dan Kesadaran Wajib Pajak (X3) sama-sama berpengaruh signifikan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Y).

Ning Wahyuni (2013) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Kesadaran, Penerapan Self Assesment System, dan Pemeriksaan Terhadap Kewajiban Membayar Pajak Orang Pribadi pada KPP Pratama Semarang Barat” dengan mengambil sampel 100 Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Pratama Semarang Barat. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa Kesadaran (X1) secara signifikan tidak berpengaruh terhadap Kewajiban Membayar Pajak

(35)

Orang Pribadi (Y), Penerapan Self Assesment System (X2) secara signifikan berpengaruh terhadap Kewajiban Membayar Pajak Orang Pribadi (Y), dan Pemeriksaan (X3) secara signifikan berpengaruh terhadap Kewajiban Membayar Pajak Orang Pribadi (Y). Berdasarkan hasil analisis simultan disimpulkan bahwa antara variabel Kesadaran (X1), Penerapan Self Assesment System (X2) dan Pemeriksaan (X3) terdapat pengaruh yang signifikan terhadap Kewajiban Membayar Pajak Orang Pribadi (Y).

Tabel 2. 2

Tinjauan Penelitian Sebelumnya

No Peneliti Judul Variabel Hasil Penelitian

1 Septiyani Nur Khasanah (2012) Pengaruh Pengetahuan Perpajakan, Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan, dan Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Daerah Istimewa Yogyakarta Variabel Dependen : Kepatuhan Wajib Pajak Variabel Independen : 1.Pengetahuan Perpajakan 2.Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan 3.Kesadaran Wajib Pajak 1.Secara parsial terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara Pengetahuan Perpajakan dengan Kepatuhan Wajib Pajak 2.Secara parsial terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan dengan Kepatuhan Wajib Pajak 3.Secara parsial terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara Kesadaran Wajib Pajak dengan Kepatuhan Wajib Pajak

(36)

No Peneliti Judul Variabel Hasil Penelitian 2 Ning

Wahyuni (2013)

Pengaruh Kesadaran, Penerapan Self Assesment System, dan Pemeriksaan Terhadap Kewajiban Membayar Pajak Orang Pribadi pada KPP Pratama Semarang Barat Variabel Dependen : Kewajiban Membayar Pajak Orang Pribadi Variabel Independen : 1. Kesadaran 2.Penerapan Self Assesment System 3.Pemeriksaan

1.Secara parsial tidak terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara Kesadaran dengan Kewajiban Membayar Pajak Orang Pribadi 2.Secara parsial terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara Penerapan Self Assesment dengan Kewajiban Membayar Pajak Orang Pribadi 3.Secara parsial terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara Pemeriksaan dengan Kewajiban Membayar Pajak Orang Pribadi 2.3 Kerangka Pemikiran

Tujuan utama dari reformasi perpajakan adalah untuk menegakan dalam hal kemandirian ekonomi dalam pembiayaan pembangunan nasional dengan jalan lebih ditujukan kepada kemampuan sendiri. Ujung tombak dari reformasi perpajakan diharapkan berbagai strateginya dapat menghantarkan implementasi misi Direktorat Jenderal Pajak, yaitu menghimpun peneriman dalam negeri dari sektor pajak yang mampu menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah berdasarkan undang-undang perpajakan dengan tingkat efektivitas dan efisiensi yang tinggi (Sinta,dkk.,2010) .

(37)

2.3.1 Pengetahuan Perpajakan Wajib Pajak Berpengaruh Positif Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

Pengetahuan perpajakan adalah kemampuan seorang wajib pajak dalam mengetahui peraturan perpajakan baik itu soal tarif pajak yang akan mereka bayar, maupun manfaat pajak yang akan berguna bagi kehidupan mereka.

Berdasarkan penelitian Septiyani Nur Khasanah (2014) Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak tersebut di antaranya yaitu pengetahuan para wajib pajak, kurangnya kesadaran wajib pajak dalam melaporkan dan membayar pajak terutang sehingga berusaha untuk membayar kewajiban pajaknya lebih kecil dari yang seharusnya, dan adanya sistem administrasi perpajakan yang selalu mengalami modernisasi di mana masyarakat selalu dituntut untuk beradaptasi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa wajib pajak sebagai warga negara yang taat peraturan harus senantiasa mematuhi peraturan- peraturan perpajakan yang telah dibuat oleh negara.

2.3.2 Kesadaran Wajib Pajak Berpengaruh Positif Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

Berdasarkan penelitian Septiyani Nur Khasanah (2014) Kesadaran wajib pajak atas fungsi dari perpajakan sebagai pembiayaan untuk negara sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan dari wajib pajak itu sendiri. Masyarakat harus sadar akan keberadaannya sebagai warga negara di mana sebagai seorang wajib pajak mempunyai kewajiban untuk melaporkan dan membayar pajak dalam keadaaan sadar tanpa ada paksaan. Rendahnya kesadaran wajib pajak akan menimbulkan perlawanan terhadap pajak yaitu melakukan

(38)

penghindaran pajak baik secara legal yang tidak melanggar undang-undang (tax avoidance) maupun secara ilegal yang melanggar undang-undang seperti menggelapkan pajak (tax evasion). Kesadaran Wajib Pajak akan meningkat apabila di dalam masyarakat muncul persepsi positif terhadap pajak.

Begitu halnya dengan yang dikemukakan oleh Cindy Jotopurnomo (2013) bahwa kesadaran Wajib Pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Apabila Wajib Pajak secara sukarela dapat memenuhi kewajiban perpajakannya, maka tingkat kepatuhan akan meningkat.

2.3.3 Kepatuhan Wajib Pajak Dipengaruhi Pengetahuan Perpajakan dan Kesadaran Wajib Pajak

Hardika (2006) dalam Salman, Kautsar R dan Mochammad Farid, (2009) menjelaskan adanya beberapa teori yang terkait dengan kepatuhan wajib pajak. Berikut ini akan dijelaskan masing-masing :

a. Prospect Theory

Prospect theory merupakan salah satu teori yang terkait dengan kepatuhan wajib pajak. Teori ini menjelaskan bagaimana keputusan secara dramatis dipengaruhi oleh cara-cara atau batasan-batasan yang dihadapi. Batasan-batasan ini menjadi hal yang penting bagi pengambilan keputusan disebabkan oleh tiga hal: (1) apakah pengeluaran digambarkan sebagai kerugian yang tidak terkompensasi atau sebagai biaya, (2) apakah tingkat referensi ditentukan oleh hal-hal spesifik dimana keputusan tersebut dibuat atau hal-hal yang relatif lebih komprehensif, seperti total aktiva atau total biaya tahunan, dan (3) apakah poin utamanya adalah keuntungan atau kerugian.

(39)

b. Deterrence Theory

Deterrence Theory merupakan salah satu teori yang terkait dengan kepatuhan wajib pajak. Teori ini didasarkan pada paradigma manfaat. Teori ini menggambarkan suatu model yang memperhitungkan biaya dan manfaat potensial yang akan diperoleh dari suatu tindakan yang dipilih. Sanksi legal merupakan kerugian potensial yang timbul akibat dari tindakan illegal yang telah dilakukan. Persepsi seseorang terhadap kepastian hukum akan mempengaruhi komitmennya terhadap tindakan illegal. Seseorang akan berusaha untuk menghindari segala bentuk kerugian potensial akibat tindakan melanggar aturan.

c. Cognitive Structures

Asumsi yang tidak ditetapkan dalam penelitian sebelumnya, bahwa sikap patuh terhadap pajak mempengaruhi perilaku wajib pajak melalui niat dan niat akhirnya mempengaruhi perilaku membayar pajak. Fishbein dan Ajzen dengan Theory of Reasoned Action mengidentifikasi tiga aspek utama dari hubungan sikap-perilaku. Pertama, yang terkait dengan paralelisme antara sikap dan perilaku, dimana terjadi hubungan yang kuat dengan kesadaran . Hal ini diperoleh dari adanya hubungan yang kuat antara elemen target dan tindakan (target and action) dari sikap dan perilaku tersebut. Kedua, berkenaan dengan sikap sebagai pengarah perilaku, maka sikap akan mempengaruhi tindakan sebagai lawan dari sikap mempengaruhi obyek. Ketiga, keseluruhan dari kriteria perilaku merupakan suatu faktor.

(40)

d. Agency Theory

Agency theory terkait dengan situasi dimana seorang individu yang bekerja sebagai agen bagi individu lain ( principle) dan memberikan hasil kepada principle-nya. Meskipun analisa hubungan antara agent-principle kebanyakan menyangkut hubungan antara management-owner dan labor-management, namun penerapan terkait dengan pajak penghasilan dapat menggambarkan hubungan antara tax preparers, tax payers, and the government.

Kepatuhan wajib pajak memiliki pengertian yaitu : Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi dimana:

1. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;

2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas; 3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar;

4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. (Mohammad Zain, 2008)

Tanggung jawab di bidang perpajakan sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan berada pada setiap Warga Negara sebagai Wajib Pajak. Hal ini sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Artinya setiap Wajib Pajak bertanggungjawab sepenuhnya terhadap kewajiban pembayaran pajak, pelaporan pajak dan pemberitahuan pajak yang terutang kepada pemerintah, yang dalam hal ini diatur oleh DJP (www.pajak.go.id).

Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

(41)

Gambar 2. 1 Kerangka Pemikiran

2.4. Pengujian Hipotesis

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka penulis menyajikan hipotesis sebagai berikut :

Hipotesis 1 :

H01 : Pengetahuan perpajakan wajib pajak tidak berpengaruh positif terhadap

kepatuhan wajib pajak orang pribadi.

Hα1 : Pengetahuan perpajakan wajib pajak berpengaruh positif terhadap

kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Hipotesis 2 :

H02 : Kesadaran wajib pajak tidak berpengaruh positif terhadap kepatuhan

wajib pajak orang pribadi.

Hα2 : Kesadaran wajib pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib

pajak orang pribadi. Hipotesis 3 :

H03 : Pengetahuan perpajakan wajib pajak dan kesadaran wajib pajak tidak

Pengaruhnya terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib

Pajak Y Pengetahuan Perpajakan

Wajib Pajak X1

Kesadaran Wajib Pajak X2

(42)

mempunyai pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. H03 : Pengetahuan perpajakan wajib pajak dan kesadaran wajib pajak

Gambar

Gambar 2. 1   Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa t esis yang berjudul: “PERB EDAAN KEMATANGAN SOSIAL PADA ANAK PENDERITA EPILEPSI DENGAN TERAPI OBAT ANTI EPILEPSI KURANG DARI 1

b. Penahanan justisial, yaitu penahanan sementara di bidang hukum pidana. Pendapat pertama, tindakan penahanan yang dilakukan KOPKAMTIB/LAKSUSDA termasuk boleh

Dengan demikian maka keseluruhan aspek baik itu sosial, dan budaya sangat berperan terhadap perkembangan suatu kawasan, sedangkan aspek ekonomi disini merupakan faktor

Selain itu dapat juga dilakukan dengan menggunakan perhitungan dengan persamaan sebagai berikut : KVA = I x kV (2.24) maka : kV KVA I = (2.25) Drop tegangan akan

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Tugas akhir dari Perancangan Alat Bantu Pengangkat Material Otomatis untuk Mesin TruPunch sudah sesuai dengan gambar kerja dan di nyatakan berhasil serta dapat

Berdasarkan hasil wawancara awal dan survey pendahuluan yang dilakukan pada tahap awal penelitian, beberapa permasalahan yang dihadapi perusahaan di dalam

Kedua, kendala pelaksanaan pembelajaran di rumah anak usia 5-6 tahun di kampung cianyar desa ciuyah kecamatan sajira kabupaten lebak yaitu saat proses pembelajaran orang tua