• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Umum Tempat Penelitian 4.1.1 Profil Sekolah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Umum Tempat Penelitian 4.1.1 Profil Sekolah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

54

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Umum Tempat Penelitian

4.1.1 Profil Sekolah

Nama Sekolah yang digunakan dalam penelitian ini adalah SMP Negeri 7 Salatiga yang beralamat di Jalan Setiaki No. 15 Salatiga. Desa/ Kelurahan Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga. Provinsi Jawa Tengah. Sekolah ini berdiri sejak tahun 1987 dengan luas tanah 12,780 m2, kepemilikan tanah Pemkot Kota Salatiga, dalam naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Berdasarkan data yang diperoleh, hasil akreditasi SMP Negeri 7 Salatiga pada tahun 2012 telah mendapat akreditasi A.

(2)

55 menentukan siswa masuk dalam pendidikan inklusi Sekolah berpedoman pada surat keterangan tanda tamat belajar yang diperoleh dari Sekolah Dasar dimana anak pernah belajar. Pihak Sekolah melakukan sosialisasi penerimaan siswa melalui wali atau orang tua ketika dilangsungkan pertemuan. Selain itu beberapa Sekolah Dasar yang menangani anak berkebutuhan khusus juga sudah mengetahui bahwa SMP Negeri 7 Salatiga menerima anak berkebutuhan khusus.

4.1.2 Visi, Misi dan Tujuan SMP Negeri 7 Salatiga

Berdasarkan data lapangan bahwa SMP Negeri 7 Salatiga memiliki Visi “Terwujudnya Insan yang SIAP (Santun berperilaku, Iman dalam beragama, menjaga Asri lingkungannya, dan Percaya diri)

BERPRESTASI”. Kemudian selanjutnya dijabarkan menjadi Misi Sekolah sebagai berikut:

”Menyelenggarakan pendidikan bermutu untuk

meningkatkan kualitas dan kuantitas kompetensi

peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan

yang didukung sarana prasarana pembelajaran,

lingkungan yang asri, dan pelayanan prima”,

(3)

56 dalam pergaulan, (2)Menumbuhkan penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama yang dianut sehingga terbentuk siswa yang taqwa dan berahlak mulia, (3)Menanamkan semangat cinta lingkungan dan kebersihan dengan pembinaan yang rutin dan terencana, (4)Menumbuhkan semangat berprestasi secara intensif kepada seluruh warga SMP Negeri 7 Salatiga.

(4)

57 akademik maupun non akademik peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.

4.2 Hasil Penelitian

Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan, maka untuk langkah selanjutnya peneliti melakukan pendeskripsian dan analisis dokumen yaitu Permendiknas No 70 Tahun 2009 guna menjawab permasalahan penelitian yang telah dirumuskan tentang bagaimana desain, instalasi, proses dan produk dalam pelaksanaan program pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga.

4.2.1 Evaluasi Desain

4.2.1.1 Permendiknas No 70 Tahun 2009

(5)

58 peserta didik yang memiliki kelainan fisik, mental, sosial, emosional, atau memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa.

Dalam merumuskan assesmen sangat penting dilakukan untuk mengetahui kondisi anak berkebutuhan khusus yang meliputi aspek potensi, kompetensi dan karakteristik peserta didik dalam rangka penentuan program pendidikan inklusi untuk mengembangkan semua potensi yang dimilikinya.

Tahap penyelenggaraan program pendidikan inklusi kurikulum merupakan panduan untuk meyelenggarakan program pendidikan inklusi dimana Sekolah memodifikasi kurikulum sesuai kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan kecerdasan, bakat, minat dan potensinya.

(6)

59 Pada tahap rencana pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik siswa dan guru harus mampu memilih metode yang tepat dengan karakteristik siswa tersebut. Penilaian dalam proses pembelajaran disesuaikan dengan kurikulum yang telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan siswa, namun tetap mengacu pada standar nasional pendidikan.

Pemenuhan sarana prasarana yang dibutuhkan oleh anak berkebutuhan khusus harus asksesibilitas yang dapat membantu kemudahan mobilitas dan tidak membahayakan anak berkebutuhan khusus, dimana dengan adanya sarana prasarana ini akan memudahkan anak berkebutuhan khusus dalam proses pembelajaran dan memaksimalkan guru dalam pengajaran. Hal ini dilakukan agar impementasi program pendidikan inklusi dapat berjalan dengan baik.

(7)

60 pemberdayaan peran serta masyarakat dan pelaksanaan KBM.

Pada hakekatnya pendidikan inklusi yang telah diselenggarakan di Sekolah menjadi tanggung jawab bersama antara Sekolah, masyarakat dan pemerintah. Oleh sebab itu, para pembina dan pelaksana pendidikan harus memberdayakan masyarakat agar berpartisipasi dan berperan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi.

4.2.1.2 Desain Program Pendidikan Inklusi di

Sekolah

Hasil evaluasi dalam tahap desain mencakup rencana secara umum tentang tujuan penyelenggaraan, peserta didik, sistem assesmen pembelajaran, kurikulum, tenaga pendidik, rencana pembelajaran, sarana dan prasarana, pembiayaan, dan dukungan masyarakat:

1. Tujuan Penyelenggaraan Program Pendidikan

Inklusi

(8)

61

“Sesuai dengan program pemerintah, bahwa tujuan

adanya program pendidikan inklusi adalah supaya anak inklusi bisa bersosialisasi dengan teman-temannya yang normal”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November 2017).

Hal tersebut juga senada dengan yang disampaikan oleh guru Mulok selaku GPK, yang menyatakan bahwa:

“Tujuan pendidikan inklusi ialah supaya anak

berkebutuhan khusus dapat bersosialisasi dengan teman sebaya, namun jika tidak memungkinkan intinya bisa mandiri atau bisa mengurus dirinya

sendiri”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku

GPK, 18 November 2017).

Kemudian pendapat yang sama juga disampaikan oleh guru BK selaku GPK, yang mengatakan bahwa:

“Pengakuan untuk keberadaan anak-anak inklusi,

supaya mereka sama dengan anak-anak lain, mendapatkan hak pendidikan yang sama juga, supaya mereka juga mempunyai kehidupan sosial

yang tidak berbeda dengan yang lain juga”.

(Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

(9)

62 mendapatkan hak pendidikan dan mempunyai kehidupan sosial yang tidak berbeda dengan yang lainnya.

Hasil wawancara diatas dipertegas dengan melakukan observasi dapat dilihat bahwa anak berkebutuhan khusus baik berkebutuhan khusus, cerdas istimewa dan bakat istimewa diikutsertakan dengan para anak normal dalam kegiatan pembelajaran dikelas. Kegiatan ini berjalan dengan baik dan pihak Sekolah sudah menjelaskan kepada para guru dan murid bahwa Sekolah mendapat penunjukkan dari Dinas pendidikan untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusi.

Hasil wawancara dan observasi diatas diperkuat dengan dokumen Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Salatiga Nomor: 420/0241-U/101 tentang Sekolah dasar dan Sekolah menengah pertama penyelenggara pendidikan inklusif dan CI-BI kota salatiga tahun 2012 (data terlampir).

2. Peserta Didik Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusi

(10)

63 belajar (slow learner). Pernyataan ini sesuai dengan penjelasan yang diungkapkan oleh Kepala Sekolah dalam hasil wawancara sebagai berikut:

“Peserta didik yang tergolong inklusi di Sekolah ini adalah siswa yang mengalami keterlambatan dalam

belajar (slow learner). Hal ini kami ketahui

berdasarkan surat keterangan dari SD yang mengatakan bahwa siswa tersebut inklusi”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November 2017).

Kemudian hasil wawancara yang dilakukan terhadap guru Mulok selaku GPK juga mengatakan pendapat yang sama:

“Anak berkebutuhan khusus yang terdapat di SMP Negeri 7 Salatiga merupakan siswa yang mengalami

keterlambatan belajar (slow learner). Pada saat

daftar masuk terdapat 9 siswa yang tergolong anak berkebutuhan khusus, kelas 7 ada 5, kelas 8 ada 2 dan kelas 9 ada 2”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

Lebih lanjut, pendapat yang sama juga dipertegas oleh guru BK selaku GPK yang menyatakan bahwa:

“Di SMP Negeri 7 Salatiga ada 9 anak berkebutuhan khusus disini dan termasuk dalam klasifikasi siswa

yang mengalami keterlambatan belajar (slow

learner)”, sebenarnya ada beberapa siswa yang mendaftar yang kami lihat seperti siswa yang

berkebutuhan khusus tetapi belum kami

(11)

64 Kesimpulan dari hasil wawancara diatas, di Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga memiliki anak berkebutuhan khusus dengan klasifikasi mengalami keterlambatan belajar (slow learner) yang terdapat 9 ABK. Keadaan anak berkebutuhan khusus diketahui berdasarkan surat keterangan dari Sekolah Dasar sebelumnya. Dalam hal ini guru juga merasakan adanya anak normal yang mendaftar, pada saat proses pembelajaran siswa tersebut seperti memiliki kebutuhan khusus tetapi guru belum mengkomunikasikan terhadap orangtua siswa dan belum mengadakan tes.

3. Sistem Assesmen Pembelajaran Dalam Program

Pendidikan Inklusi

Berdasarkan data yang peneliti dapat dari hasil wawancara mengenai rencana secara umum mengenai sistem assesmen pembelajaran, Kepala Sekolah menyatakan bahwa:

“Sistem assesmen pembelajaran dilakukan sesuai dengan kurikulum yang ada. Penilaian untuk anak berkebutuhan khusus masih disamakan dengan penilaian anak normal lainnya”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November 2017).

Lebih lanjut, hasil wawancara mengenai rencana secara umum tentang sistem assesmen pembelajaran guru Mulok selaku GPK menyatakan bahwa:

(12)

65

maka untuk tahap penilaian bagi anak

berkebutuhan khusus juga masih sama dengan

anak normal”. (Wawancara dengan guru Mulok

selaku GPK, 18 November 2017).

Hasil wawancara dengan guru BK selaku GPK, pendapat mengenai rencana secara umum dalam sistem assesmen pembelajaran menyatakan bahwa:

“Standar penilaian untuk anak berkebutuhan

khusus berbeda, tapi kami belum mengkhusus kan, satu contoh pada waktu tes, mereka masih ikut tes sama-sama dan soalnya sama, hanya nanti kalau mereka mendapatkan hasil dengan format masih sama dengan anak normal, penilaian diserahkan ke Pak Sudio, karena mereka khusus, pokoknya mereka sebatas tuntas saja. Ya kasaran nya kami tutup mata untuk nilai mereka yang

penting tuntas”. (Wawancara dengan guru BK

selaku GPK, 15 November 2017).

Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa rencana secara umum dalam sistem assesmen pembelajaran pada bagian rencana dalam tahap penilaian bagi anak berkebutuhan khusus masih disamakan dengan anak normal.

4. Kurikulum Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusi

Melalui data yang telah diperoleh peneliti di lapangan, hasil wawancara terhadap Kepala Sekolah tentang rencana secara umum dalam komponen kurikulum yaitu sebagai berikut:

“Dalam penyelenggaraan program pendidikan

inklusi ini, Sekolah menggunakan standar

(13)

66 modifikasi kurikulum berdasarkan kebutuhan siswa”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27November 2017).

Sedangkan pendapat terhadap guru Mulok selaku GPK mengenai rencana secara umum dalam komponen kurikulum sebagai berikut:

“Untuk kurikulum kami masih menggunakan kurikulum nasional, sedang kami usahakan untuk mengembangkan kurikulum tapi belum maksimal dan kalau untuk rencana program khusus bagi anak berkebutuhan khusus ada kami buat, pada saat mengajarkan tentang keterampilan yaitu pada hari sabtu, tetapi untuk pembelajaran di kelas tetap mengikuti proses pembelajaran seperti anak normal pada umumnya”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

Hal sama dengan guru Mulok juga diungkapkan oleh guru BK selaku GPK yang mengatakan bahwa:

“Mengenai kurikulum Sekolah masih

menggunakan kurikulum nasional. Untuk

pengembangan kurikulumnya kami belum, tapi program kerja tetap kami buat. Misalkan tentang apa yang ingin kami sampaikan pada saat proses pembelajaran khusus bagi anak berkebutuhan khusus saja yaitu khusus hari sabtu diberikan

pembelajaran khusus tentang keterampilan”.

(Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

(14)

67 adanya rencana program tahunan layanan inklusi (data terlampir) bagi anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran yaitu tentang pembelajaran keterampilan. Namun dalam rencana pembelajaran di kelas anak berkebutuhan khusus masih disamakan seperti anak normal.

5. Tenaga Pendidik Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusi

Melalui hasil wawancara yang dilakukan peneliti tentang rencana secara umum dalam komponen peserta didik dengan Kepala Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga. Berikut hasil wawancara tersebut:

“Tenaga pendidik dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusi terdapat 2 GPK dan sudah mendapatkan SK dari Dinas pendidikan yang ditunjuk untuk menangani anak berkebutuhan khusus”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 28 November 2017).

Hal tersebut juga senada dengan hasil wawancara yang dilakukan dengan guru Mulok selaku GPK yang menyatakan bahwa:

“Dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusi kami yang ditunjuk untuk menjadi GPK bagi anak berkebutuhan khusus yaitu saya (Bapak Sudio) dan Ibu Retno, atas dasar ini juga kami

mendapatkan SK dari Dinas terkait

penyelenggaraan program pendidikan inklusi”. (Wawancara guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

(15)

68

“Untuk pelaksanaan program pendidikan inklusi di Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga saya (Ibu Retno) dan pak Sudio di tunjuk sebagai GPK dan kami sudah mendapatkan SK dari Dinas terkait dengan penyelenggaraan program pendidikan inklusi. Dalam hal ini pak Sudio bertugas untuk mengurusi program, saya berkaitan dengan lapangan”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

Dari beberapa hasil wawancara diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa di SMP Negeri 7 Salatiga terdapat 2 GPK yang ditunjuk untuk menangani anak berkebutuhan khusus dan telah mendapatkan SK (datar terlampir) dari Dinas terkait tentang penyelenggaraan program pendidikan inklusi, hal ini juga diperkuat dengan adanya data dokumentasi mengenai Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Salatiga Nomor: 424/0014/401 tentang Guru Pembimbing Khusus (GPK) Pendidikan Inklusif dan Cerdas Istimewa Bakat Istimewa (CIBI) tahun 2017 Kota Salatiga (data terlampir).

6. Rencana Pembelajaran Penyelenggaraan

Program Pendidikan Inklusi

Pada tahap evaluasi dalam rencana secara umum tentang kegiatan pembelajaran, peneliti melakukan wawancara kepada Kepala Sekolah, hasil wawancara sebagai berikut:

(16)

69 normal, metode pembelajaran belum dimodifikasi untuk memenuhi kebutuhan anak berkebutuhan khusus juga”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 28 November 2017).

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh guru Mulok selaku GPK dari hasil wawancaranya ialah:

“Untuk rencana pembelajaran dikelas anak berkebutuhan khusus juga sama seperti anak normal, mereka belajar bersama dan mendapatkan

materi, penilaian yang sama. Rencana

pembelajaran dibuat hanya untuk

mengembangkan keterampilan sebagai pelajaran tambahan untuk mereka diadakan pada hari sabtu”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

Berkaitan dengan hal tersebut, pendapat yang sama dipertegas oleh guru BK selaku GPK menyatakan bahwa:

“Belum adanya rencana pembelajaran. Saat ini anak berkebutuhan khusus masih disamakan seperti anak normal, hal ini dikarenakan guru merangkap pekerjaan diSekolah hingga sulit mengatur waktu untuk membuat rencana maupun metode pembelajaran yang dimodifikasi dengan adanya anak berkebutuhan khusus”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

(17)

70 disamakan dengan anak normal. Khusus untuk anak berkebutuhan khusus rencana dalam kegiatan pembelajaran tambahan dilakukan pada hari sabtu dengan memberikan pembelajaran keterampilan.

7. Sarana dan Prasarana Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusi

Mengenai rencana umum tentang komponen sarana dan prasarana, Berdasarkan data dari hasil wawancara yang diungkapkan oleh Kepala Sekolah dapat diketahui sebagai berikut:

“Untuk memenuhi sarana dan prasarana karena di

SMP Negeri 7 ini hanya terdapat anak

berkebutuhan khusus yang slow learner maka

rencana pemenuhan sarananya tidak ada secara khusus dan untuk ruangan kami sementara menggunakan ruangan perpustakaan. Hasil karya dari anak berkebutuhan khusus kami simpan pada ruangan guru BK”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November 2017).

Pendapat tersebut juga diungkapkan oleh guru Mulok selaku GPK mengenai rencana umum tentang komponen sarana dan prasarana mengatakan bahwa:

“Dalam pemenuhan sarana dan prasarana dirasa belum memadai, karena jika dilihat toilet khusus untuk anak berkebutuhan khusus juga belum ada,

kursi roda yang disediakan untuk anak

(18)

71 Selanjutnya penjelasan dari guru BK selaku GPK mengenai rencana umum tentang pemenuhan sarana dan prasarana adalah sebagai berikut:

“Belum kami ajukan pada awal tahun, tetapi jika kami perlu baru kami ajukan itu pun kami ambil dari dana BOS, karena memang tidak dari awal kami membuat program kerjanya secara khusus. Pada saat kami membuat program kerja tetapi kami juga sedang mempunyai tugas yang lain yaitu tugas inti, jadi sering kali kami mundur. Berhubung sarana prasarana ini bersifatnya incidental, maka

untuk sarana prasarana yang ada kami

manfaatkan”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

(19)

72

8. Rencana Pembiayaan Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusi

Berdasarkan hasil data yang di dapat oleh peneliti di lapangan, mengenai rencana umum tentang pembiayaan, hasil wawancara dengan Kepala Sekolah sebagai berikut:

“Selama ini belum ada biaya khusus untuk

pelaksanaan program pendidikan inklusi,

sedangkan dalam pelaksanaan membutuhkan pembiayaan. Maka dari itu diambilkan dari dana BOS, karena sumber dana untuk Sekolah hanya dari dana BOS”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November 2017).

Hasil wawancara dari guru Mulok selaku GPK mengenai rencana umum tentang pembiayaan dapat dijelaskan sebagai berikut:

“Dalam pemenuhan pembiayaan, Sekolah sudah pernah ada usaha dengan mengajukan proposal pembiayaan kepada Dinas, namun hingga saat ini belum mendapat respon. Sedangkan program pendidikan inklusi harus dilaksanakan, dan pelaksanaannya membutuhkan pembiayaan. Maka dari itu untuk pembiayaan diambilkan dari dana

BOS”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK,

18 November 2017).

Hal senada juga dijelaskan oleh guru BK selaku guru GPK, penjelasan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

“Pembiyaan untuk pelaksanaan program

pendidikan inklusi selama ini belum adanya dukungan dari Dinas. Oleh sebab itu jika ada

kebutuhan untuk melayani dan memenuhi

(20)

73

diambilkan dari dana BOS”. (Wawancara dengan

guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa rencana dalam pembiayaan untuk program pendidikan inklusi belum ada dukungan dari Dinas, agar program dapat terlaksana dengan baik maka pihak Sekolah mengambil dana BOS.

9. Dukungan Masyarakat Penyelenggaraan

Program Pendidikan Inklusi

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Sekolah mengenai dukungan masyarakat dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusi adalah sebagai berikut:

“Selama ini orang tua anak berkebutuhan khusus

mendukung dalam pelaksanaan program

pendidikan inklusi di Sekolah. untuk komite belum kami sampaikan. Beberapa instansi yang dapat membantu untuk menangani anak berkebutuhan

khusus juga sudah terjalin kerja sama”.

(Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November 2017).

Wawancara lebih lanjut, diungkapkan oleh guru Mulok selaku GPK mengatakan bahwa:

(21)

74 Hasil wawancara terhadap guru BK selaku GPK mengatakan bahwa:

“Untuk kerjasama dengan orangtua anak berkebutuhan khusus kami rasa sudah lumayan baik. Bekerjasama dengan rumah sakit paru ini ada psikolognya. RSUD, UKSW, klinik konseling

diselasar juga”. (Wawancara dengan guru BK

selaku GPK, 15 November 2017).

(22)

75

4.2.1.3 Kesenjangan antara Permendiknas No 70

Tahun 2009 dengan yang terjadi di Sekolah

Tabel 4.1

Kesenjangan Pada Tahap Desain No Komponen Standar

3 Assesmen Penilaian Khusus bagi

(23)

76 8 Pembiayaan Mendapat

dukungan dari

Sumber: Permendiknas No 70 Tahun 2009 & SMPN 7 Salatiga

4.2.2 Evaluasi instalasi

4.2.2.1 Permendiknas No 70 Tahun 2009

(24)

77 terlarang dan zat aditif lainnya, serta peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Sistem assesmen pembelajaran dirancang untuk mengetahui kondisi siswa yang meliputi aspek kompetensi, potensi dan karakteristik siswa agar semua potensi yang dimiliki siswa dapat berkembang secara maksimal. Assesmen dirancang sebagai dasar perencanaan pembelajaran individual, sebagai dasar evaluasi dan monitoring, serta sebagai dasar pengalihtanganan (referal).

(25)

78 Dalam rancangan penyediaan SDM pemerintah menjamin dengan menyediakan tenaga pendidik yang mampu menangani anak berkebutuhan khusus dan pemerintah menyediakan program peningkatan kompetensi bagi guru. Melalui penyelenggaraan program-program P4TK, LPMP, PT (Perguruan Tinggi), KKG, KKS, KKPS, MGMP, MKS, MPS, Lembaga pendidikan dan pelatihan di lingkungan pemerintah daerah.

Pada rancangan pembelajaran dalam program pendidikan inklusi guru harus mengembangkan perangkat mengajar dengan mempertimbangkan perbedaan individu, penyusunan perangkat pembelajaran, mempertimbangkan hasil assesmen dan masukan untuk melibatkan pihak-pihak terkait seperti: GPK, psikolog, dokter dan orangtua. Siswa yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa menggunakan kurikulum akomodatif sesuai dengan karakteristik dan potensinya.

(26)

79 dan prasarana yang aksesibel, sehingga anak berkebutuhan khusus mampu mengikuti pembelajaran dengan baik.

Dalam rancangan pembiayaan pelaksanaan program inklusi seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orangtua. Karena penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama, maka dalam pembiayaan harus ditanggung bersama-sama juga.

Pada rencana pelaksanaan program pendidikan inklusi, dukungan masyarakat juga berperan penting. Masyarakat dapat berkontribusi dalam merencanakan, menyediakan tenaga ahli, membantu mengambil keputusan yang tepat bagi terselenggaranya program, membantu memberikan evaluasi, membantu dalam pendanaan, memberikan pengawasan dalam pelaksanaan dan membantu dalam menyalurkan lulusan.

4.2.2.2 Instalasi Program Pendidikan Inklusi di

Sekolah

(27)

80

1. Peserta Didik Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusi

Berdasarkan data yang peneliti peroleh tentang rencana pelaksanaan dalam penerimaan peserta didik inklusi, hasil wawancara dengan Kepala Sekolah yang menyatakan bahwa:

“Sekolah menerima anak berkebutuhan khusus

dengan adanya surat keterangan dari Sekolah sebelumnya, anak berkebutuhan khusus yang Sekolah di SMP Negeri 7 Salatiga ini termasuk siswa

dengan memiliki keterlambatan belajar (slow

learner). Dalam proses penerimaan peserta didik yang mendaftar belum kami buat rancangan untuk adanya tes”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November 2017).

Hal ini juga senada dengan yang disampaikan oleh guru Mulok selaku GPK SMP negeri 7 Salatiga, yang menyatakan bahwa:

“Untuk proses penerimaan peserta didik kami

belum adanya rancangan untuk mengadakan tes karena penerimaan peserta didik kami secara online, untuk kami mengetahui bahwa peserta didik adalah anak berkebutuhan khusus kami mendapat surat keterangan dari Sekolah Dasar dan itu diluar kuota yang telah kami tentukan khusus bagi anak normal. Anak berkebutuhan khusus yang ada disini itu siswa yang mengalami

keterlambatan belajar (slow learner) dan itu ada 9

siswa”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

(28)

81

“Kalau kami menerima anak berkebutuhan khusus itu berdasarkan assesmen yang kami terima dari Sekolah Dasar sebelumnya. Anak berkebutuhan khusus saat ini ada 9 siswa yang masuk catatan anak berkebutuhan khusus dengan identifikasi

mengalami keterlambatan belajar (slow learner)”.

(Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

Dengan beberapa hasil wawancara diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa di SMP Negeri 7 Salatiga tidak adanya tes yang di rancang saat peserta didik mendaftar. Khusus bagi anak berkebutuhan khusus yang mendaftar diluar kuota yang ditentukan dengan adanya surat keterangan dari Sekolah Dasar, di Sekolah terdapat 9 siswa yang mengalami keterlambatan belajar (slow learner).

2. Sistem Assesmen Pembelajaran Program

Pendidikan Inklusi

Melalui data yang di peroleh peneliti tentang rencana pelaksanaan untuk penilaian, hasil wawancara dengan Kepala Sekolah menyatakan bahwa:

“dalam rencana pelaksanaan penilaian bagi anak

berkebutuhan khusus sesuai dengan kurikulum yang digunakan, selama ini untuk penilaian bagi anak berkebutuhan khusus sedikit dibedakan

dengan anak normal”. (Wawancara dengan Kepala

Sekolah, 27 November 2017).

(29)

82

“Belum adanya rencana pelaksanaan untuk penilaian khusus bagi anak berkebutuhan khusus, sementara ini kami samakan dengan anak normal untuk hasil penilaian dan format juga sama. Pada

saat pembelajaran keterampilan saja kami

melakukan penilaian secara berbeda yaitu

memberikan penilaian dengan mendeskripsikan berdasarkan perkembangan anak”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

Kemudian melakukan wawancara tentang rencana pelaksanaan untuk penilaian bagi anak berkebutuhan khusus, guru BK selaku GPK mengungkapkan bahwa:

“Adanya rancangan standar penilaian untuk anak

berkebutuhan khusus, tapi kami belum

mengkhususkan, satu contoh pada waktu tes, mereka masih ikut tes sama-sama dan soalnya sama. Hanya kalau untuk penilaian diserahkan kepada Bapak Sudio karena harus adanya kekhususan intinya sebatas tuntas saja. Untuk

rapotnya bagi anak berkebutuhan khusus

harusnya berbeda, tapi untuk kemarin masih sama. Kami sudah merencanakan untuk kami bedakan, tapi belum kami lakukan”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

(30)

83

3. Kurikulum Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusi

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan mengenai rencana pelaksanaan untuk pengembangan kurikulum, Kepala Sekolah mengungkapkan bahwa:

“Kurikulum yang digunakan selama ini

menggunakan kurikulum nasional yang

dikembangkan walaupun belum begitu sempurna tapi sudah ada usaha dari kami, isi rancangan kurikulum tersebut melihat kebutuhan dan

kemampuan dari anak berkebutuhan khusus”.

(Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November 2017).

Hal tersebut berbeda dengan yang diungkapkan oleh guru Mulok selaku GPK, menyatakan bahwa:

“Jika ditanya mengenai pengembangan dengan memodifikasi kurikulum jujur kami masih banyak

mengalami kendala untuk mengembangkan

kurikulum tersebut karena kami masih banyak sekali tugas lainnya yang harus kami buat, maka jika ditanya mengenai modifikasi kurikulum kami masih belum ada, hanya kami memang sudah memiliki rancangan pembelajaran itupun khusus untuk pembelajaran keterampilan saja”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

Hal ini senada dengan guru Mulok selaku GPK juga diungkapkan oleh guru BK selaku GPK, sebagai berikut:

(31)

84 berusaha, tapi karena kami juga masih banyak binggung dalam penerapannya akhirnya kami kembali seperti biasanya”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

Untuk hasil wawancara yang telah diuraikan diatas, dapat diberi penjelasan bahwa Sekolah belum melakukan rencana pelaksanaan mengembangkan kurikulum yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus, namun GPK sudah membuat rencana pembelajaran tentang keterampilan khusus untuk anak berkebutuhan khusus. Hal ini didukung dengan data dokumen tentang program layanan (data terlampir).

4. Tenaga Pendidik Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusi

Berdasarkan data yang peneliti peroleh di lapangan, melalui hasil wawancara terhadap Kepala Sekolah menyatakan bahwa:

“Peran Dinas untuk meningkatkan kompetensi tenaga pendidik bagi anak berkebutuhan khusus pernah diikutkan pada kegiatan seminar-seminar

dan beberapa kali adanya pelatihan-pelatihan”.

(Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November 2017).

Pendapat yang senada juga diungkapkan oleh guru Mulok selaku GPK yang menyatakan bahwa:

(32)

85 penerapan program ini dan bekal kami juga belum begitu banyak jadi ya kami rasa nilai kami sebatas cukup”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

Lebih lanjut mengenai pendapat diatas diperkuat oleh guru BK selaku GPK yang mengatakan bahwa:

“Kami pernah ikut pelatihan, pada saat itu kami di latih di Solo untuk saya (Ibu Retno) dan Bapak Sudio beberapa hari di sana, selesai kami pelatihan itu, beberapa waktu kemudian kami uji kompetensi di Salatiga. Ada sekitar 20 orang atau lebih sesalatiga. Kami juga ada nilai, Cuma nilainya menurut kami masih belum memuaskan karena masih tahap baru, terus belajarnya juga harusnya sudah sekian tahun, tapi kami hanya belajar dalam waktu yang singkat atau cuma beberapa hari saja”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

Melalui beberapa hasil wawancara diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam peningkatan kompetensi guru, Dinas sudah memberikan beberapa kali sosialisasi melalui seminar. Namun, guru masih merasa kurang untuk bekal tentang pendidikan inklusi.

5. Rancangan Pembelajaran Program Pendidikan

Inklusi

Melalui hasil wawancara yang dilakukan terhadap Kepala Sekolah tentang rencangan pembelajaran, Kepala Sekolah menyatakan bahwa:

(33)

86 ada dan digunakan saat GPK mengajar untuk mengembangkan keterampilan anak berkebutuhan

khusus”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27

November 2017).

Hal tersebut juga sama dengan pendapat dari guru Mulok selaku GPK yang mengungkapkan bahwa:

“Terkhusus untuk rancangan pembelajaran kami belum ada, untuk pembelajaran keterampilan saja yang ada kami buat. Bukan untuk kami jadikan suatu alasan tapi memang kami mengemban banyak sekali tugas lainnya serta kami juga belum terlalu mengerti dalam membuat rancangan program untuk pelaksanaan program pendidikan inklusi jadi kami belum bisa membuatnya untuk rancangan secara penuh”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

Selanjutnya pendapat dari guru BK selaku GPK memberikan penjelasan sebagai berikut:

“Mengenai rancangan pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus karena Sekolah merupakan Sekolah umum dan pengetahuan pemahaman kami tentang inklusi masih kurang maka belum ada

secara menyeluruh kami buat rancangan

pembelajaran. Kami membuat rancangan

pembelajaran khusus untuk kegiatan pembelajaran keterampilan saja”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

(34)

87 berkebutuhan khusus dengan memberikan pelajaran tentang keterampilan.

6. Sarana dan Prasarana Penyelenggaraan Program

Pendidikan Inklusi

Berdasarkan data yang peneliti dapat, hasil wawancara dengan Kepala Sekolah mengungkapkan bahwa:

“Sekolah memiliki sarana dan prasarana secara

umum, tapi untuk sarana dan prasarana secara khusus kami belum bisa menyediakan. Untuk penyediaan sarana bagi anak berkebutuhan

khusus saat membutuhkan baru kami penuhi”.

(Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November 2017).

Hal senada juga diungkapkan oleh guru Mulok selaku GPK yang mengatakan:

“Sarana dan Prasarana yang kami perlukan untuk anak berkebutuhan khusus kami ajukan apabila memang kami butuhkan saat mengajarkan tentang keterampilan bagi anak berkebutuhan khusus, ya memang untuk saat ini kami memang merasa masih sangat minimnya sarana dan prasarana

untuk bisa memenuhi kebutuhan anak

berkebutuhan khusus”. (Wawancara dengan guru

Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

Lebih lanjut pendapat dari guru BK selaku GPK juga mengatakan bahwa:

“Belum kami ajukan pada awal tahun, tetapi jika kami perlu baru kami ajukan dan kami ambil dari dana BOS. Berhubung Sarana prasarana ini

bersifatnya incidental, maka untuk sarana

prasarana yang ada kami manfaat kan sesuai

(35)

88 (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa rencana pelaksanaan untuk penyediaan sarana dan prasarana secara umum sudah terpenuhi, namun untuk memberikan pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus masih belum memadai. Penyediaan sarana dan prasarana diadakan ketika anak berkebutuhan khusus membutuhkan, dan pemenuhannya menggunakan dana BOS.

7. Pembiayaan Program Pendidikan Inklusi

Pembiayaan merupakan faktor penting dalam pelaksanaan kegiatan di Sekolah membutuhkan biaya. Mengenai rencana pelaksanaan tentang pembiayaan dalam program pendidikan inklusi dapat diketahui hasil wawancara dengan Kepala Sekolah sebagai berikut:

“Pembiayaan kami ambil dari dana BOS, disaat diperlukan untuk proses pembelajaran dan sesuai dengan kebutuhan siswa kami gunakan dana tersebut”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November 2017).

Hal tersebut juga sama dengan yang diungkapkan oleh guru Mulok selaku GPK, sebagai berikut:

“Masalah pembiayaan kami ambil dari dana BOS untuk mengajarkan tentang keterampilan. Kami

sudah mengajukan kepada Dinas untuk

(36)

89

mendapat respon secara penuh”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh guru BK selaku GPK yang mengatakan bahwa:

“Belum ada biaya khusus untuk program

pendidikan inklusi. Untuk masalah biaya tetap kami minta ke Sekolahan dari anggaran Sekolah yaitu dana BOS, tapi biaya khusus untuk inklusi itu belum ada, jadi untuk anggaran pendidikan.

Dinas bantuannya berupa pelatihan

pengembangan kami”. (Wawancara dengan guru BK

selaku GPK, 15 November 2017).

Kesimpulan dari wawancara mengenai rencana pelaksanaan dalam pembiayaan program pendidikan inklusi diambilkan dari dana BOS. Karena pengajuan dana ke Dinas belum mendapat respon. Sedangkan untuk dukungan dari orangtua anak berkebutuhan khusus, tidak semua mendukung dalam pembiayaan, hanya sebagian kecil yang berkenan membantu untuk kebutuhan anak berkebutuhan khusus.

8. Dukungan Masyarakat Penyelenggaran Program

Pendidikan Inklusi

Pada rencana pelaksanaan program pendidikan inklusi, dukungan masyarakat juga berperan penting. Berdasarkan hasil wawancara terhadap Kepala Sekolah mengungkapkan bahwa:

(37)

90 apabila memang dibutuhkan dalam pelaksanaan pembelajaran. Sekolah juga menjalin kerjasama dengan beberapa instansi seperti pihak rumah sakit PARU, RSUD, UKSW, klinik konseling pendidikan inklusi diselasar untuk menangani

anak berkebutuhan khusus”. (Wawancara dengan

Kepala Sekolah, 27 November 2017).

Hal senada juga diungkapkan oleh guru Mulok selaku GPK yang menyatakan sebagai berikut:

“Selama ini orang tua anak berkebutuhan khusus mendukung dengan adanya program pendidikan inklusi, karena dengan program ini anaknya mendapat pendidikan yang sama dengan siswa lainnya. Namun terkadang ada beberapa orang tua anak berkebutuhan khusus yang susah diajak berkerja sama dengan Sekolah, dengan alasan malu dan beralasan banyak kesibukan. Selain itu ada beberapa instansi yang dapat mendukung

program pendidikan inklusi, namun dalam

pelaksanaan belum maksimal”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

Lebih lanjut hal yang sama dengan pendapat diatas guru BK juga mengatakan bahwa:

“Untuk kerjasama dengan orangtua anak berkebutuhan khusus kami ada pertemuan rutin, setiap 2 bulan sekali ketemu untuk membicarakan permasalahan dan perkembangan anak serta jika membutuhkan sesuatu kami dibantu oleh orangtua anak berkebutuhan khusus. Bekerjasama dengan rumah sakit paru ini ada psikolognya. RSUD, UKSW, klinik konseling diselasar”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

(38)

91 merasa malu dengan keadaan anaknya, sehingga Sekolah sulit melakukan pertemuan dan diskusi dengan orangtua wali. Beberapa instansi seperti rumah sakit paru, RSUD, UKSW, klinik konseling diselasar juga membantu dalam pelayanan anak berkebutuhan khusus, namun dalam pelaksanaannya belum maksimal.

4.2.2.3 Kesenjangan antara Permendiknas No 70

Tahun 2009 dengan yang terjadi di Sekolah

Tabel 4.2

(39)

92

7 Pembiayaan Pembiayaan harus

(40)

93

4.2.3 Evaluasi Proses

4.2.3.1 Permendiknas No 70 Tahun 2009

Proses kegiatan belajar ABK dilakukan bersama-sama dengan anak normal lainnya. Seharusnya anak berkebutuhan khusus memperoleh layanan khusus dari guru atau GPK, sehingga ABK dapat mengikuti pembelajaran di kelas dan ABK tidak terlalu mengalami kesulitan dalam mengikuti pembelajaran.

Dalam proses kegiatan mengajar, guru kelas melakukan pembelajaran secara umum dengan menerapkan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Sedangkan GPK berperan sebagai pendamping dalam hal mengarahkan dan membimbing anak berkebutuhan khusus agar dapat mengikuti dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.

(41)

94 sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan peserta didik. Guru melakukan proses penilaian dan hasil pembelajaran harus beragam dan berkesinambungan sesuai dengan kondisi siswa.

Dalam penyediaan sarana dan prasarana yang digunakan untuk proses pembelajaran sesuai dengan Sekolah pada umumnya, namun harus disediakan sarana dan prasarana khusus yang bersifat aksesibel yang dapat membantu dan memudahkan anak berkebutuhan khusus dalam mengikuti pembelajaran.

Masyarakat harus berperan serta dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusi, karena pendidikan menjadi tanggung jawab bersama. Maka masyarakat harus ikut berperan dalam perencanaan, penyediaan tenaga ahli, mengambil keputusan, pelaksanaan pembelajaran, pendanaan, pengawasan, penyaluran lulusan melalui komite Sekolah, dewan pendidikan dan forum-forum pemerhati pendidikan inklusi.

4.2.3.2 Proses Program Pendidikan Inklusi di

Sekolah

(42)

95 dukungan masyarakat. Agar pelaksanaan program pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga dapat mencapai tujuan, maka pelaksanaan harus sesuai dengan Permendiknas No 70 Tahun 2009 yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

1. Kegiatan Belajar Siswa

Pada saat dilakukan wawancara dengan Kepala Sekolah tentang proses kegiatan belajar siswa, narasumber menyatakan sebagai berikut:

“ABK mengikuti pembelajaran yang sama dengan siswa lainnya, namun pada hari tertentu anak berkebutuhan khusus mengikuti pembelajaran khusus seperti pembelajaran keterampilan untuk mengembangkan diri, pengembangan karakter dan pembimbingan khusus”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah 27 November 2017).

Hal ini juga diungkapkan oleh guru Mulok selaku GPK yang mengatakan:

“Di Sekolah ABK tetap mengikuti pembelajaran yang sama dengan anak normal, hanya untuk hari sabtu mereka kami ambil untuk kami ajarkan

tetang keterampilan dan kami memberikan

bimbingan khusus”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

Guru BK selaku GPK juga mengatakan sebagai berikut:

(43)

96 mengalami keterbatasan waktu, karena memiliki beban tugas yang lain juga di Sekolah”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa proses kegiatan belajar ABK masih disamakan dengan anak normal lainnya. Terkadang anak berkebutuhan khusus mengalami kesulitan karena kurikulum belum dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan siswa.

2. Kegiatan Mengajar Pendidik

Dari hasil wawancara dengan Kepala Sekolah didapat penjelasan mengenai proses kegiatan mengajar peserta didik sebagai berikut:

“Selama ini guru kelas mengajar sesuai dengan mata pelajaran yang menjadi bidangnya masing-masing, guru kelas harus bisa memaklumi dengan adanya keberadaan anak berkebutuhan khusus. Jika ada kendala yang dihadapi guru mengenai anak berkebutuhan khusus, maka guru langsung berkonsultasi kepada GPK”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November 2017).

Sedangkan guru Mulok selaku GPK mengatakan sebagai berikut:

(44)

97 Dalam wawancara juga guru BK selaku GPK menjelaskan sebagai berikut:

“Guru kelas masih mengajar sesuai dengan kurikulum nasional dan materi yang diberikan pada anak berkebutuhan khusus sama dengan anak normal, untuk pendampingan dari kami dikelas memang belum bisa kami lakukan hanya

paling kalau anak berkebutuhan khusus

mengalami permasalahan mengenai pembelajaran maka kami panggil untuk kami bimbing secara intens. Kami juga membuat buku khusus untuk di isi oleh guru bidang studi lain, namun sebagian besar guru terkadang kurang berkenan mengisi buku tersebut. Padahal buku itu sangat penting bagi kami untuk melihat Bagaimana kondisi dan perkembangan anak berkebutuhan khusus”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

(45)

98

3. Proses Kegiatan Pembelajaran

Pada evaluasi tahap instalasi pada komponen proses kegiatan pembelajaran, Kepala Sekolah menjelaskan seperti dibawah ini:

“Pada saat kegiatan pembelajaran dikelas anak berkebutuhan khusus mengikuti anak normal pada umumnya dan dalam proses belajar mengajar guru mata pelajaran harus bisa memahami anak berkebutuhan khusus dengan adanya keterbatasan yang mereka miliki, karena untuk sebelumnya juga telah kita beri pemahaman bahwa adanya anak berkebutuhan khusus di Sekolah. Terkhusus hari sabtu saja anak berkebutuhan khusus diberikan pembelajaran khusus untuk mengembangkan keterampilan yang mereka miliki”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 28 November 2017).

Hal senada juga diungkapkan oleh guru Mulok selaku GPK dari hasil wawancara bahwa:

“Untuk kegiatan pembelajaran dikelas anak berkebutuhan khusus juga sama seperti anak normal, mereka belajar bersama dan mendapatkan materi, penilaian yang sama. Hanya terkhusus untuk mengembangkan keterampilan sebagai pelajaran tambahan untuk mereka diadakan pada hari sabtu”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

Berkaitan dengan hal tersebut, diperkuat oleh guru BK selaku GPK mengatakan:

“Dalam proses pembelajaran kami hanya

(46)

99 belajar sama seperti anak normal, pada waktu di luar anak berkebutuhan khusus hanya mendapat sedikit dari kami, misal dalam 1 minggu 6 hari, mereka hanya dapat waktu 1 hari selama 1 minggu

dari kami yaitu pada hari sabtu untuk

mendapatkan pembelajaran khusus untuk

mengembangkan keterampilan mereka”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

Melalui hasil wawancara diatas, kesimpulan dari proses kegiatan pembelajaran dalam pelaksanaan program pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga yaitu pada saat pembelajaran dikelas anak berkebutuhan khusus mengikuti dan mendapatkan materi yang sama dengan anak normal dan bagi guru mata pelajaran harus dapat memaklumi dengan adanya keberadaan anak berkebutuhan khusus. Hanya pada hari sabtu anak berkebutuhan khusus mendapatkan pembelajaran khusus untuk mengembangkan keterampilan.

4. Sarana dan Prasarana

Saat wawancara tentang sarana dan prasarana, Kepala Sekolah memberikan penjelasan seperti dibawah ini:

“Sarana dan prasarana yang digunakan diSekolah dalam pembelajaran anak berkebutuhan khusus diperoleh dari Sekolah dengan diambil dari dana BOS dan terkadang mendapat bantuan dari

orangtua anak berkebutuhan khusus”. (Wawancara

(47)

100 Hal yang sama diungkapkan oleh guru Mulok selaku GPK memberi penjelasan seperti dibawah ini:

“Untuk pemenuhan sarana dan prasarana yang digunakan dalam proses pembelajaran disediakan ketika akan digunakan, dan untuk melengkapi sarana yang diperlukan diambil dari dana BOS”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

Pendapat tersebut diperkuat oleh guru BK selaku GPK sebagai berikut:

“Sejak dari awal tahun Sekolah belum mengajukan

dana untuk pemenuhan kebutuhan anak

berkebutuhan khusus, pengajuan dilakukan ketika ada siswa yang membutuhkan sarana dan prasarana. Sehingga ketika siswa membutuhkan segera peralatan untuk belajar, Sekolah mengambil dari dana BOS. Pemenuhan kebutuhan belajar siswa seperti alat membatik, melukis dan alat-alat yang digunakan untuk melatih keterampilan”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

Dari hasil wawancara yang diuraikan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sarana dan prasarana untuk pemenuhan kebutuhan anak berkebutuhan khusus diambil dari dana BOS. Peralatan yang digunakan juga yang bersifat incidental maka dalam pemenuhannya menunggu siswa membutuhkan baru berusaha untuk dipenuhi.

5. Dukungan Masyarakat

(48)

101

“Dalam pelaksanaan program pendidikan inklusi Sekolah mendapatkan dukungan dari sebagian orangtua anak berkebutuhan khusus yang siap untuk membantu kebutuhan siswa di Sekolah. Sekolah belum mendapatkan dukungan dari komite Sekolah, karena Sekolah baru akam menyampaikan pada saat pertemuan paguyuban mendatang. Selama ini kami juga menjalin kerja sama dengan beberapa instansi yang membantu

perkembangan anak berkebutuhan khusus”.

(Wawancara dengan Kepala Sekolah, 28 November 2017).

Hal senada diungkapkan oleh guru Mulok selaku GPK seperti berikut:

“Mengenai pelaksanaan program pendidikan inklusi, sebagian orang tua anak berkebutuhan khusus mendukung dan berperan serta dalam kegiatan yang kami adakan untuk meningkatkan kemampuan anak berkebutuhan khusus. Sekolah juga menjalin kerja sama dengan beberapa instansi seperti rumah sakit paru, rumah sakit umum,

klinik UKSW, klinik konseling selasar dan Dinas”.

(Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

Guru BK selaku GPK juga memberikan penjelasan sebagai berikut:

“Dukungan dari orang tua sudah baik untuk pelaksanaan program pendidikan inklusi, namun hanya sebagian orang tua siswa yang mau ikut berperan serta. Sebagian lain orang tua anak berkebutuhan khusus sulit diajak komunikasi dengan alasan malu dengan kondisi anaknya, sehingga kami harus mendatangi rumah mereka jika sudah beberapa kali dipanggil tidak berkenan datang. Komite memang belum kami beritahu mengenai program pendidikan inklusi ini, karena kami rasa masih mampu dalam pengelolaannya tetapi rencana akan kami sampaikan pada saat ada

kegiatan pertemuan paguyuban. Untuk

(49)

102

ada menjalin kerjasama dengan beberapa instansi”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

Dari hasil wawancara diatas, dapat simpulkan bahwa program pendidikan inklusi ini mendapatkan dukungan dari sebagian orang tua anak berkebutuhan khusus, namun sebagian masih sulit untuk diajak bekerja sama. Adanya dukungan dari beberapa instansi yang membantu perkembangan ABK namun belum berjalan dengan maksimal. Komite belum diajak bekerja sama, karena dirasa Kepala Sekolah dan GPK masih sanggup untuk menangai ABK.

4.2.3.2 Kesenjangan antara Permendiknas No 70

Tahun 2009 dengan yang terjadi di Sekolah

Tabel 4.3

(50)
(51)

104 pendanaan,

pengawasan, penyaluran lulusan melalui komite Sekolah, dewan

pendidikan dan forum-forum pemerhati pendidikan inklusi

maksimal. Komite belum mengetahui tentang adanya program pendidikan inklusi karena kepela Sekolah belum

menyampaikan

Sumber: Permendiknas No 70 Tahun 2009 & SMPN 7 Salatiga

4.2.2 Evaluasi Produk

4.2.2.1 Permendiknas No 70 Tahun 2009

(52)

105

4.2.2.2 Produk Program Pendidikan Inklusi di

Sekolah

Melalui wawancara terhadap Kepala Sekolah tentang hasil dari pelaksanaan program pendidikan inklusi, narasumber mengungkapkan bahwa:

“Saat adanya program ini yang telah kami laksanakan memang belum ada lulusan anak berkebutuhan khusus, baru ada lulusan tahun depan dengan mengikuti ujian Sekolah nanti untuk ijazahnya kami Sekolah yang mengeluarkan kemudian mendapat cap dari Dinas. Untuk sistem kenaikan anak berkebutuhan khusus setiap tahun pasti naik dan tidak pernah tinggal kelas namun untuk rapot khusus anak berkebutuhan khusus masih sama dengan anak normal, karena aturan tersebut dibuat terkhusus bagi anak berkebutuhan

khusus”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 28

November 2017).

Hasil wawancara juga diungkapkan oleh guru Mulok selaku GPK yang mengatakan:

“Mengenai kenaikan kelas khusus bagi anak

berkebutuhan khusus tetap dinaikkan tapi

penilaian untuk rapot siswa saat ini masih sama dengan anak normal. Lulusan anak berkebutuhan khusus untuk saat ini belum ada, akan adanya lulusan anak berkebutuhan khusus pada tahun ajaran berikutnya. Anak berkebutuhan khusus tidak bisa diikutkan pada ujian nasional tetapi

hanya mengikuti ujian Sekolah”. (Wawancara

dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).

Guru BK selaku GPK juga mengatakan demikian:

(53)

106 ada kata tidak naik kelas, penilaian rapot untuk anak berkebutuhan khusus masih kami sama dengan anak normal. Anak berkebutuhan khusus tidak diikutkan pada UN hanya mengikuti tes saja dan ujian Sekolah, serta tetap mendapatkan surat keterangan lulus dan ijazah yang blangko nya berbeda. Sesuatu yang masih menjadi dilematis bagi kami, untuk kedepannya nanti siswa bisa melanjutkan ke SMA mana masih menjadi sesuatu yang belum diketahui untuk saat ini, karena pada saat ini SMA & SMK sudah ikut provinsi, Dinas juga kemarin masih belum bisa memberikan kepastian”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).

(54)

107

4.2.2.3 Kesenjangan antara Permendiknas No 70

Tahun 2009 dengan yang terjadi di

(55)

108

4.3 Pembahasan

4.3.1 Evaluasi Desain Pelaksanaan Program

Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

(56)

109 berbeda dengan anak normal namun pelaksanaan assesemen di Sekolah masih disamakan dengan anak normal padahal ABK memiliki kemampuan yang berbeda, Maftuhatin (2014: 209) mengatakan bahwa penilaian harus disesuaikan dengan kondisi anak termasuk siswa berkebutuhan khusus.

Sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan inklusi seharusnya ada rencana secara umum dalam memodifikasi kurikulum untuk menyesuaikan kondisi siswa yang termasuk didalamnya siswa berkebutuhan khusus, namun dalam pelaksanaan pembelajaran guru masih menggunakan kurikulum secara umum. Kurikulum yang digunakan untuk program pendidikan inklusi seharusnya berdasarkan pada standar nasional pendidikan dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan, perkembangan dan karakteristik peserta didik (Ilahi, 2013; 171, Kemendikbud, 2013: 42, Tarmansyah, 2007: 145). Namun di Sekolah sudah mulai ada rencana modifikasi dengan adanya pembelajaran khusus tentang keterampilan, yang digunakan untuk membekali ABK untuk mendapatkan hidup yang layak.

(57)

110 kompetensi untuk menangani ABK, namun yang terjadi dilapangan guru masih merasa kurang mampu menangani ABK, padahal ABK membutuhkan perhatian dan layanan khusus agar pembelajaran dapat terlaksana dengan baik. Pendapat ini didukung juga dengan (Kemendikbud, 2012: 43, Kustawan, 2012: 73) Sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan inklusi harus memenuhi standar kualifikasi yang telah ditentukan dan guru harus memiliki kompetensi dalam menangani anak berkebutuhan khusus.

(58)

111 Sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusi berdasarkan Permendiknas No 70 Tahun 2009 harus bersifat aksesibel, sehingga anak berkebutuhan khusus dapat belajar dengan baik. Sedangkan Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga untuk rencana secara umum dalam pemenuhan sarana dan prasarana belum bersifat aksesibel dan masih kurang memadai, sehingga terkadang guru mengalami kendala saat mengajar. Penelitian Sari (2012) dengan judul “Pelaksanaan Inklusi di Sekolah Dasar Negeri 14 Pakan Sinayan Payakumbuh” mengatakan bahwa sarana dan prasarana adalah salah satu faktor penting dalam penentu keberhasilan program inklusi.

(59)
(60)

113

4.3.2 Evaluasi Instalasi Pelaksanaan Program

Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

Evaluasi instalasi dalam pelaksanaan program pendidikan inklusi ini meliputi dasar adanya rencana pelaksanaan tentang peserta didik, sistem assesmen pembelajaran, kurikulum, tenaga pendidik, rancangan kegiatan pembelajaran, saran dan prasarana, pembiayaan dan dukungan masyarakat. Dokumen yang digunakan sebagai acuan dalam rencana pelaksanaan program pendidikan inklusi dalam penelitian ini adalah Permendiknas No 70 tahun 2009.

(61)

114 siswa. Di Sekolah belum adanya rancangan assesmen pembelajaran bagi ABK.

Berdasarkan Permendiknas No 70 Tahun 2009 dalam komponen kurikulum seharusnya dirancang berdasarkan standar nasional dengan dilakukan modifikasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan siswa terkhusus juga untuk ABK. Keadaan yang sesungguhnya di Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga menggunakan kurikulum nasional dan belum membuat rancangan untuk memodifikasi kurikulum tersebut. Pada saat ini Sekolah hanya membuat program layanan tentang keterampilan bagi ABK. Seharusnya untuk rencana pelaksanaan program pendidikan inklusi modifikasi kurikulum dilakukan untuk menyederhanakan kurikulum pada realitas yang komplek, selain itu rencana pelaksanaan dalam memoodifikasi kurikulum dilakukan untuk memfokuskan pada praktek pembelajaran. Adapun tim pengembang kurikulum terdiri dari Kepala Sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait (Ilahi, 2013; 171, Kemendikbud, 2013: 42, Tarmansyah, 2007: 145).

(62)

115 sudah memiliki kompetensi sesuai dengan keahliannya untuk menangani ABK dan meningkatkan kompetensinya dengan memberikan pelatihan-pelatihan, seminar dan workshop tentang pendidikan inklusi. Kenyataan yang terjadi di Sekolah dimana Dinas hanya menunjuk 2 GPK untuk menangani 9 ABK sedangkan guru tersebut merupakan guru mata pelajaran dan belum memiliki keahlian untuk menangani ABK. Peran guru kelas dan guru mata pelajaran masih sangat kurang kesadaran untuk mau membantu, dalam hal peningkatan kompetensi guru dan GPK juga masih sangat kurang. Seharusnya Sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan inklusi guru harus memiliki standar kualifikasi yang telah ditentukan dan memiliki kompetensi dalam menangani ABK, serta guru yang berperan meliputi guru kelas, guru mata pelajaran dan GPK (Kemendikbud, 2012: 43, Kustawan, 2012: 73).

(63)

116 menyeluruh, yang ada hanya rencana pembelajaran tentang keterampilan. Padahal seharusnya Sekolah menyusun rancangan pembelajaran pada saat akan menerapkan program pendidikan inklusi pada awal akan dijalankan program. Hal ini didukung dengan pendapat (Maftuhatin, 2014: 208) mengatakan terlaksananya proses pembelajaran yang ramah didasarkan oleh rencana pelaksanaan program yang terencana.

(64)

117 salah satu faktor penting dalam penentu keberhasilan program inklusi. Sehingga guru-guru dan Kepala Sekolah harus bertanggung jawab dalam penyediaan faktor pendukung dan proses pelaksanaan agar program inklusi dapat berjalan dengan baik. Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga sudah berusaha untuk memenuhi sarana dan prasarana yang dapat mencover ABK, sedangkan dalam temuan Sari tidak terlaksana dengan baik. Maka seharusnya Sekolah yang melaksanakan program pendidikan inklusi hendaknya menyediakan sarana dan prasarana yang memadai dan dapat menjamin kebutuhan peserta didik agar proses pembelajaran dapat dilakukan dengan baik khususnya bagi anak berkebutuhan khusus (Kustawan, 2012: 80).

(65)

118 Sehingga untuk pembiayaannya Sekolah harus mengambil dari dana BOS yang sesungguhnya masih sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan siswa terutama ABK. Keuangan dan peran masyarakat merupakan faktor penting bagi terlaksana program pendidikan inklusi di Sekolah (Kartikha, 2016).

(66)

119 Komponen Sarana dan prasarana belum adanya rencana pelaksanaan yang aksesibel untuk ABK dan masih kurang memadai untuk kebutuhan ABK, sehingga guru mengalami kendala saat mengajar. Mengenai komponen pembiayaan hanya mendapat dari dana BOS dan sebagian dari orangtua ABK belum adanya bantuan dari pihak lainnya terutama dari Dinas, Sekolah sudah mengajukan proposal namun belum mendapat respon. Pada komponen dukungan masyarakat Sekolah hanya mendapat dukungan dari orangtua anak berkebutuhan khusus dan beberapa instansi tetapi masih kurang maksimal.

4.3.3 Evaluasi Proses Pelaksanaan Program

Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

Pada tahap evaluasi proses, menekankan pada proses kegiatan belajar siswa, kegiatan mengajar guru, kegiatan pembelajaran, sarana dan prasarana, serta dukungan masyarakat.

(67)

120 metode pembelajaran yang mempertimbangkan kondisi ABK. Meskipun mendapat pendidikan yang sama harusnya ABK mendapat layanan khusus dari guru dan GPK karena kondisi anak berkebutuhan khusus yang berbeda dengan anak normal. Seharusnya dalam pembelajaran seorang guru harus memahami setiap anak didiknya yang memiliki keunikan, kemampuan, minat, kebutuhan dan karaketristik yang berbeda-beda, kemudian dipadukan metode yang dirancang dengan mempertimbangkan kondisi ABK (Maftuhatin, 2014: 208).

(68)

121 untuk mendapatkan penilaian deskriptif mengenai perkembangan anak berkebutuhan khusus dari para guru kelas sebab ada beberapa guru yang merasa keberatan karena sudah mengemban banyak tugas lainnya. Padahal (Yusuf, 2014: 14) menjelaskan bahwa pendidik harus bisa menyesuaikan kebutuhan dan karakteristik siswa. Artinya Jika belum semua guru memberikan perhatian kepada anak berkebutuhan khusus maka program ini jelas belum berjalan dengan baik, karena anak berkebutuhan khusus membutuhkan penanganan dan perhatian khusus agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan anak berkebutuhan khusus dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Penelitian Mitiku (2014) dengan judul “Challenges and Oppourtunities to Implement Inclusive Education” juga menemukan

(69)
(70)

123 dengan peserta didik, kurikulum, ketenagaan, sarana dan prasarana serta penataan lingkungan.

(71)

124 pembelajaran berjalan dengan baik khususnya bagi anak berkebutuhan khusus (Kustawan, 2012: 80).

Berdasarkan acuan dari Permendiknas No 70 Tahun 2009 menyatakan perlu adanya dukungan dari pemerintah, masyarakat dan instansi terkait dalam proses pelaksanaan program pendidikan inklusi yang dapat berperan dalam perencanaan, penyediaan tenaga ahli, mengambil keputusan, pelaksanaan pembelajaran, pendanaan, pengawasan, penyaluran lulusan. Sedangkan untuk dukungan masyarakat di Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga telah mendapat dukungan dari sebagian orangtua ABKdan menjalin kerjasama dengan beberapa instansi namun belum maksimal. Mengenai penyelenggaraan program pendidikan inklusi Kepala Sekolah belum menyampaikan kepada Komite. Padahal untuk berjalannya sebuah program harus adanya kerjasama yang baik antara Sekolah dengan Pemerintah, masyarakat, dan instansi untuk mewujudkan program secara maksimal. Hal ini juga didukung dengan penelitian sebelumnya oleh Mitiku, dkk (2014) dengan judul “Challenges and Opportunities to Implement Inclusive Education” yang mengatakan pada

(72)

125 kepentingan, LSM, dan badan-badan yang bersangkutan untuk mewujudkan perjalanan menuju pendidikan inklusi.

(73)

126

4.3.4 Evaluasi Produk Pelaksanaan Program

Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga

Evaluasi pada tahap produk terhadap hasil pelaksanaan program pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga meliputi hasil belajar, rapot, ujian, ijazah dan lulusan ABK.

(74)

127 kurangnya diskriminasi terhadap siswa ABK. Serta hasil penelitian di Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga menambahkan dengan adanya GPK ABK dapat terlayani secara khusus.

Melalui acuan Permendiknas No 70 Tahun 2009 dalam komponen penilaian bagi ABK juga dibedakan dengan anak normal, sehingga hasil belajar berupa rapot ABK seharusnya terkhusus atau berbeda dengan anak normal. Akan tetapi pada kenyataannya di Sekolah hasil belajar penilaian rapot ABK masih disamakan dengan anak normal. ABK mendapatkan ijazah berupa surat tanda tamat belajar dari Sekolah. Dalam rencana pelaksanaan yang telah dirancang Sekolah, dimana ABK mendapatkan ijazah berupa surat tanda tamat belajar yang blangkonya dikeluarkan oleh Sekolah dengan mendapat cap dari Dinas.

(75)

128 rekomendasi dan kepastian bagi siswa untuk dapat melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, hal ini dikarenakan SMA atau SMK sudah mengikuti aturan Provinsi. Namun Sekolah merasa dengan adanya ABK yang Sekolah di SMP Negeri 7 Salatiga pada saat siswa lulus mereka mendapatkan persamaan hak memperoleh pendidikan yang sama dengan anak normal, dapat mengembangkan kecerdasan sosial, emosional dan moral terhadap lingkungan sekitar. Pendapat ini didukung juga dengan manfaat program pendidikan inklusi menurut Lab PAUD Inklusi Fakutas Psikologi UGM yaitu ABK dapat mengembangkan kecerdasan emosional, memiliki kesempatan belajar secara langsung, nyata serta objektif.

Gambar

Tabel 4.1 Kesenjangan Pada Tahap Desain
Tabel 4.2
Tabel 4.3 Kesenjangan Pada Tahap Proses
Kesenjangan Pada Tahap ProdukTabel 4.4

Referensi

Dokumen terkait

Memainkan alat perkusi dengan corak irama dan dinamik yang betul mengikut tempo berdasarkan skor secara konsisten. Memainkan alat perkusi dengan corak irama dan

 Tujuan utama adalah meyakinkan donatur Tujuan utama adalah meyakinkan donatur bahwa terdapat masalah yang dapat.. bahwa terdapat masalah

Artinya bila pada teknologi analog memerlukan pita selebar 8 MHz untuk satu kanal transmisi, maka pada teknologi digital dengan lebar pita frekuensi yang sama dengan teknik

penelitian dengan judul: “Pengaruh Kualitas Produk, Celebrity Endorsement dan Iklan terhadap Keputusan Pembelian Konsumen sabun Lux di Surabaya”. 1.2

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi ini dengan judul “ Pengaruh

Dalam hal ini Hukum harus senantiasa ditegakkan, walaupun kita tahu bahwa pemerkosaan merupakan kasus yang berbeda dengan kasus lainnya karena

Terima kasih buat sahabatku yang tidak sekampus tapi sama-sama berjuang dalam penyelesaian skripsi yang selalu ada saat aku butuhkan yang ketika buntu mengerjakan skripsi,

Belajar membuat skripsi ataupun proposal skripsi harus dilakukan sejak semester awalan, dengan banyak membaca contoh proposal skripsi sehingga pada saat semester akhir mahasiswa tidak