• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis tidak sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim yang menolak permohonan pemohon untuk menetapkan Pasal 22 ayat 4 huruf (h) Perjanjian Kerja Bersama PT Brahma Binabakti dengan PUK F.SPPPSPSI PT Brahma Binabakti adalah bertentangan dengan Pasal 151 ayat (1) , (2) dan ayat (3) Undang- undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hakim beranggapan Pasal 22 Ayat 4 huruf (h) Perjanjian Kerja Bersama PT Brahma Binabakti dengan PUK F.SPPP-SPSI PT Brahma Binabakti yang berbunyi

“Apabila karyawan melakukan tindakan yang sifatnya membahayakan dan/ atau merugikan

perusahaan serta dianggap tidak dapat dipertimbangkan lagi, maka kepada karyawan yang

bersangkutan dapat langsung diberhentikan”, dan huruf h PKB tersebut berbunyi “Berkelahi

dengan teman sekerja, memukul teman sekerja, mencelakakan teman sekerja” adalah sah dan

memikat bagi kedua pihak sehingga menjadi dasar Tergugat untuk melalukan PHK terhadap Penggugat. Namun menurut penulis hal ini jelas bertentangan dengan Undang – undang Ketenagakerjaan Pasal 151 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK, selain itu dalam Pasal 151 ayat (3) mengatur bahwa pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Berdasarkan Pasal 151 ayat 1, dan ayat 3 Penulis beranggapan semestinya Pengusaha dan Buruh harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK, namun di dalam pertimbangan, Hakim membenarkan PHK berdasarkan pasal 22

ayat 4 PKB PT. Brahma Binabakti yang di dalamnya tidak ada upaya agar tidak terjadinya PHK.

Penulis tidak sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim yang menolak untuk menetapkan PHK yang dilakukan Penggugat kepada Tergugat melalui suratnya No.24/PHK- BBB-K/ III tanggal 1 Maret 2011 bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku dan dinyatakan batal demi hukum. Di dalam pertimbanganya, Hakim berpendapat PHK dari PT Brahma Binabakti No.24 /PHK- BBB-K/ III / 2011 tertanggal 1 Maret 2011 dan bukti P- 6 dan bukti T-5 yaitu Perjanjian Kerja bersama yang menyatakan bahwa PHK yang dilakukan Tergugat adalah karena Penggugat telah melakukan perkelahian dengan rekan sekerja dan perbuatan tersebut telah memenuhi kriteria Pasal 22 ayat 4 poin h Perjanjian Kerja Bersama PT Brahma Binabakti. Namun Perjanjian Kerja Bersama PT Bina Bhakti nyatanya bertentangan dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : se-13/men/sj-hk/i/2005 bagian A. PHK ayat (1) huruf (b) bahwa

“Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja melakukan kesalahan berat

(eks Pasal 158 ayat (1)), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Penulis beranggapan bahwa berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : se-13/men/sj- hk/i/2005 bagian A. PHK ayat (1) huruf (b) bahwa “Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat (1)), Tergugat semstinya tidak dibenarkan melakukan PHK terhadap Penggugat sebelum adanya Putusan Hakim Pidana yang telah mempunyai kekuatan Hukum tetap dan Pasal 22 ayat 4 huruf H Perjanjian Kerja Bersama PT. Brahma Binabakti jelas bertentangan dengan Undang – undang yang semestinya dinyatakan batal demi hukum. Penulis berpendapat bahwa Hakim telah lalai dalam menerapkan Hukum karena dalam pertimbanganya Hakim tidak merujuk pada Undang

Selain itu Penulis tidak sependapat dalam pertimbangan hakim yang menolak untuk menetapkan Penggugat diskorsing mulai tanggal 01 Maret 2011 s/d perkara ini berkekuatan hukum tetap . Majelis Hakim dalam pertimbanganya berpendapat bahwa Perjanjian Kerja Bersama PT Brahma Binabakti didalam Pasal 22 ayat 4 yang berbunyi “Apabila karyawan melakukan tindakan yang sifatnya membahayakan dan atau merugikan perusahaan serta di anggap tidak dapat dipertimbangkan lagi maka kepada karyawan yang bersangkutan dapat langsung diberhentikan adalah merupakan kesepakatan antara pekerja dengan perusahaan

yang mengikat kedua belah pihak” Hakim berpendapat bahwa tindakan terugat

memberhentikan Penggugat tanpa melalui skorsing adalah telah sesuai dengan perjanjian kerja bersama yang berlaku. Sedangkan di dalam Pasal 155 ayat (2) dan (3) Undang-Undang

Ketenagakerjaan berbunyi “(ayat 2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya dan (ayat 3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses PHK dengan tetap wajib membayar upah. Penulis tidak setuju dengan Pertimbangan Hakim, sebab dalam perkara ini semestinya jika di dasarkan dengan ketentuan dalam Undang – undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 155 ayat 2 dan 3 Tergugat tidak dibenarkan memutuskan hubungan kerja terhadap Penggugat karena belum adanya Putusan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan seharusnya Hakim menerima Gugatan Penggugat untuk menetapkan Penggugat di scorsing sebelum adanya Putusan.

Selain itu Penulis tidak sependapat dengan pertimbangan Hakim yang menolak untuk menetapkan Tergugat PT Bina Bhakti untuk membayarkan hak- hak Penggugat sesuai ketentuan Undang - undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 164 ayat 3 sebesar Rp.24.295.040 dengan bukti dalam berita acara, perkelahian antara

Penggugat dengan roni prastowo terbukti bahwa PHK yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat adalah dikarenakan pelanggaran Ketentuan Pasal 22 ayat 4 Perjanjian Kerja bersama PT Brahma Binabakti. Dalam pertimbanganya Hakim berpendapat bahwa PHK yang dilakukan Tergugat adalah merupakan pelanggaran atas Perjanjian Kerja Bersama dalam Ketentuan Pasal 22 ayat 4 Perjanjian Kerja bersama PT Brahma Binabakti. Penulis tidak setuju dengan pendapat Hakim, jika di lihat dalam Pertimbangan Hakim terhadap Rekonvensi, Majelis Hakim berpendapat “Bahwa PHK yang di lakukan Penggugat Rekonvensi (Tergugat Konvensi) terhadap Tergugat Rekonvensi (Penggugat Konvensi) adalah merupakan pelanggaran atas Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku maka sesuai dengan ketentuan pasal 161 ayat 2 dan ayat 3 UU No, 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan terhadap PHK yang terjadi kepada Tergugat Rekonvensi (Penggugat Konvensi) Rekonvensi (Pengguga t Konvensi) diberi pesangon sebesar 8 X Rp.1.088.000 = Rp.8.704.000, - Uang Penghargaan Masa Kerja sebesar Rp.3X1.088.000 – Rp.3.264.000 , - dan uang penggantian

hak sebesar Rp.11.968.000X 15 % = Rp.1.795.200 yang total sebesar Rp.13.763.200,”. Di dalam Pasal 161 ayat 2 menyatakan “Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan,kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama” namun dalam Pasal 161

ayat 1 berbunyi “Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan PHK, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut” sedangkan di dalam Perkara ini tanpa adanya peringatan lisan ataupun tertulis terlebih dahulu keesokan harinya Penggugat melakukan PHK terhadap Tergugat. Penulis berpendapat bahwa Hakim telah lalai dan salah dalam menerapkan Hukum, karena Tergugat yang melakukan PHK terhadap Penggugat tanpa adanya surat peringatan sesuai Pasal 161(1) Undang-undang Ketenagakerjaan dan tanpa

adanya kesalahan dalam diri Penggugat dapat dikategorikan sebagai efisiensi dan semestinya Hakim menetapkan Tergugat PT Bina Bhakti untuk membayarkan hak- hak Penggugat sesuai ketentuan Undang - undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 164 ayat 3 sebesar Rp.24.295.040.

2. Kesesuaian Pertimbangan Hakim Tingkat Kasasi Undang-undang Nomer 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Mengenai Mahkamah Agung berpendapat Judex Facti hakim pengadilan negeri Jambi telah tepat menerapkan hukum, tidak melanggar hukum yang berlaku, selain itu Judex Facti juga tidak melampaui kewenangannya, serta telah mempertimbangkan fakta-fakta hukum. Mengenai hal ini Penulis tidak setuju dengan pendapat Mahkamah Agung, penulis beranggapan judex fecti telah salah menerapkan hukum dan/atau melampaui kewenangannya dengan membenarkan Pasal 22 ayat 4 huruf (h) Perjanjian Kerja Bersama untuk dijadikan dasar PT Brahma Binabakti melakukan PHK terhadap Penggugat. Pertimbangan judex fecti yang beranggapan Pasal 22 Ayat 4 huruf (h) Perjanjian Kerja Bersama PT Brahma Binabakti dengan PUK F.SPPP-SPSI PT Brahma Binabakti sah dan memikat bagi kedua pihak sehingga menjadi dasar Tergugat untuk melalukan PHK terhadap Penggugat adalah bertentangan dengan Undang – undang ketenagakerjaan Pasal 151 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK, selain itu dalam Pasal 151 ayat (3) mengatur bahwa pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Untuk itu Penulis berpendapat bahwa pertimbangan Mahkamah Agung tidaklah tepat karena tidak berdasarkan Undang – undang.

Selanjutnya mengenai Mahkamah Agung yang menyatakan judex fecti harus memperbaiki format amar putusanya. Penulis tidak sependapat dengan Mahkamah Agung, karena judex fecti telah salah menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku dalam amar putusannya yang tidak berdasarkan Undang - undang. Hal ini karena dalam amar putusanya judex fecti menggunakan Pasal 22 ayat 4 poin h Perjanjian kerjabersama PT

Brahma Binabakti yang bunyinya “Apabila karyawan melakukan tindakan yang sifatnya membahayakan dan/ atau merugikan perusahaan serta dianggap tidak dapat dipertimbangkan

lagi, maka kepada karyawan yang bersangkutan dapat langsung diberhentikan” untuk

membenarkan bahwa tindakan Tergugat melakukan PHK terhadap Pengugat. Untuk itu Penulis kembali menegaskan bahwa dalam hal melakukan kesalahan berat, Pasal 22 ayat 4 poin h Perjanjian Kerja Bersama PT Brahma Binabakti adalah bertentangan dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : se-13/men/sj- hk/i/2005 bagian A. PHK ayat (1) huruf (b) bahwa “Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat (1)), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian semestinya Mahkamah Agung tidak hanya menyatakan judex fecti harus memperbaiki format amar putusanya melainkan menyatakan membatalkan Putusan sebelumnya karena Judec Fecti telah salah menerapkan hukum.

Terhadap Majelis Hakim berpendapat keberatan tidak dapat dibenarkan karena ketentuan PKB yang demikian meskipun bertentangan dengan ketentuan undang - undang namun tetap berlaku sebagai ketentuan normatif dalam hubungan kerja kecuali mengenai ketentuan PKB ini telah diajukan gugatan perselisihan kepentingan dan diputus oleh Pengadilan Hubungan Industrial Pancasila atau Penggugat juga mengajukan gugatan perselisihan kepentingan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 86 Undang-Undang No. 2

Tahun 2004. Penulis berpendapat Mahkamah Agung telah salah dan melampaui kewenanganya dalam menerapkan Hukum sehingga merugikan pihak Penggugat dengan memaksakan isi pasal dalam PKB yang meskipun bertentangan dengan Undang – undang tetapi tetapi dianggap berlaku secara normatif dalam hubungan kerja, sedangkan dalam Undang – undang Ketenagakerjaan Pasal 151 ayat 1, 2, dan 3 junto Pasal 124 ayat (3) bahwa

“Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksut dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perun dang-

undangan”. Maka penulis berpendapat bahwa Judec fecti dan Mahkamah agung telah lalai

menerapkan Hukum karena dalam pertimbangan Hukumnya tidak berdasarkan Undang- undang sehingga tidak adanya keadilan bagi Penggugat sejaak perkara ini diputus

.

Dengan demikian, dalam hal ini Penulis berpendapat bahwa Mahkamah Agung dalam memeriksa Permohonan Kasasi tidak cermat dan Untuk itu, dari penjelasan diatas Penulis tidak sependapat atas Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung.

Dokumen terkait