• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.4. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya

4.6.4. Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Tambak

Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan, diperoleh lahan yang sangat sesuai (S1) untuk tambak seluas 645,2 ha (3,7%) terutama di dekat Sungai Jeneberang dan Sungai Tallo yang berada di Kecamatan Tamalate dan Kecamatan Tallo. Kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) seluas 383,6 ha (2,2%) dan sesuai marginal (S3) seluas 2.127,3 ha (12,2%) berada di sepanjang Sungai Tallo. Kelas tidak sesuai (N) mencakup hampir seluruh Kota Makassar seluas 14.280,9 ha (81,9%) (Gambar 13).

Luas tambak di Kota Makassar pada tahun 2004 adalah 2.625 ha atau 14,93% dari luas keseluruhan kota (Bappeda, 2005). Umumnya tambak tersebut dibuat di atas tanah bekas lahan mangrove. Akan tetapi, kondisi tambak khususnya di Kecamatan Tamalate sebagian tidak diusahakan lagi karena lahan telah direklamasi.

Berdasarkan aspek hidrologi, pengembangan tambak di kawasan pantai sangat potensial karena adanya daerah pasang surut untuk pengairan (pengisian dan pengeringan) tambak secara alami. Akan tetapi, faktor pengairan atau drainase tersebut menjadi faktor pembatas dalam kesesuaian lahan untuk pengembangan tambak. Kawasan pantai Kecamatan Tamalate yang telah direklamasi menjadi tertutup dari pengaruh pasang surut air laut. Akibatnya sebagian besar lahan tambak menjadi tidak produktif dan terbengkalai karena tidak menguntungkan lagi. Bekas lahan pertambakan yang tidak produktif tersebut akhirnya menjadi alasan untuk pemanfaatan lahan lain yang dianggap lebih menguntungkan seperti jasa/perdagangan dan bisnis.

-175 -150 -125 -100 -75 -50 -25 0 25 50 75 100 125 150 175 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 4.7. Analisis Keindahan

Pantai Kota Makassar memiliki kualitas keindahan lanskap (landscape beautification) yang sangat beragam. Hal ini terlihat pada nilai SBE yang diwakili oleh 40 foto lanskap yaitu berkisar antara -151 sampai dengan 154 (Gambar 14). Lanskap yang memiliki nilai SBE paling tinggi adalah Anjungan Bahari, sedangkan lanskap dengan nilai SBE paling rendah adalah Dermaga Tata Maddong. Lanskap yang memiliki nilai SBE paling tinggi menggambarkan kualitas keindahan yang tinggi dan paling disukai, demikian pula sebaliknya. Lanskap yang tidak disukai atau paling tidak indah, dalam hal ini diindikasikan dengan nilai SBE yang rendah pula (Gunawan, 2005; Daniel & Boster, 1976).

Gambar 14. Nilai SBE lanskap pantai Kota Makassar

Lanskap dengan kualitas keindahan paling tinggi adalah Anjungan Bahari. Lanskap ini didominasi oleh elemen perkerasan dan bangunan. Elemen perkerasan di Anjungan Bahari berupa plaza yang memiliki motif dan warna yang menarik. Penggunaan elemen perkerasan seperti aspal, paving block, semen, batu koral, dan sebagainya dapat memberi kesan visual yang baik sehingga mempengaruhi kualitas keindahan lanskap sekitarnya (Ruswan, 2006). Permukaan elemen perkerasan juga terlihat bersih dan rapi yang dapat mempengaruhi kualitas keindahan lanskap tersebut. Menurut Branch (1995), salah satu unsur fisik yang mempengaruhi kualitas keindahan adalah kebersihan. Selain itu, kerapihan elemen

Foto Lanskap

Ni

la

lanskap juga sangat menentukan penilaian kualitas keindahan, semakin rapi suatu kawasan semakin indah untuk dilihat (Ruswan, 2006).

Lanskap Anjungan Bahari juga didominasi elemen bangunan sebagai latar belakang yang mempengaruhi kualitas keindahan lanskap. Bangunan yang tampak adalah Rumah Sakit Stella Maris yang memiliki arsitektur dinding dan atap yang menarik dari segi bentuk, ukuran, dan warna. Kondisi fisik bangunan yang memberi penilaian kualitas keindahan tinggi adalah bangunan yang memiliki warna menarik pada atap dan dinding (Sadik, 2004). Selain itu, karakter bangunan seperti tekstur, warna, dan detail juga menentukan kualitas tempat bangunan tersebut berada (Booth, 1983).

Lanskap yang memiliki kualitas keindahan paling rendah adalah Dermaga Tata Maddong. Lanskap ini didominasi oleh elemen lanskap dengan kualitas yang tidak tertata dengan baik dan kurang menarik. Kapal-kapal yang sedang berlabuh di dermaga tersebut tidak tertata dengan baik dan elemen perkerasan di pinggir pantai juga sudah rusak. Selain itu, di Dermaga Tata Maddong juga terlihat sampah yang berserakan sehingga menurunkan nilai keindahan lanskap. Hal ini didukung oleh penelitian Ruswan (2006) bahwa keberadaan sampah serta penataan dan struktur elemen lanskap yang kurang baik pada suatu lanskap akan mengakibatkan penurunan kualitas keindahan.

Tipe lanskap di kawasan pantai Kota Makassar terdiri atas ruang terbuka publik, kawasan jasa/perdagangan, kawasan bersejarah, kawasan permukiman, lanskap jalan raya, rawa/mangrove, dan tepi sungai. Berdasarkan pengelompokan dengan metode kuartil, nilai SBE dikelompokkan ke dalam tiga kategori kualitas, yaitu tinggi, sedang, dan rendah (Gambar 15).

Hasil pengelompokan memperlihatkan bahwa tipe lanskap ruang terbuka publik (tipe 1) dan kawasan jasa/perdagangan (tipe 2) mempunyai ketiga kualitas keindahan tersebut. Tipe lanskap yang mempunyai kedua kualitas keindahan adalah kawasan pemukiman (tipe 4) dengan kualitas keindahan tinggi dan rendah, sedangkan lanskap jalan raya (tipe 5) dengan kualitas keindahan tinggi dan sedang. Tipe lanskap yang hanya memiliki satu kualitas keindahan adalah kawasan bersejarah (tipe 3) dengan kualitas keindahan tinggi, sedangkan rawa/mangrove (tipe 6) dan tepi sungai (tipe 7) dengan kualitas sedang.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 1 2 3 4 5 6 7 Tinggi Sedang Rendah Rua n g te rb uk a pu blik Kawas an j asa/pe rdagangan Kawas an b ersej arah Ka w asa n pe rm uk im an Lan sk ap j alan raya Rawa/ hut an man g ro ve T epi su ng ai

Gambar 15. Persentase tipe lanskap berdasarkan kualitas keindahan

Keindahan lanskap di kawasan pantai Kota Makassar memiliki kualitas yang berbeda karena memiliki karakteristik yang berbeda pula. Kualitas keindahan lanskap dapat dilihat dari elemen lanskap, kerapihan, dan kebersihan. Menurut Ruswan (2006), elemen lanskap yang berpengaruh terhadap kualitas keindahan adalah elemen vegetasi, elemen bangunan, elemen perkerasan, dan elemen air. Klasifikasi nilai dan ciri-ciri elemen lanskap, kerapihan, dan kebersihan yang menentukan kualitas keindahan lanskap dapat dilihat pada Tabel 19.

Lanskap pantai Kota Makassar yang memiliki kualitas keindahan tinggi didominasi elemen vegetasi (rumput, semak, perdu, dan pohon) dengan penataan yang baik seperti pada foto lanskap Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam). Selain itu, pada beberapa foto lanskap juga terdapat elemen bangunan dan elemen perkerasan. Elemen bangunan memiliki arsitektur yang menarik dan tertata dengan baik seperti bangunan bersejarah Benteng Ujung Pandang dan Celebes Convention Centre (CCC). Elemen lainnya yang mendominasi adalah elemen perkerasan seperti pada lanskap Anjungan Bahari. Perkerasan tersebut memiliki

Tipe Lanskap

Persent

a

desain dan warna yang menarik dengan bahan keramik, paving block, dan aspal. Secara umum, lanskap di kawasan pantai Kota Makassar tersebut memiliki kualitas keindahan tinggi karena memiliki penataan dan pengelolaan elemen lanskap yang sangat baik. Oleh karena itu, program pengelolaan secara terpadu harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas keindahan lanskap pantai Kota Makassar karena menurut Vallega (2001), nilai-nilai keindahan di kawasan pantai merupakan pemicu utama untuk kesuksesan pengembangan waterfront city.

Tabel 19. Ciri-ciri kualitas keindahan lanskap pantai Kota Makassar

Kualitas Keindahan

Lanskap

Ciri-ciri

Rendah a. Vegetasi tidak tertata dengan baik

b. Penataan bangunan tidak baik

c. Kualitas fisik bangunan tidak baik (warna, arsitektur, dan sebagainya)

d. Tekstur perkerasan tidak baik

e. Terdapat sampah, tidak terdapat sampah

Sedang a. Vegetasi tertata dengan cukup baik

b. Penataan bangunan cukup baik

c. Kualitas fisik bangunan cukup baik

d. Tekstur perkerasan cukup baik

e. Tidak terdapat sampah

Tinggi a. Vegetasi tertata dengan sangat baik

b. Penataan bangunan sangat baik

c. Kualitas fisik bangunan sangat baik

d. Tekstur perkerasan sangat baik (aspal, paving block, dan sebagainya)

e. Tidak terdapat sampah

Sumber: Diadaptasi dari Ruswan (2006)

4.8. Analisis Kenyamanan

Berdasarkan pengukuran suhu udara dan kelembaban udara (Tabel 20) serta jawaban responden terhadap perasaan nyaman atau tidak (Gambar 16) diperoleh kriteria seperti yang terlihat pada Tabel 7. Secara umum menurut responden yang berkunjung ke kawasan pantai Kota Makassar, kondisi yang menunjukkan kenyamanan adalah pada waktu pagi hari (pukul 06.00 WITA) dan sore hari (pukul 18.00 WITA). Jawaban responden pada kedua waktu tersebut adalah 100% merasakan nyaman. Kondisi yang terasa tidak nyaman dimulai pada pukul 09.00 WITA hingga pukul 15.00 WITA dengan suhu udara mencapai 35oC. Pada pukul 15.00 WITA tersebut, sebanyak 100% responden merasakan ketidaknyamanan. Kondisi kenyamanan yang berbeda pada waktu pagi dan siang hari menyebabkan

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 06.00 09.00 12.00 15.00 18.00 Nyaman Tidak Nyaman

jumlah pengunjung juga berbeda. Jumlah pengunjung pada waktu pagi dan sore hari lebih banyak dibandingkan siang hari. Pengunjung akan mendapatkan kenyamanan pada waktu pagi dan sore hari sehingga dapat melakukan aktivitas dengan nyaman.

Tabel 20. Hasil pengukuran suhu udara dan kelembaban udara

Ulangan I Ulangan II Ulangan III Ulangan IV Rata-rata

Jam Pengukuran Suhu (o C) Kelembaban (%) Suhu (o C) Kelembaban (%) Suhu (o C) Kelembaban (%) Suhu (o C) Kelembaban (%) Suhu (o C) Kelembaban (%) 06.00 27,7 70 26,9 72 27,0 72 26,9 71 27,1 71 09.00 29,8 67 31,1 63 30,0 67 30,1 67 30,3 66 12.00 34,9 60 35,3 59 35,5 58 34,1 60 35,0 59 15.00 32,2 61 33,8 58 32,5 61 33,3 60 33,0 60 18.00 29,0 63 29,5 63 29,0 64 29,0 64 29,0 64

Gambar 16. Persentase jawaban responden berdasarkan waktu pengukuran

Berdasarkan analisis indeks tingkat kenyamanan (ITN) yang disajikan pada Gambar 17 diperoleh luas kawasan yang memiliki indeks tingkat kenyamanan tinggi adalah 297,153 ha (12,05%) yang berada di Kecamatan Tamalate. Indeks tingkat kenyamanan sedang yang mendominasi sebagian besar kawasan memiliki luas 1.846,787 ha (74,89%), sedangkan indeks tingkat kenyamanan rendah seluas 322,060 ha (13,06%). Indeks tingkat kenyamanan rendah berada di Kecamatan Mariso yang umumnya didominasi oleh permukiman.

Persent

a

se

4.9. Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan Pantai 4.9.1. Konsep dan Zonasi

Pengembangan kawasan pantai Kota Makassar sebagai prioritas utama dengan konsep waterfront city adalah kawasan rekreasi (recreational waterfront). Prinsip dasar pengembangan waterfront city dilakukan dengan menyeimbangkan lingkungan alami dan menciptakan daya tarik wisata. Kota Makassar memiliki beberapa obyek rekreasi yang menarik dan didukung oleh kondisi geografis berupa pantai dan kepulauan. Akan tetapi, pengembangan tersebut harus tetap melestarikan lingkungan, bahkan jika memungkinkan dapat memperbaiki lingkungan yang rusak. Lingkungan alami seperti hutan mangrove yang tersisa harus dipertahankan, bahkan sebaiknya dilakukan konservasi.

Tujuan pengembangan kawasan recreational waterfront yang ingin dicapai adalah kelestarian alam, mempertahankan nilai-nilai sosial budaya, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatannya dilakukan terhadap aspek keindahan, kenyamanan, dan daya dukung lingkungan. Menurut Hata et al. (1991), kenyamanan, keindahan pemandangan, budaya, dan warisan sejarah merupakan faktor-faktor penting dalam pengembangan recreational waterfront. Selanjutnya Ramly (2007) mengemukakan lima aspek utama pengembangan wisata berorientasi lingkungan yaitu (1) adanya keaslian alam dan budaya, (2) keberadaan dan dukungan masyarakat, (3) pendidikan dan pengalaman, (4) keberlanjutan, dan (5) kemampuan manajemen pengelolaan kawasan.

Usulan pengembangan lain berdasarkan hasil analisis adalah kawasan

mixed-use waterfront, yaitu kombinasi dari perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan/atau tempat-tempat kebudayaan (Breen & Rigby, 1996 diacu dalam Sairinen & Kumpulainen, 2006). Pembangunan di kawasan pantai Kota Makassar sangat pesat dengan peruntukkan yang beragam, seperti permukiman, bisnis/perdagangan, transportasi, dan lain-lain. Kawasan tersebut dibangun dengan cara mereklamasi pantai sebagai upaya mengatasi keterbatasan lahan. Selain itu, harga lahan di darat semakin mahal sehingga pemerintah kota lebih memilih alternatif untuk mengurug pantai yang merupakan harta milik bersama (common property).

Sebenarnya jika kegiatan reklamasi dilakukan secara terpadu, dengan teknologi yang tepat, dan sesuai dengan kondisi biofisik serta memperhatikan kondisi sosial ekonomi, kegiatan tersebut akan memberikan manfaat, yaitu (1) mendapatkan tambahan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti tempat wisata, daerah industri, pelabuhan, dan perumahan, (2) memperbaiki kondisi fisik pantai yang telah mengalami kerusakan seperti akibat erosi, (3) memperbaiki kualitas lingkungan pantai secara keseluruhan, dan (4) memberikan kejelasan tanggung jawab pengelolaan pantai (Pratikto, 2004). Namun, reklamasi yang dilakukan secara parsial dan tidak terpadu justru akan memberikan kondisi yang sebaliknya yaitu menimbulkan permasalahan. Permasalahan tersebut, antara lain, pencemaran lingkungan, perubahan morfologi pantai, perubahan mata pencaharian, dan perubahan nilai sosial budaya yang dapat terjadi pada semua tahap baik pra, pelaksanaan maupun pasca kegiatan.

Kegiatan pengembangan di kawasan pantai sering dilaksanakan secara tidak terpadu sehingga menimbulkan biaya yang besar terhadap lingkungan. Oleh karena itu, perencanaan dan pengelolaan secara terpadu sangat diperlukan untuk menjamin bahwa kualitas lingkungan dan keindahan kawasan pantai dapat berjalan dengan baik. Rees (2002) mengemukakan contoh rancangan pengelolaan kawasan pantai yang apabila pengembangan dilaksanakan dalam kerangka kerja tersebut, masyarakat dapat memperoleh manfaat jangka panjang dari sumber daya alam yang terkait (Gambar 18).

Untuk mengantisipasi berbagai permasalahan yang akan timbul dalam pengembangan kawasan dan memudahkan kegiatan pengelolaan, kawasan pantai Kota Makassar yang mencakup tiga kecamatan di pusat kota dibagi menjadi tiga zonasi pengembangan sebagai berikut (Gambar 19).

1. Zonasi Pemanfaatan Wisata

Zona ini merupakan zona yang dimanfaatkan untuk aktivitas pariwisata terutama wisata pantai. Zona ini dikembangkan pada area yang mempunyai potensi dan daya tarik wisata serta lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan. Namun, aktivitas yang dilakukan tetap mempertimbangkan unsur perlindungan dan pelestarian sumber daya pantai. Zona pemanfaatan wisata dialokasikan seluas 369,9 ha (15%) yang dapat dikembangkan di sepanjang pantai Kota Makassar terutama di Kecamatan Tamalate.

2. Zonasi Multi-Pemanfaatan

Zona ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti permukiman, bisnis/perdagangan, transportasi, dan lain-lain. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan, Kota Makassar sesuai untuk pengembangan permukiman. Akan tetapi, pengembangan zona dengan multi-pemanfaatan tersebut harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai dan memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Alokasi untuk zona multi-pemanfaatan adalah 1.627,6 ha (66%) yang dikembangkan pada ketiga kecamatan.

3. Zonasi Konservasi

Zona ini ditujukan untuk melestarikan ekosistem di kawasan pantai, laut, dan pulau-pulau kecil terdekat terutama mangrove dan terumbu karang. Menurut Bengen (2005), keberadaan zona konservasi penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah secara alamiah, dan sumber keanekaragaman hayati (biodivesity). Zona konservasi dialokasikan seluas 468,5 ha (19%) terutama di sepanjang Sungai Jeneberang dan tanah timbul di Kecamatan Tamalate. Kegiatan yang dapat dilakukan di zona konservasi adalah kegiatan-kegiatan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Kegiatan wisata dapat dilakukan, tetapi lebih ditujukan ke arah ecotourism daripada mass-tourism.