• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMERINTAH DESA UNIT PEMERINTAHAN SEMU D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMERINTAH DESA UNIT PEMERINTAHAN SEMU D"

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERINTAH DESA

Unit Pemerintahan Semu

Dalam Sistem Pemerintahan NKRI

(2)

PEMERINTAH DESA

UNIT PEMERINTAHAN SEMU

DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NKRI

Naskah : Prof. DR. Hanif Nurcholis, M. Si.

Layout dan Ilustrasi : Kuswoto

Artistik : Adim Goekid

Desin Sampul : Dika MDP

Cetakan Pertama, Maret 2015 Cetakan Kedua, April 2016 Cetakan Ketiga, Februari 2017

Pemasaran Oleh:

Bee Media Indonesia

Jl. Setu Tipar No 5, Cibubur, Jakarta 13710 Telefaks: (021) 2938 3264

e-mail: bee_media@yahoo.com

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Prof. DR. Hanif Nurcholis, M. Si.

Pemerintah Desa, Unit Pemerintahan Semu Dalam Sistem Pemerintahan NKRI.

Cet-3 Jakarta; Bee Media Pustaka, 2017 xvi + 179 hlm; Uk. 15,5 cm x 23,5 cm ISBN 978-602-6227-13-3

Diterbitkan oleh: Bee Media Pustaka

Jl. Setu Tipar No 5, Cibubur, Jakarta 13710 Telefaks: (021) 2938 3264

(3)

Pada Sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, Soepomo menyampaikan, antara lain:

“Sungguh benar, dasar dan bentuk susunan dari sesuatu negara itu berhubungan erat dengan riwayat hukum (Rechtsgeschichte) dan lembaga sosial (sociale structuur) dari negara itu. Berhubung dengan itu apa yang baik dan adil untuk sesuatu negara, belum tentu baik dan adil untuk negara lain, oleh karena keadaan tidak sama.

Tiap-tiap negara mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri berhubung dengan riwayat dan corak masyarakatnya. Oleh karena itu, politik pembangunan Negara Indonesia haruslah disesuaikan dengan sociale structuur masyarakat Indonesia yang nyata pada masa sekarang serta harus disesuaikan dengan panggilan zaman…”

Dari kaca mata filsafat hukum, uraian Soepomo terkesan sangat dipengaruhi ajaran kesejarahan von Savigny, sesuatu yang dapat diterima sebagai bagian dari upaya membangun negara dengan “sistem sendiri”. Uraian tersebut – antara lain – menjadi dasar mempertahankan dan memelihara susunan pemerintahan desa dan susunan asli lainnya, sebagai susunan pemerintahan asli bangsa Indonesia.

Kehadiran pemerintahan desa dan susunan lain yang serupa, lebih ditegaskan Muhammad Yamin dalam uraian di hadapan BPUPKI tanggal 11 Juli 1945:

“Dengan ringkas, penyusunan negara yang tertuju ke sebelah dalam, dapatlah saya gambarkan seperti berikut: pemerintah dalam republik ini pertama-tama akan

KATA PENGANTAR

oleh

(4)

tersusun dalam badan-badan masyarakat seperti desa, yaitu susunan pemerintah yang paling bawah. Pemerintah ini saya namakan pemerintah bawahan…perkara desa…supaya sifatnya nanti diperbaharui atau disesuaikan dengan keperluan zaman baru”

Berdasarkan dua kutipan di atas (dan didapati lagi pada pidato-pidato selama persidangan BPUPKI dan PPKI), dapat disimpulkan kehadiran pemerintahan desa diterima sebagai bagian integral susunan organisasi negara Indonesia merdeka. Karena itu, sejak Rancangan Pertama UUD sampai disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 tidak terdapat perubahan rumusan tentang kehendak tetap menghadirkan pemerintahan desa:

“Pembagian daerah Indonesia dalam daerah-daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan Pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan daripada sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dari daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Penjelasan UUD 1945, antara lain, menyebutkan:

“II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat ±250 ‘Zelfbesturende landschappen’ dan ‘Volksgemenschappen’ seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu merupakan susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara mengenai daerah itu akan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut”.

(5)

selama Revolusi dan Perang Kemerdekaan melawan Belanda antara 1945-1949.

Upaya menerapkan pemerintahan desa dalam susunan organisasi Negara Indonesia lebih dipertegas dalam Perubahan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 18B.

“(1). Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.

Ketentuan ayat (1) menyangkut pengakuan atas pemerintahan daerah khusus seperti Aceh, Papua, Yogyakarta, dan Jakarta sebagai ibukota negara. Ketentuan ayat (2) adalah ketentuan khusus tentang desa dan yang serupa sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat menurut hukum adat (adat rechtsgemeenschappen).

Mengapa Indonesia merdeka berkehendak meneruskan pemerintahan desa? Selain pertimbangan kesejarahan (pemerintahan asli) dan sebagai bagian dari “sistem sendiri” susunan organisasi negara, ada beberapa pertimbangan lain meneruskan pemerintahan desa. Pertama; meskipun asli, susunan pemerintahan desa dapat digolongkan sebagai corak demokrasi modern yang tidak kalah dengan demokrasi yang dijalankan pada Polis Yunani. Paling tidak ada dua ciri demokrasi modern pada pemerintahan desa, yaitu:

(6)

(2) Pemerintahan desa dijalankan atas dasar permusywaratan antar “tetua-tetua desa” yang dianggap mewakili rakyat desa.

Berdasarkan dua ciri tersebut, van Vollenhoven menyebut pemerintahan desa sebagai republik (lihat, Staatsrecht Over Zee). Hal ini sejalan dengan pandangan Kranenburg yang menyebutkan salah satu ciri republik adalah jika pimpinan pemerintahan dipilih, bukan turun temurun (lihat, Algemene Staatsleer).

Selain dua alasan di atas, memelihara dan mempertahankan pemerintahan desa dapat ditinjau juga dari perspektif otonomi daerah. Baik di masa-masa kerajaan-kerajaan tradisional maupun di masa kolonial, pemerintahan desa diakui dan dibiarkan (erkenning, overgelaten) untuk mengatur dan mengurus urusan sendiri (autonomie). Bahkan dikenal semacam pemerintahan desa khusus (istimewa) seperti “desa perdikan” di Kerajaan Jawa. Selain fungsi demokrasi, corak utama otonomi adalah sebagai bagian dari melaksanakan fungsi pelayanan publik (public services) sebagai wujud negara kesejahteraan (welfare state, verzorgingsstaat).

Namun, ada satu hal penting dan perlu diperhatikan dalam mempertahankan pemerintahan desa. Di atas telah dikutip pidato Soepomo di hadapan Sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 yang, antara lain, menyebutkan: “Oleh karena itu politik pembangunan Negara Indonesia haruslah disesuaikan dengan sociale structuur masyarakat Indonesia yang nyata serta harus disesuaikan dengan perkembangan zaman”.

Sepanjang berkaitan dengan pemerintahan desa, pernyataan Soepomo mengandung makna, pemerintahan desa akan bertahan dan bermakna dalam susunan organisasi Negara Indonesia apabila isi dan tata cara pemerintahan desa disesuaikan dengan kenyataan dan mengikuti perubahan zaman. Tanpa penyesuaian dengan kenyataan (politik, sosial, ekonomi, dan budaya) yang berubah, pemerintahan desa justeru dapat menjadi penghalang kemajuan masyarakat desa atau masyarakat pada umumnya. Inilah pula makna Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan: “… sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia…”

(7)

Muhammad Yamin – menjadikan desa sebagai “kaki bagian bawah susunan organisasi negara Indonesia merdeka”. Kaki bagian bawah dalam angan-angan Yamin adalah desa, selain sebagai penopang Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah tempat melihat perwujudan cita-cita keadilan dan kesejahteraan sosial atau seperti ungkapan Bung Karno: “masyarakat gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo”.

Kenyataannya adalah sebaliknya. Di desalah kita menemukan keterbelakangan dan kemiskinan yang paling nyata. Proses pemiskinan ini dapat berlangsung terus (bahkan mungkin lebih intensif) karena ekspansi dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang merambah sampai ke desa-desa, seperti penguasaan tanah oleh para kapitalis dan dibantu oleh aparat pemerintah untuk menguasai tanah-tanah untuk perkebunan, dan lain-lain. Rakyat yang semula mempunyai hak atas tanah berubah status menjadi pekerja-pekerja perkebunan dengan upah rendah karena tidak ada pilihan. Pilihan lain adalah berpindah ke kota menjadi buruh kasar di kota atau bekerja serabutan, atau menjadi peminta-minta. Hal semacam ini telah disinyalir dan dikhawatirkan Bung Karno, seperti yang ditulis dalam “Sarinah”.

Salah satu rubrik dalam “Sarinah” secara retorik Bung Karno menanyakan perbedaan antara Marhaen dan Proletar. Marhaen – kata Bung Karno – memiliki tanah walaupun tidak luas. Karena memiliki tanah, Marhaen merdeka, tulis Bung Karno. Sebaliknya, Proletar tidak memiliki apapun, kecuali tenaga yang dijual kepada kaum kapitalis. Suatu ungkapan yang diambil dari Marx. Kaum Proletar tidak merdeka karena sepenuhnya tergantung pada kapitalis yang mempekerjakan atau tidak memperkerjakan mereka.

(8)

Tanpa “mengganggu” hal-hal di atas, pemerintahan desa menjadi alat kolonial untuk kepentingan lain. Pemerintah desa dibebani tugas menjaga keamanan, ketertiban umum, termasuk menjadi alat pemungut pajak untuk kepentingan kolonial. Apakah akibat politik semacam itu terhadap desa? Rakyat desa dibiarkan hidup dalam suasana tradisional, tidak diberi peluang apalagi diikutsertakan dalam berbagai proses kemajuan (politik, ekonomi, dan sosial). Oleh karena itu, tidak mengherankan di desa-desalah tempat nyata kemiskinan dan keterbelakangan. Tentu saja tidak adil dan tidak sesuai dengan kenyataan mengatakan: “tidak ada kemajuan di desa”.

Terutama sejak merdeka, telah terjadi mobilitas sosial, baik secara vertikal maupun horizontal, masyarakat (rakyat) desa. Pada saat ini didapat banyak sekali putra-putri desa menjadi atau berperan penting dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, di sebelah itu, kepada kita disodorkan kenyataan-kenyataan lain, seperti anak-anak yang berjalan berkilo-kilo meter melalui jalan-jalan tikus, bahkan harus menyeberangi sungai menuju sekolah, ruang sekolah seadanya (berlantai tanah beratap rumbia), guru tunggal yang hanya mendapat imbalan (honorarium) 200-300 ribu per bulan, ribuan desa tanpa listrik, langka air bersih, dan lain-lain. Semuanya adalah cermin keterbelakangan desa.

Pada saat ini ada berbagai program untuk pembangunan desa, terutama yang berkaitan dengan infrastruktur. Akan tetapi semestinya, pembangunan semacam itu, perlu lebih mengedepankan membangun manusia agar seperti disebut Bung Hatta menjadi orang atau kelompok yang “self help”, menjadi manusia mandiri.

Dari beberapa catatan di atas, bagaimana semestinya pemerintahan desa diatur dan dijalankan? Selama ini terkesan, paling tidak, ada tiga aspek yang ditekan-tekankan dalam mengatur pemerintahan desa. Pertama, aspek birokrasi, yaitu menempatkan pemerintahan desa sebagai kesatuan birokrasi penyelenggaraan pemerintahan negara. Pendekatan ini ditujukan untuk beberapa hal seperti:

(9)

lebih mudah menetapkan kebijakan, mudah mengawasi, sambil melupakan bahwa sebagai masyarakat hukum, desa itu bermacam-macam sesuai dengan keanekaragaman masyarakat Indonesia.

(2) Menekankan pada upaya agar pemerintahan desa tetap “asli” sebagai cermin “keistimewaan” masyarakat Indonesia.

Kedua, aspek politik. Ada beberapa aspek politik pengaturan pemerintahan desa.

(1) Menekankan pemerintahan desa harus dibatasi agar tidak “mengusik” Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sangat berlebihan kalau pemerintahan desa dapat mengusik Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Menekankan tanggung jawab atau kewajiban-kewajiban publik terhadap pemerintahan. Bukan sebaliknya, fungsi pemerintahan terhadap publik menuju terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial rakyat desa.

(3) Menekankan pada partisipasi publik dalam peristiwa politik, seperti pemilihan umum. Bahkan, ada semacam mobilisasi untuk mendorong keikutsertaan publik.

Apa akibat pendekatan-pendekatan di atas? Selain pengaturan yang kompleks dengan ketentuan yang banyak, sehingga sulit dimengerti, apalagi dihayati oleh penyelenggara pemerintahan desa dan rakyat desa. Pengaturan semacam itu kurang mencerminkan kebutuhan riil masyarakat desa yang sederhana dan berpikir konkrit (sebagai bagian dari cara berpikir rakyat Indonesia: magis-religius, komunal, konkrit, kontan).

Di hadapan Anda-anda, terhampar buku yang berjudul “Pemerintah Desa: Unit Pemerintahan Semu Dalam Sistem Pemerintahan NKRI”, yang ditulis oleh Prof. Dr. Hanif Nucholis, M.Si, seorang dosen yang mendalami seluk beluk pemerintahan desa. Buku ini tidak sekedar deskripsi normatif perjalanan pemerintahan desa, melainkan didapati berbagai gagasan suatu pemerintahan desa yang tidak sekedar sebagai “monument kesejarahan”, tetapi pemerintahan desa sebagai bagian dari tatanan pemerintahan modern Indonesia, demokratis, terkelola dengan baik (well managed) sebagai “avant garde” mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sentosa.

(10)

Dalam kaitan kesejahteraan rakyat, Adam Smith sebagai pencipta sistem kapitalisme mengingatkan: “No society can surely lourishing and happy, of which by far the greater of the number are poor and miserable”, tidak ada masyarakat yang bahagia dan sejahtera sepanjang bagian terbanyak (terbesar) rakyat masih miskin dan menderita. Frederick Engels mengingatkan: kemiskinan itu mempunyai akibat ganda “… that human being must irst of all eat, drink, shelter and close themselves before their can turn their attention to politics, science, art and religion”, manusia itu pertama-tama butuh makan, minum, tempat tinggal dan pakaian sebelum memberikan perhatian pada soal-soal politik, ilmu, seni, dan agama.

Bandung, Desember 2016

Prof. Dr. Bagir Manan

Guru Besar Hukum Tata Negara UNPAD

Mantan Ketua Mahkamah Agung

(11)

Buku ini bahan dasarnya adalah hasil penelitian Hibah Bersaing Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang status desa dinas dan kesatuan masyarakat hukum adat dalam sistem pemerintahan NKRI. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disusun makalah-makalah yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah maupun yang dipresentasikan dalam seminar dan simposium ilmiah. Temuan penelitian yang disampaikan dalam buku ini adalah bahwa UUD 1945 baik sebelum amandemen maupun sesudah amandemen tidak mengatur desa dinas. UUD 1945 pasca amanademen hanya memberi mandat kepada Negara untuk mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat (volksgemeecschappen) atau indigenous peoples (ILO Convention No. 169) sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip NKRI.

Temuan ini memperjelas perdebatan para pakar ilmu pemerintahan, ilmu administrasi negara, hukum tata negara, antropolog, dan sosiolog tentang status volksgemeecschappen yang disebut dalam Penjelasan Pasal 18 angka II UUD 1945 sejak pengundangan UU No. 5/1979 sampai sekarang. Dalam perdebatan tersebut terdapat dua pihak yang saling bertentangan. Kedua pihak sepakat bahwa UU No. 5/1979 keliru tapi alasannya berbeda. Pihak pertama berpendapat bahwa UU No. 5/1979 keliru karena menyeragamkan desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memilik hak asal-usul dan adat istiadat. Pihak pertama mendesak agar desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya dikembalikan lagi sebagaimana keadaan semula sebagai kesatuan masyarakat (hukum) adat pribumi dengan hak asal-usul dan adat istiadatnya “sesuai” dengan Penjelasan Pasal 18 angka II UUD 1945 (sebelum amandemen). Pada pihak kedua, kekeliruannya bukan penyeragamanan desa, nagari, marga, gampong tapi UU No. 5/1979 membentuk unit pada pemerintahan baru yang tidak diintegrasikan dalam sistem pemerintahan daerah formal. Hal ini berarti melenceng dari

(12)

konsepsi Hatta, Yamin, Soepomo, Pasal 18 UUD 1945 dan Penjelasannya, dan Rekomendasi MPR dalam TAP MPR Nomor IV Tahun 2000. Berdasarkan hal tersebut, pihak kedua mengusulkan agar desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya diubah dan ditransformasi menjadi daerah otonom formal. Pihak pertama diwakili oleh para sosiolog, antropolog, dan beberapa pakar ilmu peme rintahan sedangkan pihak kedua diwakili oleh para pengikut Hatta, Yamin, Soepomo, dan pembela konstruk Pasal 18 dan Penjelasannya UUD 1945, UU No. 22/1948, UU No. 19/1965, dan TAP MPR No. IV/2000.

Sejak implementasi UU No. 5/1979 opini yang dibangun pihak pertama sangat mendominasi wacana. Akan tetapi, ketika penulis menyusun Tesis di Universitas Indonesia tentang UU No. 5/1979 dan Otonomi Desa, guru/ pembimbing penulis, Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein mengingatkan bahwa founding fathers kita tidak berniat mengkonservasi apalagi mensakralkan desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya sebagai volksgemeenschappen apa adanya tapi mengintegrasikannya ke dalam sistem pemerintahan formal sebagai pemerintahan kaki (Mochammad Yamin) atau sebagai daerah otonom kecil istimewa karena memiliki susunan asli (Soepomo). Sayangnya, beliau tidak mengelaborasi lebih rinci atas pernyataannya tersebut sehingga penulis menjadi kebingunan untuk waktu yang lama.

Di tengah skeptimisme tersebut pada tahun anggaran 2012-2013 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerima proposal penelitian Hibah Bersaing penulis. Masalah yang diteliti adalah ketidakjelasan status desa dinas dalam sistem pemerintahan NKRI. Status desa dinas yang dibentuk oleh regim Soeharto melalui UU No. 5/1979 tidak jelas karena bukan satuan pemerintahan formal dan juga bukan komunitas yang mengurus dirinya sendiri berdasarkan hukum adat (volksgemeecschappen zaman Belanda atau kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat menurut UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2). Dengan pendekatan grounded dan kajian dokumen pernyataan guru penulis tersebut akhirnya terjawab. Buku ini memuat jawaban tersebut yang secara ringkas tercermin dalam judul buku.

(13)

adat atau indigenous peoples sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, ILO Convention 1989 (No. 169), dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Desa model ini adalah lembaga baru yang dibentuk oleh Negara melalui Undang-Undang. Kesatuan masyarakat hukum adat atau volksgemeenchappen atau indigenous peoples yang pada zaman Hindia Belanda diakui keberadaannya di bawah IGO 1906 dan IGOB 1938 secara juridis sudah dihapus oleh UU No. 19/1965. Konsekuensinya, semua volksgemeenchappen sudah tidak ada lagi karena telah berubah menjadi desa dinas.

Bahwa di beberapa wilayah masih terdapat volksgemeenchappen atau indigenous peoples, fakta ini adalah obyek material yang luput dari pengaturan UU No. 5/1979 juncto UU No. 22/1999 juncto UU No. 32/2004. Misal, di pulau Jawa sepanjang pengetahuan penulis masih tersisa satu volksgemeenchappen atau indigenous peoples yaitu masyarakat Kanekes yang menghuni Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat Kanekes masih eksis sebagai kesatuan masyarakat hukum adat atau indigenous peoples karena tidak mau tunduk kepada hukum positif. Ia tetap mengatur sistem kemasyarakatannya berdasarkan hukum adatnya sendiri, bukan berdasarkan hukum positip: UU No. 5/1979 juncto UU No. 22/1999 juncto UU No. 32/2004. Di pulau Jawa kesatuan masyarakat hukum adat di luar masyarakat Kanekes tidak ditemukan lagi keberadaaanya. Di luar Jawa sesuai dengan laporan AMAN masih terdapat banyak kesatuan masyarakat hukum adat atau indigenous peoples. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) Negara wajib mengakui dan menghormatinya. Oleh karena itu, UU No. 6/2014 seharusnya hanya mengatur kesatuan masyarakat hukum adat ini, tidak mengatur desa dinas.

(14)

sistem pemerintahan formal, tidak ditaruh di luar sistem sedangkan yang ditawarkan Soepomo adalah desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya dijadikan daerah otonom istimewa kecil karena memiliki susunan asli. Konsepsi Yamin dan Soepomo inilah yang dituangkan dalam UU No. 22/1948 dan UU No. 19/1965.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudyaaan yang telah membiayai penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Penerbit yang bersedia menerbitkan buku ini. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada guru penulis, Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein yang berhasil membuat penasaran penulis bertahun-tahun tentang kedudukan bekas volksgemeenschappen dalam struktur pemerintahan modern Indonesia merdeka. Kepada teman yang penuh pengorbanan Ace Sriati Rachman dan Ibnu Sina penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.

(15)

SEKAPUR SIRIH

Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan / atau hak tradisi onal yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Buku yang disajikan ini merupakan salah satu cara pendekatan untuk membuka wawasan, mengenal sejarah tentang desa dengan segala polemik dan potensi yang ada. Semoga yang disajikan dalam buku ini dapat memberikan pengayaan cakrawala baru dan menggugah kesadaran semua pihak bahwa desa membutuhkan sentuhan kebijakan serta perhatian untuk memunculkan potensi besar desa di Indonesia.

(16)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... xvi

Pendahuluan ... 1

Bab I Pemerintahan Desa: “Unit Pemerintahan Palsu” Dalam Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (Kasus Desa Jabon Mekar, Parung, Kabupaten Bogor) ... 15

Bab II Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia (Kasus Masyarakat Kanekes Kabupaten Lebak Provinsi Banten) ... 39

Bab III Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Dilihat Dari Pasal 18 B Ayat 2 UUD 1945 ... 71

Bab IV Kebijakan Pemerintah Dalam Pembangunan Desa ... 89

Bab V Tantangan Dan Prospek Implementasi UU No. 6/ 2014 Tentang Desa ... 115

Bab VI Tinjauan Kritis Terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa... 137

Daftar Pustaka ... 165

Indeks ... 173

(17)

Warga negara Indonesia yang tinggal di desa sebagian besar rendah pendidikan, rendah pendapatan, rendah keterampilan, rentan kesehatan bahkan sebagian di antaranya hidup di bawah kemiskinan. Rumah reot terbuat dari gedek dengan atap daun rumbia, perkampungan yang tidak tertata, lingkungan kumuh, jalan yang becek dan/rusak parah, gedung sekolah yang nyaris roboh, gizi buruk keluarga, tingkat kematian tinggi bagi ibu yang melahirkan, anak-anak berpenyakit, sawah dan ladang tanpa irigasi, irigasi yang rusak dan tidak berfungsi, tambak dan pantai yang rusak, air bersih/ minum yang sulit, kantor desa yang kosong pada jam pelayanan, dan kepala desa yang bergaya hidup borjuis di tengah-tengah kemiskinan rakyatnya adalah pemandangan umum di perdesaan. Desa yang agak makmur adalah desa-desa yang dekat dengan kota besar karena penduduknya mencari nafkah di kota. Makin jauh dari kota besar makin miskin penduduknya. Lembaga pemerintah desanya juga terbatas hanya memberikan surat pengantar surat-surat publik yang diperlukan penduduk ke kantor kabupaten. Adminstrasi pertanahannya tidak tertib karena buku tanah Letter C peninggalan Belanda tidak dipakai tapi tidak ada buku pengganti selengkap dan serinci Letter C. Pengurus desanya tidak mempunyai komptensi memberikan pelayanan publik karena mereka bukan government oficial dan/atau public servant profesional.

Salah satu faktor utama atas keadaan tersebut adalah belum direfor-masinya lembaga desa. Lembaga desa sejak zaman penjajah Belanda dan Jepang sampai dengan sekarang belum berubah. Lembaga desa tak beranjak dari lembaga masyarakat yang dikooptasi Negara dengan fungsi mediator, mobilisator, dan pengawas, watchdog penduduk, tidak dijadikan lembaga publik dengan tugas utama public service. Struktur organisasinya sederhana yaitu terdiri atas kepala desa, sekretaris desa dibantu oleh 6-9 staf. Semuanya bukan aparatur sipil negara tapi pengurus lembaga semi formal: antara komunitas dan lembaga negara. Lembaga desa sebagaimana diatur dalam UU No. 5/1979 jo UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004 jo UU No. 6/2014 (Pasal 1-95)

(18)

adalah lembaga warisan penjajah Jepang dengan status dan fungsi mediator, mobilisator, dan watchdog penduduk tersebut.

Dalam sejarah panjangnya, pada zaman kerajaan, desa menjadi obyek eksploitasi Raja. Dalam struktur feodal, Raja adalah penguasa mutlak atas orang desa dan tanah tempat penghidupannya. Oleh karena itu, orang desa harus memberi upeti kepada Raja melalui bekel/lurahnya. Bekel/lurah lalu menyerahkkan kepada patuh (kaki tangan punggawa). Patuh kemudian menyerahkan kepada punggawa (pejabat tinggi kerajaan). Setelah menerima upeti Raja tidak mempunyai kewajiban mengembalikan upeti yang diterima kepada rakyat desa dalam bentuk pemberian pelayanan publik untuk memakmurkan rakyat desa. Penduduk desa disuruh mengatur dan mengurus urusannnya sendiri sesuai dengan adat istiadat masing-masing. “Silakan memakmurkan diri sendiri. Aku tidak ikut ikut campur tangan”, titah sang Raja. Bagi Raja, apakah penduduk desa makmur atau sengsara bukan suatu masalah, yang penting penduduk desa memberi upeti karena menggarap tanah “milik” Raja1.

Ketika kompeni/VOC menguasai desa karena diserahkan Raja yang hutang budi, nasib penduduk desa tidak berubah karena kompeni/VOC melanjutkan model fedoal tersebut. Penduduk desa tetap memberi upeti kepada kekuasan lebih tinggi. Bedanya kalau sebelumnya penerima akhir adalah Raja kali ini berubah menjadi Kompeni/VOC. Kompeni/VOC juga tidak mengembalikan upeti yang diterima kepada penduduk desa dalam bentuk pelayanan publik untuk menciptakan kemakmuran masyarakat desa. Bahkan kompeni/VOC memberi beban tambahan kepada penduduk desa berupa kerja rodi, heerendiesnten untuk mengerjakan perkebunan dan proyek-proyeknya2.

Ketika Rafles berkuasa (1811-1816) bekel/lurah dijadikan perantara/ mediator oleh pemerintah pusat dengan penduduk desa. Jika pada zaman VOC dan Daendels bekel/lurah tetap di bawah penguasa pribumi (bupati dan

wedana), di bawah Pemerintahan Rafles diangkat sebagai pejabat penarik

(19)

wedana, dan bupati karena umumnya ia ditunjuk patuh sebagai tangan panjang punggawa (pejabat tinggi kerajaan). Untuk memotong loyalitas lurah kepada patuh maka Rafles membuat kebijakan baru: lurah dipilih oleh penduduk setiap tahun pajak. Dalam konteks ini pemilihan lurah bukan dimaksudkan untuk mendemokratiskan masyarakat desa tapi dijadikan alat untuk mencari orang kuat yang paling berpengaruh. Dengan pemilihan langsung yang sangat sederhana yaitu beberapa orang kuat desa (jago) yang mempunyai pengikut disuruh berdiri di depan petugas pemerintah (Commissie Pilihan) secara bersaf sambil memegang tiang yang ditancapkan di depan petugas sesuai dengan jumlah orang yang mau berkompetisi. Petugas lalu mengumumkan kepada penduduk untuk berdiri di belakang kandidat secara urut ke belakang. Secara otomatis orang yang berdiri di belakang kandidat adalah para pengikut masing-masing kandidat yang berkompetisi tersebut3. Dengan cara ini, pemerintah dapat menemukan orang desa yang paling berpengaruh di desa tersebut. Orang yang pengikutnya paling banyak diangkat menjadi lurah. Tugas utamanya adalah mengumpulkan pajak bumi sebesar-besarnya sesuai target pemerintah. Pemilihan lurah dilakukan tiap tahun pajak untuk menjamin bahwa orang yang dijadikan mediator adalah orang yang tetap paling kuat dan besar pengaruhnya di desa tersebut.

Pada 1816 Raffles meninggalkan Indonesia dan Belanda berkuasa kembali. Rekrutmen lurah model Rafles diteruskan, hanya tidak dilakukan tiap tahun pajak tapi sekali saja yaitu untuk pertama kalinya sampai yang bersangkutan meninggal dunia, mengundurkan diri, atau dipecat. Kebijakan land rente juga tidak diteruskan tapi diganti dengan cultuurstelsel atau tanam paksa (1830). Dalam sistem tanam paksa, pemerintah membuat aturan, 1) penduduk desa harus menyediakan 20% tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor dan 2) menyediakan tenaganya untuk kerja rodi selama 70 hari (20%) dalam setahun kepada pemerintah. Dalam rangka menyukseskan kebijakan ini, pemerintah menjadikan lurah tidak hanya sebagai mediator/perantara antara pemerintah dengan penduduk desa dalam penarikan pajak bumi tapi juga sebagai pengawas, watchdog penduduk agar penduduk patuh kepada pemerintah4.

3 R.M.T. Tjokro Adi Koesoemo, Regent Temanggung, dalam Tijchrift Voor Het Binnenlandsh Bestuur, Twee-En-Dertigste Deel , Batavia: G. Kolff & Co., 1907, hlm. 99-101

(20)

Dengan diangkatnya lurah sebagai pengawas, watchdog, lurah menjadi penguasa yang sangat otoriter. Berdasarkan kewenangan ini lurah memaksa penduduk menyerahkan seperlima tanahnya dan tenaganya selama 70 hari (20%) kepada pemerintah. Lurah menjadi pengawas dan/atau penjaga atas implementasi kerja rodi penduduk desa yang terdiri atas heerendiesnten (kerja rodi umum), pancendiensten (keja rodi khusus melayani rumah tangga penguasa desa), keija atau cultuurdiensten (kerja rodi di perkebunan), dan dessadiensten (kerja rodi desa yang meliputi pekerjaan umum desa, pekerjaan melayani rumah tangga penguasa desa, dan ronda desa). Sejak saat ini lurah bersama dengan perangkatnya yaitu carik, kamituwa, bayan, modin, ulu-ulu, kepetengan/jogogoyo, menjadi watchdog yang sangat represif kepada warga desa5.

Pada 1942 Belanda menyerah kepada Jepang. Penjajah baru ini merombak struktur organisasi pemerintah desa. Lembaga desa tradisional berdasar adat dihapus lalu dibentuk lembaga ku yang dipimpin oleh kuchoo. Kuchoo mempunyai delapan pembantu: juru tulis, lima mandor, amir, dan polisi desa. Di bawah ku dibentuk aza (sekarang RW) yang dipimpin oleh azachoo dan di bawah aza dibentuk tonarigumi (sekarang RT) yang diketuai oleh gumichoo6. Masa jabatan kepala desa dibatasi hanya empat tahun yang sebelumnya seumur hidup. Akan tetapi, lembaga ini tidak dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan formal. Ia tetap ditempatkan di luar sistem pemerintahan formal sebagaimana statusnya dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda.

Sama dengan Pemerintah Hindia Belanda, ku juga tidak difungsikan sebagai instrument negara memberikan pelayanan publik. Lembaga ku dijadikan alat negara untuk moblilisasi dan kontrol penduduk7. Tugas pengurus ku adalah

mencari penduduk desa yang kuat untuk diserahkan kepada pemerintah menjadi tenaga romusha, mencari padi penduduk untuk disetorkan kepada pemerintah, dan menjadi mediator pemerintah membagi catu beras kepada penduduk. Aiko Kurasawa melaporkan betapa represif dan kejamnya perilaku kepala desa dan perangkatnya dalam menjalankan tugasnya tersebut sehingga menyebabkan pelawanan penduduk desa. Dalam peristiwa pemberontakan petani Indramayu, kuchoo menjadi sasaran kemarahan penduduk, dua di antaranya terbunuh8.

5 Ibid

6 Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta, Grasindo, 1993

(21)

Deskripsi tersebut menunjukkan bahwa hubungan desa dengan pemerintah atasan sejak zaman kerajaan, VOC, penjajajah Inggris, pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan pemerintah pendudukan Jepang adalah sebagai alat penguasa untuk kepentingannya, bukan untuk kepentingan rakyat desa melalui pemberian pelayanan publik. Pada zaman kerajaan dan VOC penguasa desa memerankan diri sebagai kawula/pelayan Raja, pada zaman Rafles sebagai mediator (perantara) penarik pajak bumi, land rente, dan pada zaman Hindia Belanda dan pendudukan Jepang sebagai pengawas, watchdog dan mediator Negara. Pemerintah desa tidak didesain sebagai cabang pemerintah level terbawah dengan fungsi pelayanan publik, pubic service untuk kepentingan rakyat desa. Sebagaimana diatur dalam IGO 1906 dan IGOB 1938 fungsi pelayanan publik diserahkan kepada masing-masing desa berdasarkan ikatan/ hukum adatnya. Praktiknya, penduduk desa tidak mendapatkan pelayanan publik baik dari pemerintahnya sendiri maupun dari Negara.

Melihat fakta tersebut, Moch. Yamin dan Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI 1945 mengusulkan semua kesatuan masyarakat hukum adat seperti desa, nagari, gampong, kuria, dan sebagainya diperbaharui dan dirasionalkan sesuai dengan perubahan zaman lalu dijadikan daerah otonom kecil berbasis adat sebagai pemerintahan kaki dan berifat istimewa. Menurut Soepomo pengertian istimewa di sini bukan karena desa, nagari, marga, kuria dan sebagainya mempunyai keunikan atau keluarbiasaan tapi semata-mata karena mempunyai susunan asli berdasarkan asal-usul dan adatnya. Gagasan Yamin dan Soepomo dikristalkan dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum Perubahan) kemudian dituangkan dalam UU No. 22/1948. Ketika UUD 1945 diganti dengan UUDS 1950 pengaturan desa sebagai daerah otonom kecil berbasis adat hilang tapi diatur kembali melalui UU No. 19/1965 setelah dasar Negara kembali ke UUD 1945.

(22)

Pengurusnya tidak digaji Negara tapi digaji dengan tanah komunal bekas tanah lungguh/apanage.

Lembaga baru bentukan Orde Baru tersebut juga didesain mirip dengan ku baik struktur organisasi, fungsi, maupun tugasnya. Struktur organisasinya mirip: lurah, carik, lima mandor, dan dua staf pelaskana teknis. Fungsinya mirip: sebagai alat untuk melaksanakan tugas Negara. Tugas pokoknya juga mirip yaitu memobilisasi dan mengawasi penduduk: meng-Golkar-kan rakyat desa; menyukseskan program pemerintah pusat seperti Bimas/Inmas, keluarga berencana; pemberantasan buta huruf; indoktrinasi P4; mendata penduduk dari keterlibatan G 30 S/PKI dan keanggotaan partai politik; dan mobilisasi penduduk berdasarkan perintah dari pemerintah atasan seperti penanaman massal padi jenis PB dan IR, penyemprotan hama wereng, kampanye Golkar, sambutan pejabat, kerja bakti, dan lain-lain. Pemerintah desa tidak didesain sebagai lembaga pemerintah formal dengan alat-alat kelengkapan organisasi yang cukup untuk memberikan pelayanan publik kepada rakyat desa. Hal ini berbeda dengan Desa di bawah UU No. 22/1948 dan Desapraja di bawah UU No. 19/1965. Menurut kedua UU ini, lembaga desa didesain sebagai lembaga pemerintah formal dengan alat-alat kelengkapan organisasi yang cukup untuk memberikan pelayanan publik kepada penduduk desa.

(23)

heiho dan keibodan zaman Jepang) yang dimobilisasi untuk pertahanan dan keamanan rakyat. Dengan model ini maka berjalan atau tidaknya implementasi kebijakan dan program pemerintah desa sangat tergantung kepada kekuatan kepala desa membolisasi penduduknya. Dalam hal ini banyak terjadi penyalah-gunaan kekuasaan kepala desa. Didorong oleh ambisi membangun desanya, kepala desa memaksimalkan kekuasaan yang dimiliki untuk memoblisasi penduduk dengan cara keras dan cenderung diktator.

Lembaga desa sebagaimana diatur dalam UU No. 5/1979 diterus kan sampai sekarang dengan UU penggantinya: UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004 jo UU No. 6/2014. Semua UU tersebut mempunyai konstruksi yang sama: fungsi dan tugasnya sebagaii mediator, mobili sator, dan watchdog penduduk. Tugas pokok pemerintah desa sejak Orde Baru sampai sekarang adalah:

1. Mediator:

a. Menjadi perantara antara penduduk yang memerlukan doku men publik seperti KTP, SIM, SKCK, Surat Keterangan Miskin, dan lain-lain dengan kantor-kantor yang relevan di kabu paten;

b. Menjadi perantara antara penduduk yang memerlukan serti ikat tanah,

girik, pajak bumi dan bangunan, dan lain-lain dengan kantor-kantor yang relevan di kabupaten;

c. Menjadi perantara antara penduduk yang jual-beli tanah dengan Camat/PPAT atau notaris;

d. Menjadi perantara antara masyarakat desa dengan peme rintah atasan yang memberi proyek.

2. Mobilisator:

a. Pengerahan penduduk untuk kerja rodi/bakti atas proyek infra struktur dari Desa dan/atau pemerintah atasan;

b. Pengerahan penduduk untuk mengerjakan proyek dari peme rintah atasan;

c. Pengerahan penduduk untuk mengikuti program KB;

d. Pengerahan penduduk untuk mengikuti program pemberan tasan buta huruf;

e. Pengerahan perempuan untuk mengikuti Posyandu; f. Pengerahan perempuan untuk mengikuti progam PKK;

g. Pengerahan penduduk untuk memberantas hama dan/atau penyakit di sawah;

(24)

3. Pengawas/watchdog:

a. Mendata penduduk terlibat atau tidak terhadap G 30 S/PKI; b. Mendata penduduk atas keanggotaan parpol dan Golkar;

c. Memberi perintah kepada penduduk untuk membayar pajak bumi dan bangunan;

d. Mengawasi penduduk yang terlibat atau dicurigai mengikuti orga-nisasi dan/atau partai terlarang atau teroris;

e. Mengawasi gerak gerik orang asing yang datang di desa; f. Mengawasi orang baru;

Karena hanya menjalankan fungsi mediator, mobilisator, dan watchdog maka pemerintah desa tidak mengeksekusi urusan pelayanan publik pada tingkat desa. Semua urusan pelayanan publik dieksekusi di kabupaten melalui hirarki yang sangat panjang: RT, RW, kantor desa, kantor kecamatan, dan SKPD kabupaten/kota. Begitu juga dalam melaksanakan proyek pemerintah atasan. Eksekusinya di kantor pemilik proyek (kabupaten, provisi, pusat) lalu diteruskan ke bawah secara hirarki. Pemerintah desa hanya sebagai pelaksana dan pengawas saja. Pemerintah desa tidak memberikan pelayanan dasar: pendidikan anak usia dini dan dasar, kesehatan ibu dan anak, pemberdayaan ekonomi rakyat, irigasi desa, pertanian dan perikanan, air bersih/minum desa, infra struktur desa, dan lain-lain. Semua pelayanan tersebut normatifnya menjadi tanggung jawab kabupaten. Akan tetapi, dinas-dinas kabupaten tidak menjangkau desa karena keterbatasan anggaran dan jauhnya tempat. Oleh karena itu, di desa terjadi kevakuman pelayanan publik (dasar). Hal inilah penyebab utama kemiskinan di desa karena kevakuman pelayanan dasar di desa sudah berlangsung sejak zaman penjajahan sampai sekarang.

(25)

sebagai indigenous peoples atau volksgemeenschappen sebagai mana diatur pada masa penjajahan Belanda. Anehnya mereka mendasarkan diri pada Penjelasan pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen). Mereka terus menerus memproduksi tesis bahwa Penjelasan pasal 18 UUD 1945 memuat norma bahwa volksgemeenschappen harus tetap dipertahankan sebagai kesatuan masya-rakat hukum adat berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadatnya. Padahal Penjelasan Pasal 18 tersebut maksudnya bukan begitu. Penjelasan Pasal 18 adalah upaya Soepomo memberi arahan kepada pembuat UU agar dalam rangka membentuk daerah otonom kecil sebagaimana norma Pasal 18 harus mem perhatikan volksgemeenchappen yang masih hidup. Volksgemeenchappen ini mempunyai susunan asli maksudnya struktur organisasi dan tata kelolanya bentukan bangsa Indonesia sendiri, bukan bentukan pemerintah Belanda, oleh karena itu bisa disebut sebagai daerah otonom kecil yang bersifat istimewa. Atas dasar fakta ini Soepomo memberi arahan agar dalam pembentukan daerah otonom kecil melalui integrasi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat pribumi ke dalam sistem administrasi negara Indonesia merdeka harus mempertahankan susunan aslinya tersebut. Jadi, sangat keliru jika memahami Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 adalah mempertahankan/mengawetkan volksgemeenchappen sebagaimana adanya.

Akan tetapi, karena para pengagum dan romantis masa lalu ter sebut menguasai opini publik berkat dukungan dana internasional dan jaringan NGO, politik desa demikian dilanjutkan dengan peng undangan UU No. 6/2014. UU ini diklaim sebagai UU organik yang diturunkan dari Pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi,

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

(26)

a. tribal peoples in independent countries whose social, cultural and economic conditions distinguish them from other sections of the national community, and whose status is regulated wholly or partially by their own customarys or traditions or by special laws or regulations;

b. peoples in independent countries who are regarded as indigenous on account of their descent from the populations which inhabited the country, or a geographical region to which the country belongs, at the time of conquest or colonisation or the establishment of present state boundaries and who, irrespective of their legal status, retain some or all of their own social, economic, cultural and political institutions

Selanjutnya ILO (2003) menjelaskan unsur-unsur tribal peoples adalah sebagai berikut.

a. traditional life styles;

b. culture and way of life different of other segments of the natio nal population, e. g. in their ways of making of living, language, customs, etc.;

c. Own social organization and traditional custom and laws.

Sedangkan unsur-unsur indigenous peoples adalah sebagai berikut. a. traditional life styles;

b. culture and way of life different of other segments of the nati onal population, e. g. in their ways of making of living, language, customs, etc.;

c. Own social organization and political institutions.

ILO (2003) kemudian menjelaskan,

Indigenous and tribal customs and traditions are central many of their life. The form an integral part of indigenous and tribal peoples’ culture and identity, and differ from those of the national society. They may ancestor worship, religious and spiritual ceremonies, oral tradition, and rituals, wich have been passed down from generation to generation. Many ceremonies involve offering to nature spirits, and take place in order to maintain a balance with nature.

Many indigenous and tribal peoples have their own customs and practices wich form their customary law. This has evolved trough the years, helping to maintain a harmonious society.

Often, in order to apply these customs and practices, indigenous and tribal peoples have their own institutional structures such as judicial and administrative bodies or councils. These bodies have rules and regulations to make sure customary laws are followed. Failure to do so is often punished and each lapse often has its own speciic punishment.

(27)

Kongres pertama Masyarakat Adat Nusantara (KMAN I) di Jakarta, pada

15-22 Maret 1999 mendeinsikan masyarakat adat sebagai berikut9. Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayahnya geograis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri

Deinisi tersebut kemudian diperbaiki menjadi10,

Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaultan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diaitur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masayarakatnya.

Jadi, norma Pasal 18 B ayat (2) sebenarnya hanya ditujukan kepada obyek material yang disebut volksgemeenschappen atau Indigenous Peoples atau kesatuan masyarakat hukum adat. Akan tetapi, UU ini justeru lebih banyak mengatur desa dinas bentukan regim Orde Baru (Pasal 1-95). Desa dinas bentukan regim Soeharto bukan volksgemeenschappen atau Indigenous Peoples tapi lembaga baru yang merupakan replika/tiruan ku zaman penjajahan Jepang. Desa dinas bukan lembaga masyarakat berdasarkan pengaturan norma hukum adat tapi lembaga semi formal yang dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan pengaturan hukum positif (UU No. 5/1979 jo UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004 jo UU No. 6/2014).

Kesalahan fatal UU ini adalah memuat aturan desa dinas yang dibentuk Negara berdasarkan hukum positif bisa dikembalikan menjadi desa adat yang artinya diatur dengan hukum adat. Begitu juga kelurahan. Berdasarkan logika akademik lembaga bentukan Negara berdasarkan hukum positif tidak bisa dirubah menjadi indigenous peoples berdasarkan hukum adat yang tidak tertulis. Demikian pula kesatuan masyarakat hukum adat atau indigenous peoples yang sudah diatur dengan hukum positif sudah tidak bisa lagi disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat atau indigenous peoples. Puluhan ribu desa dinas yang sudah 34 tahun diatur berdasarkan hukum positif tidak bisa dimundurkan kembali menjadi volksgemeenschappen sebagaimana desa zaman IGO 1906 dan IGOB 1938. Begitu juga Kelurahan yang sudah urban, 9 Dalam Greg Acciaioli, Dari Pengakuan Menuju Pelaksanaan Kedaulatan Adat: Konseptualisasi-Ulang

Ruang Lingkup dan Signiikansi Masyarakat Adat dalam Indonesia Kontemporer, Jamie S. Davidson,

(28)

geselschaft dan diatur dengan hukum positif juga tidak bisa dimundurkan kembali menjadi volksgemeenschappen atau indigenous peoples.

Pemerintah dan DPR mestinya memfasilitasi perubahan masyarakat desa yang makin rasional dan modern bukan menghentikan dan memutar balik ke zaman penjajahan dan tradisionalisme. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010 pen duduk desa tinggal 50%. Diperkirakan pada 2045 sudah tidak ada penduduk tinggal di perdesaan, semuanya tinggal di perkotaan. Mereka hidup dengan budaya dan cara berpikir urban dan metropolis. Contoh nyata trend tersebut adalah kesatuan masyarakat hukum adat Baduy di Lebak Banten. Saat ini sudah terbentuk komunitas Baduy-Luar yang pelan tapi pasti meninggalkan nilai dan norma hukum adat masyarakat Baduy-Dalam. Mereka sudah sedikit urban dan terus mengarah ke masyarakat semi urban. Tokoh-tokoh Baduy-Dalam menyadari perubahan tersebut karena tahu bahwa perubahan tidak bisa dihentikan.

Sejak implementasi UU No. 5/1979 lembaga desa sudah diatur dengan hukum positip, bukan hukum adat. Selama 34 tahun diselenggarakan dengan hukum positif sebagian besar masyarakat desa sudah benar-benar meninggalkan norma hukum adat dan sudah berpikir dan berperilaku rasional sebagaimana orang kota umumnya: berekonomi pasar (bukan subsisten lagi), menyekolahkan anaknya ke pendidikan formal, berpakaian sebagiamana pakaian orang kota, berobat secara medis (bukan lagi secara magis), naik sepeda motor dan/atau mobil, menggunakan teknologi modern untuk mengolah sawah/kebun, memanfaatkan lembaga bank untuk kegiatan ekonominya, dan terus bergerak mencari peluang ekonomi dan penghidupan yang lebih baik dan menjanjikan di berbagai tempat.

(29)

kompeten dan profesional, bukan unit pemerintahan palsu warisan penjajah Jepang yang tidak mempunyai kapasitas memberikan pelayanan publik kepada penduduk desa.

Menjelang dan awal kemerdekaan, Hatta, Yamin, dan Soepomo sudah mengantisipasi perubahan itu dan memikirkan bentuk kelembagaan yang cocok untuk memfasilitasi perubahan tersebut yaitu dengan memperbaharui dan merasionalkan lembaga tradisional desa. Sebelum merdeka Hatta menulis bahwa sistem pemerintahan desa yang demokratis hendaknya dijadikan dasar model demokrasi Indonesia merdeka. “Desa harus diperbaharui dan dirasionalkan untuk dijadikan pemerintahan kaki”, kata Yamin dalam Sidang BPUPKI 1945 (Sekretariat Negara, 1995). “Desa dijadkan daerah otonom istimewa karena memiliki susunan asli”, kata Soepomo dalam sidang BPUPKI 1945 juga. UUD 1945 (asli) pasal 18 dan Penjelasannya angka II memberi arahan agar volksgemeenschappen dijadikan daerah otonom kecil yang bersifat istimewa karena memiliki susunan asli. Kemudian TAP MPR No. IV/2000 mengamanatkan kepada pembuat undang-undang untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap undang-undang pemerintahan daerah sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap propinsi, kabupaten/kota, desa/nagari/marga, dan sebagainya.

Berdasarkan gagasan founding fathes, UUD 1945, dan TAP MPR No. IV/2000 perlu dilakukan penelitian yang mendalam terhadap semua desa.

(30)

diintegrasikan dalam sistem dpemerintahan kota dan 2) desa yang masih berciri rural digabung agar memenuhi syarat lalu dijadikan daerah otonom istimewa berbasis adat.

Menjadikan Desa yang sudah urban (desa dinas) sebagai daerah otonom sebagaimana rekomendasi MPR tersebut merupakan langkah yang benar dalam penataan Desa ke depan karena memberikan kepastian status Desa dan merupakan penemuan kembali mutiara yang hilang: gagasan founding fathers, UUD 1945 (Pasal 18 dan Penjelasannya angka II), UU No. 22/1948, UU No. 19/1965, dan TAP MPR No. IV/2000. Politik Desa yang melenceng dan a historis yang dimulai sejak pemberlakukan UU No. 5/1979 diteruskan dengan UU No. 22/1999, UU No. 32/2004, UU No. 6/2014 (Pasal 1-95) tidak

bisa dipertanggungjawabkan secara ilosois, historis, hukum tata negara, ilmu

(31)

A. Pendahuluan

UUD 1945 mengatur pemerintahan daerah di Indonesia terdiri atas provinsi, kabupaten/kota, daerah khusus, daerah istimewa, dan kesatuan masyarakat hukum adat. Di luar lima jenis pemerintahan daerah tersebut di bawah kabupaten/kota juga terdapat pemerintahan desa. Pemerintahan desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 khusunya Bab XI (UU No. 32/2004) kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 khususnya Pasal 1- 95 (UU No. 6/2014).

Akan tetapi, pemerintahan desa yang diatur dalam dua UU ter sebut statusnya tidak jelas dilihat dari disiplin ilmu administrasi negara. Pemerintahan Desa yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, Bab XI jo. UU No. 6 Tahun 2014 khususnya Pasal 1-95 adalah kelanjutan pemerintahan desa bentukan Pemerintahan Soeharto di bawah UU No. 5/1979. Perlu diketahui bahwa sebelum implementasi UU No. 5/1979 desa yang disebut dalam bahasa Belanda sebagai volksgemeenschappen diatur di bawah Inlandsche Gemeente Ordonnantie 1906 (IGO 1906) dan Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten 1938 (IGOB 1938). Dalam pengaturan IGO 1906 dan IGOB 1938 desa atau volksgemeenschappen lembaga dan tata kelolanya diserahkan kepada hukum adat masing-masing. IGO 1906 dan IGOB 1938 kemudian * Makalah ini dimuat dalam Jurnal Politica P3DI Setjen DPR Vol. 5 No. 1, Mei 2014 dan dalam versi Inggrisnya dengan judul “Village Administration in Indonesia: A “Pseudo Government Unit” dipresentasikan dalam International Conference of Korea Association of Public Administration, 24-27 Juni 2014 di Daegu, Korea Selatan.

BAB I

PEMERINTAHAN DESA:

“UNIT PEMERINTAHAN PALSU”

DALAM SISTEM ADMINISTRASI NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

(32)

dihapus oleh UU No. 19/1965. Kemudian Pemerintahan Soeharto melalui UU No. 5/1979 bukan menghidupkan kembali volksgemeenschappen yang telah dihapus tersebut tapi membentuk lembaga baru dengan struktur organisasi, fungsi dan tugas, dan tata kelola baru dengan nomenklatur Pemerintah Desa. Pembentukan lembaga baru tersebut mencakup struktur organisasi, fungsi, kedudukan dan tugas, pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan, perubahan menjadi kelurahan atau sebaliknya, tata cara pemilihan kepala desa, masa jabatan, urusan pemerintahan, penugasan, lembaga desa, keuangan, dan kerja sama. Kebijakan tersebut sampai sekarang tidak berubah meskipun UU No. 5/1979 telah diganti dengan tiga UU: 1) UU No. 22/1999; 2) UU No. 32/2004; dan 3) UU No. 6/2014. Kebijakan tersebut menunjukkan bahwa Negara bukan mengatur kembali volksgemeenschappen tapi membentuk lembaga baru. Melalui kebijakan tersebut terjadi perubahan yang sangat men dasar pada lembaga rakyat desa. Lembaga rakyat desa sejak 1980 sampai sekarang bukan lagi sebagai tata kelola pemerintahan adat tapi berubah menjadi penyelenggara urusan pemerintahan formal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lembaganya bukan lembaga adat yang dibentuk komunitas berdasarkan hukum adat tapi lembaga bentukan Negara melalui peraturan perundang-undangan. Dengan diaturnya lembaga desa oleh Negara dan diberi tugas menyeleng-garakan urusan pemerintahan mestinya pemerintah desa berubah menjadi lembaga pemerintahan formal. Akan tetapi, faktanya tidak demikian. Pemerintah desa tidak diselenggarakan oleh pejabat birokrasi negara atau pejabat pemerintah dengan status aparatur sipil negara. Kepala desa bukan pejabat negara dan perangkat desa bukan aparatur sipil negara sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tapi pegawai pemerintah desa dengan status

yang tidak bisa diidentiikasi: bukan pegawai ASN, bukan pegawai honorer

pemerintah, dan bukan pegawai kontrak. Bahkan sekretaris desa yang di bawah UU No. 32/2004 diisi oleh aparatur sipil negara, di bawah UU No. 6/2014 tidak boleh lagi diisi oleh aparatur sipil negara.

B. Metode Penelitian

(33)

government, local self government, agent of government, nongovernment organizaiton, atau community. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dilakukan penelitian lapangan di Desa Jabon Mekar, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada Maret-November 2013. Desa Jabon Mekar dipilih dengan pertimbangan, 1) wilayahnya berada di daerah penyangga ibu kota; 2) masyarakatnya sudah beciri urban; dan 3) sudah tidak memiliki ciri-ciri adat tapi lembaga pemerintahannya masih berupa lembaga tradisional bergaya adat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh melalui pengamatan lapangan, studi peraturan perundang-undangan, studi dokumen, wawancara mendalam, dan focus group discussion. Pengamatan lapangan dilakukan di Desa Jabon Mekar, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Wawancara mendalam dilakukan kepada kepala desa, sekretaris desa, anggota Badan Permusyawartan Desa, pakar ilmu pemerintahan, dan pakar hukum tata negara. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif. FGD dilakukan dengan di Lembaga Administrasi Negara dengan peserta wakil ketua Pansus RUU Desa, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Otonomi Daerah, Sekretaris Daerah Kabupaten Tangerang, Sekretaris Asosiasi Pemerintahan Desa, dan pejabat eselon II dan III LAN

C. Kerangka Teori

Teori yang digunakan untuk menganalisis status Desa adalah teori desentralisasi Chema dan Rondinelli1 dan local government Gerry Stoker2. Menurut G. Shabbir Chema dan Denis A. Rondinelli pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada lima organisasi: 1) instansi vertikal; 2) wilayah administrasi; 3) organisasi semi otonom; 4) daerah otonom; dan 5) organisasi non pemerintah. Desentralisasi terdiri atas empat bentuk: 1) dekonsentrasi; 2) devoluisi; 3) delegasi; dan 4) penyerahan fungsi pemerintahan kepada lembaga swasta atau privatisasi. Materi desentralisasi adalah penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan, atau kewenangan adminstasi dari pemerintah pusat kepada unit pemerintahan cabangnya, unit administrasi lokal, organisasi semi otonom dan parastatal, pemerintah daerah, dan organisasi non pemerintah. Stoker menjelasksan bahwa pemerintahan daerah terdiri atas lembaga pemerintah yang berada di luar kantor pusat yang 1 Chema, G. Shabbir, dan Rondinelli, Dennis A., ed., Decentralization and Development, Policy

(34)

pengisian pejabatnya dipilih atau tidak dipilih. Pemerintah daerah dibentuk oleh pemerintah pusat dengan Undang-Undang. Pemerintah daerah baik yang pejabatnya dipilih maupun ditunjuk sepenunya dibiayai oleh pemerintah pusat: infrastruktur, anggaran, status kepegawaian dan gaji pegawai, kegiatan operasional, peralatan, dan teknologinya.

D. Hasil Penelitian

1. Lokasi dan Struktur Organisasi Desa Jabon Mekar

Desa Jabon Mekar merupakan salah desa di wilayah keca matan Parung Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Luas wilayahnya adalah 217.095 ha yang terbagi atas dua dusun. Jumlah penduduknya sampai akhir tahun 2012 adalah sebanyak 8.602 jiwa. Letaknya kurang lebih 50 Km barat daya Provinsi DKI Jakarta.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 9 Tahun 2006 tentang Desa juncto Peraturan Desa Jabon Mekar Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Pemerintahan Desa Jabon Mekar struktur orga nisasinya adalah sebagai berikut. Kepala Desa sebagai unsur pimpinan. Sekretaris Desa sebagai unsur staf yang dibantu oleh enam kepala urusan: 1) Kepala Urusan Pemerintahan; 2) Kepala Urusan Pembangunan; 3) Kepala Urusan Keuangan; 4) Kepala Urusan Kemasyarakatan; 5) Kepala Urusan Administrasi; 6) Kepala Urusan Umum. Di samping itu, kepala desa juga dibantu pejabat pelaksana wilayah dan pejabat pelaksana teknis. Unsur pelaksana wilayah terdiri atas dua orang Kepala Dusun dan dua orang pelaksana teknis: Pegawai Pembantu Pencatat Nikah (P3N) dan Petugas Perlindungan Masyarakat (Linmas).

(35)

Adapun struktur organisasi Pemerintah Desa Jabon Mekar adalah sebagai berikut:

KEPALA DESA B P D

P3N Kadus I

Linmas Kadus II

SEKDES

Kaur Pemer

Kaur Pemb.

Kaur Keu

Kaur Kemasy

Kaur Adm

Kaur Um

Gambar 1

Struktur Organisasi Pemerintah Desa Jabon Mekar

Sumber: Papan Monograi Desa Jabon Mekar

Fungsi dan tugas Pemerintahan Desa Jabon Mekar adalah, (1) penyelenggaraan urusan rumah tangga desa; (2) pelaksanaan tugas di bidang pembangunan; (3) pembinaan kemasyarakatan pem binaan perekonomian desa; (4) pembinaan peningkatan partisipasi dan gotong royong masyarakat; (5) pembinaan keten traman dan ketertiban masyarakat; (6) pelaksanaan musyawarah penyelesaian perselisihan masyarakat desa; (7) penyusunan dan pengajuan rancangan peraturan desa; (8) pelaksanaan tugas yang dilimpahkan kepada pemerintah desa.

(36)

Di samping kepala desa juga dibentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai mitra Kepala Desa dalam penyelenggaraan Peme rintahan Desa. BPD mempunyai tugas membuat peraturan desa bersama dengan kepala desa, menyusun anggaran, dan menyalurkan aspirasi rakyat. Anggota BPD berasal dari ketua-ketua RT dan RW dan tokoh-tokoh masyarakat. Tata cara pemilihan anggota BPD, fungsi dan tugas, dan mekanisme kerjanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah atasan, bukan berdasarkan hukum adat.

Berdasarkan struktur organisasi pada gambar 1 pemerintahan desa diselenggarakan oleh 12 orang aparatur: seorang kepala desa, seorang sekretaris desa, dan 10 orang staf. Satu-satunya perangkat desa yang berstatus sebagai aparatur sipil negara adalah sekretatis desa. Lainnya adalah pegawai pemerintah desa dengan honor dari Kabupaten Bogor sebesar Rp 150.000,00 per bulan dan diterimakan setiap tiga bulan sekali. Mereka bukan aparatur sipil negara tapi semacam pegawai honorer lepas karena sewaktu-waktu bisa diganti tanpa mendapatkan hak-hak kepegawaian. Perangkat desa yang menjabat sekarang semuanya baru karena perangkat desa lama diganti oleh kepala desa baru. Di Kabupaten Bogor terdapat kebiasaan “bedol desa” yaitu perangkat desa lama diganti oleh kepala desa baru jika kepala desa incumbent tidak menjabat lagi. Perangkat desa yang sedang menjabat diganti dengan perangkat desa baru oleh kepala desa baru yang direkrut dari para pendukungnya/tim suksesnya saat yang bersangkutan mengikuti pemilihan kepala desa.

Dalam hal pelatihan yang terkait dengan tugasnya, sekretaris desa pernah mengikuti pelatihan tentang tata kelola pemerintahan desa hanya dua kali selama menjabat. Adapun perangkat desa di luar sekretaris desa tidak pernah mengikuti pelatihan sama sekali. Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki sebagai perangkat desa berasal dari kebiasaan, pengamalan, dan pengalaman saja. Oleh karena itu, semua pekerjaan desa bertumpu pada sekretaris desa.

2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Jabon Mekar

(37)

No. Uraian Rupiah

I. Pendapatan

1 Pendapatan Asli Desa 236.733.000

2 Hasil swadaya dan partisipasi masyarakat 200.000.000

3 Hasil Gotong Royong 58.000.000

4 Dana Perimbangan

5 Bagi hasil pajak dan restribusi daerah 132.152.814

6 Alokasi Dana Desa 90.687.557

7 Dana PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat)

100.000.000

8 Bantuan Pemerintah, Propinsi, dan Kabupaten 15.000.000 9 Hibah (dari Pemerintah/Organisasi Swasta/

Kelompok Masyarakat/Perorangan)

30.000.000

10 Bantuan Kabupaten Bogor 50.000.000

11 Sumbangan Donatur 70.000.000

Jumlah 982.573.371 I. Belanja

1 Belanja Tidak Langsung (Pegawai dan Penghasilan Tetap)

130.800.000

2 Tambahan Penghasilan Aparatur Desa 24.600.000 3 Tunjangan Kehormatan anggota BPD 10.040.000 4 Belanja Operasional Kepala Desa, Perangkat

Desa, dan BPD

17.000.000

5 Belanja Subsidi 15.480.000

6 Santunan Yatim 83.650.000

7 Biaya Peringatan Hari-hari Besar Islam dan Nasional

37.460.000

8 Belanja Tidak terduga 15.000.000

II. Belanja Langsung 37.500.000 II.1 Belanja Barang dan Jasa 527.912.437

II.2 Belanja Modal 18.500.000

II.3 Belanja Tidak Terduga 30.000.000

Jumlah 947.942.437

Sumber: Buku Administrasi Desa Jabon Mekar

Tabel 1

(38)

propinsi, dan pemerintahan kabu paten/kota (kinerja), dan dana bantuan dari pemerintah kabupaten (imbal swadaya). Pendapatan asli berasal dari pungutan kepada penduduk yang minta pelayanan surat keterangan. Misal,

penduduk yang minta surat pengantar mendapatkan KTP, SIM, sertiikat

tanah, surat keterangan Tinjauan kepolisian, surat izin bangunan, dan surat jual beli tanah dikenakan biaya antara Rp 50.000 – Rp 100.000. Hasil swadaya dan partisipasi masyarakat dan hasil gotong royong tidak berupa uang tapi berupa tenaga yang dinilai dengan uang. Bagi hasil pajak dan restribusi daerah berasal dari upah pungut penarikan Pajak Bumi dan Bangunan. Alokasi dana desa berasal dari APBD Kabupaten Bogor dari dana perimbangan yang diperoleh dari APBN. Dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) berasal dari pemerintah pusat untuk membangun infra struktur desa dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Adapun Anggaran Belanja terdiri atas belanja tidak langsung, belanja subsidi, belanja hibah, belanja langsung, belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja tidak terduga.

Desa Jabon Mekar tidak mempunyai tanah ulayat yang meru-pakan aset utama kesatuan masyarakat hukum adat. Sekretaris Desa menjelaskan bahwa berdasarkan cerita orang tua, Desa Jabon Mekar dulu mempunyai tanah desa tapi sekarang sudah tidak mempunyai lagi. Tanah yang dimiliki Desa Jabon Mekar adalah satu lahan yang sekarang ditempati bangunan kantor desa dan SD Negeri Jabon Mekar.

E. Pembahasan

(39)

No. 1/1957, UU No. 18/1965, dan UU No. 19/1965 belum diimplementasikan. Kemudian pada tahun 1966 terjadi pergantian kekuasaan: dari Orde Lama ke Orde Baru. Peme rintahan Orde Baru membekukan UU No. 19/1965.

Pemerintahan Soeharto kemudian mengundangkan UU No. 5/1979. UU No. 5/1979 tidak mengatur atau menghidupkan kembali voklsgemeenschappen tapi membentuk lembaga baru dengan nomenklatur Pemerintahan Desa pada bekas wilayah volksgemeenschappen dan berlaku di seluruh Indonesia. Lembaga baru ini terdiri atas kepala desa dan lembaga musyawarah desa (LMD). Kepala desa dibantu oleh sekretaris desa, kepala-kepala urusan, dan kepala dusun. Di samping itu, Pemerintahan Soeharto juga menghidupkan lembaga aza dan tonorigumi bentukan Pemerintah bala tentara Jepang dengan nama baru: aza menjadi Rukun Warga dan tonarigumi menjadi Rukun Tetangga. Perhatikan Gambar 2!

Gambar 2

Struktur Organisasi Pemerintah Menurut UU No. 5/1979

KEPALA DESA L M D

Kadus Kadus

Kadus Kadus

RW

RT

SEKDES

Kaur Pemer

Kaur Pemb.

Kaur Umum

Kaur Kesra

Kaur Keu.

Sumber: UU No. 5/1979 dan Peraturan Pelaksanaanya

(40)

(volksgemeenschappen) lalu pada bekas volksgemeenschappen dibentuk lembaga baru dengan nomenklatur ku (desa), yang membawahi aza (rukun warga) dan tonarigumi3 (rukun tetangga). Ku dipimpin oleh kuchoo (kepala desa) dan dibantu oleh seorang juru tulis, lima mandor, seorang polisi desa, dan seorang amir (pejabat agama). Kuchoo dipilih secara langsung dengan masa bakti empat tahun4. Kuchoo membawahi azachoo (ketua rukun warga) dan azachoo membawahi tonarogumichoo (ketua rukun tetangga). Ku, aza, dan tonarigumi tidak dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan tapi sebagai lembaga masyarakat di bawah kontrol Negara.

Sebagai bukti bahwa model pemerintah desa di bawah UU No. 5/1979 adalah jiplakan model pemerintah ku, perhatikan struktur organisasi ku pada Gambar 3!

3 Aiko Kurasawa menjelaskan secara terperinci mengenai pembentukan aza dan tonarigumi oleh pemerintah pendudukan Jepang ini. Aza dan tonarigumi dijiplak dari lembaga tradisional di negara asalnya (Jepang) berdasarkan pengelompokan kepala keluarga. Dalam sistem pemerintahan tradisional Jepang aza dan tonarigumi dijadikan alat kerajaan/ negara untuk mobilisasi penduduk untuk kepentingan kerajaan/ negara (Kurasawa, Aiko, 1993, Mobilisasi dan Kontrol, Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Grasindo)

4 Suhartono, dkk., Politik Lokal, Parlemen Desa: Awal Kemerdekan sampai Jaman Otonomi Daerah, Yogyakarta, Lapera Pustaka Utama, 2001, hlm. 49

Gambar 3 Struktur Organisasi Ku

Sumber: Diolah dari Osamu Seirei No.27/1942, No. 28/1942 dan Peraturan Pelaksanaanya

Kuchoo

Juru Tulis

Mandor I

Mandor II

Mandor III

Mandor IV

Mandor V Azachoo

Tonarogumichoo Polisi Desa

(41)

Struktur organisasi ku sama dengan struktur organisasi peme rintah desa (Gambar 2) dengan sedikit perbedaan: 1) nama jabatan dan 2) tiadanya LMD. Nama jabatan pada Pemerintah Desa ala UU No. 5/1979 adalah kepala desa, sekretaris desa, kepala dusun, kepala urusan, ketua RW, dan ketua RT sedangkan pada Ku adalah kuchoo, juru tulis, mandor, amir, polisi desa, azachoo, dan tonarigumichoo. Pemerintah Desa mempunyai LMD sedangkan Ku tidak mempunyai LMD.

Meskipun UU No. 5/1979 diganti dengan UU No. 22/1999 tapi struktur organisasinya tetap sama dengan struktur organisasi peme rintah desa ala UU No. 5/1979 yang menjiplak struktur organisasi Ku zaman Jepang. Demikian juga meskipun UU No. 22/1999 diganti lagi dengan UU No. 32/2004, struktur organisasi pemerinah desa tetap sama dengan struktur organisasi pemerintah desa ala UU No. 5/1979 yang bersumber dari struktur organisasi Ku. Hal ini dapat dilhat pada gambar 4! Gambar 4 memperlihatkan bahwa struktur organisasi pemerintah desa di bawah UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 tidak jauh berbeda dengan struktur organisasi pemerintah desa ala UU No. 5/1979 yang bersumber dari struktur organisasi Ku. Hanya dua hal yang membedakan: 1) lembaga mitra kepala desa dan 2) adanya staf pelaksana teknis. Kalau pada UU No. 5/1979 nomenklatur lembaga mitra kepala desa

Gambar 4

Struktur Organisasi Pemerintah Desa Menurut UU No. 22/1999 dan UU No. 32/ 2004

B P D

SEKDES

Kaur Pemer

Kaur Pemb.

Kaur Kesra

Kaur Umum KEPALA DESA

Pelaskana Teknis

Pelaskana Teknis

Kadus I

Kadus II

Kadus III RW

RT

(42)

adalah Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan di bawah kepala desa tidak terdapat staf pelaksana teknis sedangkan sedangkan pada UU No. 22/1999 nomenklatur lembaga mitranya adalah Badan Perwakilan Desa (BPD) dan pada UU No. 32/2004 adalah Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan tambahan staf pelaksana teknis di bawah kepala desa.

Meskipun UU No. 32/2004 yang mengatur Desa dicabut dan diganti dengan UU No. 6/2014 tapi struktur organisasi pemerintah desa tetap sama dengan struktur organisasi pemerintah desa ala UU No. 5/1979 yang menjiplak struktur organisasi Ku. Perhatikan Gambar 5! Gambar 5 adalah struktur organisasi pemerintah desa menurut UU No. 6/2014 dan PP No. 43/20014. Gambar 5 sama dengan Gambar 4 dengan tambahan lembaga baru: Musyawarah Desa. Dengan memperhatikan Gambar 5, Gambar 4, Gambar 3, dan Gambar 2 tampak bahwa semuanya bersumber dari Gambar 3: organisasi ku, masa pemerintahan militer Jepang, bukan ber sumber dari volksgemeenschappen zaman IGO 1906 dan IGOB 1938.

Gambar 5

Struktur Organisasi Pemerintah Menurut UU No. 6/2014

SEKDES

Kaur

Kaur

Kaur MUSYAWARAH DESA

Pelaskana Teknis

Pelaskana Teknis

Kadus I

Kadus II

Kadus III RW

RT

Sumber: UU No. 6/2014 dan PP No. 43/2014 B P D KEPALA DESA

(43)

beragam yang mencakup susunan organisasi, fungsi, tugas, mekanisme kerja dan sebutan jabatan, dan kepemilikian benda materiil dan immateriil dihapus dan diganti dengan model baru. Di Jawa, kelembagaan desa yang semula terdiri atas kumpulan/rembug desa, lurah, dan pamong desa dihapus. Sebutan lurah dirubah menjadi kepala desa. Jabatan adat dihapus: carik, kamituwa, kebayan, ulu-ulu, modin, jagabaya, jaga tirta, dan bekel kemudian dibuat jabatan baru yaitu sekretaris desa, kepala urusan, kepala dusun, dan staf pelaksana teknis. Demikian halnnya di luar Jawa.

Desa Jabon Mekar dan semua desa di Indonesia diatur berdasar kan UU No. 5/1979 jo. UU No. 22/1999 jo. UU No. 32/2004 jo. UU No. 6/2014. Semua UU tersebut tidak mengatur kembali volksgemeen schappen tapi membentuk lembaga desa baru. Di bawah UU No. 5/1979 terbentuk lembaga desa baru dengan nomenklatur Pemerintahan Desa. Untuk memudahkan pembahasan lembaga desa baru disebut dengan Desa Orde Baru. Desa Orde Baru dibentuk tidak berdasarkan keberadaan volksgemeenschappen yang diakui IGO 1906 dan IGOB 1938 tapi berdasarkan pemerintahan ku masa penjajahan Jepang. Pengganti UU No. 5/1979 yaitu UU No. 22/1999, UU No. 32/2004, dan UU No. 6/2014 hanya melanjutkan keberadaan Desa Orde Baru dengan penambahan lembaga BPD, penambahan staf pelaksana teknis, dan tambahahan kewenangan.

Sebagaimana ku zaman Jepang yang tidak dimasukkan ke dalam struktur pemerintahan resmi, desa di bawah UU No. 5/1979 jo. UU No. 22/1999 jo. UU No. 32/2004 jo. UU No. 6/2014 juga tidak dimasukkan ke dalam struktur pemerintahan formal. UU No. 5/1979 mendudukkan desa sebagai kesatuan

masyarakat di bawah camat. Pasal 1 a mendeinisikan Desa sebagai berikut.

Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalam nya kesatuan masya rakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat.

(44)

ber dasarkan kebiasaan setempat: hak garap atas tanah bengkok, uang jasa pelayanan, uang saksi, uang pologoro/jasa jual beli tanah, dan lain-lain5.

UU No. 22/1999, UU No. 32/2004, dan UU No. 6/2014 melanjut kan status Desa di bawah UU No. 5/1979. Salah satu Desa Orde Baru yang masih eksis sampai sekarang adalah Desa Jabon Mekar. Desa Jabon Mekar adalah desa yang diatur di bawah UU No. 5/1979 jo. UU No. 22/1999 jo. UU No. 32/2004 jo. UU No. 6/2014. Desa Jabon Mekar adalah prototipe Desa Orde Baru, bukan prototipe volksgemeenschappen. Dilihat dari teori desentralisasi, Desa Jabon Mekar tidak termasuk dalam empat organisasi di luar peme rintah pusat yang menerima penyerahan urusan pemerintahan dari peme rintah pusat. Menurut G. Shabir Chema dan Denis A. Rondinelli6,

Decentralization is the transfer of planning, decission making, or adminis-trative authority from the central government to its organizations, local administrative units, semi-autonomous and parastatal organization, local government, or nongovernment organization.

Jadi, menurut G. Shabbir Chema dan Dennis A. Rondinelli orga nisasi yang menerima urusan pemerintahan dari pemerintah pusat terdiri atas lima organisasi: 1) organisasi milik pemerintah pusat di daerah yang di Indonesia dikenal dengan instansi vertikal; 2) wilayah adminstrasi; 3) organisasi semi otonom yang menerima fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat; 4) pemerintah daerah; dan 5) organisasi non pemerintah. Instansi vertikal adalah lembaga pemerintah di bawah kementerian yang dibentuk di luar kantor pusatnya baik di provinsi, kabupaten, maupun kecamatan. Misalnya, kementerian agama mempunyai instansi vertikal di provinsi dengan nomenklatur Kemen terian Agama Provinsi Jawa Tengah, Kementerian Agama Kabupaten Demak, Kementerian Agama Kantor Urusan Agama Kecamatan Sayung. Wilayah adminstrasi adalah lembaga pemerintah yang dibentuk berdasarkan asas dekonsentrasi di bawah kementerian dalam negeri sebagai pelaksana urusan pemerintahan umum ber dasarkan asas dekonsentrasi. Misalnya, dalam zaman Orde Baru di Daerah Tingkat I dibentuk pemerintah willayah administrasi propinsi, dalam Daerah Tingkat II dibentuk pemerintah willayah administrasi kabupaten/kotamadya, di bawah pemerintah willayah administrasi kabupaten/ kotamadya dibentuk pemerintah wilayah adminstrasi kota administratip, di 5 Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Jakarta, PT Penerbit

Erlangga, 2011

Gambar

Gambar 1Struktur Organisasi Pemerintah Desa Jabon Mekar
Tabel 1
Gambar 2Struktur Organisasi Pemerintah Menurut UU No. 5/1979
Gambar 3! Gambar 3
+7

Referensi

Dokumen terkait