BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.7 Kesehatan Kerja
Menurut Notoatmodjo, 2007 kesehatan kerja adalah aplikasi kesehatan
masyarakat dalam suatu tempat kerja dan yang menjadi pasien dari kesehatan kerja ialah masyarakat pekerja dan masyarakat sekitar perusahaan tersebut. Apabila di dalam kesehatan masyarakat ciri pokoknya adalah upaya preventif (pencegahan penyakit) dan promotif (peningkatan kesehatan), maka kedua hal tersebut juga menjadi ciri pokok dalam kesehatan kerja. Dalam kesehatan kerja pedomannya adalah ’’ Penyakit dan kecelakaan akibat kerja dapat dicegah’’, maka upaya pokok kesehatan kerja ialah pencegahan kecelakaan akibat kerja.
Salah satu tujuan utama kesehatan kerja adalah pencegahan dan pemberantasan penyakit-penyakit dan kecelakaan-kecelakaan akibat kerja. Tujuan akhir kesehatan kerja adalah untuk menciptakan tenaga kerja yang sehat dan produktif. Tujuan ini dapat dicapai, apabila didukung oleh lingkungan kerja yang memenuhi syarat-syarat kesehatan. Lingkungan kerja yang mendukung terciptanya tenaga kerja yang sehat dan produktif antara lain : suhu, penerangan/pencahayaan
yang cukup, bebas debu, sikap badan yang baik, alat-alat kerja yang sesuai dengan ukuran tubuh atau anggotanya, dan sebagainya ( Notoatmodjo, 2007).
2.7.1. Perilaku Kesehatan
Becker (1979) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan ( health related behaviour) sebagai berikut ; Perilaku kesehatan (health
behaviour), yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang
dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan- tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan, memilih makanan, sanitasi, dan sebagaianya. Dalam hal ini juga termasuk tindakan untuk mencegah kecelakaan kerja. Lawrence Green, 1980 menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar perilaku (non behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor :
• Faktor predisposisi (predisposising factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, tradisi, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
• Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan lain sebagainya.
• Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Dari teori Green ini dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku ( Notoatmodjo, 2007).
2.7.2. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007). Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. b. Memahami (comprehensian)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
d. Analisa (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain..
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2003).
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden Pengetahuan terkait dengan pencegahan kecelakaan kerja menjadi fokus utama.
2.7.3. Sikap
Menurut Notoatmodjo (2007), sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang
dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.
Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak, berpersepsi dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan, situasi atau kelompok..
Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri sikap dari beberapa tingkatan (Notoatmodjo, 2007), yaitu :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau memperhatikan stimulus yang diberikan.
b. Menanggapi (responding)
Menanggapi diartikan memberi jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.
c. Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus.
d. Bertanggungjawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi tindakannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek yang bersangkutan. Pertanyaan secara langsung juga dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan kata ”setuju” atau ”tidak setuju” terhadap pertanyaan-pertanyaan terhadap objek tertentu.
2.7.4. Kepercayaan
Menurut Kamus besar bahasa Indonesia (2005) kepercayaan adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar atau nyata.
Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu (Notoatmodjo, 2007).
Health Belief Model (Model Kepercayaan Kesehatan).
Pendekatan teori Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model) dari Wolinsky (dalam Kalangie, 1994), menyebutkan beberapa faktor yang memengaruhi seseorang bertindak untuk mencari pengobatan atas penyakitnya yang menunjukkan tingkat permintaan pelayanan kesehatan, yaitu :
1. Perantara. 2. Keseriusan. 3. Manfaat.
4. Hal yang memotivasi.
Health Belief Model (HBM) seringkali dipertimbangkan sebagai kerangka
penelitian perilaku kesehatan sejak tahun 1950-an, Health Belief Model (HBM) diuraikan dalam usaha menerangkan perilaku yang berkaitan dengan kesehatan, dimulai dari pertimbangan orang-orang mengenai kesehatan. Health Belief Model (HBM) digunakan untuk meramalkan perilaku peningkatan kesehatan.
Health Belief Model (HBM) merupakan model kognitif, yang berarti bahwa khususnya proses kognitif dipengaruhi oleh informasi dari lingkungan. Menurut
Health Belief Model (HBM) kemungkinan individu akan melakukan tindakan
pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua keyakinan atau (Health
Beliefs) yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit atau luka (percieved Threat of Injury or Illness) dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian (Benefits and Costs).
Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap resiko yang akan muncul. Hal ini mengacu pada sejauh mana seseorang berfikir penyakit atau kesakitan betul-betul merupakan ancaman kepada dirinya. Asumsinya adalah bila ancaman yang dirasakan tersebut meningkat maka perilaku pencegahan juga akan meningkat.
Perilaku tentang ancaman yang dirasakan ini berdasarkan pada :
a. Ketidak kebalan yang dirasakan (Perceived Vulnera Bility) yang merupakan kemungkinan bahwa orang-orang dapat mengembangkan masalah kesehatan menurut kondisi mereka.
b. Keseriusan yang dirasakan (Perceived Severity) orang-orang yang mengevaluasi seberapa jauh keseriusan penyakit tersebut, mereka atau membiarkan penyakitnya tidak ditangani.
Fokus asli dari Health Belief Model (HBM) adalah perilaku pencegahan yang berkaitan dengan dunia medis, dan mencakup berbagai ancaman penyakit berdasarkan perilaku yang dirasakan sehingga memerlukan pemeriksaan penyakit (cek-up) untuk pencegahan atau pemeriksaan awal (screening).
Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku menurut Notoatmodjo (2005), adalah :
1. Kepercayaan.
Perilaku seseorang dalam bidang kesehatan dipengaruhi oleh kepercayaan orang- orang tersebut terhadap kesehatan. Kepercayaan tersebut setidak-tidaknya menjadi manfaat yang akan diperoleh. Kerugian yang di dapat, hambatan yang di terima serta kepercayaan bahwa dirinya dapat diserang penyakit.
2. Sarana.
Tersedia atau tidaknya sarana yang dimanfaatkan adalah hal yang penting dalam munculnya perilaku seseorang di bidang kesehatan, betapapun positifnya latar belakang, kepercayaannya dan kesiapan mental yang dimiliki tetapi jika sarana kesehatan tidak tersedia tentu perilaku kesehatan tidak akan muncul.
3. Latar belakang.
Latar belakang yang memengaruhi perilaku seseorang dalam bidang kesehatan dibedakan atas pendidikan, pekerjaan, penghasilan, norma-norma yang dimiliki
dan nilai-nilai yang ada pada dirinya, serta keadaan sosial budaya yang berlaku.
2.8. Landasan Teori
Pembicaraan mengenai konsep penyebab incident bertalian dengan runutan sejarah perkembangan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dari permulaan hingga saat ini secara keseluruhan model/konsep tentang penyebab kecelakaan berkembang hingga yang paling akhir dewasa ini diterapkaan, tapi kemudian pada titik tertentu berbalik pada konsep awal/dasar seperti sebuah mode. Seperti kita ketahui trend yang saat ini dominan, banyak diterapkan terutama perusahaan-perusahaan besar disamping menjadi tuntutan global dan memang telah disepakati/diakui baik oleh para ahli maupun praktisi K3 di perusahaan bahwa muara/diagnosis akhir terjadinya kecelakaan sekaligus terapi awal upaya pencegahan kecelakaan adalah manajemen sebagi sebuah sistem namun, kembali pada konsep awal seperti yang dikemukakan oleh H.W. Heinrich dengan dominasi human error/unsafe acts atau kembali ke perilaku manusia (Riyadi, 2007).
Terjadinya kecelakaan kerja disebabkan oleh kedua faktor utama yakni faktor fisik dan faktor manusia. Oleh sebab itu, kecelakaan kerja juga merupakan bagian dari kesehatan kerja. Tujuan akhir dari kesehatan kerja adalah mencapai kesehatan masyarakat pekerja dan produktivitas kerja yang setinggi-tingginya (Notoatmodjo, 2007).
Kecelakaan-kecelakaan akibat kerja dapat dicegah dengan pendidikan, latihan-latihan, penggairahan, dan semua aspek perangkat lunak yakni manusia dan
segala unsur yang berkaitan (Suma’mur, 1997). Jadi dapat disimpulkan bahwa keselamatan kerja pada hakekatnya adalah usaha manusia dalam melindungi hidupnya dan yang berhubungan dengan itu, dengan melakukan tindakan preventif dan pengamanan terhadap terjadinya kecelakaan kerja ketika sedang bekerja.
Menurut Health Belief Model (HBM) kemungkinan individu akan melakukan tindakan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua keyakinan atau (Health Beliefs) yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit atau luka (percieved Threat
of Injury or Illness) dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian (Benefits and Costs).
Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku menurut Notoatmodjo (2005), adalah latar belakang. Latar belakang yang memengaruhi perilaku seseorang dalam bidang kesehatan dibedakan atas pendidikan, pekerjaan, penghasilan, norma-norma yang dimiliki dan nilai-nilai yang ada pada dirinya, serta keadaan sosial budaya yang berlaku.
Green dalam teorinya mengemukakan ada tiga faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan yaitu :
1. Faktor predisposisi (predisposising factors), terwujud dalam pengetahuan, sikap kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan. 3 Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku masyarakat, dalam hal ini petugas pengawas yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Landasan teori yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian adalah Teori Green dan Notoatmodjo (2005) yang dapat dilihat pada skema di bawah ini.
Gambar 2.1. Diagram Teori Green
Faktor Predisposisi : - Pengetahuan - Sikap - Kepercayaan - Nilai - Persepsi - Tingkat Pendidikan - Tingkat Pendapatan Faktor pendorong dukungan dari : - Orang lain - Teman sebaya - Petugas kesehatan - Orangtua Faktor pendukung : - Ketersediaan sarana dan prasarana - Peraturan-peraturan Perilaku individu atau masyarakat Tingkat kesehatan