• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Sarana dan Prasarana

4.2.2.3 Kesenjangan antara Permendiknas No 70 Tahun 2009 dengan yang terjadi d

Sekolah

Tabel 4.4

Kesenjangan Pada Tahap Produk No Komponen Standar Permendiknas Kinerja SMP N 7 Salatiga Kesenjangan 1 Hasil belajar Kenaikan kelas berdasarkan standar Sekolah Anak berkebutuhan khusus tetap naik kelas dan tidak ada kata tinggal kelas

Tidak ada kesenjangan

2 Rapot Penilaian untuk rapot bagi anak berkebutuhan khusus berbeda dengan anak normal Penilaian untuk rapot anak berkebutuhan khusus masih sama dengan anak normal Terdapat kesenjangan 3 Ujian Anak berkebutuhan khusus mengikuti ujian Sekolah Anak berkebutuhan khusus mengikuti ujian Sekolah Belum ada anak berkebutuhan khusus yang mengikuti ujian Sekolah 4 Ijazah Anak berkebutuhan khusus mendapatkan ijazah dari Sekolah Anak berkebutuhan khusus mendapatkan ijazah berupa surat tanda tamat belajar yang blangkonya dikeluarkan Sekolah Tidak ada kesenjangan 5 Lulusan Anak berkebutuhan khusus yang lulus Sekolah mendapat surat keterangan dan ijazah untuk melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi

Belum adanya lulusan anak berkebutuhan khusus dan masih menjadi problematis bagi Sekolah tentang kelanjutan anak berkebutuhan khusus pada jenjang lebih tinggi Belum ada lulusan

108

4.3 Pembahasan

4.3.1 Evaluasi Desain Pelaksanaan Program

Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

Berdasarkan hasil penelitian, evaluasi desain dalam program pendidikan inklusi ini meliputi dasar adanya rencana secara umum tentang tujuan penyelenggaraan program, peserta didik, sistem assesmen pembelajaran, kurikulum, tenaga pendidik, rencana kegiatan pembelajaran, saran dan prasarana, pembiayaan dan dukungan masyarakat. Dokumen yang digunakan sebagai acuan dalam rencana pelaksanaan program pendidikan inklusi dalam penelitian ini adalah Permendiknas No 70 tahun 2009. Berdasarkan acuan dari permendiknas no 70 tahun 2009 dan rencana pelaksanaan program pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga harus mencakup tujuan penyelenggaraan program yang menjelaskan bahwa pendidikan inklusi memberikan kesempatan kepada seluruh peserta didik untuk belajar bersama sehingga tidak adanya diskriminasi. Sasaran peserta didik inklusi adalah anak berkebutuhan khusus untuk dapat secara bersama- sama dengan anak normal di Sekolah regular. Sistem assesmen pembelajaran seharusnya dilakukan penilaian khusus bagi ABK karena kemampuan ABK

109 berbeda dengan anak normal namun pelaksanaan assesemen di Sekolah masih disamakan dengan anak normal padahal ABK memiliki kemampuan yang berbeda, Maftuhatin (2014: 209) mengatakan bahwa penilaian harus disesuaikan dengan kondisi anak termasuk siswa berkebutuhan khusus.

Sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan inklusi seharusnya ada rencana secara umum dalam memodifikasi kurikulum untuk menyesuaikan kondisi siswa yang termasuk didalamnya siswa berkebutuhan khusus, namun dalam pelaksanaan pembelajaran guru masih menggunakan kurikulum secara umum. Kurikulum yang digunakan untuk program pendidikan inklusi seharusnya berdasarkan pada standar nasional pendidikan dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan, perkembangan dan karakteristik peserta didik (Ilahi, 2013; 171, Kemendikbud, 2013: 42, Tarmansyah, 2007: 145). Namun di Sekolah sudah mulai ada rencana modifikasi dengan adanya pembelajaran khusus tentang keterampilan, yang digunakan untuk membekali ABK untuk mendapatkan hidup yang layak.

Tenaga pendidik dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusi seharusnya memiliki

110 kompetensi untuk menangani ABK, namun yang terjadi dilapangan guru masih merasa kurang mampu menangani ABK, padahal ABK membutuhkan perhatian dan layanan khusus agar pembelajaran dapat terlaksana dengan baik. Pendapat ini didukung juga dengan (Kemendikbud, 2012: 43, Kustawan, 2012: 73) Sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan inklusi harus memenuhi standar kualifikasi yang telah ditentukan dan guru harus memiliki kompetensi dalam menangani anak berkebutuhan khusus.

Rencana secara umum dalam kegiatan pembelajaran harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan siswa dengan memodifikasi materi, metode, pendekatan, media dan tehnik pembelajaran, tetapi hal ini berbeda dengan yang terjadi di Sekolah yaitu guru masih menggunakan materi, metode, pendekatan, media dan teknik secara umum belum mempertimbangkan adanya keberadaan dan kondisi siswa. Seharusnya guru berperan untuk menciptakan lingkungan belajar yang menarik dan menyenangkan bagi semua anak. Kelas yang inklusi dapat diartikan sebagai suatu tempat belajar yang menyenangkan dan merangsang anak untuk belajar (Maftuhatin, 2014: 208).

111 Sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusi berdasarkan Permendiknas No 70 Tahun 2009 harus bersifat aksesibel, sehingga anak berkebutuhan khusus dapat belajar dengan baik. Sedangkan Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga untuk rencana secara umum dalam pemenuhan sarana dan prasarana belum bersifat aksesibel dan masih kurang memadai, sehingga terkadang guru mengalami kendala saat mengajar. Penelitian Sari (2012) dengan judul “Pelaksanaan Inklusi di Sekolah Dasar Negeri 14 Pakan Sinayan Payakumbuh” mengatakan bahwa sarana dan prasarana adalah salah satu faktor penting dalam penentu keberhasilan program inklusi.

Permendiknas No 70 Tahun 2009 mengenai pembiayaan harus ditanggung bersama antara pemerintah, masyarakat dan orangtua. Namun di Sekolah mengenai rencana secara umum tentang pembiayaan hanya diambil dari dana BOS dan mendapat sebagian dukungan orangtua anak berkebutuhan khusus. Dukungan masyarakat dalam program pendidikan inklusi menjadi tanggung jawab bersama (pemerintah, masyarakat dan beberapa instansi).

112 Dari hasil penelitian tahapan evaluasi desain terdapat kesenjangan antara permendiknas No 70 Tahun 2009 dengan pelaksanaan yang terjadi di Sekolah. Kesenjangan tersebut diantaranya pada rencana umum tentang sistem assesmen pembelajaran belum adanya rencana umum dalam penilaian khusus untuk anak berkebutuhan khusus. Sekolah masih menggunakan kurikulum nasional dan belum ada rencana secara umum dalam modifikasi kurikulum. Tenaga pendidik belum memiliki kompetensi yang tepat untuk menangani ABK. Rencana pembelajaran belum dikembangkan sehingga metode pemebelajaran masih secara umum dan belum ada rencana umum dalam metode pembelajaran khusus untuk ABK. Rencana secara umum tentang pemenuhan sarana dan prasarana penyediaannya kurang memadai untuk pemenuhan kebutuhan ABK di Sekolah. Rencana umum mengenai pembiayaan Sekolah hanya menggunakan sebagian dana dari orangtua ABK dan dana BOS. Serta hanya mendapat dukungan dari sebagian orangtua ABK dan beberapa instansi, namun belum maksimal dalam penanganan ABK.

113

4.3.2 Evaluasi Instalasi Pelaksanaan Program

Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

Evaluasi instalasi dalam pelaksanaan program pendidikan inklusi ini meliputi dasar adanya rencana pelaksanaan tentang peserta didik, sistem assesmen pembelajaran, kurikulum, tenaga pendidik, rancangan kegiatan pembelajaran, saran dan prasarana, pembiayaan dan dukungan masyarakat. Dokumen yang digunakan sebagai acuan dalam rencana pelaksanaan program pendidikan inklusi dalam penelitian ini adalah Permendiknas No 70 tahun 2009.

Peserta didik dalam acuan Permendiknas No 70 Tahun 2009 mengenai rancangan dalam tahap instalasi harusnya Sekolah menerima anak normal dan ABK, untuk penerimaan peserta didik baru dilakukan identifikasi agar dapat mendeteksi siswa dilakukan tes. Untuk Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga menerima anak normal dan ABK, tetapi untuk penerimaan peserta didik baru belum ada rencana pelaksanaan yaitu tidak ada tes masuk Sekolah. Belum ada rencana pelaksanaan dalam sistem assesmen pembelajaran, di Sekolah sebaiknya dirancang untuk mengetahui kondisi siswa yang meliputi aspek kompetensi, potensi dan karaketeristik

114 siswa. Di Sekolah belum adanya rancangan assesmen pembelajaran bagi ABK.

Berdasarkan Permendiknas No 70 Tahun 2009 dalam komponen kurikulum seharusnya dirancang berdasarkan standar nasional dengan dilakukan modifikasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan siswa terkhusus juga untuk ABK. Keadaan yang sesungguhnya di Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga menggunakan kurikulum nasional dan belum membuat rancangan untuk memodifikasi kurikulum tersebut. Pada saat ini Sekolah hanya membuat program layanan tentang keterampilan bagi ABK. Seharusnya untuk rencana pelaksanaan program pendidikan inklusi modifikasi kurikulum dilakukan untuk menyederhanakan kurikulum pada realitas yang komplek, selain itu rencana pelaksanaan dalam memoodifikasi kurikulum dilakukan untuk memfokuskan pada praktek pembelajaran. Adapun tim pengembang kurikulum terdiri dari Kepala Sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait (Ilahi, 2013; 171, Kemendikbud, 2013: 42, Tarmansyah, 2007: 145).

Acuan Permendiknas No 70 Tahum 2009 menyatakan pemerintah menyediakan SDM yang

115 sudah memiliki kompetensi sesuai dengan keahliannya untuk menangani ABK dan meningkatkan kompetensinya dengan memberikan pelatihan-pelatihan, seminar dan workshop tentang pendidikan inklusi. Kenyataan yang terjadi di Sekolah dimana Dinas hanya menunjuk 2 GPK untuk menangani 9 ABK sedangkan guru tersebut merupakan guru mata pelajaran dan belum memiliki keahlian untuk menangani ABK. Peran guru kelas dan guru mata pelajaran masih sangat kurang kesadaran untuk mau membantu, dalam hal peningkatan kompetensi guru dan GPK juga masih sangat kurang. Seharusnya Sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan inklusi guru harus memiliki standar kualifikasi yang telah ditentukan dan memiliki kompetensi dalam menangani ABK, serta guru yang berperan meliputi guru kelas, guru mata pelajaran dan GPK (Kemendikbud, 2012: 43, Kustawan, 2012: 73).

Acuan Permendiknas No 70 Tahun 2009 tentang rencana pelaksanaan kegiatan pembelajaran dikembangkan dengan mempertimbangkan perbedaan individu bagi ABK. Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga belum memiliki rencana pelaksanaan dalam kegiatan pembelajaran yang dikembangkan secara

116 menyeluruh, yang ada hanya rencana pembelajaran tentang keterampilan. Padahal seharusnya Sekolah menyusun rancangan pembelajaran pada saat akan menerapkan program pendidikan inklusi pada awal akan dijalankan program. Hal ini didukung dengan pendapat (Maftuhatin, 2014: 208) mengatakan terlaksananya proses pembelajaran yang ramah didasarkan oleh rencana pelaksanaan program yang terencana.

Ketersediaan sarana dan prasarana penyelenggaraan program pendidikan inklusi seharusnya mendukung dan memenuhi kebutuhan siswa termasuk kebutuhan ABK. Hal ini ditujukan agar anak berkebutuhan khusus mampu mengikuti pembelajaran yang diselenggarakan. Pada kenyataannya di Sekolah mengenai rencana pelaksanaan dalam penyediaan sarana dan prasarana secara umum sudah cukup namun untuk menunjang kebutuhan ABK masih kurang memadai. Hal ini terjadi karena dalam pemenuhannya menunggu saat siswa membutuhkan saja, sehingga ABK tidak terlayani dengan baik. Padahal temuan dari penelitian Sari (2012) dengan judul “Pelaksanaan Inklusi di Sekolah Dasar Negeri 14 Pakan Sinayan Payakumbuh” bahwa sarana dan prasarana adalah

117 salah satu faktor penting dalam penentu keberhasilan program inklusi. Sehingga guru-guru dan Kepala Sekolah harus bertanggung jawab dalam penyediaan faktor pendukung dan proses pelaksanaan agar program inklusi dapat berjalan dengan baik. Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga sudah berusaha untuk memenuhi sarana dan prasarana yang dapat mencover ABK, sedangkan dalam temuan Sari tidak terlaksana dengan baik. Maka seharusnya Sekolah yang melaksanakan program pendidikan inklusi hendaknya menyediakan sarana dan prasarana yang memadai dan dapat menjamin kebutuhan peserta didik agar proses pembelajaran dapat dilakukan dengan baik khususnya bagi anak berkebutuhan khusus (Kustawan, 2012: 80).

Pembiayaan dan dukungan masyarakat dalam penyelenggaraan program pendidikan menjadi tanggung jawab bersama baik pemerintah, masyarakat dan instansi. Namun pemerintah kurang peduli dengan proses pelaksanaannya, mengenai hal pembiayaan pun ketika Sekolah mengajukan dana untuk kebutuhan anak berkebutuhan khusus pemerintah belum merespon. Masyarakat dan beberapa intansi yang membantu penyelenggaraan program pendidikan inklusi belum maksimal.

118 Sehingga untuk pembiayaannya Sekolah harus mengambil dari dana BOS yang sesungguhnya masih sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan siswa terutama ABK. Keuangan dan peran masyarakat merupakan faktor penting bagi terlaksana program pendidikan inklusi di Sekolah (Kartikha, 2016).

Tahapan evaluasi instalasi terdapat kesenjangan yang muncul yaitu tidak ada tes pada saat penerimaaan peserta didik. Dalam sistem assesemen pembelajaran belum adanya rencana pelaksanaan dalam penilaian khusus bagi anak berkebutuhan khusus. Kurikulum belum adanya rencana modifikasi sesuai dengan kondisi dan keadaan anak berkebutuhan khusus, hanya ada rancangan program tahunan layanan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus yaitu tentang pembelajaran keterampilan. Penyediaan SDM dari Dinas menyediakan 2 GPK bagi ABK dan mengenai peningkatan kompetensi guru masih minim. Rancangan pembelajaran masih bersifat umum, belum di rancang metode, media, materi atau bahan ajar yang sesuai dengan pendekatan program inklusi terkhusus dapat mencakup anak berkebutuhan khusus.

119 Komponen Sarana dan prasarana belum adanya rencana pelaksanaan yang aksesibel untuk ABK dan masih kurang memadai untuk kebutuhan ABK, sehingga guru mengalami kendala saat mengajar. Mengenai komponen pembiayaan hanya mendapat dari dana BOS dan sebagian dari orangtua ABK belum adanya bantuan dari pihak lainnya terutama dari Dinas, Sekolah sudah mengajukan proposal namun belum mendapat respon. Pada komponen dukungan masyarakat Sekolah hanya mendapat dukungan dari orangtua anak berkebutuhan khusus dan beberapa instansi tetapi masih kurang maksimal.

4.3.3 Evaluasi Proses Pelaksanaan Program

Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

Pada tahap evaluasi proses, menekankan pada proses kegiatan belajar siswa, kegiatan mengajar guru, kegiatan pembelajaran, sarana dan prasarana, serta dukungan masyarakat.

Dalam Permendiknas No 70 Tahun 2009 kegiatan belajar ABK dilakukan bersama-sama dengan anak normal agar memperoleh pendidikan yang sama, namun dalam pelaksanaannya ABK seringkali mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena guru belum memodifikasi

120 metode pembelajaran yang mempertimbangkan kondisi ABK. Meskipun mendapat pendidikan yang sama harusnya ABK mendapat layanan khusus dari guru dan GPK karena kondisi anak berkebutuhan khusus yang berbeda dengan anak normal. Seharusnya dalam pembelajaran seorang guru harus memahami setiap anak didiknya yang memiliki keunikan, kemampuan, minat, kebutuhan dan karaketristik yang berbeda-beda, kemudian dipadukan metode yang dirancang dengan mempertimbangkan kondisi ABK (Maftuhatin, 2014: 208).

Pada proses pelaksanaan kegiatan mengajar guru dalam acuan Permendiknas No 70 Tahun 2009 guru kelas menerapkan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa dan dapat memberikan metode pembelajaran yang berbeda terhadap ABK sesuai dengan karakteristik ABK. Serta GPK mendampingi ABK pada saat pembelajaran. Namun pada kenyataannya di Sekolah guru-guru belum sepakat atau sehati untuk memberikan perhatian kepada para siswa peserta pendidikan inklusi. Guru juga tidak membedakan kurikulum dan materi atau bahan ajar secara terstruktur yang bisa mencover kondisi ABK. Kendala lain yang dialami, guru GPK masih kesulitan

121 untuk mendapatkan penilaian deskriptif mengenai perkembangan anak berkebutuhan khusus dari para guru kelas sebab ada beberapa guru yang merasa keberatan karena sudah mengemban banyak tugas lainnya. Padahal (Yusuf, 2014: 14) menjelaskan bahwa pendidik harus bisa menyesuaikan kebutuhan dan karakteristik siswa. Artinya Jika belum semua guru memberikan perhatian kepada anak berkebutuhan khusus maka program ini jelas belum berjalan dengan baik, karena anak berkebutuhan khusus membutuhkan penanganan dan perhatian khusus agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan anak berkebutuhan khusus dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Penelitian Mitiku (2014) dengan judul “Challenges and Oppourtunities to Implement Inclusive Education” juga menemukan kurangnya kesadaran, komitmen dan kerjasama pendidik dalam pelaksanaan program pendidikan inklusi. Sedangkan yang ditemukan peneliti di Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga sudah ada kesadaran dari guru untuk melaksanakan program pendidikan inklusi, hanya terkadang guru mengalami kesulitan untuk menangani anak berkebutuhan khusus karena belum sesuai kualifikasi kompetensinya.

122 Berdasarkan acuan dari Permendiknas No 70 Tahun 2009 dalam kegiatan pembelajaran pada pelaksanaan program pendidikan inklusi harus sesuai dengan kebutuhan siswa dengan setting kelas inklusi, kemudian guru menggunakan strategi variatif dan PAKEM sesuai karaketeristik kebutuhan siswa, serta guru seharusnya melakukan proses penilaian hasil belajar secara beragam dan berkesinambungan sesuai dengan kondisi siswa. Sedangkan di Sekolah dalam kegiatan pembelajaran anak berkebutuhan khusus mengikuti dan mendapatkan materi yang sama dengan anak normal, dalam hal pemakluman guru harus memaklumi dengan adanya anak berkebutuhan khusus tapi tidak dapat memberikan perhatian secara khusus. Proses penilaian dari hasil belajar anak berkebutuhan khusus juga masih disamakan dengan anak normal. Padahal dalam Direktorat PPK-LK (2011: 11) untuk mengoptimalkan layanan pendidikan di Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, dalam pengelolaannya perlu memperhatikan penerapan sistem manajemennya berbasis Sekolah dalam perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengoordinasian, pengawasan dan pengevaluasian, baik yang berkaitan

123 dengan peserta didik, kurikulum, ketenagaan, sarana dan prasarana serta penataan lingkungan.

Mengenai sarana dan prasarana dalam pelaksanaan program pendidikan inklusi seharusnya ada penyediaan secara umum dan ada juga secara khusus yang bersifat aksesibel untuk anak berkebutuhan khusus. Hal ini juga diungkapkan oleh penelitian Sari (2012) dengan judul “Pelaksanaan Inklusi di Sekolah Dasar Negeri 14 Pakan Sinayan Payakumbuh” bahwa sarana dan prasarana adalah salah satu faktor penting dalam penentu keberhasilan program inklusi. Namun Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga dalam pemenuhan sarana dan prasarananya masih mengalami kendala karena hanya mendapat dukungan dari sebagian orangtua siswa dan dana BOS, maka sarana dan prasarana yang ada masih terbatas dan masih belum aksesibel untuk ABK. Sekolah telah melakukan pengajuan proposal kepada Dinas untuk pengadaan dana akan tetapi belum mendapat respon. Padahal terdapat penjelasan yang mengatakan bagi Sekolah yang melaksanakan program pendidikan inklusi hendaknya menyediakan sarana dan prasarana yang memadai dan dapat menjamin kebutuhan peserta didik, sehingga proses

124 pembelajaran berjalan dengan baik khususnya bagi anak berkebutuhan khusus (Kustawan, 2012: 80).

Berdasarkan acuan dari Permendiknas No 70 Tahun 2009 menyatakan perlu adanya dukungan dari pemerintah, masyarakat dan instansi terkait dalam proses pelaksanaan program pendidikan inklusi yang dapat berperan dalam perencanaan, penyediaan tenaga ahli, mengambil keputusan, pelaksanaan pembelajaran, pendanaan, pengawasan, penyaluran lulusan. Sedangkan untuk dukungan masyarakat di Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga telah mendapat dukungan dari sebagian orangtua ABKdan menjalin kerjasama dengan beberapa instansi namun belum maksimal. Mengenai penyelenggaraan program pendidikan inklusi Kepala Sekolah belum menyampaikan kepada Komite. Padahal untuk berjalannya sebuah program harus adanya kerjasama yang baik antara Sekolah dengan Pemerintah, masyarakat, dan instansi untuk mewujudkan program secara maksimal. Hal ini juga didukung dengan penelitian sebelumnya oleh Mitiku, dkk (2014) dengan judul “Challenges and Opportunities to Implement Inclusive Education” yang mengatakan pada implementasi penuh dari pendidikan inklusi harus ada kerjasama yang kuat antar pemangku

125 kepentingan, LSM, dan badan-badan yang bersangkutan untuk mewujudkan perjalanan menuju pendidikan inklusi.

Kesenjangan yang terjadi pada tahapan evaluasi proses adalah pada kegiatan belajar siswa, ABK masih mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran karena siswa tidak mendapatkan layanan khusus saat proses pembelajaran berlangsung. Pada kegiatan mengajar guru masih menggunakan materi atau bahan ajar secara umum dan belum didesain dengan mempertimbangkan adanya ABK dan GPK belum bisa sepenuhnya melakukan pendampingan terhadap ABK. Saat kegiatan pembelajaran ABK dalam proses pembelajaran masih mengikuti dan mendapatkan materi yang sama dengan anak normal, guru memaklumi adanya ABK tapi tidak untuk dikembangkan, serta untuk proses penilaian bagi ABK juga masih disamakan dengan anak normal. Penyediaan sarana dan prasarana hanya diambil dari dana BOS saat diperlukan baru diajukan. Dukungan masyarakat hanya sebagian dari orangtua ABK dan menjalin kerjasama dengan instansi, namun belum maksimal. Mengenai program pendidikan inklusi komite masih belum disampaikan oleh Kepala Sekolah.

126

4.3.4 Evaluasi Produk Pelaksanaan Program

Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

Evaluasi pada tahap produk terhadap hasil pelaksanaan program pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga meliputi hasil belajar, rapot, ujian, ijazah dan lulusan ABK.

Berdasarkan acuan dari permendiknas No 70 Tahun 2009 untuk hasil belajar ABK pada setiap kenaikan kelas berdasarkan standar nasional, sejalan dengan pemahaman ini Sekolah membuat penetapan berdasarkan peraturan yang ada dan khusus bagi ABK tidak akan pernah tinggal kelas. Hal ini juga didukung dengan (Ilahi, 2013: 25) mengatakan pendidikan inklusi dimaknai sabagai bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan kesempatan, keadilan dan perluasan akses bagi semua, serta mengubah pandangan sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus. Didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Lukitasari (2017) hasil penelitian menunjukkan bahwa impelementasi kebijakan pendidikan inklusi di kota Salatiga dinilai baik dengan pencapaian 65%, terlihat dari meningkatnya jumlah peserta didik ABK dan

127 kurangnya diskriminasi terhadap siswa ABK. Serta hasil penelitian di Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga menambahkan dengan adanya GPK ABK dapat terlayani secara khusus.

Melalui acuan Permendiknas No 70 Tahun 2009 dalam komponen penilaian bagi ABK juga dibedakan dengan anak normal, sehingga hasil belajar berupa rapot ABK seharusnya terkhusus atau berbeda dengan anak normal. Akan tetapi pada kenyataannya di Sekolah hasil belajar penilaian rapot ABK masih disamakan dengan anak normal. ABK mendapatkan ijazah berupa surat tanda tamat belajar dari Sekolah. Dalam rencana pelaksanaan yang telah dirancang Sekolah, dimana ABK mendapatkan ijazah berupa surat tanda tamat belajar yang blangkonya dikeluarkan oleh Sekolah dengan mendapat cap dari Dinas.

Lulusan peserta didik seharusnya ABK mendapat surat keterangan dan ijazah untuk melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi. Pada saat ini Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga belum adanya lulusan mengenai ABK, namun pernah diungkapkan oleh pihak Sekolah yang mengatakan bahwa apabila saat adanya lulusan ABK kedepannya akan menjadi sebuah problematis bagi Sekolah untuk memberikan

128 rekomendasi dan kepastian bagi siswa untuk dapat melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, hal ini dikarenakan SMA atau SMK sudah mengikuti aturan Provinsi. Namun Sekolah merasa dengan adanya ABK yang Sekolah di SMP Negeri 7 Salatiga pada saat siswa lulus mereka mendapatkan persamaan hak memperoleh pendidikan yang sama dengan anak normal, dapat mengembangkan kecerdasan sosial, emosional dan moral terhadap lingkungan sekitar. Pendapat ini didukung juga dengan manfaat program pendidikan inklusi menurut Lab PAUD Inklusi Fakutas Psikologi UGM yaitu ABK

Dokumen terkait