• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pajak

2.1.1 Pengertian Pajak

Dari berbagai sudut pandang dan pemikiran yang berbeda, memberikan batasan pengertian yang berbeda pula mengenai pajak. Berikut beberapa pengertian pajak dari para ahli, yaitu menurut:

1. Adriani dalam Diana Sari (2013: 34) adalah:

“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas yang menyelenggarakan pemerintahan.”

2. Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo (2011: 1) adalah:

“Pajak adalah sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

3. Djajadiningrat dalam Siti Resmi (2013: 1) menyatakan bahwa:

“Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum.”

(2)

4. Pasal 1 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menjelaskan:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Dari pengertian para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah:

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang dan aturan pelaksanaannya.

2. Dalam pembayaran pajak tidak ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.

5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgetair, yaitu mengatur melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial.

2.1.2 Fungsi Pajak

Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010: 25-30), pengertian fungsi dalam fungsi pajak adalah kegunaan pokok, manfaat pokok pajak. Sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, pajak memiliki kegunaan dan manfaat pokok dalam meningkatkan kesejahteraan umum. Suatu negara dipastikan berharap

(3)

kesejahteraan ekonomi masyarakatnya selalu meningkat. Dengan pajak sebagai salah satu pos penerimaan negara diharapkan banyak pembangunan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan negara.

Umumnya dikenal dengan 2 macam fungsi pajak yaitu fungsi budgetair dan fungsi regulered.

1. Fungsi Budgetair

Fungsi budgetair merupakan fungsi utama pajak, atau fungsi fiskal, yaitu pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara yang dilakukan sistem pemungutan berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Pajak berfungsi sebagai alat untuk memasukkan uang-uang dari sektor swasta (rakyat) ke dalam kas negara atau anggaran negara berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan fungsi inilah pemerintah sebagai pihak yang membutuhkan dana untuk membiayai berbagai kepentingan melakukan upaya pemungutan pajak dari penduduknya.

2. Fungsi Regulered

Fungsi regulered disebut juga fungsi mengatur, yaitu pajak merupakan alat kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Merupakan fungsi lain dari pajak sebagai fungsi budgetair. Di samping usaha untuk memasukkan uang untuk kegunaan kas negara, pajak dimaksudkan pula sebagai usaha pemerintah untuk ikut andil dalam hal mengatur bilamana perlu mengubah susunan pendapatan dan kekayaan dalam sektor swasta.

(4)

2.1.3 Pengelompokan Pajak

Menurut Mardiasmo (2011: 5), pajak dibagi dalam beberapa kelompok, di antaranya adalah:

1. Menurut Golongan

1) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh: Pajak Penghasilan.

2) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang akhirnya dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.

2. Menurut Sifat

1) Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak.

Contoh: Pajak Penghasilan.

2) Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

3. Menurut Lembaga Pemungut

1) Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai.

2) Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah, Contoh: Pajak

(5)

Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Pajak Kabupaten/Kota (misalnya Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan).

2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak

Awal mula diberlakukan sistem pemungutan pajak di Indonesia, berlaku official assessment system, dimana jumlah pajak yang harus dilunasi atau terutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiscus. Jadi dalam sistem ini, wajib pajak bersifat pasif yaitu menunggu adanya ketetapan pajak dari fiscus. Sedangkan fiscus bersifat dominan atau aktif dalam melakukan perhitungan jumlah pajak, memberikan ketetapan pajak dan segera memberitahukan ketetapan tersebut kepada wajib pajak.

Dalam sistem ini, aparatur perpajakan dituntut untuk bekerja lebih keras karena pemungutan pajak ditentukan sepenuhnya oleh aparatur perpajakan, yang mana harus terjun langsung di lapangan untuk bertatap muka dengan para wajib pajak. Masyarakat pembayar pajak pun belum mengetahui secara baik dan benar akan kewajibannya sebagai wajib pajak. Sering pula terjadi para wajib pajak yang seharusnya membayar pajak tetapi berusaha sedapat mungkin untuk menghindar dari berbagai cara agar tidak terkena pajak.

Kemudian dengan adanya reformasi perpajakan (tax reform), sistem pemungutan pajak yang awalnya official assessment system diganti dengan self assessment system, yang didasarkan pada kepercayaan terhadap wajib pajak, dengan asumsi bahwa setiap wajib pajak akan berlaku jujur terhadap Direktorat

(6)

Jenderal Pajak, dan terus blak-blakan tanpa menyembunyikan data-data yang diperlukan oleh pihak administrasi pajak.

Self assessment jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: kata “self” berarti sendiri dan “assessment” berarti taksiran atau menaksir. Jadi self assessment system mengandung maksud bahwa kegiatan pemungutan pajak diletakkan kepada aktivitas dari masyarakat sendiri, dimana wajib pajak diberikan kewajiban untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang mulai dari menghitung besarnya pajak pendapatan atau kekayaan yang terutang, melaporkannya dan menyetorkannya ke kas negara (Soemitro, 1992:

29).

Terdapat pula sistem pemungutan pajak witholding system. Witholding system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiscus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

2.2 Wajib Pajak

2.2.1 Pengertian Wajib Pajak

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, menjelaskan bahwa wajib pajak adalah:

“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban

(7)

perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

Dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, wajib pajak badan adalah:

“Sekumpulan orang dan/atau modal yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.”

Wajib pajak merupakan subjek pajak yang memenuhi syarat objektif yang ditentukan oleh undang-undang karena memperoleh penghasilan kena pajak yaitu penghasilan yang dalam suatu tahun pajak tertentu melebihi batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi wajib pajak dalam negeri. Jadi dapat disimpulkan bahwa, wajib pajak adalah orang atau badan yang tidak hanya telah memenuhi syarat-syarat subjektif tapi secara sekaligus memenuhi syarat-syarat objektif.

Orang atau Badan (subjek pajak) yang hanya memenuhi syarat subjektif saja belum dapat dikatakan sebagai wajib pajak sebab untuk menjadi wajib pajak, subjek pajak juga harus memenuhi syarat objektif, yaitu menerima atau memperoleh penghasilan kena pajak.

Wajib pajak juga dapat dibedakan menjadi wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri. Wajib pajak dalam negeri adalah subjek pajak dalam negeri yang memenuhi syarat objektif, artinya memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Wajib pajak dalam negeri adalah subjek pajak

(8)

yang bertempat tinggal atau menetap di Indonesia. Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak di tempat wajib pajak tersebut berkedudukan.

Wajib pajak luar negeri adalah subjek pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan yang berasal dari wilayah Republik Indonesia atau yang mempunyai kekayaan yang terletak di wilayah Indonesia (untuk pajak kekayaan). Wajib pajak hanya dikenakan pajak dari penghasilan yang diterima atau berasal dari sumber- sumber yang ada di wilayah Republik Indonesia.

2.2.2 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

Undang-Undang mengatur dengan tegas hak dan kewajiban wajib pajak dalam satu hukum pajak formal secara jelas. Dinas Pelayanan Pajak menjelaskan mengenai hak dan kewajiban wajib pajak, antara lain (Dinas Pelayanan Pajak, 2007):

1. Hak Wajib Pajak

1) Dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPTD paling lama dua bulan (Pasal 8).

2) Dapat membetulkan SPTD dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sesudah berakhirnya masa pajak, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan (Pasal 9/1).

(9)

3) Menghilangkan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 100%, apabila wajib pajak melaporkan sendiri sebelum pemeriksaan (Pasal 11/5).

4) Mengajukan keberatan paling lama 3 bulan sejak tanggal diterimanya SKP (Pasal 33/1,4).

5) Mengajukan keputusan keberatan apabila lewat jangka waktu yang ditetapkan paling lama 12 bulan (Pasal 34/3).

6) Dapat mengajukan permohonan banding kepada pengadilan pajak dalam jangka waktu 3 bulan.

7) Dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak berdasarkan surat keputusan keberatan dan keputusan banding (Pasal 42/1).

8) Mengajukan permohonan untuk tidak melegalisasi bon penjualan/bill (Pasal 25/5).

9) Mengajukan permohonan keberatan (Pasal 35/1).

10) Mengajukan gugatan (kurang dari 14 hari) atas:

(1) Surat teguran sejak diterima wajib pajak.

(2) Surat paksa sejak surat pemberitahuan diterima wajib pajak.

(3) Pelaksanaan sita sejak BAP dibuat.

(4) Lelang, sejak pengumuman lelang dibuat.

11) Mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran (Pasal 41/1).

(10)

2. Kewajiban Wajib Pajak

1) Melaksanakan pendaftaran diri atau melaporkan usahanya untuk memperoleh NPWP (Pasal 61/1,3).

2) Menghitung, membayar dan melaporkan jumlah pajak yang terhutang (Pasal 10/1,2).

3) Melegalisasi bon penjualan.

4) Membayar pajak yang terhutang paling lambat 15 hari kerja (Pasal 15/1).

5) Membayar kekurangan pajak dalam DPP kurang dari 30 hari (Pasal 15/2).

6) Membuktikan ketidakbenaran atas ketetapan pajak (Pasal 33/3).

7) Mengajukan keberatan dan tidak menunda kewajiban membayar (Pasal 33/6).

8) Memberikan keterangan atau meminjamkan buku pada saat pemeriksaan (Pasal 46/2).

9) Membayar 50% dari jumlah pajak yang terhutang pada saat mengajukan banding (Pasal 37/1,7).

10) Menyelenggarakan pembukuan bagi wajib pajak dengan pendapatan bruto lebih dari Rp 300.000.000 (Pasal 45/1).

11) Melakukan pencatatan pendapatan bruto untuk wajib pajak dengan peredaran pendapatan bruto lebih dari Rp 300.000.000.

(11)

Menurut Chairudin (2010), hak-hak wajib pajak antara lain:

1. Wajib pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas segala sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan.

2. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan menunda pembayaran pajak.

3. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan mengangsur pembayaran pajak.

4. Wajib pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagai Wajib Pajak Patuh dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 bulan untuk PPN dan 3 bulan untuk PPh sejak tanggal permohonan.

5. Wajib pajak dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah.

6. Wajib pajak pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau karena sebab-sebab tertentu misalnya karena bencana alam dapat mengajukan permohonan pengurangan atas pajak terutang.

(12)

Menurut Chairudin (2010), kewajiban wajib pajak antara lain:

1. Memperlihatkan dan meminjamkan buku-buku, catatan-catatan, dokumen- dokumen lainnya yang berkaitan dengan usaha yang diperlukan oleh fiskus.

2. Memberi kesempatan kepada fiskus untuk memasuki tempat yang dipandang perlu oleh pemeriksa dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.

3. Memberi keterangan lisan dan tertulis yang diminta fiskus.

2.3 Surat Pemberitahuan (SPT) 2.3.1 Pengertian SPT

Di dalam mekanisme pembayaran pajak, seorang atau suatu badan yang telah terdaftar sebagai wajib pajak memerlukan Surat Pemberitahuan (SPT). SPT menurut Mardiasmo (2011: 29) adalah:

“Surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib pajak harus mengisi SPT dengan benar, lengkap, jelas dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar.”

Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa:

“Surat pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau

(13)

bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

2.3.2 Fungsi SPT

Fungsi SPT menurut Mardiasmo (2011: 31) adalah sebagai berikut:

1. Bagi Wajib Pajak Penghasilan

Sarana untuk melapor dan mempertanggungjawabkan perhitungan pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

1) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak.

2) Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak.

3) Harta dan kewajiban.

4) Pemotongan/pemungutan pajak orang atau badan lain dalam 1 masa pajak.

2. Bagi Pengusaha Kena Pajak

Sarana melapor dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

1) Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran.

2) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh PKP dan atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

(14)

3. Bagi Pemotong atau Pemungut Pajak

Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkan.

2.3.3 Jenis-jenis SPT

Menurut saat pelaporannya, SPT dbedakan menjadi dua, yaitu:

1. Surat pemberitahuan masa adalah surat pemberitahuan untuk suatu masa pajak. Batas waktu penyampaian SPT masa adalah paling lambat 20 hari setelah akhir masa pajak.

2. Surat pemberitahuan tahunan adalah surat pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak. Batas waktu penyampaian SPT tahunan adalah paling lambat 3 bulan setelah akhir tahun pajak.

2.3.4 SPT Masa Wajib Pajak Orang Pribadi

SPT masa wajib pajak orang pribadi merupakan surat pemberitahuan yang digunakan oleh wajib pajak pribadi untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu masa pajak. Berikut ini merupakan batas waktu pembayaran dan penyampaian SPT masa untuk subjek pajak orang pribadi:

(15)

Tabel 2.1

Batas Waktu Pembayaran dan Penyampaian SPT Masa Wajib Pajak Orang Pribadi

No Jenis Pajak Batas Waktu Pembayaran Batas Waktu Pelaporan 1 PPh pasal 21/26 Tanggal 10 bulan berikut

setelah masa pajak berakhir

Paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir

2 PPh pasal 25 Tanggal 15 bulan berikut setelah masa pajak berakhir

Paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir

Sumber: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007

2.3.5 SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi

SPT tahunan wajib pajak orang pribadi merupakan surat pemberitahuan yang digunakan oleh wajib pajak orang pribadi untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak. Berikut ini merupakan batas waktu pembayaran dan penyampaian SPT tahunan untuk subjek pajak orang pribadi:

(16)

Tabel 2.2

Batas Waktu Pembayaran dan Penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi

No Jenis Pajak Batas Waktu Pembayaran Batas Waktu Pelaporan 1

PPh Orang Pribadi

Tanggal 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak

Selambatnya 3 bulan setelah tahun pajak berakhir

Sumber: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007

2.3.6 Prosedur Penyelesaian SPT

Prosedur penyelesaian SPT dalam Mardiasmo (2011: 32) dijelaskan bahwa:

1. Wajib pajak sebagaimana mengambil sendiri SPT di tempat yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan. Wajib pajak juga dapat mengambil SPT dengan cara lain, misalnya dengan mengakses situs Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh formulir SPT tersebut.

2. Setiap wajib pajak mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia, menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat

(17)

Jenderal Pajak tempat wajib pajak terdaftar atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

2.3.7 Sanksi Administrasi dan Sanksi Pidana

Menurut Undang-Undang No 28 Tahun 2007 dalam Mardiasmo (2011: 36) disebutkan bahwa SPT yang tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu yang ditentukan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar:

1. Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN;

2. Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya;

3. Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk SPT PPh wajib pajak badan;

4. Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk SPT PPh wajib pajak orang pribadi.

Wajib pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh wajib pajak dan wajib pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan 200% dari jumlah pajak kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

(18)

Setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan pertama kali, didenda paling sedikit 1 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, paling banyak 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau pidana kurungan paling singkat 3 bulan atau paling lama 1 tahun.

Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar, paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.

Pidana tersebut ditambahkan 1 kali menjadi 2 kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

(19)

2.4 E-Filing

2.4.1 Pengertian E-Filing

Berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2014 e- filing adalah suatu cara penyampaian SPT atau pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik yang dilakukan secara online dan realtime melalui website DJP (www.pajak.go.id) atau penyedia jasa aplikasi atau Application Service Provider (ASP) dengan memanfaatkan jalur komunikasi internet secara online realtime, sehingga wajib pajak tidak perlu lagi melakukan pencetakan semua formulir laporan dan menunggu tanda terima secara manual. Online berarti bahwa wajib pajak dapat melaporkan pajak melalui internet dimana saja dan kapan saja, sedangkan kata realtime berarti bahwa konfirmasi dari DJP dapat diperoleh saat itu juga apabila data-data SPT yang diisi dengan lengkap dan benar telah sampai dikirim secara elektronik.

Wajib pajak yang akan menyampaikan SPT harus memiliki Electronic Filing Indentification Number (e-FIN) dan memperoleh sertifikat dari DJP, e-FIN adalah nomor identitas yang diberikan oleh KPP tempat wajib pajak terdaftar. E- FIN diterbitkan oleh KPP tempat WP terdaftar berdasarkan permohonan wajib pajak. Permohonan diajukan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat wajib pajak terdaftar, dengan melampirkan fotokopi kartu NPWP atau surat keterangan terdaftar dan dalam hal pengusaha kena pajak disertai surat pengukuhan pengusaha kena pajak (Pandiangan, 2008: 35).

(20)

2.4.2 Tujuan Pelaporan Pajak Secara E-Filing

Tujuan e-filing berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2014 adalah:

1. Mencapai transparansi dan bisa menghilangkan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). DJP telah mengeluarkan sebuah peraturan mengenai e-filing yaitu Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER- 47/PJ/2008 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan dan Penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan secara Elektronik (e-filing) melalui Penyedia Jasa Aplikasi (ASP).

2. Wajib pajak tidak perlu lagi datang ke Kantor Pelayanan Pajak jika sudah menggunakan fasilitas e-filing sehingga penyampaian SPT menjadi lebih mudah dan cepat. Hal ini karena pengiriman data SPT dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja serta dikirim langsung ke database DJP dengan fasilitas internet yang disalurkan melalui satu atau beberapa perusahaan penyedia jasa aplikasi yang ditunjuk oleh DJP.

3. e-filing mempermudah penyampaian SPT dan memberi keyakinan kepada wajib pajak bahwa SPT itu sudah benar diterima DJP serta keamanan jauh lebih terjamin.

(21)

2.4.3 Kelebihan E-Filing

Menurut Iim Ibrahim Nur (2010: 44-45), dengan adanya aplikasi e-filing, baik wajib pajak ataupun DJP akan sangat diuntungkan. Beberapa hal yang dapat disampaikan mengenai kelebihan yang dapat diperoleh bagi wajib pajak dengan adanya aplikasi e-filing adalah:

1. Membantu untuk menyediakan fasilitas pelaporan SPT secara elektronik (via internet) kepada wajib pajak, sehingga wajib pajak orang pribadi dapat menyampaikan SPT dari rumah tempatnya bekerja, sedangkan wajib pajak badan dapat melakukannya dari lokasi kantor atau tempat kedudukan usahanya. Hal ini akan dapat membantu memangkas biaya dan waktu yang dibutuhkan oleh wajib pajak untuk mempersiapkan, memproses, memverifikasi dan melaporkan SPT ke kantor pajak secara benar dan tepat waktu.

2. Efisiensi waktu karena wajib pajak cukup duduk di depan komputer mereka yang terhubung ke internet untuk melakukan pelaporan, tanpa harus mendatangi KPP.

3. Menekan biaya, dengan mengurangi penggunaan kertas sehingga akan mengurangi biaya cetak lembar isian SPT. Selain itu akan terjadi penghematan biaya komunikasi dan transportasi.

4. Mendapatkan real time acknowledgement (konfirmasi pelaporan pajak), artinya wajib pajak menerima konfirmasi untuk laporan yang telah dilakukan secara langsung pada saat laporan tersebut diterima oleh DJP.

Nomor konfirmasi langsung diterima wajib pajak berupa Nomor Tanda

(22)

Terima ASP (NTPA) dan Nomor Tanda Terima Elektronik (NTTE) saat itu juga.

5. Pelaporan SPT lebih efisien dan aman karena data tersimpan dalam bentuk elektronik dan terenkripsi (informasi tidak dapat dibaca tanpa bantuan pengetahuan khusus), terintegritas secara non-repudiation (tak terelakan).

6. Beberapa ASP menambah fasilitas dengan menyediakan kemudahan mengenai informasi perpajakan seperti kalkulator pajak, kurs pajak, peraturan pajak terkini dan informasi lainnya seputar pajak.

7. Dari segi efisiensi meningkat karena jika terjadi kesalahan input data dan sebagainya, aplikasi yang digunakan untuk pengisian laporan e-SPT akan melakukan pengecekan secara otomatis dan dapat segera dilakukan perbaikan. Hal ini terjadi karena aplikasi e-SPT berisi formula yang dapat mengurangi kemungkinan terjadinya salah pengisian. Selain itu, seandainya terjadi kesalahan input dapat segera direvisi tanpa harus menghapus atau mengganti lembar kertas SPT.

8. Sederhana dan nyaman karena tidak perlu antri menyampaikan SPT dan bisa dilakukan dimana saja dan darimana saja selama dapat terhubung ke internet.

9. Sentralisasi penyampaian SPT PPN bagi wajib pajak badan yang memiliki beberapa kantor cabang dapat dilakukan dengan aplikasi e-filing sehingga dapat mempermudah konsolidasi pelaporan PPN antar cabang.

(23)

Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak juga mendapatkan keuntungan- keuntungan dengan sistem pelaporan SPT aplikasi e-filing sebagai berikut:

1. Memberikan pelayanan terbaik bagi wajib pajak sehingga tercipta pelayanan prima DJP. Hal ini dapat dicapai karena tidak terlalu banyak bersentuhan antara wajib pajak dengan petugas di DJP, sehingga good governance di DJP lebih tercapai.

2. Perekaman data di KPP dapat dilakukan dengan cepat dan akurat tanpa direkam petugas secara manual karena aplikasi e-filing dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk digunakan dan akurat karena penjumlahannya dilakukan secara otomatis menggunakan sistem. Sehingga akan terjadi penghematan sumber daya manusia dalam perekaman data SPT di KPP.

3. Dengan cepat dan mudahnya pelaporan pajak ini berarti juga akan memberikan dukungan kepada KPP dalam hal percepatan penerimaan laporan SPT dan perampingan kegiatan administrasi, pendapatan, distribusi dan pengarsipan laporan SPT. Petugas pajak tidak perlu lagi menginput data-data SPT ke dalam sistem karena data-data tersebut telah diinput oleh wajib pajak pada saat penyampaian e-filing. Hal ini mengurangi beban kerja petugas pajak.

(24)

2.4.4 Kelemahan E-Filing

Menurut Iim Ibrahim Nur (2010: 45-46), dengan begitu banyaknya kelebihan sistem penyampaian SPT dengan aplikasi e-filing, masih terdapat kelemahan-kelemahan yang harus diperhatikan di antaranya:

1. Di atas kertas, perpindahan pelaporan pajak konvensional ke pelaporan pajak digital terlihat mudah. Namun di lapangan bisa terjadi berbagai permasalahan. Pada tahap awal penerapan sistem ini di KPP di bawah Kanwil DJP Khusus dan Kanwil DJP wajib pajak besar upload data sering gagal. Pengiriman SPT digital melalui internet sering macet, sehingga wajib pajak sering menyampaikan SPT digitalnya dalam bentuk disket langsung ke KPP.

2. Wajib pajak masih harus mengirimkan Induk SPT secara manual. Hal ini dikarenakan kondisi sistem teknologi informasi yang belum didukung oleh perangkat aturan telematika yang mengatur tentang validitas dokumen elektronik. Di Indonesia belum ada undang-undang yang mengatur keabsahan tanda tangan digital. Sehingga baik wajib pajak ataupun DJP belum sepakat akan keabsahan tanda tangan digital.

3. Akses jalur koneksi internet di Indonesia yang masih belum optimal.

Koneksi internet di Indonesia terkadang lambat bahkan terputus, sehingga ketika wajib pajak akan meng-upload data SPT dengan aplikasi e-filing dan kemudian terputus, maka wajib pajak harus mengulangnya dari awal.

Hal ini sangat dirasakan oleh banyak wajib pajak yang sudah mengaplikasikan e-filing.

(25)

4. Terdapatnya perbedaan format data digital yang dimiliki oleh wajib pajak dengan ASP serta DJP. Sehingga perlu dilakukan penyesuaian oleh pihak ASP agar format data digital yang ada bisa compatible dengan format yang dimiliki oleh DJP.

2.4.5 Tata Cara Penggunaan E-Filing

Tata cara penggunaan e-filing berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2014 adalah:

1. Wajib pajak yang akan menyampaikan SPT tahunan secara e-filing melalui website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) harus memiliki e- FIN, e-FIN adalah nomor identitas yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak kepada wajib pajak yang mengajukan permohonan untuk melaksanakan e-filing.

2. Wajib pajak yang sudah mendapatkan e-FIN, harus mendaftarkan diri paling lama 30 hari sejak diterbitkannya e-FIN untuk terdaftar sebagai wajib pajak e-filing melalui website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id). Pendaftaran dilakukan melalui website DJP dengan mencantumkan alamat surat elektronik (e-mail address); dan nomor telepon genggam (handphone), untuk pengiriman kode verfikasi, notifikasi, dan bukti penerimaan elektronik. e-FIN yang sudah diperoleh tetapi wajib pajak tersebut tidak mendaftarkan diri sebagai wajib pajak e- filing melalui website DJP sampai batas waktu yang ditentukan, e-FIN

(26)

tersebut tidak dapat dipergunakan lagi, sehingga wajib pajak harus mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh e-FIN yang baru.

3. Wajib pajak yang telah terdaftar sebagai wajib pajak e-filing melalui website Direktorat Jenderal Pajak (http://efiling.pajak.go.id) dapat menyampaikan SPT tahunan dengan cara mengisi e-SPT kemudian meminta kode verifikasi melalui website DJP. Kode verifikasi tersebut berlaku sebagai tanda tangan elektronik atau tanda tangan digital. Hasil pengisian aplikasi e-SPT dianggap lengkap apabila seluruh elemen data digitalnya telah diisi.

4. Wajib pajak yang mengisi e-SPT yang dinyatakan lengkap oleh Direktorat Jenderal Pajak akan diberikan bukti penerimaan elektronik yang disampaikan melalui alamat surat elektronik (e-mail address).

5. Wajib pajak mendapatkan notifikasi setiap menyampaikan SPT tahunan secara e-filing melalui website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id).

6. Keterangan dan atau dokumen lain terkait SPT tahunan tidak perlu disampaikan pada saat penyampaian SPT tahunan secara e-filing tetapi wajib disimpan sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan.

7. Penyampaian SPT tahunan secara e-filing melalui website Direktorat Jenderal Pajak dilakukan setiap saat dengan standar Waktu Indonesia Barat (WIB).

(27)

2.5 Kepatuhan

2.5.1 Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak

Machfud Sidik dalam Siti Kurnia Rahayu (2010: 138), menyatakan bahwa kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela merupakan tulang punggung sistem self assessment, dimana wajib pajak bertanggungjawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakannya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajaknya tersebut.

Kepatuhan wajib pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak dalam Siti Kurnia Rahayu (2010: 138) menjelaskan bahwa:

“Sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi dimana:

1. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas 3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar 4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.”

Menurut Chaizi Nasucha dalam Siti Kurnia Rahayu (2010: 139), kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasi dari:

“1. Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri;

2. kepatuhan untuk melaporkan kembali surat pemberitahuan (SPT);

3. kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang; dan 4. kepatuhan dalam membayar tunggakan.”

(28)

2.5.2 Kriteria Wajib Pajak Patuh

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007, wajib pajak termasuk dalam kategori wajib pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan.

2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

3. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu lima tahun terakhir.

4. Wajib pajak yang laporan keuangannya 3 tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawas keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian.

2.5.3 Wajib Pajak Patuh

Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010: 142-143) wajib pajak patuh adalah wajib pajak yang sadar pajak, paham hak dan kewajiban perpajakannya dan diharapkan peduli pajak yaitu melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar dan paham akan hak perpajakannya. Sebenarnya pemberian predikat wajib pajak patuh, yang sekaligus sebagai suatu pemberian penghargaan bagi wajib pajak sudah pasti akan memberi motivasi bagi wajib pajak lain untuk menjadi wajib pajak patuh. Wajib pajak yang berpredikat patuh dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya tentunya akan mendapat kemudahan dan fasilitas yang lebih dibandingkan dengan pemberian pelayanan pada wajib pajak yang belum

(29)

atau tidak patuh. Fasilitas yang diberikan oleh Ditjen Pajak terhadap wajib pajak patuh adalah sebagai berikut:

1. Pemberian batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lambat 3 bulan sejak permohonan kelebihan pembayaran pajak yang diajukan wajib pajak diterima untuk PPh dalam 1 bulan untuk PPN, tanpa melalui penelitian dan pemeriksaan oleh Ditjen Pajak.

2. Adanya kebijakan percepatan penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) menjadi paling lambat 2 bulan untuk PPh dan 7 hari untuk PPN,

3. Bagi wajib pajak belum atau tidak patuh, fasilitas tersebut tidak akan diberikan padanya, penerbitan SKPPKP harus menunggu penelitian dan pemeriksaan yang memakan waktu, biaya dan menjadi sumber terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

4. Diberikannya fasilitas tidak dilakukan penelitian dan pemeriksaan untuk permohonan kelebihan pembayaran pajak, adalah dengan alasan bahwa wajib pajak patuh merupakan wajib pajak yang taat dalam pembayaran pajak, dan dalam mengisi SPT dilakukan dengan benar, lengkap, dan jelas.

Sehingga tidak perlu dilakukan penelitian dan pemeriksaan.

(30)

2.6 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.3

Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Hasil

1 Zahra Purnama Esa Bekti

(2012)

Pengaruh Penerapan e- SPT dan E-filing terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Badan)

dalam Melaporkan SPT

Terdapat pengaruh yang positif penerapan e-SPT dan

e-filing sebesar 27,7%

terhadap kepatuhan wajib pajak (Badan) dalam

melaporkan SPT 2 Mohamad Havid

(2014)

Pengaruh Penerapan E-filing Terhadap Tingkat Kepatuhan

Wajib Pajak

Terdapat pengaruh signifikan penerapan e-filing terhadap

tingkat kepatuhan wajib pajak, dengan arah hubungan

positif

3 Renda

Ramayanti (2015)

Pengaruh Penerapan E-filing Terhadap Tingkat Kepatuhan

Wajib Pajak

Terdapat pengaruh penerapan e-filing terhadap tingkat kepatuhan sebesar 31,1%, sedangkan sisanya 68,9%

dijelaskan oleh variabel- variabel lain di luar model

(31)

penelitian 4 Annisa Rahmi

Kinanti (2015)

Pengaruh Penerapan Sistem E-filing Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak pada Kantor

Pelayanan Pajak (KPP) Pratama

Bandung

Terdapat pengaruh signifikan antara variabel penerapan sistem e-filing (X) terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak

(Y) dengan total pengaruh sebesar 59,7%, sedangkan

sisanya yaitu 40,3%

merupakan pengaruh faktor- faktor lain yang tidak diteliti

2.7 Kerangka Pemikiran

Adanya reformasi di bidang administrasi perpajakan telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan di bidang perpajakan. Salah satu perubahan dari reformasi perpajakan adalah dengan adanya model administrasi kantor pajak modern yang pengelolaan perpajakannya menggunakan teknologi informasi terutama internet. Salah satu pelayanan perpajakan melalui internet adalah electronic filing system (e-filing).

Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010: 109) menyatakan bahwa adanya pengaruh dari efektivitas e-filing terhadap kepatuhan formal perpajakan sebagai berikut:

“Modernisasi sistem perpajakan di lingkungan DJP dengan memanfaatkan sistem informasi yang handal dan terkini (e-filing) adalah salah satu

(32)

strategi yang ditempuh untuk mencapai tingkat kepatuhan pajak yang tinggi”.

Teori di atas didukung oleh beberapa penelitian, salah satunya adalah hasil penelitian Zahra Purnama Esa Bekti (2012) bahwa terdapat pengaruh yang positif penerapan e-SPT dan e-filing sebesar 27,7% terhadap kepatuhan wajib pajak (badan) dalam melaporkan SPT.

Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-88/PJ/2004 tanggal 14 Mei 2004 tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan secara Elektronik. Kemudian pada tanggal 12 Januari 2005 Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan kembali surat keputusan KEP-05/PJ/2005 tentang Tata Cara Penyampaian SPT secara elektronik (e-filing) melalui Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP). Namun pada tanggal 16 Desember 2008 Direktorat Jenderal Pajak merevisi kembali dalam Peraturan DJP Nomor 47/PJ/2008 dimana peraturan-peraturan sebelumnya dinyatakan dicabut dan tidak berlaku setelah diberlakukannya peraturan ini yaitu tanggal 1 Maret 2009.

Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

(33)

Gambar 2.1

Bagan Kerangka Penelitian Reformasi Administrasi

Perpajakan

Modernisasi Administrasi Perpajakan

Pemanfaatan Teknologi Informasi

Penyampaian SPT

UU Nomor 16 Tahun 2009

Manual

Peraturan DJP Nomor 47/PJ/2008

Penerapan Sistem e-filing

Pengaruhnya Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib

Pajak

(34)

2.8 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran yang telah dijelaskan, maka penulis mengajukan hipotesis penelitian sebagai berikut:

Ho: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara penerapan e-filing terhadap kepatuhan wajib pajak (orang pribadi) dalam melaporkan SPT.

Ha : Terdapat pengaruh yang signifikan antara penerapan e-filing terhadap kepatuhan wajib pajak (orang pribadi) dalam melaporkan SPT.

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam penyusunan Best Practice ini, penulis berharap semoga dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan. Salatiga, November 2015

Selain memperbaiki kaedah pengajaran guru LINUS-Literasi Bahasa Malaysia juga perlu melengkapkan diri dengan aspek-aspek persediaan lain dalam meningkatkan mutu

• Kultur darah ulang perlu diambil dari 2 tempat : kateter sentral dan perifer sebelum pemberian antibiotik atau pencabutan kateter. • Bila infeksi CONS persisten, investigasi ke arah

Beneish M-Score dari aspek Days Sales in Receivables Index (DSRI), Gross Margin Index (GMI), Asset Quality Index (AQI), Sales Growth Index (SGI), Depreciation

Analisis Pengaruh Budaya Organisasi Dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan. Jurnal Ekonomi

Hal ini menunjukan bahwa tidak ada perkara lain yang paling petama disebut Allah dalam Alquran dari ciri orang bertakwa selain beriman kepada perkara gaib.. Ini sekali lagi

Hubungan content - concept yang terjadi pada Le Fresnoy adalah reciprocity , dimana fungsinya sebagai tempat pendidikan dan produksi seni ditanggapi dengan concept

kebun sendiri dan dapat dipisahkan dari usaha pertaniannya, atau bahan bakunya berasal dari pembelian... Usaha pemerahan susu hewan besar maupun