• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesempatan Kerja Sektoral di Pedesaan

Hasil analisis persamaan kesempatan kerja sektoral di pedesaan menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) yang berkisar antara 0.8917 hingga 0.9677. Dengan demikian peubah penjelas yang ada dalam model dapat menjelaskan perilaku variabel endogennya sekitar 89.17 persen hingga 96.77 persen, sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak masuk dalam model. Pengaruh peubah penjelas secara bersama-sama terhadap variabel endogen juga signifikan pada tingkat kesalahan yang ditolerir (a) = 0.01 dan 0.05 (Tabel 10). Hasil analisa estimasi parameter peubah penjelas secara partial pada setiap persamaan kesempatan kerja sektoral di pedesaan akan diuraikan satu persatu sebagai berikut.

Sektor Pertanian Pedesaan. Hasil pendugaan peubah penjelas pada persamaan kesempatan kerja sektor pertanian pedesaan menunjukkan bahwa, semua variabel estimasi dalam model berpengaruh signifikan terhadap kesempatan kerja pertanian pedesaan pada tingkat kesalahan a = 0.01, 0.05 dan 0.10. Variabel determinan yang memiliki koefisien korelasi negatif adalah variabel konsumsi masyarakat (CS), pengeluaran pemerintah (GOV) dan impor (IMP). Sedangkan variabel determinan seperti upah riil, TFPP, investasi, ekspor, nilai tambah sektor pertanian, krisis ekonomi dan angkatan kerja pedesaan berkorelasi positif dengan kesempatan kerja pertanian pedesaan.

Beberapa interpretasi hasil dari persamaan ini adalah (1) sifat TFPP di sektor pertanian pedesaan dapat mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor ini. Sifat TFP pertanian di ini, kontras dengan sifat TFP di sektor industri dan sektor lainnya, khususnya diperkotaan yang umumnya mereduksi kesempatan kerja (hemat tenaga kerja). Karena TFP sering dijadikan simbol kemajuan teknologi, maka sifat TFPP yang berkorelasi positif dengan kesempatan kerja di pertanian dapat dipahami mengingat sifat teknologi pertanian, pada perinsipnya memang ada dua jenis yakni teknologi mekanik (mesin) yang umumnya menghemat tenaga kerja dan teknologi Bio-Kimiawi atau teknologi intensifikasi yang fungsinya untuk menghemat penggunaan lahan. Jenis teknologi terkahir ini bukanlah menghemat penggunaan tenaga kerja, bahkan dengan teknologi intensif ini, memungkinkan kebutuhan tenaga kerja per satua luas lahan menjadi semakin

meningkat. (2) Sektor pertanian pedesaan merupakan ”dewa penyelamat” sebagian besar tenaga kerja pedesaan di saat krisis ekonomi, bahkan mungkin sektor ini merupakan penampung sementara dari limpahan tenaga kerja dari sektor industri dan sektor lainnya di yang melakukan efisiensi tenaga kerja di saat krisis ekonomi. (3) pengeluaran pemerintah (GOV) berkorelasi negatif dengan permintaan tenaga kerja pertanian pedesaan. Korelasi yang negatif ini, terlihat jelas pada periode desentralisasi dan otonomi daerah yang diawali sejak tahun 2001. Dimana pada sejak periode ini pengeluaran pemerintah mengalami lompatan besar sejalan dengan kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Namun pada periode ini tenaga kerja pertanian, maupun nilai tambah yang diciptakan mengalami kemerosotan yang tajam (Lihat Tabel 6. pada bagian terdahulu). Gambaran ini menjelaskan bahwa pada periode otonomi daerah pun, sektor pertanian masih berada dalam fase ignorance dari pengambil kebijakan di daerah. (4) Sektor pertanian pedesaan seringkali disebut sebagai ”penampung para pekerja sementara” yakni bagian dari surplus tenaga kerja yang tidak tahan menganggur walau dengan tingkat upah yang rendah. Gejala seperti ini, tampaknya masih menjadi trend di Sulawesi Selatan, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi angkatan kerja paling besar terhadap persamaan kesempatan kerja pertanian pedesaan yakni 0.5304, yang berarti setiap pertambahan angkatan kerja pedesaan sebanyak 10 orang, maka akan terserap sebanyak 5 orang di sektor pertanian pedesaan. Akan tetapi, dengan membandingkan nilai elastisitas variabel AKD terhadap setiap persamaan kesempatan kerja pedesaan, maka terlihat bahwa kesempatan kerja sektor lain di pedesaan juga responsif (elastis) terhadap perubahan AKD. Dengan demikian, maka sektor pertanian pedesaan, bukanlah satu-satunya sektor yang merupakan penampung para pekerja sementara ini. Fenomena ini mungkin disebabkan oleh tingkat upah di sektor pertanian pedesaan yang sudah sangat rendah, sehingga sebagian dari angktan kerja baru ini lebih memilih sektor lainnya di pedesaan sebagai tempat bekerja sementara di pedesaan.

Tabel 10 Hasil estimasi parameter persamaan kesempatan kerja sektoral di wilayah pedesaan Sulawesi Selatan, tahun 1985-2004

Elastisitas

PEUBAH Dugaan

Parameter

Probability

t-Statistik JK Pendek JK Panjang

KPD Kesemp. Kerja Pert Desa

Intersept 963282.8 0.0000 a)

Upah Pert Desa (WPD) 1.212466 0.0109 b) 0.0524 0.0874

TFP Pert (TFPP) 4384.173 0.0900 c) 0.0028 0.0047

Konsumsi Masy (CS) -0.122221 0.0000 a) -1.1406 -1.9045

Investasi (INV) 0.153021 0.0000 a) 0.5762 0.9621

Pengel. Pemerintah (GOV) -0.065470 0.0007 a) -0.1756 -0.2932

Expor (EXPR) 0.052994 0.0001 a) 0.2437 0.4069

Impor (IMP) -0.063440 0.0001 a) -0.2666 -0.4452

Nilai Tambah Pert. (NTBP) 0.039500 0.1003 c) 0.2409 0.4022

Dummy Krisis Eko. (DKE) 229738.8 0.0000 a) 0.0542 0.0905

Angkatan Kerja Desa (AKD) 0.530425 0.0000 a) 0.7726 1.2900

Lag Endogen (Lag KPD) 0.409153 0.0002 a) 0.4011 0.6697

R2 = 0.9565; F-Hitung = 12.0029 a) ; DW = 2.0211

KID Kesemp. Kerja Industri Desa

Intersept -1696.024 0.9039

Upah Industri desa (WID) -0.207047 0.0083 a) -0.1651 -0.6095

TFP Industri (TFPI) 926.2314 0.0109 b) 0.0091 0.0337

Konsumsi Masy (CS) -0.001207 0.6366 -0.1732 -0.6394

Investasi (INV) 0.003850 0.0038 a) 0.2229 0.8229

Pengel. Pemerintah (GOV) 0.003826 0.1998 0.1577 0.5824

Expor (EXPR) 0.004550 0.1698 0.3217 1.1876

Impor (IMP) -0.004249 0.2635 -0.2746 -1.0137

Nilai Tambah Indust. (NTBI) 0.017665 0.0610 c) 0.4991 1.8426

Dummy Krisis Eko. (DKE) -12545.22 0.0216 b) -0.0455 -0.1680

Angkatan Kerja Desa (AKD) 0.002018 0.8757 0.0452 0.1668

Lag Endogen (Lag KID) 0.739213 0.0001 a) 0.7291 2.6921

R2 = 0.9668; F-Hitung = 15.8742 a) ; DW = 2.4105

KLD Kesemp. Kerja Sek Lain Desa

Intersept -207063 0.1379

Upah Sek Lain Desa (WLD) -0.278456 0.6408 -0.0532 -0.0606

TFP Sektor Lain (TFPL) -241.8926 0.8176 -0.0005 -0.0006

Konsumsi Masy (CS) 0.032557 0.2702 1.0160 1.1582

Investasi (INV) 0.030073 0.0044 a) 0.3787 0.4317

Pengel. Pemerintah (GOV) 0.119764 0.0032 a) 1.0740 1.2243

Expor (EXPR) 0.082427 0.0410 b) 1.2674 1.4448

Impor (IMP) -0.090462 0.0295 b) -1.2714 -1.4494

Nilai Tambah S.Lain (NTBL) 0.002564 0.8747 0.0706 0.0805

Dummy Krisis Eko. (DKE) -184867.9 0.0205 b) -0.1458 -0.1662

Angkatan Kerja Desa (AKD 0.198075 0.0769 c) 0.9648 1.0998

Lag Endogen (Lag KLD) 0.123843 0.7214 0.1228 0.1399

R2 = 0.8917; F-Hitung = 4.4918 b); DW =2.0436 Sumber : Diolah dari Berbagai Data BPS, 1985-2004

Sektor Industri Pedesaan, hasil pendugaan peubah penjelas pada persamaan ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja industri pedesaan di pengaruhi oleh variabel upah riil (WID), teknologi (TFPI), investasi (INV), nilai tambah sektor industri (NTBI) dan dummy krisis ekonomi pada tingkat kesalahan yang dapat ditolerir (a) = 0.01, 0.05 dan 0.10. Variabel pengeluaran pemerintah (GOV) dan ekspor (EXPR) berpengaruh signifikan pada tingkat kesalahan a =

0,20, sedangkan variabel seperti konsumsi masyarakat (CS), impor (IMP) dan

supply angkatan kerja tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada

peningkatan kesempatan kerja di sektor ini (Tabel 10).

Koefisien arah dari variabel upah riil, konsumsi masyarakat, impor dan dummy krisis ekonomi bertanda negatif, yang berarti bahwa peningkatan nilai dari variabel- variabel tersebut akan mereduksi kesempatan kerja sektor ini. Sedangkan variabel lainnya akan mendorong perluasan kesempatan kerja. Akan tetapi pengaruh masing- masing variabel terhadap perubahan (kenaikan/penurunan) kesempatan kerja di sektor ini relatif kecil dalam jangka pendek. Hal ini di didasarkan pada nilai elastisitas jangka pendek masing- masing variabel bersifat in-elastis. Namun dalam jangka panjang, perubahan kesempatan kerja sektor industri pedesaan ini sangat responsif terhadap perubahan variabel ekspor, impor dan nilai tambah sektor, ya ng ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka panjang variabel ini bersifat elastis.

Dengan membandingkan hasil estimasi persamaan kesempatan kerja sektor industri di wilayah pedesaan dengan di wilayah perkotaan, maka terdapat perbedaan yang mendasar dalam dua hal yakni (1) TFPI di sektor industri pedesaan bersifat mendorong kesempatan kerja (berkorelasi positif), sedangkan pada sektor serupa di wilayah perkotaan, bersifat mereduksi kesempatan kerja (berkorelasi negatif). Perbedaan sifat TFPI ini dapat terjadi karena di sebabkan oleh dua hal yakni a) Jenis teknologi yang berkembang di perkotaan cenderung hight technology (industri padat modal), dengan sekala produksi yang besar, sehingga sehingga sangat menghemat tenaga kerja. Sedangkan teknologi industri pedesaan umumnya teknologi sederhana atau industri padat karya, yang sifatnya tidak banyak menghemat tenaga kerja. b) “Efek substitusi” lebih besar dibandingkan “efek nilai tambah” yang ditimbulkan dari teknologi di industri perkotaan, sehingga “efek total” teknologi bersifat negatif terhadap kesempatan kerja pada industri perkotaan. Teknologi pada industri pedesaan memberikan “efek nilai tambah” lebih besar, sehingga secara total, teknologi pada industri pedesaan menghasilkan efek yang bersifat positif dengan kesempatan kerja. Efek nilai tambah terhadap kesempatan kerja, ditunjukkan oleh nilai elastisitas variabel nilai tambah industri (NTBI) yang memang lebih besar pada industri pedesaan

dibandingkan nilai elastisitas variabel serupa pada industri perkotaan. -- Sebagai faktor produksi, teknologi tidak hanya menimbulkan “efek substitusi” dengan faktor produksi tenaga kerja, tetapi juga menimbulkan “efek peningkatan nilai tambah” yang bersifat positif dengan kesempatan kerja. Apabila efek substitusi melebihi efek nilai tambah, maka efek total dari teknologi akan mereduksi kesempatan kerja, sebaliknya apabila efek substitusi lebih kecil dari efek nilai tambah, akan mendorong perluasan kesempatan kerja.

Hasil ini juga diperkuat oleh temuan Nordhaus (2005) dalam Siregar (2006), yang menunjukkan bahwa peningkatan teknologi pada sektor padat karya (seperti pertanian dan industri agro) justru meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Logikanya adalah bahwa kenaikan produktivitas dan daya saing produk sektor tersebut akan menyebabkan harga jual yang lebih kompetitif, sehingga meningkatkan permintaan terhadap produk itu. Kenaikan permintaan ini pada gilirannya meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Temuan Juanda (2001), juga menunjukkan bahwa pembangunan agroindustri akan memberi beberapa keuntungan yaitu penyerapan tenaga kerja, pasar untuk komoditi pertanian, kemampuan ekspor dan relaif sedikit komponen bahan baku impornya.

Perbedaan kedua adalah dampak konsumsi masyarakat (CS), dimana pada persamaan kesempatan kerja industri kota signifikan mendorong perluasan kesempatan kerja di sektor ini, akan tetapi cenderung mereduksi kesempatan kerja industri pedesaan. Hal ini disebabkan, karena peningkatan kosumsi masyarakat yang disertai oleh peningkatan pendapatan, akan menyebabkan pegeseran pola permintaan masyarakat ke komoditi/barang yang bersifat lux atau barang yang berkualitas bagus. Hasil industri seperti ini umumnya di produksi di wilayah perkotaan. Sementara hasil industri pedesaan yang kualitasnya rendah atau bersifat inferior biasanya permintaannya menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Adanya pergeseran pola permintaan barang hasil industri tersebut, tentunya juga akan berdampak pula pada pergeseran permintaan tenaga kerja sektor industri.

Hasil pendugaan persamaan kesempatan kerja industri pengolahan di perkotaan dan di pedesaan juga memiliki karakteristik yang mirip, terutama pada

tiga hal yakni (1) sektor industri pengolahan perkotaan dan pedesaan sama-sama mengalami kemerosotan tajam pada saat terjadinya krisis ekonomi, yang ditunujukkan oleh koefisien korelasi variabel dummy krisis ekonomi bertanda negatif di masing- masing persamaan; (2) persamaan kesempatan kerja pada kedua sektor ini, juga sama-sama memiliki koefisien korelasi angkatan kerja yang sangat kecil dan tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya bukanlah merupakan sektor penampung para pekerja sementara, seperti halnya di sektor pertanian; (3) Koefisien korelasi variabel pengeluaran pemerintah terhadap persamaan kesempatan kerja industri pengolahan perkotaan dan pedesaan sama-sama bertanda positif, sedangkan di sektor pertanian variabel ini bertanda negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah cenderung bias industri pengolahan, baik di perkotaan maupun di pedesaan.

Kesempatan Kerja Sektor Lainnya di Pedesaan, Hasil pendugaan variabel- variabel penjelas pada persamaan kesempatan kerja sektor lainnya di pedesaan menunjukkan bahwa, kesempatan kerja di sektor ini dipengaruhi oleh investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor, impor, dummy krisis ekonomi dan peningkatan angkatan kerja. Variabel- variabel ini signifikan pada tingkat kesalahan a = 0.01, 0.05 dan 0.10. Sedangkan variabel konsumsi masyarakat, upah riil (WLD), teknologi (TFPL) dan nilai tambah sektor (NTBL) tidak memberi pengaruh yang signifikan. Dari variabel-variabel yang memberi pengaruh signifikan tersebut, hanya variabel impor dan dummy krisis ekonomi yang brsifat mereduksi (korelasi negatif) kesempatan kerja sektor lainnya di pedesaan.

Dilihat dari nilai elastisitas masing- masing peubah penjelas, tampak bahwa variabel seperti konsumsi masyarakat, pengeluaran pemerintah dan ekspor dan impor memiliki nilai elastisitas jangka pendek yang bersifat elastis. Hal ini diartikan bahwa jika terjadi peningkatan 1 persen pada variabel tersebut akan berdampak besar (meningkat diatas 1 persen) pada penigkatan kesempatan kerja di sektor lainnya di pedesaan. Bahkan dalam jangka panjang respon kesempatan kerja di sektor ini terhadap perubahan variabel tersebut lebih besar lagi (lebih elastis). Gambaran ini menunjukkan bahwa, ada kecenderungan peningkatan kesempatan kerja yang lebih besar dalam jangka panjang di sektor ini sejalan

dengan meningkatnya ekspor dan peningkatan konsumsi masyarakat, serta sejalan dengan semakin meningkatnya pengeluaran pemerintah yang selama ini banyak diarahkan untuk memperbaiki infrastruktur pedesaan.

5.4.3. Upah Riil Tenaga Kerja Sektoral di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Model analisis persamaan upah riil dibangun berdasarkan pertimbangan bahwa upah rill selain ditentukan oleh sisi permintaan (kesempatan kerja) dan sisi penawaran (angkatan kerja) tenaga kerja. Upah riil juga dipengaruhi oleh peningkatan nilai output sektoral, serta penggunaan input substitusi atau komplementer (modal dan teknologi) dalam melakukan aktivitas produksi di masing- masing sektor. Selain itu upah riil ini juga di pengaruhi oleh intervensi pemerintah dalam pasar tenaga kerja melalui penetapan upah minimum regional. Persamaan-persamaan upah riil yang dibangun dalam model ini didisagregasi secara sektoral baik di wilayah perkotaan, maupun di wilayah pedesaan.

Hasil analisis pendugaan parameter persamaan upah riil sektoral di wilayah perkotaan dan pedesaan di Sulawesi Selatan, menghasilkan nilai koefisien detereminasi (R2) yang berkisar antara 54.79 persen hingga 74.27persen. Selain itu pada setiap persemaan peubah penjelas secara bersama-sama juga berpengaruh signifikan pada tingkat kesalahan yang ditolerir (a) = 0.05, 0.10 dan 0.20. Nilai statistik DW berkisar antara 1.9090 hingga 2.6260. Pembahasan terperinci mengenai hasil estimasi pada setiap persamaan upah riil sektoral di kelompokkan menjadi dua bagian secara terpisah yakni upah riil sektoral di wilayah perkotaan dan upah riil sektoral di wilayah pedesaan yang dibahas satu persatu sebagai berikut.