• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun kecil di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Tindakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun kecil di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Tindakan"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

9 2.1 Landasan teori

2.1.1 Agresivitas Pajak

Agresivitas pajak merupakan tindakan yang rentan dilakukan

perusahaan-perusahaan besar maupun kecil di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Tindakan

agresivitas pajak ini dilakukan dengan tujuan meminimalkan besarnya biaya pajak

dari biaya pajak yang telah diperkirakan. Tidak ada definisi ataupun ukuran

agresivitas pajak yang dapat diterima secara universal (Balakrishnan, et. al.,

2011). Hlaing (2012) mendefinisikan agresivitas pajak sebagai kegiatan

perencanaan pajak semua perusahaan yang terlibat dalam usaha mengurangi

tingkat pajak yang efektif.

Zuber (2013) dalam Jesica dan Toly (2014) menyatakan di antara

penghindaran dan penggelapan pajak, terdapat grey area yang potensial untuk

agresivitas. Grey area ini ada karena ada tax shelter (usaha untuk meminimalkan

pajak yang harus dibayar atas penghasilan saat ini) diluar semua transaksi pajak

baik yang diijinkan menurut hukum perpajakan maupun tidak. Tidak ada garis

yang jelas di antara penghindaran dan penggelapan pajak karena tidak ada

penjelasan yang cukup untuk semua transaksi. Disamping itu, transaksi agresif

dan pembuatan keputusan dapat berpotensi sebagai penghindaran pajak maupun

(2)

Sari dan Martani (2010) menyatakan suatu agresivitas pelaporan pajak

adalah situasi ketika perusahaan melakukan kebijakan pajak tertentu dan suatu

hari terdapat kemungkinan tindakan pajak tersebut tidak akan diaudit atau

dipermasalahkan dari sisi hukum, namun tindakan ini berisiko karena

ketidakjelasan posisi akhir (apakah tindakan pajak tersebut dianggap melanggar

atau tidak melanggar hukum yang berlaku).

Dapat disimpulkan bahwa agresivitas pajak merupakan bagian dari

manajemen pajak dalam hal perencanaan pajak. Apabila dikaitkan dengan

penghindaran atau penggelapan pajak, agresivitas pajak lebih mengarah pada

penghindaran pajak yang termasuk dalam tindakan legal dalam upaya untuk

mengurangi pajak yang ditanggung perusahaan. Perbedaan antara penghindaran

pajak dan agresivitas pajak yaitu dalam agresivitas pajak kegiatan perencanaan

untuk mengurangi pajak terhutang dilakukan dengan lebih agresif. Hal ini

merupakan hambatan yang terjadi dalam pemungutan pajak sehingga

mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara, sehingga apabila hal ini

dilakukan secara terus-menerus oleh perusahaan maka negara akan mengalami

kerugian yang cukup besar dalam penerimaan dari sektor pajak.

Suandy (2011:2) memaparkan beberapa faktor yang memotivasi wajib

pajak untuk melakukan tindakan pajak agresif , antara lain:

1. Jumlah pajak yang harus dibayar. Besarnya jumlah pajak yang harus

(3)

semakin besar pula kecenderungan wajib pajak untuk melakukan

pelanggaran;

2. Biaya untuk menyuap fiskus. Semakin kecil biaya untuk menyuap

fiskus, semakin besar kecenderungan wajib pajak untuk melakukan

pelanggaran;

3. Kemungkinan untuk terdeteksi, semakin kecil kemungkinan suatu

pelanggaran terdeteksi maka semakin besar kecenderungan wajib

pajak untuk melakukan pelanggaran; dan

4. Besar sanksi, semakin ringan sanksi yang dikenakan terhadap

pelanggaran, maka semakin besar kecenderungan wajib pajak untuk

melakukan pelanggaran.

Setiap tindakan yang dilakukan oleh manajer (pengambil keputusan) pasti

akan memperhitungkan dampak baik dan buruknya atas tindakan yang dilakukan.

Ada tiga keuntungan dari tindakan pajak agresif yang dijelaskan oleh Hidayanti

(2013) :

1. Keuntungan berupa penghematan pajak yang akan dibayarkan

perusahaan kepada negara, sehingga jumlah kas yang dinikmati

pemilik/pemegang saham dalam perusahaan menjadi lebih besar.

2. Keuntungan bagi manajer (baik langsung maupun tidak langsung)

yang mendapatkan kompensasi dari pemilik/pemegang saham

perusahaan atas tindakan pajak agresif yang dilakukannya.

3. Keuntungan bagi manajer adalah mempunyai kesempatan untuk

(4)

Sedangkan kerugian dari tindakan pajak agresif diantaranya adalah :

1. Kemungkinan perusahaan mendapatkan sanksi/penalti dari fiskus

pajak, dan turunnya harga saham perusahaan (Sari dan Martani, 2010)

2. Rusaknya reputasi perusahaan akibat audit dari fiskus pajak.

3. Penurunan harga saham dikarenakan pemegang saham lainnya

mengetahui tindakan pajak agresif yang dijalankan manajer dilakukan

dalam rangka rent extraction (Desai dan, Dharmapala, 2006).

Menurut Yoehana (2013) ada berbagai macam proksi pengukuran

agresivitas pajak, antara lain Effective Tax Rates (ETR), Book Tax Differences,

Discretionary Permanent BTDs (DTAX), Unrecognize Tax benefit, Tax Shelter

Activity, dan Marginal tax rate. Rego dan Wilson (2008) dalam Yoehana (2013)

menyatakan bahwa tidak ada proksi agresivitas pajak yang dapat menangkap

secara sempurna adanya agresivitas pajak. Proksi yang digunakan untuk

mengukur agresivitas pajak pada penelitian ini adalah ETR karena penelitian

terdahulu seperti penelitian yang dilakukan oleh Lanis dan Richardson (2012),

Jessica dan Toly (2014), Kuriah dan Asyik (2016) menggunakan ETR untuk

mengukur agresivitas pajak dan nilai yang rendah dari ETR dapat menjadi

indikator adanya agresivitas pajak. Secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan

yang menghindari pajak perusahan dengan mengurangi penghasilan kena pajak

mereka dengan tetap menjaga laba akuntansi keuangan memiliki nilai ETR yang

(5)

2.1.2 Definisi Pajak

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Pasal

1 ayat 1 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjelaskan bahwa:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Terdapat beberapa definisi pajak yang dikemukakan oleh para ahli dalam

buku Diana Sari (2013 : 34), diantaranya:

1. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Andriani, pajak adalah iuran masyarakat

kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib

membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)

dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk

dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran

umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan

pemerintahan.

2. Menurut Prof. Dr. Djajadiningrat, pajak adalah suatu kewajiban untuk

menyerahkan sebagian kekayaan Negara karena suatu keadaan,

kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu.

Pungutan tersebut bukan sebagai hukuman, tetapi menurut

peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan. Untuk

itu, tidak ada jasa balik dari Negara secara langsung, misalnya untuk

(6)

3. Menurut Dr. Soeparman Soemohamijaya, pajak adalah iuran wajib

berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan

norma-norma hokum guna menutup biaya produksi barang-barang dan

jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang

terdapat pada pengertian pajak antara lain:

1. Iuran yang dapat dipaksakan yang dipungut oleh pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah berdasarkan atau dengan kekuatan

undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

2. Tanpa ada jasa timbal balik atau kontra prestasi oleh pemerintah yang

dapat ditunjukkan secara langsung.

3. Pajak digunakan untuk keperluan membiayai pengeluaran-pengeluaran

umum pemerintah dalam mencapai kesejahteraan umum.

4. Pajak dipungut karena adanya suatu keaadan, kejadian dan perbuatan

(7)

2.1.3 Fungsi Pajak

Fungsi pajak menurut Diana Sari (2013:38) :

1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)

Yaitu sebagai alat (sumber) untuk memasukkan uang

sebanyak-banyaknya dalam Kas Negara dengan tujuan untuk membiayai

pengeluaran negara yaitu pengeluaran rutin dan pembangunan. Sebagai

sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan

melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat

diperoleh dari penerimaan negara.

2. Fungsi Mengatur (reguler)

Yaitu sebagai alat ukur untuk mencapai tujuan tertentu di bidang

keuangan. Misalnya mengadakan perubahan tarif, memberikan

pengecualian-pengecualian, keringanan-keringanan atau sebaliknya

pemberatan-pemberatan yang khusus ditujukan kepada masalah tertentu.

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan

pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk

mencapai tujuan.

(8)

(1) Fungsi stabilitas. Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana

untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga

sehingga inflasi dapat dikendalikan

(2) Fungsi redistribusi pendapatan. Pajak yang sudah dipungut oleh negara

akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk

juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka

kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan

pendapatan masyarakat.

(3) Fungsi demokrasi. Pajak yang sudah dipungut oleh negara merupakan

wujud sistem gotong royong.

2.1.4 Jenis-Jenis Pajak

Menurut Diana Sari (2013:43) jenis pajak dapat digolongkan menjadi tiga

macam, yaitu diantaranya :

a. Menurut Sifatnya

1. Pajak subjektif (pajak langsung) yatu pajak yang erat kaitannya atau

hubungannya dengan subyek pajak atau yang dikenakan pajak dan

besarnya dipengaruhi oleh keadaan wajib pajak.

2. Pajak Objek (pajak tidak langsung) yaitu pajak yang erat hubungannya

(9)

keadaan, perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya

kewajiban membayar.

b. Menurut Pembebanannya

1. Pajak Langsung, yaitu pajak yang langsung dibayar atau dipikul oleh

wajib pajak yang bersangkutan dan pajak ini langsung dipungut

pemerintah dari wajib pajak, tidak dapat dilimpahkan kepada orang

lain serta dipungut secara berkala (periodik).

2. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang dipungut kalau ada suatu

peristiwa atau perbuatan tertentu, seperti penggerakan barang tidak

bergerak, pembuatan akte, dan lain-lain dan pembayar pajak dapat

melimpahkan beban pajaknya kepada pihak lain serta pajak ini tidak

mempergunakan suatu ketetapan pajak.

c. Menurut Kewenangannya

1. Pajak Pusat, yaitu pajak yang wewenang pemungutannya atau dikelola

oleh pemerintah pusat dan hasilnya dipergunakan untuk membiayai

pengeluaran rutin negara dan pembangunan (APBN).

2. Pajak Daerah, yaitu pajak yang wewenang pemungutannya atau

dikelola oleh pemerintah daerah (baik Pemerintah Provinsi maupun

Pemerintah Kabupaten/Kota) dan hasilnya dipergunakan untuk

(10)

2.1.5 Cara Pemungutan Pajak

Menurut Diana Sari (2013:76) cara pemungutan pajak dapat dilakukan

dengan tiga stelsel, yaitu:

1. Stelsel Riil

Besarnya pajak yang dipungut berdasarkan penghasilan nyata yang

diperoleh oleh wajib pajak untuk masa yang bersangkutan. Jadi pemungutan pajak

baru dapat dilaksanakan setelah akhir tahun periode setelah mengetahui

penghasilan yang sesungguhnya yang diperoleh dalam masa pajak yang

bersangkutan.

2. Stelsel Fiktif

Besarnya pajak yang dipungut berdasarkan perkiraan besarnya pajak yang

terutang untuk dikenakan kepada wajib pajak. Jadi pemungutan dapat dilakukan

pada awal tahun pajak. Perkiraan ini dapat menggunakan perbandingan data

antara penerimaan/pendapatan wajib pajak pada tahun sebelumnya yang dianggap

sama dengan pendapatan yang akan diperoleh pada tahun sekarang.

3. Stelsel Campuran

Besarnya pajak yang dipungut pada awal tahun berdasarkan surat

ketetapan pajak sementara yang dikeluarkan pada awal tahun yang berhitungan

awalnya berdasarkan stelsel fiktif. Untuk mengetahui besarnya pajak yang

(11)

riil, sehingga ketetapan jumlah pajak yang terutang dapat dikoreksi dengan stelsel

ini atau disesuaikan dengan pajak yang sebenarnya.

2.1.6 Sistem Pemungutan Pajak

Secara umum sistem pemungutan pajak (Mardiasmo, 2016:9), yaitu:

1. Official Assessment System

Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang

memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan

besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Ciri-cirinya:

1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada

fiskus.

2) Wajib Pajak bersifat pasif.

3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh

fiskus.

2. Self Assessment System

Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang

memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri

besarnya pajak yang terutang.

Ciri-cirinya:

1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada

(12)

2) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan

melaporkan sendiri pajak yang terutang.

3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

3. With Holding System

With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang

memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib

Pajak yang bersangkutan) untuk memotong atau memungut pajak yang

terutang oleh Wajib Pajak.

Ciri-cirinya: wewenang memotong atau memungut pajak yang terutang

ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.

2.1.7 Tarif Pajak

Menurut Mardiasmo (2016:11) ada 4 macam tarif pajak:

1. Tarif sebanding/proposional

Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak

sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang

dikenakan pajak. Contoh: Untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah

pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.

2. Tarif tetap

Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai

(13)

Lapisan Penghasilan Kena Pajak

Tarif Pajak

Sampai dengan Rp 50.000.000,00

5%

Di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00

15%

Di atas Rp 250.000.000,00 s.d. Rp 500.000.000,00

25%

Di atas Rp 500.000.000,00

30%

Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp

3.000,00.

3. Tarif progresif

Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak

semakin besar. Contoh: Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Wajib

Pajak orang pribadi dalam negeri.

Tabel 2.1

Tarif pajak untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Sumber:Mardiasmo, 2016

Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi:

a. Tarif progresif progresif : kenaikan persentase semakin besar

b. Tarif progresif tetap : kenaikan persentase tetap

c. Tarif progresif degresif : kenaikan persentase semakin kecil

4. Tarif degresif

Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak

(14)

2.1.8 Teori Agensi

Teori agensi muncul ketika ada sebuah perjanjian hubungan kerja antara

principle yang memiliki wewenang dengan agent atau pihak yang diberi

kewenangan untuk menjalankan perusahaan. Manajer (agent) memiliki kewajiban

untuk memberikan informasi mengenai perusahaan kepada pemilik pemilik

perusahaan (principle) karena manajer dianggap lebih memahami dan mengetahui

keadaan perusahaan yang sebenarnya (Ardyansyah, 2014). Namun terkadang

manajer tidak melaporkan keadaan perusahaan seperti apa yang sebenarnya. Hal

ini bisa saja dilakukan untuk menguntungkan manajer dan menutupi kelemahan

kinerja manajer. Tindakan manajer yang seperti ini biasanya dilakukan karena

adanya perbedaan kepentingan antara pemilik perusahaan dan manajer sehingga

dapat menimbulkan berbagai masalah keagenan seperti pengeluaran yang

berlebihan, keputusan investasi suboptimal dan asimetris informasi. Asimetris

informasi terjadi ketika manajer memiliki lebih banyak informasi dibandingkan

informasi yang dimiliki oleh pemilik perusahaan (Nugraha dan Meiranto, 2015).

Perbedaan kepentingan antara principle dan agent dapat mempengaruhi

berbagai hal yang berkaitan dengan kinerja perusahaan, salah satunya adalah

kebijakan perusahaan mengenai pajak perusahaan. Sistem perpajakkan di

Indonesia yang menggunakan self assessment system memberikan wewenang

kepada perusahaan untuk menghitung dan melaporkan pajaknya sendiri.

Penggunaan sistem ini dapat memberikan kesempatan bagi agent untuk

memanipulasi pendapatan kena pajak menjadi lebih rendah sehingga beban pajak

(15)

Terdapat beberapa cara untuk mengontrol tindakan agent terkait dengan

kegiatan manajemen pajak yang dilakukan, yaitu dengan mengevaluasi hasil

laporan keuangan perusahaan dengan menggunakan rasio keuangan dibandingkan

dengan tindakan agresivitas pajak yang mungkin dilakukan agent (Nugraha dan

Meiranto, 2015). Rasio yang digunakan adalah leverage yang dibandingkan ETR

perusahaan yang didapat dari beban pajak dibanding laba sebelum pajak.

2.1.9 Teori Legitimasi

Menurut Gray et.al, (1996) dalam Andrianto (2017) menjelaskan bahwa

legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada

keberpihakan terhadap masyarakat, pemerintah dan kelompok masyarakat, dimana

operasi perusahaan harus sesuai dengan harapan masyarakat. Perusahaan hanya

bisa bertahan jika masyarakat merasa bahwa perusahaan beroperasi berdasarkan

sistem nilai yang sepadan dengan sistem nilai di masyarakat. Jika terjadi

ketidaksesuaian (incongruence) maka perusahaan kehilangan legitimasinya

sehingga dapat mengancam kelansungan hidup perusahaan. Pengurangan

incongruence dapat dilakukan dengan meningkatkan tanggung jawab sosial,

memperluas social disclosure sebagai wujud akuntabilitas dan transparansi

perusahaan atas berbagai dampak yang ditimbulkan. Tingginya kesenjangan

legitimasi sebagai akibat ketidaksesuaian antara aktivitas operasi perusahaan

(16)

Legitimasi masyarakat adalah strategi yang dilakukan manajemen untuk

mengembangkan perusahaan dalam menumbuhkan kepercayaan publik. Teori ini

menjelaskan adanya kontak sosial antara perusahaan dengan masyarakat dan

pengungkapan sosial lingkungan (Lanis dan Richardson, 2013). Teori legitimasi

menyiratkan mengenai peningkatan kesadaran dan keyakinan masyarakat, bahwa

perusahaan akan mengambil langkah-langkah untuk memastikan kegiatan dan

kinerja mereka agar dapat diterima masyarakat. Laporan tahunan mungkin

digunakan untuk memperkuat persepsi masyarakat tentang tanggung jawab

manajemen terhadap masakah lingkungan, atau untuk mengalihkan perhatian dari

situasi lingkungan yang merugikan (Deegan dan Rankin, 1996 dalam Andrianto,

2017).

2.1.10 Teori Stakeholder

Stakeholder adalah individu atau kelompok yang memiliki kepentingan

terhadap aktivitas perusahaan. Menurut Chariri dan Gazali (2007) dalam

Andrianto (2017) teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah

entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus

memberikan manfaat bagi stakeholdernya (shareholder, kreditor, konsumen,

supplier, pemerintah, masyarakat, analisis dan pihak lain). Dengan kata lain, teori

ini mengungkapkan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya diukur

(17)

dari faktor-faktor sosial terhadap lingkungan stakeholder, baik internal maupun

eksternal.

Berdasarkan asumsi stakeholder theory, perusahaan tidak dapat

melepaskan diri dengan lingkungan sosial sekitarnya. Teori ini menekankan untuk

mempertimbangkan kepentingan, kebutuhan, dan pengaruh dari pihak-pihak yang

terkait dengan kebijakan dan kegiatan operasi perusahaan, terutama dalam

pengambilan keputusan perusahaan. Perusahaan perlu menjaga legitimasi

stakeholder serta mendudukkannya dalam kerangka kebijakan dan pengambilan

keputusan, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan perusahaan, yaitu usaha

dan jaminan going concern (Adam C. H., 2002) dalam Nor Hadi (2011).

Manajemen stakeholder yang baik akan mengungkapkan informasi CSR dengan

baik.

2.1.11 Leverage

Menurut Agus Harjito dan Martono (2011:315) leverage dalam pengertian

bisnis mengacu pada penggunaan asset dan sumber dana (sources of funds) oleh

perusahaan dimana dalam penggunaan asset atau dana tersebut perusahaan harus

mengeluarkan biaya tetap atau beban tetap. Sedangkan menurut Harahap

(2013:306) leverage adalah rasio yang menggambarkan hubungan antara utang

perusahaan terhadap modal maupun aset. Rasio ini dapat melihat seberapa jauh

perusahaan dibiayai oleh utang atau pihak luar dengan kemapuan peruahaan yang

(18)

Opler dan Titman (1994) dalam Yuyetta (2009) telah membuktikan

adanya kinerja yang buruk pada perusahaan yang memiliki tingkat leverage yang

tinggi dibandingkan kinerja pada perusahaan yang tingkat leverage nya lebih

rendah. Hal ini juga diperkuat dengan pemaparan Yoehana (2013) yang

menyatakan bahwa tingkat leverage perusahaan dapat menggambarkan risiko

keuangan perusahaan. Hal ini disebabkan karena leverage merupakan alat untuk

mengukur seberapa besar perusahaan bergantung pada kreditur dalam membiayai

aset perusahaan. Perusahaan yang mempunyai tingkat leverage yang tinggi berarti

sangat bergantung pada pinjaman luar untuk membiayai asetnya. Sedangkan

perusahaan yang mempunyai tingkat leverage rendah berarti perusahaan tersebut

lebih banyak membiayai asetnya dengan modal sendiri.

Menurut I Made Sudana (2011:157) menyatakan bahwa penggunaan

aktiva yang menimbulkan beban tetap disebut dengan operating leverage,

sedangkan penggunaan dana dengan beban tetap disebut financial leverage.

Berikut adalah penjelasan mengenai jenis-jenis leverage:

1. Financial leverage

Financial leverage timbul karena perusahaan dibelanjai dengan dana yang

menimbulkan beban tetap, yaitu berupa utang, dengan beban tetap berupa bunga.

Financial leverage dibedakan menjadi:

a) Financial structure, menunjukan bagaimana perusahaan membelanjai

aktivanya. Financial structure tampak pada neraca sebelah kredit, yang

(19)

b) Capital stucture, merupakan bagian dari struktur keuangan yang hanya

menyangkut pembelanjaan yang sifatnya permanen atau jangka panjang,

saham istimewa, saham biasa, dan laba ditahan.

c) Leverage factor, merupakan perbandingan antara nilai buku total (D) dan

total aktiva (TA) atau perbandingan antara utang dan modal (E).

2. Operating leverage

Operating leverage timbul bila perusahaan dalam operasinya menggunakan

aktiva tetap. Penggunaan aktiva tetap akan menimbulkan beban tetap berupa

penyusutan.

Menurut Kasmir (2014:113) rasio leverage merupakan rasio yang

digunakan untuk mengukur sejauh mana aktiva perusahaan dibiayai dengan utang.

Besar kecilnya utang yang dimiliki perusahaan akan sangat berpengaruh terhadap

besar kecilnya pajak yang dibayar. Hal ini dikarenakan biaya bunga dapat

dikurangkan dalam menghitung pajak, sehingga utang dapat mempengaruhi

secara langsung effective tax rate perusahaan. Pernyataan tersebut sejalan dengan

pendapat Liu dan Cao (2007) dalam Ardyansyah (2014) yang menyebutkan

bahwa perusahaan dengan jumlah utang yang lebih banyak akan memiliki ETR

yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan biaya bunga dapat mengurangi pendapatan

perusahaan sebelum pajak, dan tentunya akan mengurangi besarnya pajak yang

(20)

Menurut Kasmir (2014:156) ada lima rasio leverage yang bisa digunakan

oleh perusahaan yakni sebagai berikut:

1. Debt to Asset Ratio

Debt ratio merupakan rasio utang yang digunakan untuk mengukur

perbandingan antara total utang dengan total aktiva. Dengan kata lain, seberapa

besar aktiva perusahaan dibiayai oleh utang atau seberapa besar utang perusahaan

berpengaruh terhadap pengelolaan aktiva.

Rumus :

2. Debt to Equity Ratio

Debt to Equity Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk menilai utang

dengan ekuitas. Rasio ini dicari dengan cara membandingkan antara seluruh

utang, termasuk utang lancar dengan seluruh ekuitas. Rasio ini berguna untuk

mengetahui jumlah dana yang disediakan peminjam (kreditor) dengan pemilik

perusahaan. Dengan kata lain, rasio ini berfungsi untuk mengetahui setiap rupiah

modal sendiri yang dijadikan untuk jaminan utang.

Rumus:

= Total AktivaTotal Utang

(21)

3. Long Term Debt to Equity Ratio (LTDtER)

Long Term Debt to Equity Ratio (LTDtER) merupakan rasio antara utang

jangka panjang dengan modal sendiri. Tujuannya adalah untuk mengukur berapa

bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan utang jangka

panjang dengan cara membandingkan antara utang jangka panjang dengan modal

sendiri yang disediakan oleh perusahaan.

Rumus :

4. Times Interest Earned Ratio

Times Interest Earned yang sering disebut sebagai coverage ratio

merupakan rasio untuk mencari jumlah kali perolehan bunga. Rasio ini diartikan

sebagai kemampuan perusahaan untuk membayar biaya bunga.

Rumus :

5. Fixed Charge Coverage (FCC)

Fixed Charge Coverage (FCC) atau lingkup biaya tetap merupakan rasio

yang menyerupai Times Interest Earned Ratio. Hanya saja perbedaannya adalah

rasio ini dilakukan apabila perusahaan memperoleh utang jangka panjang atau

LTDtER = Total Utang Jangka PanjangTotal Ekuitas

(22)

menyewa aktiva berdasarkan kontrak sewa (lease contract). Biaya tetap

merupakan biaya bunga ditambah kewajiban sewa tahunan atau jangka panjang.

Rumus :

2.1.12 Corporate Social Responsibility (CSR)

Menurut The Word Business Council For Sustainanble Development

(WBCSD) dalam Nor Hadi (2011:48) mendefinisikan CSR sebagai satu bentuk

tindakan yang berangkat dari pertimbangan etis perusahaan yang diarahkan untuk

meningkatkan ekonomi, yang dibarengi dengan peningkatan kualitas hidup bagi

karyawan berikut keluarganya, serta sekaligus peningkatan kualitas hidup

masyarakat sekitar dan masyarakat secara lebih luas. Sedangkan menurut Harsanti

(2011) CSR merupakan sebuah gagasan yang menjadikan perusahaan tidak lagi

menganut pada prinsip single bottom line yaitu nilai perusahaan hanya berfokus

pada kondisi keuangannya saja dan kewajiban ekonomi pada pemegang saham

(shareholder) melainkan kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang

berkepentingan. John Elkington (1997) dalam Nugraha (2015) menjelaskan

bahwa CSR menganut konsep triple bottom line yang meliputi aspek ekonomi,

social, lingkungan yang terkenal dengan istilah “3P” yaitupeople, planet, profit.

Terdapat manfaat yang didapatkan dari pelaksanaan tanggung jawab sosial

perusahaan, baik bagi perusahaan sendiri, bagi masyarakat, pemerintah dan

(23)

pemangku kepentingan lainnya. Wibisono (2007:99) menguraikan manfaat yang

akan diterima dari pelaksanaan CSR, diantaranya:

1. Bagi Perusahaan

Terdapat empat manfaat yang diperoleh perusahaan dengan

mengimplementasikan CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan

berkelanjutan dan perusahaan mendapatkan citra yang positif dari masyarakat

luas. Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap modal (capital).

Ketiga, perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human

resources) yang berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan

pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan

mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management),

2. Bagi masyarakat

Praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai-tambah adanya

perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan

kualitas sosial di daerah tersebut. Pekerja lokal yang diserap akan mendapatkan

perlindungan akan hak-haknya sebagai pekerja. Jika terdapat masyarakat adat atau

masyarakat lokal, praktek CSR akan mengharagai keberadaan tradisi dan budaya

(24)

3. Bagi lingkungan

Praktik CSR akan mencegah eksploitasi berlebihan atas sumber daya alam,

menjaga kualitas lingkungan dengan menekan tingkat polusi dan justru

perusahaan terlibat mempengaruhi lingkungannnya,

4. Bagi negara

Praktik CSR yang baik akan mencegah apa yang disebut “corporate misconduct” atau malpraktik bisnis seperti penyuapan pada aparat negara atau aparat hukum yang memicu tingginya korupsi. Selain itu, negara akan menikmati

pendapatan dari pajak yang wajar (yang tidak digelapkan) oleh perusahaan.

2.1.13 Pengungkapan Corporate Social Responsibility

Gray et al. (1995) dalam Ratmono (2015) mendefinisikan pengungkapan

CSR sebagai proses penyediaan informasi yang dirancang untuk menunjukkan

akuntabilitas sosial. Sedangkan Menurut Deegan (2002) dalam Lanis dan

Richardson (2013) menyatakan bahwa pengungkapan CSR dipandang sebagai

sarana yang digunakan oleh manajemen perusahaan dalam berinteraksi dengan

masyarakat yang lebih luas untuk mempengaruhi persepsi. Pengungkapan CSR

terdapat dalam laporan tanggung jawab sosial perusahaan, laporan sumber daya

manusia, dan laporan kesehatan dan keselamatan kerja.

Terdapat berbagai alasan yang memotivasi perusahaan untuk melakukan

pengungkapan CSR. Menurut Chariri (2008) dalam Yoehana (2013), alasan

(25)

1. Keinginan untuk mematuhi persyaratan yang ada dalam

undang-undang.

2. Pertimbangan rasionalisasi ekonomi (economic rationality). Atas dasar

alasan ini, praktik pengungkapan tanggung jawab sosial dianggap

dapat memberikan keuntungan bisnis, dan alasan ini dipandang

sebagai motivasi utama.

3. Keyakinan dalam akuntabilitas proses pelaporan. Artinya, manajer

berkeyakinan bahwa orang memiliki hak yang tidak dapat dihindarkan

untuk memperoleh informasi yang memuaskan.

4. Keinginan untuk mematuhi persyaratan peminjaman. Lembaga

pemberi pinjaman, sebagai bagian dari kebijakan manajemen resiko,

cenderung menghendaki peminjam untuk secara periodik memberikan

berbagai item informasi tentang kinerja serta kebijakan sosial dan

lingkungannya.

5. Untuk mematuhi harapan msyarakat yang didasarkan pada pandangan

bahwa kepatuhan terhadap izin yang diberikan masyarakat untuk

beroperasi (kontrak sosial) bergantung pada penyediaan informasi

berkaitan dengan kinerja sosial dan lingkungannya.

6. Sebagai konsekuensi dari ancaman terhadap legitimasi perusahaan.

Misalnya, pelaporan mungkin dipandang sebagai respon atas

pemberitaan media yang bersifat negatif, kejadian sosial atau dampak

lingkungan tertentu, atau barangkali sebagai akibat dari rating jelek

(26)

7. Untuk mengelola kelompok stakeholder tertentu yang powerful.

8. Untuk menarik dana investasi. Pihak yang bertanggung jawab dalam

melakukan peningkatan organisasi tertentu untuk tujuan analisis

potofolio menggunakan informasi dari sejumlah sumber termasuk

informasi yang dikeluarkan oleh lembaga organisasi tersebut.

9. Untuk mematuhi persyaratan industri, atau code of conduct tertentu.

Misalnya di Australia, industri pertambangan memiliki Code for

Environmental Management. Jadi, ada tekanan tertentu untuk

mematuhi aturan tersebut. Aturan dapat mempengaruhi persyaratan

pelaporan.

10. Untuk memenangkan penghargaan pelaporan tertentu. Ada beberapa

penghargaan yang diberikan pada beberapa negara kepada perusahaan

yang melaporkan kegiatannya termasuk kegiatan yang berkaitan

dengan aspek sosial dan dampak lingkungan.

Menurut Wibisono (2007) dalam Jessica dan Toly (2014) ada 10

keuntungan yang dapat diperoleh dalam melakukan CSR, yaitu: mempertahankan

dan mendongkrak reputasi dan image perusahan, layak mendapatkan social

license to operate, mereduksi resiko bisnis perusahaan, melebarkan akses sumber

daya, membentangkan akses menuju market, mereduksi biaya, memperbaiki

hubungan dengan stakeholder, memperbaiki hubungan dengan regulator

(pemerintah), meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan, peluang

(27)

Di Indonesia, sampai sejauh ini belum ada standar khusus yang mengatur

tentang pelaporan pertanggungjawaban sosial. Hal ini disebabkan karena sulitnya

mengukur biaya dan manfaat sosial perusahaan di masa depan. Sehingga

perusahaan dapat merancang sendiri bentuk pelaporan pertanggungjawaban

sosialnya pada publik.

Pengungkapan CSR dalam penelitian ini diukur menggunakan kategori

pengungkapan CSR berdasarkan GRI (The Global Reporting Initiative) Versi 4.0.

GRI (Global Reporting Intiative) merupakan sebuah jaringan berbasis organisasi

yang telah mempelopori perkembangan dunia, paling banyak menggunakan

kerangka laporan keberlanjutan dan berkomitmen untuk terus-menerus melakukan

perbaikan dan penerapan di seluruh dunia. Indikator pengungkapan CSR

berdasarkan GRI versi 4.0 antara lain:

1. Indikator Ekonomi (9 item)

2. Indikator Lingkungan (34 item)

3. Indikator Kinerja sosial

3.1 Indikator Praktek Ketenagakerjaan dan Kenyamanan Bekerja (16

item)

3.2 Indikator Hak Asasi Manusia (12 item)

3.3 Indikator Masyarakat (11 item)

(28)

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pengaruh leverage dan pengungkapan corporate

social responsibility terhadap agresivitas pajak telah banyak dilakukan peneliti

terdahulu yang memberikan hasil berbeda-beda. Beberapa penelitian terdahulu

yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2

Ringkasan Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul

Penelitian Variabel Hasil Penelitian

1 Grant Richardson dan Roman Lanis (2012) (Account. Public Policy, pp.86-87) Corporate Social Responsibility and Tax Aggressiveness: An Empirical Analysis Variabel independen: CSR Menggunakan analisis regresi Tobit Variabel dependen: agresivitas pajak (ETR) Hasil penelitian memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi tingkat

pengungkapan CSR suatu perusahaan, semakin rendah tingkat agresivitas pajak yang dilakukan.

2 Jessica dan Agus Arianto Toly (2014) (Tax and Accounting Review, Vol. 4, No.1, 2014) Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibilty terhadap Agresivitas Pajak Variabel Independen: CSR Variabel dependen: Agresivitas Pajak Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya pengaruh signifikan antara pengungkapan CSR terhadap agresivitas pajak.

(29)

Lanjutan Tabel 2.2

No Peneliti Judul

Penelitian Variabel Hasil Penelitian

3 Ardyansah dan Zulaikha (2014) (Diponegoro Journal Of Accounting, Vol. 3, No. 2, 1-9) Pengaruh size, leverage, profitability, capital intensity ratio dan komisaris independen terhadap effective tax rate (ETR) Variabel Independen: size, leverage, profitability, capital intensity ratio, dan komisaris independen

Variabel Dependen: Effective Tax Rate (ETR)

Hasil menunjukkan bahwa size dan komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap effective tax rate. Sedangkan leverage, profitability dan capital intensity ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap effective tax rate. 4 Nugraha dan Meiranto (2015) (Diponegoro Journal Of Accounting, Vol. 4, No. 4, 1-14) Pengaruh corporate social responsibility, ukuran perusahaan, profitabilitas, leverage, dan capital intensity terhadap agresivitas pajak Variabel Independen: corporate social responsibility, ukuran perusahaan,profitab ilitas, leverage, dan capital intensity Variabel Dependen: Agresivitas Pajak Hasil penelitian menunjukkan bahwa CSR berpengaruh negatif secara signifikan terhadap agresivitas pajak. Ukuran perusahaan dan capital intensity berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap agresivitas pajak.

Profitabilitas berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap agresivitas pajak. Leverage berpengaruh negatif secara signifikan terhadap agresivitas pajak.

(30)

Lanjutan Tabel 2.2

No Peneliti Judul

Penelitian Variabel Hasil Penelitian

5 Kuriah dan Asyik (2016) (Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi. Vol 5, No 3) Pengaruh Karakteristik Perusahaan dan Corporate Social Responsibility terhadap Agresivitas Pajak Variabel Independen : Ukuran perusahaan, leverage, capital intensity dan corporate social responsibility Variabel Dependen: Agresivitas Pajak Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran perusahaan dan leverage berpengaruh signifikan terhadap agresivitas pajak. Capital intensity tidak memiliki pengaruh terhadap agresivitas pajak. CSR berpengaruh signifikan dan negatif terhadap agresivitas pajak. 6 Mustika, Vince Ratnawati dan Alfiati Silfi (2017) (JOM Fekon, Vol. 4, No. 1, 2017) Pengaruh Corporate Social Responsibility, Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Leverage, Capital Intensity dan Kepemilikan Keluarga terhadap Agresivitas Pajak. Variabel Independen: CSR, Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Leverage, Capital Intensity dan Kepemilikan Keluarga Variabel Dependen: Agresivitas Pajak Hasil penelitian menunjukkan bahwa CSR dan kepemilikan keluarga berpengaruh signifikan terhadap agresivitas pajak. sedangkan Ukuran perusahaan, profitabilitas, leverage dan capital intensity tidak

berpengaruh terhadap agresivitas pajak.

(31)

2.3 Kerangka Pemikiran

2.3.1 Pengaruh Leverage terhadap Agresivitas Pajak

Menurut Kasmir (2014:112) leverage menunjukkan sejauh mana aktiva

perusahaan dibiayai dengan utang. Ketika suatu perusahaan memiliki sumber

pendanaan yang kurang, dapat memicu konflik antar principal dan agent. Ada

kemungkinan bahwa pihak principal tidak setuju dengan permintaan pendanaan

dari pihak manajemen untuk keperluan perusahaan, sehingga pihak manajemen

(agent) menutupi kebutuhan pembiayaan perusahaan dengan melakukan hutang

sehingga perusahaan dapat menggunakan celah dengan memanfaatkan beban

bunga yang ditimbulkan oleh hutang tersebut yang dapat digunakan untuk

menekan jumlah pembayaran pajak sehingga tercapainya keuntungan yang

maksimal (Ardyansah dan Zulaikha, 2014).

Perusahaan dimungkinkan menggunakan utang untuk memenuhi

kebutuhan operasional dan investasi perusahaan. Akan tetapi, utang akan

menimbulkan beban tetap bagi perusahaan yang disebut dengan bunga. Pada

peraturan perpajakan, yaitu pasal 6 ayat 1 huruf a UU nomor 36 tahun 2008

tentang PPh, bunga pinjaman merupakan biaya yang dapat dikurangkan

(deductible expense) terhadap penghasilan kena pajak. Beban bunga yang bersifat

deductible akan menyebabkan laba kena pajak perusahaan menjadi berkurang.

Laba kena pajak yang berkurang pada akhirnya akan mengurangi jumlah pajak

yang harus dibayar perusahaan. Semakin besar utang perusahaan maka beban

(32)

pengurangan tersebut sangat berarti bagi perusahaan yang terkena pajak tinggi.

Oleh karena itu, semakin tinggi tarif bunga maka akan semakin besar keuntungan

yang diperoleh perusahaan dari penggunaan utang tersebut (Mustika, 2017).

Pengukuran leverage dalam penelitian ini hanya berfokus pada Debt to

Asset Ratio. Debt to asset ratio menunjukkan perbandingan antara total utang

dengan total aktiva. Dipilihnya debt to asset ratio sebagai proksi leverage karena

perusahaan pada sektor pertambangan mempunyai nilai DAR yang tinggi

(Wardani dan Farida, 2015). Selain itu dikarenakan hutang yang dilakukan

perusahaan untuk tujuan usaha atau lainnya bukan hanya terdiri dari hutang

jangka panjang saja, tapi juga hutang jangka pendek dan beberapa penelitian

terdahulu banyak menggunakan total hutang dibagi dengan total aset dalam

menghitung leverage.

Kebijakan keputusan pendanaan yang dilakukan perusahaan digambarkan

melalui variabel leverage yang dimiliki perusahaan. Ketika perusahaan memilih

untuk lebih banyak membiayai operasinya dengan hutang, maka perusahaan akan

memiliki nilai ETR yang rendah. Hal ini karena komponen biaya atas bunga

pinjaman dapat digunakan sebagai pengurang pajak, tidak seperti ketika

perusahaan lebih banyak mendanai operasinya dengan menggunakan saham. Hal

tersebut karena dividen yang merupakan komponen biaya atas saham yang

diterbitkan tidak dapat menjadi pengurang pajak. Penelitian Ozkan (2001) dalam

Suyanto dan Supramono (2012) memberikan bukti bahwa perusahaan yang

(33)

pajak. Dengan sengaja perusahaan berutang untuk mengurangi beban pajak maka

dapat disebutkan bahwa perusahaan tersebut agresif terhadap pajaknya.

2.3.2 Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Agresivitas Pajak

Perusahaan merupakan salah satu wajib pajak yang memiliki kewajiban

untuk membayar pajak kepada negara tempat perusahaan tersebut beroperasi.

Dengan membayar pajak, perusahaan telah berkontribusi dalam mewujudkan

pembangunan nasional guna kesejahteraan masyarakat luas. Lanis dan Richardson

(2012) menyatakan bahwa sebuah perusahaan yang terlibat dalam kebijakan

agresif pajak secara sosial tidak bertanggung jawab. Keputusan perusahaan

mengenai sejauh mana perusahaan berkeinginan untuk mengurangi kewajiban

pajaknya secara sah dipengaruhi oleh sikapnya terhadap CSR, sebagai tambahan

pertimbangan legalitas dan etika yang lebih mendasar.

Tindakan meminimalkan beban pajak atau agresivitas pajak di kalangan

perusahaan-perusahaan besar sering terjadi, terutama di Indonesia. Banyak

perusahaan besar di Indonesia yang berusaha mengurangi beban pajak dengan

cara mengungkapkan biaya CSR yang telah dikeluarkan perusahaan, sehingga

pengalihan beban pajak ke CSR ini dapat memperkecil biaya yang dikeluarkan

oleh perusahaan (Wibisono, 2007:56).

Menurut Nor Hadi (2011:48) CSR merupakan suatu satu bentuk tindakan

yang berangkat dari pertimbangan etis perusahaan yang diarahkan untuk

(34)

karyawan berikut keluarganya, serta sekaligus peningkatan kualitas hidup

masyarakat sekitar dan masyarakat secara lebih luas. Harari, et.al. (2012)

mengatakan bahwa mengingat pentingnya kebijakan pajak untuk kehidupan sosial

tampaknya masuk akal untuk tidak menyertakan praktik perencanaan agresif pajak

ke dalam unsur tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan demikian, perusahaan

yang terlibat agresivitas pajak adalah perusahaan yang tidak bertanggung jawab

sosial (Lanis dan Richardson, 2012). Sehingga keputusan perusahaan untuk

mengurangi tingkat pajaknya atau melakukan agresivitas pajak dipengaruhi oleh

sikapnya terhadap CSR.

Dalam penelitian terdahulu yang dilakukan Kuriah dan Asyik (2016)

menemukan bahwa CSR berpengaruh negatif terhadap agresivitas pajak. Maka

seharusnya semakin tinggi tingkat pengungkapan CSR perusahaan, maka

diharapkan perusahaan semakin menghindari adanya tindakan agresivitas pajak.

Karena perusahaan yang mengungkapkan CSR berusaha untuk membangun

hubungan yang baik dengan stakeholder, baik melalui kegiatan CSR maupun

dengan membayar pajak sesuai dengan kewajibannya.

2.3.3 Pengaruh Leverage dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap Agresivitas Pajak

Perusahaan merupakan salah satu wajib pajak badan yang memiliki

kewajiban untuk membayar pajak kepada negara karena perusahaan telah

mendapatkan manfaat atas penyediaan barang publik sehingga perusahaan dapat

(35)

seharusnya tidak ada lagi perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran

pajak. Namun pada nyatanya justru perusahaan-perusahaan besar mulai mencari

cara untuk meminimalkan beban pajak yang harus dibayarkan kepada negara yaitu

melalui tindakan agresivitas pajak. Tindakan agresivitas pajak muncul karena

adanya perbedaan tujuan antara pemerintah dan perusahaan sebagai wajib pajak

karena bagi perusahaan pajak yang harus dibayarkan merupakan beban yang

tentunya dapat menurunkan laba setelah pajak.

Menurut Frank et al (2009), agresivitas pajak perusahaan merupakan suatu

tindakan merekayasa pendapatan kena pajak baik legal (tax avoidance) atau ilegal

(tax evasion). Walaupun kegiatan perencanaan pajak tidak semua dikatakan

melanggar peratuan, tetapi semakin besar dan banyak cara yang digunakan suatu

perusahaan dalam penghematan pajak maka perusahaan tersebut dalam keadaan

agresif terhadap pajak.

Luayyi (2010) menyebutkan bahwa dalam teori agensi atau keagenan

terdapat kontrak atau kesepakatan antara pemilik sumber daya dengan manajer

untuk mengelola perusahaan dan mencapai tujuan utama perusahaan yaitu

memaksimalkan laba yang akan diperoleh, sehingga memungkinkan manajer

melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuan tersebut baik cara yang baik

ataupun cara yang merugikan banyak pihak. Terdapat beberapa cara untuk

mengontrol tindakan agent terkait dengan kegiatan manajemen pajak yang

dilakukan, yaitu dengan mengevaluasi hasil laporan keuangan perusahaan dengan

menggunakan rasio keuangan dibandingkan dengan tindakan agresivitas pajak

(36)

yang dilakukan oleh perusahaan dapat dikaitkan dengan beberapa faktor kondisi

keuangan seperti leverage.

Sesuai dengan teori legitimasi, perusahaan sebaiknya meyakinkan

masyarakat bahwa kegiatan yang dilakukan sesuai dengan norma dan nilai

masyarakat sehingga kegiatan yang dilakukan dapat diterima oleh masyarakat.

Hal tersebut didukung dengan teori stakeholder yang menyatakan bahwa

perusahaan dalam kegiatan operasinya harus mempertimbangkan kepentingan

semua pihak yang sekiranya akan terkena dampak dari kegiatan operasi

perusahaan (Mustika, 2017). Banyak perusahaan-persahaan besar di Indonesia

yang berusaha mengurangi beban pajak dengan cara mengungkapkan biaya CSR,

sehingga pengalihan beban pajak ke CSR ini dapat memperkecil biaya yang

dikeluarkan oleh perusahaan. Penelitian Nugraha dan Meiranto (2015)

menyatakan bahwa leverage dan corporate social responsibility secara simultan

(37)

Ket : = Parsial = Simultan

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara terhadap rumusan

masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam

bentuk pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru

didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan fakta-fakta empiris yang

diperoleh melalui pengumpulan data.

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis yang akan diuji

dalam penelitian ini adalah :

Leverage Debt to Asset Ratio

Kasmir (2014:112) Pengungkapan Corporate Social Responsibility CSRDi Nor Hadi (2011:48) Agresivitas Pajak

Effective Tax Rates

(38)

1. Parsial

a) Pengaruh Leverage terhadap Agresivitas Pajak

H : Leverage tidak berpengaruh terhadap Agresivitas Pajak. : Leverage berpengaruh terhadap Agresivitas Pajak.

b) Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility terhadap

Agresivitas Pajak

H : Pengungkapan Corporate Social Responsibility tidak berpengaruh terhadap Agresivitas Pajak.

H : Pengungkapan Corporate Social Responsibiliy berpengaruh terhadap Agresivitas Pajak.

2. Simultan

H0: Leverage dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility

tidak berpengaruh secara simultan terhadap Agresivitas Pajak.

H1: Leverage dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pajak adalah kontribusi Wajib Pajak kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan

Pengertian pajak secara umum adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan

UU Nomor 28 Tahun 2007 dalam Resmi (2019:2) menjelaskan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat

Pengertian pajak menurut Undang-Undang No 16 tahun 2009 adalah “kostribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak