• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Sistem

Dalam dokumen PEMERINTAH DESA UNIT PEMERINTAHAN SEMU D (Halaman 55-87)

DALAM SISTEM PEMERINTAHAN

DI INDONESIA

(KASUS MASYARAKAT KANEKES KABUPATEN

LEBAK PROVINSI BANTEN)*

rintahan resmi. Pemerintah hanya mengakui keberadaanya dan mengawasi. Belanda tidak mengusik dan mengintervensi struktur organisasi dan tata kelolanya. Oleh karena itu, masyarakat adat tetap menyeleng garakan sistem kemasyarakatannya berdasarkan hukum adat masing-masing.

Menjelang kemerdekaan dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Per siapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Mochamad Yamin mengusulkan agar kesatuan masyarakat hukum pribumi (volksgemeenschappen) dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan formal di alam kemerdekaan sebagai pemerintahan kaki1 dengan cara dirasionalkan dan diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam forum yang sama Soepomo mengusulkan ia dijadikan daerah otonom kecil yang bersifat istimewa karena memiliki susunan asli2.

Akan tetapi, upaya memasukkan volksgemeenschappen atau indigenous peoples ke dalam sistem pemerintahan formal di alam kemerdekaan sampai dengan tahun 2014 tidak pernah ter laksana meskipun telah diundangkan UU No. 22/1948 dan UU No. 19/1965. Berdasarkan UU No. 22/1948 volksgemeen- schappen dijadikan daerah otonom kecil yang bersifat istimewa sedangkan ber- dasarkan UU No. 19/1965 dijadikan daerah otonom tingkat tiga berdasarkan hak asal usul dan adat istiadanya dengan nomenklatur Desapraja dan ketika sudah berkembang menjadi urban dijadikan daerah otonom tingkat tiga biasa. UU No. 22/1948 belum sempat merealisir volksgemeenschappen menjadi daerah otonom kecil yang bersifat istimewa karena terjadi perang mempertahankan keberadaan Republik Indonesia karena Belanda masuk kembali. Begitu juga UU No. 19/1965 belum sempat diimplementasikan karena terjadi pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.

Meskipun demikian, keberadaan volksgemeenschappen sudah hilang karena UU No. 19/1965 mencabut IGO 1906 dan IGOB 1938. Menurut UU No. 19/1965 semua volksgemeenschappen dikon versi menjadi Desa Praja (daerah otonom formal berbasis asal-usul dan adat istiadatnya). Desa Praja adalah bentuk transisi dari volksgemeenschappen menuju daerah otonom biasa. Desa, marga, nagari, dan sebagainya yang masih kental dengan hukum adatnya dijadikan Desa Praja terlebih dahulu. Selanjutnya Desa Praja yang sudah maju dan berciri urban dirubah menjadi daerah otonom biasa.

1 Sekretariat Negara RI, Risalah Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI 28-22 Agustus 1945, Jakarta, Setneg, 1995, hal. 22

2 RM. A.B. Kusuma, Lahirnya UUD 1945, Jakarta, Pusat Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009, hlml. 363

UU No. 19/1965 kemudian diganti dengan UU No. 5/1979. UU No. 5/1979 bukan menghidupkan kembali volksgemeenschappen tapi membentuk lembaga baru pada bekas volksgemeenschappen dengan nomenklatur Pemerintah Desa. Lembaga baru bentukan UU No 5/1979 adalah lembaga semi formal untuk melaksanakan tugas pemerintah atasan yang tidak ada kaitannya dengan volksgemeenschappen juga bukan kelanjutan dari Desa Praja. Lembaga baru ini mirip lembaga ku zaman penjajahan Jepang3. Lembaga baru ini dikenal sebagai desa dinas.

Pada tahun 2000 UUD 1945 diamandemen. Pasal 18 ditambah dengan Pasal 18 A dan 18 B. Pasal 18 B ayat (2) memuat norma, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masya rakat beradab, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip NKRI. Berdasarkan Pasal 18 B ayat (2) ini maka keberadaaan volksgemeenschappen yang sudah dihapus oleh UU No. 19/1965 diakui kembali tapi dengan tiga syarat: 1) masih hidup; 2) per kem bangannya sesuai dengan kehidupan masyarakat beradab; dan 3) sesuai dengan prinsip- prinsip NKRI. Berdasarkan norma Pasal 18 B ayat (2) tersebut dibuatlah UU No. 6/2014. UU ini mengatur dua Desa: 1) Desa dinas dan 2) Desa Adat.

Dengan adanya pengaturan desa adat yang maksudnya adalah volksgemeenschappen atau indigenous peoples keberadaan dan hubungan antar pemerintahan menimbulkan pertanyaan. Volksgemeenschappen secara juridis sudah dihapus oleh UU No. 22/1948, UU No. 19/1965, dan UU No. 5/1979. Jika demikian, maka volksgemeenschappen seharusnya sudah tidak eksis. Akan tetapi, setelah 66 tahun dihapus dari sistem pemerintahan tiba-tiba dihidupkan kembali melalui pengaturan UU No. 6/2014. Apakah masih ada yang hidup? Jika masih ada yang hidup bagaimana tata kelola dan hubungannya dengan pemerintah atasan? Sesuai dengan laporan Aliansi Masyarakat Hukum Adat Nusantara (AMAN)4 terdapat masyarakat adat, indigenous peoples yang masih hidup di beberapa daerah.

Berdasarkan masalah tersebut diajukan pertanyaan penelitian, “Apakah di pulau Jawa volksgemeenschappen atau indigenous peoples masih ada yang hidup dan jika masih ada bagaimana tata kelolanya?”. Untuk menjawab 3 Hanif Nurcholis, Pemerintahan Desa: “Unit Pemerintahan Palsu” dalam Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (Kasus Desa Jabon Mekar, Parung, Kabupaten Bogr), dalam Jurnal Politica, Vol. 5, No. 1, Juni 2014, hal. 79-94

4 H. Panggabean, Pemberdayaan Hak Mahudat, Masyarakat Hukum Adat Mendukung Kegiatan Otonomi Daerah, Jakarta, Permata Aksara, 2011

pertanyaan tersebut dilakukan penelitian lapangan pada masyarakat Kanekes di Desa Baduy, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Masyarakat Kanekes dipilih karena berdasarkan tulisan Asep Kurnia dan Ahmad Sihabudin (2010) masyarakat Kanekes sampai sekarang masih memelihara adat istiadatnya dengan ketat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan keberadaan masyarakat adat Kanekes dari sisi sosial, ekonomi, budayanya, dan tata kelola pemerintahannya serta hubungannya dengan pemerintah atasan. Data diambil dengan pengamatan lapangan, kajian pustaka dan dokumen, wawancara mendalam dengan key informan (kepala jaro, sekretaris desa, dan tokoh-tokoh masyarakat Baduy), dan focus group discussion (FGD). Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Untuk memahami volksgemeenschappen atau indigenous peoples dilakukan dengan pendekatan hukum adat dan konvensi ILO No. 169 Tahun 1989. Van Vollenhoven5 menjelaskan bahwa masya rakat hukum adat adalah suatu kesatuan kemasyarakatan yang dibentuk anggota masyarakat sendiri karena adanya otoritas dan kewibawaan untuk membentuk, mengembangkan, dan mem bina aturannya sendiri. Ter Haar6 menjelaskan bahwa per sekutuan masyarakat hukum adat terdiri atas kelompok-kelompok yang ter susun dengan tertib dan bersifat tetap dan mempunyai peme rintahan sendiri, dan mempunyai harta kekayaan baik material maupun immaterial. Kesatuan masyarakat juga memiliki benda-benda yang serba suci, nampak ikatan kekeluargaan dan keturunan sama dari anggota-anggota persekutuan yang berasal dari nenek moyang yang sama, menyelenggarakan hal ihwal yang perlu bagi subyek- subyek hukum dan yang mengambil dalam lalu lintas hukum7. Jimly Asshidiqqi8 menjelaskan kesatuan masyarakat adat merujuk kepada pengertian masyarakat organik yang mengelola tata pemerintahannya berdasarkan hukum adat. ILO Convention Nomor 169, Pasal 1 menjelaskan9,

a) tribal peoples in independent countries whose social, cultural and economic conditions distinguish them from other sections of the national community, and whose status is regulated wholly or partially by their own customarys or traditions or by special laws or regulations; b) peoples in independent countries who are regarded as indigenous

on account of their descent from the populations which inhabited the 5 Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2010, hlm. 139 6 Ter Haar, et al., Asas-Asas dan Tatanan Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm. 7 7 Ibid

8 Jimly Asshiddiqy, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 77-78 9 ILO Convention No. 169, 1989.

country, or a geographical region to which the country belongs, at the time of conquest or colonisation or the establishment of present state boundaries and who, irrespective of their legal status, retain some or all of their own social, economic, cultural and political institutions.

B. TEMUAN DAN PEMBAHASAN

1. Gambaran Umum Desa Kanekes

Masyarakat Kanekes tinggal di wilayah kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes atau Baduy, Kecamatan Leuwidamar, Kabu paten Lebak, Provinsi Banten. Jarak antara Desa Kanekes dengan ibu kota Kabupaten

Lebak (Rangkas Bitung) sekitar 40 Km. Secara geograis, wilayah Kanekes terletak pada koordinat 6°27’27”- 6°30’0” LS dan 108°3’9”- 106°4’55” BT. Wilayah ini merupakan bagian dari pegunungan Kendeng dengan

ketinggian 300-600 m di atas permukaan laut (DPL). Topo grainya berbukit

dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%. Tanahnya berupa tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). Suhu rata-rata daerah tersebut adalah 20°C. Luasnya 5.130 hektar.

Jarak Desa Kanekes dari ibu kota Kecamatan Leudamar ± 17 Km, dari ibu kota Kabupaten Lebak (Rangkasbitung) ± 40 Km, dari ibu kota Kabupaten Serang ± 95 Km, dan dari Jakarta ± 150 Km. Posisinya terletak sebelah barat daya Jakarta. Desa Kanekes berada di tengah pegunungan. Jalan jalan raya tidak masuk ke wilayah ini. Akses masuk ke sana berupa jalan tanah setapak. Untuk mencapai Desa Kanekes-Dalam akses terdekat adalah melalui Desa Ciboleger (Jawa Barat). Dari Desa Ciboleger berjalan kaki pada jalan tanah setapak dan naik turun bukit kurang lebih satu jalan perjalanan. Jalan setapak kecil tersebut pada bagian yang naik dan turun perbukitan diperkeras dengan batu kali yang disusun memanjang. Lebar susunan batu sekitar satu meter. Jika hujan, jalan tanah ini becek dan licin. Tanahnya sebagian besar ditanami berbagai jenis pohon sebagai hutan lindung milik adat. Sebagian tanah digunakan tempat tinggal. Sebagian lagi dijadikan tegalan untuk menanam padi gogo dan tanaman lainya. Desa Baduy tidak mempunyai tanah desa/kas desa untuk membiayai pemerintahan/pembangunan dan tanah bengkok/jabatan untuk pengurus desanya sebagaimana desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hanya ada tanah untuk Pu’un yang diberikan secara turun menurun.

Desa Kanekes memiliki batas-batas sebagai berikut. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Bojongmenteng Kecamatan Leuwidamar; Desa Cisimeut Kecamatan Leuwidamar, dan Desa Nyagati Kecamatan Leuwidamar. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Karangsombong Kecamatan Muncang dan Desa Cilebang Kecamatan Muncang. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cikate Kecamatan Cijaku. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Parakanbeusu Kecamatan Bojongmanik, Desa Keboncau Kecamatan Bojongmanik, dan Desa Karangnunggal Bojongmanik. Adapun batas-batas alamnya adalah sebagai berikut. Sebelah Utara dibatasi dengan sungai Ciujung, sebelah Timur dibatasi sungai Cisimeut, sebelah selatan dibatasi sungai Cidikit, dan sebelah Barat dibatasi sungai Cibarani.

2. Gambaran Masyarakat Kanekes

Masyarakat Kanekes atau Baduy adalah bagian dari suku Sunda.

Bentuk isiknya sama dengan orang Sunda pada umumnya. Bahasa

yang digunakan adalah bahasa Sunda. Sebagian pakar ber pendapat bahwa masyarakat Kanekes adalah sisa masyarakat Sunda kuno yang mengasingkan diri dari pengaruh Kesultanan Islam Banten. Mereka tidak mau menerima agama dan tatanan baru yang dibawa oleh Sultan Banten lalu mengasingkan di pedalaman pegunungan Kendeng. Di sini mereka menutup diri dari pengaruh luar dengan mempertahankan adat istiadat yang diwariskan leluhurnya secara ketat sampai sekarang. Jumlah mereka adalah 11.627 orang yang tersebar dalam 72 RT dan 25 RW. Berdasarkan kelompok umur, masyarakat Kanekes terdiri atas masyarakat usia produktif yang jumlahnya sekitar 50%, kelompok masyarakat anak-anak sekitar 30%, dan 20% adalah kelompok orang tua.

Masyarakat Kanekes disebut juga masyarakat Baduy. Sebutan "Baduy" awalnya diberikan oleh peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan suku asli Arab Badwi, yang hidup berpindah-pindah (nomaden) dan mencari penghidupan dengan cara beternak. Selain itu, juga ada peneliti yang menghubungkan dengan sungai Cibaduy dan gunung Baduy yang ada di bagian utara wilayah tersebut. Karena mereka tinggal di sekitar sungai Cibaduy dan gunung Baduy maka disebut masyarakat Baduy. Akan tetapi, mereka sendiri lebih menyukai disebut sebagai “Urang Kanekes "

sesuai dengan nama wilayah yang mereka tinggali atau sebutan lain yang mengacu kepada nama kampungnya seperti Urang Cibeo10.

Masyarakat Kanekes/Baduy dilihat dari letak geograis dan pola kehidupannya terbagi menjadi tiga kelompok: tangtu, panamping, dan dangka11. Kelompok tangtu adalah kelompok masyarakat inti yang disebut Kanekes-Dalam atau Baduy-Dalam. Kelompok masyarakat ini paling ketat mengikuti adat. Mereka tinggal di tiga dukuh/kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Kelompok masyarakat panamping adalah masyarakat Kanekes Luar (Baduy-Luar). Mereka tinggal di 51 dukuh/kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam: Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan sebagainya. Kelompok dangka adalah masyarakat Kanekes yang tinggal di luar Baduy-Dalam dan Baduy-Luar. Saat ini mereka menghuni di dua dukuh/kampung: 1) Padawaras atau Cibengkung dan 2) Sirahdayeuh atau Cihandam12.

Mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah bertani dan berkebun di ladang kering. Jenis tanamannya adalah padi, pisang, mangga, pohon sengon, dan lain-lain. Di samping itu, sebagian juga ada yang membuat kain tenun, mengambil madu di hutan, dan membuat kerajinan khas dari bahan alam yang ada di sekitar. Hasil tanaman lebih digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten). Sebagian kecil saja yang diper jualbelikan di pasar.

Status tanah yang ditempati penduduk untuk mendirikan rumah dan tegalan untuk menanam padi dan tanaman lainnya adalah tanah milik bersama, komunal. Tanah ini dibagikan kepada kepala keluarga berupa petak-petak untuk tempat tinggal dan untuk lahan pertanian secara turun temurun. Model pembagiannya ditentukan dalam musyawarah Pu’un dan para Jaro. Pu’un adalah kepala suku sedangkan Jaro adalah semacam kepala desa. Tanah yang masih berupa hutan dipertahankan sebagai hutan lindung. Tanah ini tidak boleh dibagikan kepada anggota masyarakat. Masyarakat merawat, memelihara, dan mempertahankan hutan lindung sebagaimana nenek moyangnya melakukan. Masyarakat 10 Garna, Y., Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, dalam Koentjaraningrat

& Simorangkir, (Editor) Seri Etnograi Indonesia No.4, Jakarta, Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama, 1993

11 Permana, C.E., Kesetaraan Gender Dalam Adat Inti Jagat Baduy, Jakarta, Wedatama Widya Sastra, 2001

diperkenankan memanfaatkan hasil hutannya tapi tidak boleh merusaknya. Akan tetapi, sejak lima tahun terakhir sejalan dengan terus bertambahnya populasi masyaraskat Kanekes, telah dibuka lahan baru untuk diberikan kepada generasi baru yang belum mendapatkan bagian tanah dari orang tuanya.

Masyarakat Kanekes tinggal di rumah sederhana. Rumah terbuat dari bahan-bahan yang terdapat di alam sekitarnya. Rangkanya terbuat dari kayu jati atau kayu pohon kelapa atau kayu albasiah. Atapnya terbuat dari ijuk atau daun pohon kelapa. Pengait antarrangka terbuat dari pasak yang dibuat dari kayu. Dindingnya ter- buat dari anyaman bambu. Rumah berbentuk panggung di atas tanah dengan ketinggian kira-kira satu meter dari tanah. Lantainya terbuat dari batang-batang bambu ukuran kecil yang dihimpitkan lalu dilapisi gelaran lampit, anyaman bambu yang dijadikan semacam karpet. Tiang-tiang utamanya diletakkan di atas batu kali. Rumah hanya memiliki satu pintu depan, tidak ada pintu belakang. Jarak antar satu rumah dengan rumah di sebelah kanan-kirinya sekitar 3 meter. Rumah dibangun berjejer berdempetan dan saling berhadapan yang dipisahkan oleh jalan sempit kira-kira 2 meter. Ruangan terdiri atas tangga, golodog, sosoro, dan imah; dan tidak boleh dibangun di depan rumah Pu’un dan balai adat. Perabot rumah tangga terdiri atas dangdang, kuali, kukusan, hihid, lumpang, kuluwung, boboko, mangkuk, somong (gelas bambu), dan botol besar tempat air minum. Mereka masak dengan tungku.

Di dukuh/kampung Cibeo terdapat 98 rumah. Menurut Jaro Samin, semua rumah dibangun dengan cara gotong royong. Setiap mendirikan rumah dilakukan upacara adat. Upacara dipimpin Pu’un. Pemilik rumah dan warga membuat sesaji dan melakukan selamatan demi mendapatkan

Gambar 2 Orang Baduy-Dalam Berjalan di Jalan Desa

keselamtan dari Tuhan Yang Maha Esa. Upacara pendirian rumah dihadiri oleh seluruh warga Baduy-Dalam, baik laki-laki maupun perempuan, anak- anak maupun dewasa.

Masyarakat Baduy-Dalam tidak memiliki dokumen kepen dudukan. Anggota masyarakat yang sudah dewasa tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Anak-anak mereka tidak mempunyai akte kelahiran. Jika suatu saat ada keperluan mendesak, misalnya harus berhubungan dengan instansi negara seperti dirujuk ke rumah sakit karena sakit, mereka baru mengurus dokumen administrasi kependudukan tersebut melalui jaro pamarentah di Baduy-Luar. Suami-istri tidak memiliki Surat Nikah yang dikeluarkan Kementerian Agama karena lembaga pernikahannya berdasarkan hukum adat, tidak berdasarkan hukum positif. Mereka memiliki model nikah adat yang tidak sama dengan model nikah negara. Model nikah adat tidak memerlukan legalitas dan hadirnya pejabat negara. Mereka mempunyai petugas, tata cara, dan ritual sendiri. Bagi warga yang memerlukan bukti tertulis akan pernikahannya, Kantor Pemerintah Desa Baduy-Luar membuat Surat Keterangan Nikah. Surat ini biasanya diperlukan warga ketika yang bersangkutan mengurus

akte kelahiran di Kantor Catatan Sipil dan pembuatan sertiikat untuk

tanah yang dibeli di luar Desa Kanekes. Warga yang tidak mempunyai kepentingan sepeti ini tidak memerlukan Surat Keterangan Nikah dari Kantor Desa Baduy-Luar.

Masyarakat Baduy-Dalam tidak terlibat dalam kegiatan politik kenegaraan: memilih kepala desa, Pemilu memilih anggota DPR/DPD/ DPRD, dan pemilihan presiden, gubernur, dan bupati. Menurut Jaro Samin partisipasi masyarakat dalam Pemilu diwujudkan dalam bentuk doa bersama. Dalam doa tersebut mereka memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar mendapat pemimpin yang baik dan amanah. Untuk doa bersama tersebut, mereka mengutus Jaro Indah ke Pemerintah Provinsi melalui Bupati Lebak. Mereka minta Gubernur dan Bupati mendukung doa bersama dan mohon izin untuk tidak terlibat dalam pemilihan kepala desa/kepala daerah/presiden dan pemilihan umum. Alasannya adalah adat tidak mengajarkan. Di samping itu, kegiatan politik demikian dikhawatirkan merusak harmoni masyarakat. Masyarakat Kanekes sangat mementingkan harmoni.

Masyarakat Baduy tidak mengenal jual beli atau sewa menyewa tanah. Kepemilikan lahan hutan untuk dibuka menjadi lahan ladang dapat tumpang tindih antar keluarga. Luasnya lahan yang dimiliki tidak ada ketentuan khusus, tergantung kemampuan tiap-tiap keluarga yang membuka lahan. Masyarakat berpendapat bahwa mereka bukan pemilik lahan, tetapi hanya sebagai pemilik lahan garapan. Yang menentukan sifat kepemilikan dari lahan tersebut adalah tanamannya. Pemilikan tanaman dapat diwariskan pada keturunannya dengan tanpa membedakan perempuan atau laki-laki13. Masyarakat Baduy melakukan pola hidup sederhana ber dasarkan adat. Mereka tidak mau menggunakan perkakas yang dipakai orang lain hasil produk pabrik. Mereka masak dengan kendil dari tanah, piringnya dari batok, dan tempat minumnya dari bambu. Alat penerangannya dari lampu teplok dengan minyak kelapa buatan sendiri. Mereka menolak diberi aliran listrik sehingga di Desa Baduy-Dalam tidak ada televisi dan lampu listrik. Mereka juga menolak menggunakan alat-alat komunikasi dan transportasi modern seperi telepon seluluer, kendaraan bermotor, dan mobil. Mereka pergi kemana-mana dengan berjalan kaki dengan kaki telanjang. Mereka memenuhi keperluan hidupnya secara mandiri dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di sekitarnya. Makanan dipenuhi dari padi yang ditanam sendiri; pakaiannya dari buatan sendiri; dan rumah dari bahan-bahan alam yang di sekitarnya dan didirikan bersama dengan gotong royong. Masya rakat Kanekes-Dalam tidak diperkenankan menggunakan angkutan umum, sepeda motor, mobil, telepon seluler, televisi, dan bersepatu/sandal. Mereka menggunakan kain berwarna hitam/putih hasil tenunan dan jahitan sendiri.

Masyarakat Kanekes khususnya di Baduy-Dalam, tidak mengenal lembaga sosial bentukan negara seperti RT, RW, PKK, Dasa Wisma, dan lain-lain. Tata kelola pemerintahannya dijalankan berdasarkan norma hukum adat. Setiap Desa dipimpin oleh jaro dan para jaro tunduk kepada Pu’un. Dalam masyarakat Kanekes, terdapat pelapisan masyarakat: tangtu, panamping dan dangka. Tangtu tinggal di Baduy-Dalam, panamping tinggal di Baduy-Luar, sedangkan dangka tinggal di luar desa Kanekes. Pelapisan tersebut didasarkan pada tingkat kesucian dan ketaatan kepada adat. Tangtu dianggap lebih tinggi dibanding penamping, dan 13 Ibid

penamping lebih tinggi daripada dangka. Tangtu dalam pengertian masyarakat Baduy dianggap sebagai pendahulu atau cikal bakal (pokok), baik dalam arti pangkal keturunan ataupun pendiri pemukiman. Orang Baduy menganggap suci tanah tempat tinggal masyarakat tangtu. Oleh karenanya Baduy-Dalam seringkali disebut Tanah Larangan, yaitu daerah yang dilindungi. Penamping yang berasal dari kata tamping atau buang, dianggap sebagai tempat bagi orang tangtu yang dibuang atau dikeluarkan karena melanggar adat. Penamping juga sering diartikan sebagai pinggir atau daerah pinggiran. Walaupun tinggal di daerah penamping, semua anggota masyarakat masih harus terikat pada tangtu masing-masing yang sudah ditetapkan berdasarkan musyawarah. Sebagai contoh, warga kampung Cihulu harus mengikuti tangtu Cibeo, warga Cisaban harus mengikuti tangtu Cikartawana dan warga Cibengkung harus mengikuti tangtu Cikeusik. Adapun dangka, yang artinya “rangka atau kotor” dianggap sebagai tempat pembuangan warga Baduy yang melanggar adat. Walaupun tinggal di daerah yang berada di luar wilayah Kanekes, namun mereka masih merupakan pendukung budaya dan keturunan Baduy. Ketelibatan mereka hanyalah dalam kegiatan adat, karena pada dasarnya mereka telah kehilangan status sebagai warga masyarakat Baduy14.

Penduduk Baduy menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka mengaku beragama Selam, bukan Islam. Menurut mereka agama Selam adalah agama yang dibawa langsung oleh Nabi Adam, jauh sebelum Nabi Muhammad lahir. Jadi, menurut mereka agama masyarakat Kanekes lebih tua daripada agama orang Islam di luar Baduy. Dalam agama Sunda Wiwitan atau Selam, mereka meyakini adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta yang menurunkan ajaran Nabi Adam, leluhur masyarakat Kanekes. Ajaran ini menekankan kepada pemeluknya agar menjalani kehidupan selalu mengandung nilai ibadah:

Dalam dokumen PEMERINTAH DESA UNIT PEMERINTAHAN SEMU D (Halaman 55-87)

Dokumen terkait