• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN WILAYAH KECAMATAN SIPOHOLON, KABUPATEN

2.2. Masyarakat di Kecamatan Sipoholon

2.2.6 Kesenian

Masyarakat Batak Toba dikenal sebagai masyarakat yang mencintai kesenian. Kesenian tersebut meliputi seni musik, seni tari, seni kerajinan tangan, seni teater yang dikenal dengan opera Batak dan seni bangunan. Serangkaian kesenian tersebut yaitu:

2.2.6.1 Seni Musik 1. Nyanyian (ende)

Nyanyian merupakan ungkapan kalimat dengan menggunakan melodi dan teks. Semua orang batak senang bernyanyi, terlepas dari bagus tidaknya suara seorang yang sedang bernyanyi. Dalam Bahasa Batak bernyanyi disebut dengan marende. Kebanyakan kegiatan bernyanyi sering dilakukan untuk menghibur diri sendiri. Dalam setiap aktifitas masyarakat selalu ada nyanyian yang mengiringi kegiatan dan suasana yang terjadi pada saat itu.

Contoh nyanyian menidurkan anak dinamakan mandideng. Andung-andung adalah musik vocal yang bercerita tentang riwayat hidup seorang yang telah meninggal dunia yang disajikan pada saat atau sebelum disemayamkan. Dalam ende andung teks melodinya dibawakan secara spontan.

2. Gondang

Kata gondang memiliki banyak pengertian tergantung situasi dan konteksnya. Penegertian gondang tersebut antara lain seperangkat alat musik, ensambel musik, repertoar musik, satu komposisi lagu, satu tempo lagu, suatu upacara, menunjukkan satu segmen tertentu dalam kegiatan manortor pada sebuah upacara (Harahap, 2016: 159-160)

Gondang dalam bentuk ensambel musik dalam masyarakat Batak Toba dibedakan atas dua jenis yaitu gondang hasapi dan gondang bolon. Gondang hasapi terdiri dari seperangkat alat musik diantaranya sarune etek (alat musik tiup berlidah ganda), hasapi dua buah (alat musik petik pembawa melodi dan pembawa ritem konstan), garantung (bilahan kayu yang disusun dengan tangga nada pentatonik sebagai pembawa melodi) dan hesek (menggunakan botol kosong atau dua bilah besi sebagai pembawa tempo). Sedangkan gondang sabangunan merupakan ensambel musik yang terdiri dari sarune bolon (alat musik tiup berlidah ganda), taganing (gendang yang bersisi satu yamg terdiri dari lima buah gendang dan dilaras), gordang (satu buah gendang besar bersisi satu dan tidak din laras), satu set ogung (oloan, ihutan, panggora, dan doal), dan hesek (botol kosong atau lempeng besi yang dipukul sebagai pembawa tempo). (Purba, 2000:1)

Namun kesenian gondang kini sudah sulit ditemukan di Kecamatan Sipoholon. Hal tersebut didasari oleh anggapan masyarakat yang mengatakan bahwa musik gondang tersebut adalah musik yang meyeramkan dan dapat menyebabkan kerasukan.

2.2.6.2 Seni Tari

Seni tari adalah ekspresi perasaan dengan gerakan yang estetis dan artistik akan menjelma dalam gerakan yang teratur sesuai dengan isi irama. Gerakan tari dapat dilakukan secara perorangan maupun berkelompok. Dalam masyarakat Batak toba dinamakan dengan tor-tor, sedangkan kegiatan menari dinamakan manortor.

Sama seperti tarian pada umumnya, tarian pada masyarakat Batak Toba dapat dilakukan secara perarorangan, berpasangan, maupun berkelompok. Tetapi tidak

seperti kebanyakan tarian lain, setiap gerakan dalam tarian (tor-tor) memiliki makna dan arti tertentu yang juga berfungsi sebagai media komunikasi. Pada umumnya kegiatan manortor diiringi dengan oleh gondang. Setiap gondang dan upacara adat memiliki ciri khas gerakan tor-tor masing-masing yang sesuai dan diperuntukkan untun gondang dan upacara adat tersebut.

2.2.6.3 Seni Kerajina Tangan

Seni kerajinan tangan yang lazim di lakukan di Kecamatan Sipoholon adalah menenun ulos. Ulos adalah busana khas Batak Toba. Secara turun temurun ulos dikembangkan oleh masyarakat Batak Toba. Cara membuat ulos yaitu dengan cara di tenun. Dewasa ini sudah banyak mesin untuk menenun ulos.

Warna yang dominan untuk olos yaitu warna hitam, putih, dan merah yang dihiasi dengan ragam bentuk motif menggunakan benang. Pada dasarnya ulos hanyalah selendang dan sarung biasa. Kerap digunakan dalam kegiatan upacara adat masyarakat Batak Toba. Tetapi dewasa ini kain ulos sudah difariasikan ke berbagai bentuk busana dan souvenir, sarung bantal, ikat pinggang, dan berbagai macam hal lainnya.

Seni pembuataan alat musik juga dapat kita temukan di Sipoholon diantaranya adalah pembuat gitar dan poti marende. Suatu hal yang menarik untuk dibahas, karena di Kabupaten Tapanuli Utara peengrajin alat musik Barat tersebut hanya di temukan di Kecamatan Sipoholon, lebih tepatnya di Desa Hutauruk.

2.2.6.4 Seni Teater

Masyarakat Batak Toba mengenal sebuah pertunjukan drama teater yang disebut opera batak. Opera Batak merupakan sebuah media hiburan masyarakat

Batak Toba dan yang yang menjadi pelakon dalam opera batak disebut par opera.

Biasanya penggiat seni opera tersebut berkeliling dari desa yang satu ke desa yang lain untuk melakukan pertunjukan. Opera Batak eksis di kehidupan masyarakat sebelum adanya televisi dan radio. Cerita yang disajikan dalam opera batak berisi cerita-cerita rakyat Batak Toba. Di sela-sela pementasan opera batak biasanya diselingi dengan nyanyian dan tarian. Nyanyian, tari, dan lakon biasanya di kemas semenarik mungkin untuk menarik perhatian penonton yang menyaksikan pementasan opera batak terasebut.

2.2.6.5 Seni Bangunan dan Ukir-ukiran

Rumah adat tradisional Batak Toba terbuat dari kayu dinamakan jabu bolon dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Atapnya terbuat dari bahan ijuk dan bentuk atapnya melengkung. Di ujung atap bagian depan terdapat tanduk kerbau.

Pada umumnya dinding rumah adat Batak dihiasi dengan ornamen-ornamen yang terdiri dari warna merah, putih, hitam yang dimana putih melambangkan banua ginjang, merah melambangkan banua tonga, dan hitam banua toru. Ornamen-ornamen tersebut disebut oleh orang Batak gorga. Orang yang membuat gorga disebut dengan panggorga. Dewasa ini, gorga bukan hanya digunakan mejadi ornamen rumah tradisional lagi, melainkan menjadi ornamen gitar yang dibuat di Sipoholon.

BAB III

KEBERADAAN DAN SEJARAH POTI MARENDE DI KECAMATAN SIPOHOLON

Bab ini menjelaskan poti marende dimulai dari pengertian poti marende.

Bab ini tidak hanya menguraikan mengenai pengertian poti marende saja melainkan juga meliputi sejarah poti marende, pembuat poti marende di Sipoholon, dan mekanisme produksi bunyi pada poti marrende. Uraian pada bab ini menjadi penting karena bab ini memaparkan secara terperinci mengenai poti marende untuk mendukung pembahasan pada fungsi sisoal masyararakat. Oleh karena itu hal-hal yang dibahas dalam bab ini dimaksudkan dapat memberikan penjelasan yang cukup untuk mendukung diskusi terkait fungsi sosial dan pengaruh dengan adanya poti marende pada kebudayaan musik lokal yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara.

3.1 Pengertian Poti Marende

Poti marende (dibaca poti maredde) merupakan kalimat yang berasal dari Bahasa Batak Toba. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dalam terjemahan bebas, poti berarti “peti atau kotak” sementara marende adalah

“bernyanyi” maka dari itu poti marende jika di terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan terjemahan bebas adalah “peti bernyanyi”. Lebih jauh lagi dalam Kamus Bahasa Batak Toba Indonesia menejelaskan bahwa poti berarti peti yang berasal dari kayu dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang dan marende adalah bernyanyi (Joosten 2008: 108,198). Jadi jika diartikan secara bersama poti marende adalah peti kayu yang bernyanyi. Menurut Jakro dalam website Kamus

Batak Online menyatakan bahwa poti marende adalah harmonium, orgel, dan organ. Menurut Anggur (1977: 42) mengatakan poti marende adalah orgel, piano.

Dari paparan tersebut di atas yang menjelaskan bahwa poti marende adalah

“peti bernyani, peti kayu yang bernyanyi, orgel, organ, atau harmonium”. Maka penulis lebih cenderung mengartikan bahwa poti marende adalah nama sebuah instrumen musik yang berjenis organ pompa (pump organ) yang memiliki tuts dan mekanisme produksi bunyinya dilakukan dengan cara memompa udara ke dalam kantong udara dengan menggunakan kaki pada kedua pedal poti marende yang terletak di bagian bawah poti marende tersebut sehingga udara yang dipompakan tersebut melewati pipa tipis dan sebuah reed (lidah getar) yang terbuat dari logam tipis.

Poti marende dimainkan dengan cara menekan tuts seperti tuts piano pada umumnya yang kemudian udara dalam kantong yang diisi dengan cara memompa pedal tersebut akan keluar melewati potongan–potongan logam atau reed pada bagian tuts yang di tekan.

Instrumen poti marende pada dasarnya dipakai untuk mengiringi nyanyian jemaat pada ibadah-ibadah gereja (ibadah minggu) pada masa penyebaraan ajaran Kristen di tengah komunitas Batak Toba. (Lihat gambar 1).

Gambar 4: poti marende yang dibuat oleh Ardin Siregar di Sipoholon Sumber: Dokumentasi penulis

Poti marende merupakan sebuah instrument yang memiliki tangga nada diatonis dan berasal dari Eropa. Adanya poti marende di Tanah Batak dan di pakai dalam acara-acara ibadah tidak lepas dari peran serta misionaris yang telah membawa dan mengajari masyarakat Batak Toba yang sudah menjadi Kristen dan mau belajar memainkan instrument poti marende tersebut.

Pembelajaran dalam memainkan poti marende mula-mula diajarkan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh para misyonaris di Tanah Batak. Dimana setiap murid di sekolah tersebut mendapatkan mata pelajaran bernyanyi dan bermain musik. Nyanyian yang dimaksud disini adalah nyanyian yang merupakan terjemahan dari Bahasa Jerman. Karena di sekolah-sekolah yang dirikan para misionaris berusaha untuk menanamkan kecintaan para muridnya pada tanah Batak atau tanah para leluhur melalui nyanyian-nyanyian berbahasa Batak namun

melodinya menggunakan melodi lagu yang berbahasa Jerman. (Aritonang, 1988, 290-291)

3.2 Sejarah Poti Marende

Sejarah poti marende tidak terlepas dari kegiatan penyebaran ajaran agama Kristen pada masyarakat Batak Toba oleh misyonaris Jerman yang digagas oleh institusi yang bernama Rheinische MissionsGesellschaft (RMG). RMG adalah salah satu organisasi misionaris terbesar di Jerman. Organisasi ini berdiri pada tahun 1799. Organisai ini mulanya dibentuk dengan misi penginjilan kecil di Elberfelt, Barmen dan Köln.18 Organisasi inilah yang menaungi misionaris yang dikirim ke Indonesia yang berasal dari Jerman. Pada tahun 1961, RMG dan Bethel Mission bergabung dan berubah nama menjadi Vereinte Evangelische Mission

(VEM).

Suku Batak sangat sukar menerima pengaruh kebudayaan luar. Suku Batak tetap mempertahankan kehidupannya di daerah. Kemudian sifat tertutup Orang Batak itu mulai terbuka setelah terjadi pendudukan Islam di bagian Selatan daerah Batak pada Tahun 1830-an. Yang disusul oleh RMG pada tahun 1861 yang hampir bersamaan dengan masa pendudukan Belanda di Tanah Batak. (Lumbantobing, 1992; 1-2).

Jauh sebelum kedatangan RMG ke tanah Batak pada 17 Juni 1834 Munson dan Lyman yang merupakan misyonaris yang berasal dari Amerika Serikat telah tiba di Tanah Batak dengan tujuan penyebaran agama Kristen namun mati martir di

18 Informasi ini didapat dari Wikipedia yang terdapat di google

desa Lobu Pining, Kecamatan Adiankoting. Dibunuh dan dimakan oleh suku Batak yang masih Primitif.

Untuk selanjutnya sejarah poti marende akan di bahas pada sub bab di bawah melalui periodisasi Tahun 1861-1911, Tahun 1911-1936, Tahun 1936-1961, Tahun 1961-2000-an. Dalam periodisasi ini, penulis berpedoman pada tulisan J.R Hutauruk19 tentang periodisasi sejarah HKBP tentang periodisasasi sejarah perkembangan HKBP dalam bukunya ”Tuhan Menyertai Umatnya, Sejarah Jubeleum 125 Thun HKBP”. Menurut penulis periodisasi ini relevan diterapkan dalam menganalisis sejarah poti marende di Sipoholon karena kedatangan poti marende yang tidak terlepas dari penginjilan misionaris dan sejalan dengan

perkembangan gereja di tanah Batak. Judul pada periodisasi ini sesuai dengan perkembangan HKBP yang di tulis oleh J.R Hutauruk sesuai dengan periodisasi yang digunakan dalam bukunya tersebut.

3.2.1 Tahun 1861-1911: Periode Pertumbuhan Gereja di Indonesia Khususnya Tanah Batak

kegiatan penyebaran agama Kristen, yang dikenal juga dengan istilah Batakmission merupakan cikal bakal akulturasi budaya barat dan budaya Batak,

dimulai dari sipirok pada tanggal 7 oktober 1861 dimana ada dua misyonaris yang diutus RMG yaitu Klammer dan Bets, bersamaan dengan dua jendeling Ermelo yang berasal dari Belanda yaitu Van Asselt dan Heine. Ini adalah awal masyarakat Batak mulai melihat dan mempelajari budaya Barat dari apa yang diajarkan oleh

19 Pdt. J. R Hutauruk adalah mantan pimpinan HKBP (ephorus HKBP) periode 2003-2008.

para misyonaris tersebut. Akulturasi budaya barat dan budaya Batak Toba ini dipercepat juga dengan dibukanya sekolah pertama yang didirikan oleh para misyonaris pada tahun 1868. Sekolah ini dinamakan sekolah kateket (belakangan disebut seminari), yang menjadi guru disana adalah A. Schreiber yang tiba di sipirok pada tahun 1866. Beliau diutus oleh RMG dengan tujuan untuk menjadi guru di sekolah yang akan didirikan tersebut. (Aritonang 1988; 108)

Batakmission mengakui hasrat orang Batak untuk maju sangat tinggi.

Ketika kultur modern menerobos pesat ke Tanah Batak, hasrat masyarakat Batak untuk meraih kemajuan semakin berkobar. Setelah kehadiran zending dan Kolonial mereka menyadari bahwa sekolah merupakan sarana yang paling efektif untuk dengan cepat meraih kemajuan tersebut. Berbekal hamajuon (keinginan untuk maju) masyarakat Batak Toba ingin setaraf dengan masyarakat Barat baik itu dibidang sosial-polotik-ekonomi dan rohani (Aritonang, 1988; 288-289)

Sejak awal pemberitaan injil di Indonesia, salah satu hal yang diperhatikan oleh misyonaris adalah nyanyian dan musik gerejawi. Maka dari itu sejak didirikannya sekolah kateket yang pertama pada tahun 1868 pembelajaran nyanyian sudah diajarkan oleh misyonaris. Di sekolah kateket yang pertama ini dikatakan sudah mulai diajarkan pembelajaran musik Barat yang diantaranya adalah bernyanyi (Aritonang, 1988; 108). Missionaris Nommensen juga mengajarkan musik kepada anak-anak didiknya, baik itu bernyanyi dan bermain harmonika.

Nyanyian yang diajarkan tersebut dikumpulkan dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Batak pada tanggal 13 Desember 1871 sampai Maret 1872 di Sipirok.

Semakain lama murid yang sekolah di sekolah kateket yang pertama tersebut semakin banyak dikarenakan murid yang datang dari arah utara banyak yang tertarik untuk belajar di sekolah tersebut. Adalah sebuah hal yang sulit bagi siswa yang berasal dari Utara yang berbahasa Batak Toba karena Bahasa penghantar yang digunakan di sekolah tersebut adalah Bahasa Angkola. Oleh karena itu, pada tahun 1870-an Batakmission yang semakin lama bergeser ke Utara dimana di daerah tersebut kebanyakan berbahasa Batak Toba. Sejak tahun 1874 telah dibuka singkola mardalan-dalan (sekolah berjalan atau sekolah berpindah-pindah). Dinamai demikian karena siswa yang belajar di sekolah tersebut harus berjalan berpindah-pindah tempat dari tempat zendeling yang satu ke zendeling yang lain. Pada ahirnya pada tahun 1877 Batakmission memutuskan untuk memindahkan sekolah ini ke Pansur Napitu (dibaca Paccur Napitu), Silindung yang sekarang ada di kecamatan Siatas Barita. (Aritonang, 1988; 182-183) di sekolah yang di Pansur Napitu ini Batakmission tetap mengajarkan nyanyian kepada murid-murid. Pada tahun 1884 Weerwaldt mengusulkan sebuah kurikulum yang baru dimana musik dan nyanyian termasuk di dalamnya. Mengenai pembelajaran musik dan bernyanyi, Weerwaldt semula berpendapat bahwa nyanyian yang diajarkan janganlah musik dan nyanyian tradisional Batak, karena dinilai masih berbau kafir dan kurang memiliki bobot seni. Menurut beliau yang harus diajarkan haruslah musik Eropa yang menurutnya lebih mulia dan berbobot.

(Aritonang, 1988; 254)

Tahun 1881 Nomennsen di tetapkan sebagi Ephorus (pucuk pimpinan tertinggi Gereja Kristen Batak). Telah ada buku nyanyian yang berisi 121 nyanyian

yang merupakan nyanyian terjemahan dari Bahasa jerman maupun Belanda. Buku tersebut hanya menuliskan syair lagu tanpa menulis notasi lagu-lagu tersebut.

(Pardede, 2011; 63)

Tahun 1890 terbitlah sebuah majalah yang diberi nama majalah Immanuel.

Itu adalah majalah yang pertama yang terbit di Tanah Batak. Diantara isinya terdapat bacaan-bacaan yang sangat berguna, antara lain, soal pendidikan dan cerita-cerita bermutu. (Lumbantobing, 1992; 179-180). Majalah ini juga memberi kontribusi besar dalam perkembangan poti marende karena sempat menuliskan tentang bapak Immanuel Siregar seorang pembuat poti marende pada tahun 1960-an.

Tingginya minat masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya di seminarium Pansur Napitu, sehingga menyebabkan tenaga guru dan gedung tidak memadai, maka pada konferensi tahun 1900 Batakmission memutuskan akan memindahkan seminarium yang ada di Pansur Napitu ke Sipoholon, sekaligus menambah tenaga gurunya. Sampai ahirnya pada tanggal 17 Desembar 1901 seminarium sipoholon diresmikan dan siswa di seminarium Pansur Napitu ikut dipindahkan ke lokasi seminari yang baru. Pada tahun 1902 kurikulum yang baru di Seminarium Sipoholon telah dibuat dan tetap menambahkan pembelajaran musik dalam kurikulum pembelajaran dimana instrumen musik yang dipelajari disana adalah Biola, Harmonium dan Terompet. Pada tahun 1905 kurikulum tersebut kembali di ubah dan yang masuk dalam kurikulum hanyalah nyanyian dan pembelajaran musik tidak lagi masuk dalam kurikulum. (Aritonang, 1988; 236-237;

253-254; 256)

Pada tahun 1911 nyanian jemaat HKBP berjumlah 227 nyanyian dan nyanyian ini sudah dituliskan dalam not balok dan dituliskan nomor nyanyian serta sumber melodinya. (Pardede, 2011; 64)

Lumbantobing (1992; 180) mengatakan buku nyayian gereja Batak pada era ini terdiri dari 373 buah nyanyian dan merupakan nyanyian terjemahan dari Bahasa Jerman, Inggris dan Belanda. Menurutnya, “pada era itu belum ada komponis dan penyair Batak yang mampu menciptakan lagu dan syair berdasarkan budaya bangsanya belum lahir”.

Tahun 1910 sekolah HIS (Holland Inlanse School) didirikan oleh pemerintahan Kolonial di Sigompulon, Tarutung dan segera disusul oleh sekolah-sekolah serupa. Di sekolah-sekolah tersebut Bahasa Belanda menjadi pelajaran utama Karena marupakan syarat bagi jenjang pendidikan yang selanjutnya. Pendidikan selanutnya setelah HIS adalah MULO (Middelbaar Uidgebreid Lager Onderwijs) yang merupakan pendidikan lanjutan selama tiga tahun.

3.2.2 Tahun 1911-1936: Periode Perkembangan, Peningkatan dan Pendewasaan Gereja di Tanah Batak

Pada periode ini dampak dari kontak budaya Barat dan Batak Toba mulai dirasakan oleh para misionaris. Pada dasarnya kultur Barat telah menerobos ke tanah Batak seiring datangnya zending dan pemerintah kolonial Belanda. Pada era ini kultur barat yang masuk semakin didominasi oleh sisi negatif. Yakni sisi yang menurut misionaris tidak didasari oleh injil. Pada era ini, orang Batak hanya meminati kultur kemajuan lahiriah tanpa didasari kekuatan injil.

Tidak banyak tulisan yang menuliskan tentang perkembangan dari poti marende di era ini. Namun era ini menjadi penting karena pada era ini pengaruh

barat sudah semakin kental memasuki budaya Batak yang ada di Tanah Batak.

Ditambah lagi dari bertambahnya sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa itu yang menjadi salah satu hal yang mempengaruhi semakin cepatnya Budaya barat ditiru oleh masyarakat Batak Toba.

Sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda terssebut adalah HIS, MULO dan Schakelschool. Sekolah ini menjadi kambing hitam bagi para misionaris dimana menurut misionaris bahwa sekolah yang didirikan kolonial belanda inilah yang menyebabkan hasrat batiniah masyarakat Batak dalam kultur barat semakin meningkat. Orang Batak semakin haus akan kekayaan, kehormatan dan pangkat dan semakin mengabaikan nilai-nilai moral dan kerohanian yang ditanamkan para zending selama pelayannya. (Aritonang, 1988; 289-290)

Pada era ini orang Batak sudah memiliki niat untuk berdiaspora. Banyak dari orang Batak yang ingin melajutkan sekolahnya diluar dari Tanah Batak. Para zendeling sangat keberatan akan hal ini. Sehingga dalam pengajarannya di sekolah sekolah para zendeling semakin menanamkan kecintaan orang Batak terhadap tanah kelahirannya yaitu tanah Batak melalui nyanyian-nyanyian berbahasa Batak yang liriknya berisikan pesan untuk kecintaan para murid akan tanah kelahirannya.

Seiring bertambahnya waktu pandangan negatif misionaris terhadap massyarakat Batak yang berdiaspora ini semakin berkurang karena mereka melihat banyak juga dari masyaraka Batak yang merantau membawa pengaruh positif diperantauan dan mempelopori pembangun-pembangunan gereja. (Aritonang, 1988; 289-291)

Dari segi musik Sendiri, pengaruh musik Barat juga sudah semakin berpengaruh pada era ini, dikarenakan pada maret 1926 ini sudah terdapat banyak koor di gereja pada waktu itu yang bertangga nada Barat dan buku nyanyian untuk jemaat sudah dicetak sejumlah 322 nomor.

Komposer-komposer musik yang berasal dari masyarakat Batak Toba yang dikenal di seluruh Nusantara telah lahir. Diantaranya yaitu Nahum Situmorang, Lahir di Sipirok, Sumatera utara 14 Februari 1908. Nahum mengecap pendidikan di HIS yang ada di Tarutung dan sekarang nama jalan di sekolah tersebut adalah jalan Nahum Situmorang, Sigompulon, Tarutung. Nahum mulai bekerja pada tahun 1929 pada sekolah partikelir Bataksche Studiefonds di Sibolga hingga tahun 1932.

Tahun 1932 kemudian pindah ke Tarutung untuk bergabung dengan abangnya Guru Sophar Situmorang dan mendirikan HIS-Partikelir Instituut Voor Westers Lager Onderwijs yang berlangsung hingga kedatangan Jepang pada tahun 1942.20 Nahum Situmorang merupakan seorang Komposer dan pencipta lagu yang sangat terkenal dari kalangan orang Batak dan masyarakat Indonesia. Gubahan lagu yang di ciptakan Nahum Situmorang sudah menggunakan tangga nada Barat.

Alfret Simanuntak, lahir di Tapanuli Utara, 20 September 1920. Alfret dikenal oleh masyarakat luas karena lagu ciptaannya yang merupakan lagu wajib nasional yaitu “Bangun Pemudi Pemuda”. Pada tahun 1928, Alfred bersekolah di Holland Indische School, Narumonda. Alfret Simanuntak memperoleh pelajaran menyanyi di sekolah tersebut.21

20 Informasi ini didapat dari Wikipedia yang terdapat di google

21 Informasi ini didapat dari Wikipedia yang terdapat di google

Nortier Simanungkali, lahir di Tarutung, 17 Desember 1929. Ayah Nortier adalah seorang guru di seminarium Sipoholon. Ayahnya adalah pengajar musik di seminarium tersebut. Nortier dulunya sekolah di HIS Tarutung. Nortier adalah seorang komposer musik yang dikenal dengan karya-karyanya yaitu mars dan himne. Benerapa karyanya adalah mars dan himne SEA Games X (tahun 1979), lagu Senam Kesegaran Jasmani (1980-an), dan Mars Pemilu 2004.

Komposer lain yang berasal dari Tanah Batak yang lahir dan menempuh pendidikan di tanah Batak pada era ini adalah Liberty Manik, lahir di Sidingkalang,

Komposer lain yang berasal dari Tanah Batak yang lahir dan menempuh pendidikan di tanah Batak pada era ini adalah Liberty Manik, lahir di Sidingkalang,

Dokumen terkait