• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONDISI

2.2 Kesetiaan Samurai

Istilah “samurai” pada awalnya mengacu kepada “seseorang yang mengabdi kepada bangsawan”. Pada zaman Nara (710 – 784), istilah ini semula disebut saburau dan kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat pula istilah lain yang mengacu kepada samurai yakni bushi. Istilah “bushi” yang berarti “orang yang dipersenjatai/kaum militer”, pertama kali muncul di dalam Shoku Nihongi, pada bagian catatan itu tertulis “secara umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta negara”. Kemudian berikutnya istilah samurai dan bushi menjadi sinonim pada akhir abad ke-12 (zaman Kamakura). Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600) dan awal zaman Edo (1603), istilah saburai berubah menjadi samurai yang kemudian berubah pengertian menjadi “orang yang mengabdi”. Bagaimanapun, istilah samurai digunakan untuk prajurit elit dari kalangan bangsawan. Samurai yang tidak terikat dengan klan atau tidak bekerja bekerja untuk majikan/ (daimyo) disebut ronin (secara harafiah: "orang ombak").

Golongan samurai hanya dapat dimasuki melalui kelahiran atau pengangkatan sebagai anak berdasarkan hukum. Meskipun samurai berstatus social tinggi, namun secara internal golongan samurai terbagi lagi dalam berbagai jenjang. Jenjang teratas ditempati oleh para daimyo beserta keluarga mereka, yang menikmati semua hak istimewa yang menyertai kedudukan itu. Sedangkan jenjang terendah ditempati oleh kaum Ashigaru. Kaum Ashigaru (secara harfiah: “kaki ringan”) adalah para serdadu pejalan kaki, laskar garda depan, pasukan bertombak, pembawa panji / bendera yang bertuliskan simbol klan. Mereka adalah prajurit rekrutan dari rakyat biasa yang biasanya golongan petani atau biasa disebut juga dengan sebutan samurai dadakan atau samurai tanpa nama.

Bushi yang pada awalnya adalah kelompok bersenjata yang mengabdi pada tuannya, tetapi kemudian setelah mereka berhasil menjalankan perannya yang besar dalam menjaga eksistensi tuannya tersebut. Namun lama kelamaan mereka tidak bergantung lagi pada tuan yang golongan bangsawan. Malah sebaliknya, tuan yang bergantung pada bushi sehingga bushi tersebut menjadi kelompok yang disegani. Salah satu contoh pada zaman Heian (abad 8-12), bermunculan pemimpin-pemimpin dikalangan bushi yang mempersatukan kekuatan bushi sehingga menjadi suatu kekuatan yang besar yang disebut bushi no toryo (tulang punggung bushi/penanggung jawab bushi) yang dipimpin oleh keluarga bangsawan (kizoku) yang tinggal di daerah. Seorang samurai yang setia tuannya dalam batas hidup dan mati. Yang paling terkenal diantaranya adalah keluarga Taira dan keluarga Minamoto (Situmorang 1995:12).

Sebagai abdi dari seorang yang berkuasa di suatu daerah kekuasaan yang disebut daimyo harus menuntut sesuatu sikap moral yang disebut setia. Kesetiaan samurai disini memiliki sifat-sifat yang berbeda dibandingkan abdi di daerah lain ataupun di negara lain. Keistimewaan dan keunikan dari kesetiaan samurai disini terlihat dalam pengabdian terhadap tuannya yang sangat menakjubkan. Menurut Ienaga dalam Situmorang (2006 : 88) mengatakan bahwa seorang samurai harus siap mengorbankan diri melewati batas hidup dan mati yang dilaksanakan dalam bentuk kesatriaan dan berusaha mempersembahkan kemenangan di medan perang kepada tuan.

Menurut Watsuji dalam Situmorang (Situmorang 1995:21) mengatakan bahwa adanya kesetiaan bushi yang berbeda di Jepang selama adanya samurai atau selama adanya hubungan antara tuan dan anak buah. Ada perbedaan etos

pengabdian bushi sebelum zaman Edo dengan etos pengabdian diri zaman Edo. Etos pengabdian diri bushi sebelum zaman Edo adalah kesetiaan pengabdian kepada tuan yang didasarkan pada ajaran Budha Zen. Sedangkan pemerintahan Tokugawa pada zaman Edo berusaha mengubahnya dengan dasar ajaran Konfusionis yang disebut dengan shido.

Menurut Situmorang (1995 : 49) salah satu sikap yang harus dimiliki oleh seorang bushi dalam mewujudkan moral pengabdiannya adalah kejujuran. Yaitu tidak mengubah kepatuhan terhadap pengabdiannya. Tidak dipengaruhi oleh keakraban, memperbaharui apa yang harus diperbaharui, membenarkan apa yang harus dibenarkan. Tidak boleh mengambil muka, dan tidak boleh mengikuti perasaan duniawi. Bushi juga harus memperhatikan etiket dalam berbicara. Bahasa adalah pengutaraan langsung secara subjektif isi pikiran terhadap pihak lain dengan mengucapkan sesuatu. Ada yang harus dikatakan pada waktunya, untuk mengatakan ini, mempertimbangkan kesempatan yang baik. Kemudian cara mengucapkannya, menekan perasaan, tidak boleh mengucapkan dengan cepat-cepat dan kasar, tidak boleh bernada suara tinggi, harus mengucapkan dengan tenang.

Bushido (jalan hidup bushi) yang ada di Jepang sebelum dipengaruhi oleh ajaran shido dari Tokugawa. Telah ada semenjak adanya bushi di Jepang yang disebut dengan bushido lama. Ciri khas bushido lama ini berbeda-beda di setiap daerah, tetapi umumnya berupa moral pengabdian diri yang bersifat zettai teki (mutlak) pada masing-masing tuannya di daerah. Adanya ketidakseragaman konsep pengabdian diri pada masing-masing bushido lama ini adalah karena terpencarnya kekuasaan permerintahan di Jepang sebelumnya. Bushido lama yang

ditandai dengan pengabdian diri yang mutlak dari anak buah terhadap tuannya ini, gejala yang paling jelas dapat dilihat pada perilaku junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan) dan perilaku adauchi (mewujudkan balas dendam kepada musuh dari tuan) yang sering dilakukan anak buah sebagai tanda pengabdian kepada tuannya.

Salah satu contoh, seorang samurai Yamamoto Tsunetomo yang telah berjanji mengorbankan diri bagi tuan, merasa telah tiba saatnya untuk melakukan junshi. Tetapi karena pada zaman Edo junshi sudah dilarang oleh pemerintahan shogun. Maka Tsunetomo melakukan sukke atau mengucilkan diri. Dia mengikut ajaran Budha dan menjadi penulis kitab tentang konsep Bushido yang menjadi pelajaran para bushi kemudian. Menurut Tsunetomo, bushido adalah janji untuk mengabdikan diri bagi tuan. Dia berkata bahwa para anak buahnya hanya mempunyai satu tujuan hidup yaitu untuk mengabdi pada tuan. Menurutnya hal ini mempunyai dua pengertian, yaitu:

1. Secara absolut (mutlak) mengutamakan tuan, yaitu kesetiaan mengabdi satu arah dengan mengabdikan jiwa raga bagi tuan.

2. Menjadi anak buah yang betul-betul dapat diandalkan, yaitu betul-betul dapat melaksanakan sumpah setia kepada tuan (Watsuji dalam Situmorang, 1995:25).

Sehingga moral pengabdian diri bushi atau samurai disini dibagi atas dua jenis, yaitu; moral pengabdian diri bushi periode awal zaman feodal dan moral pengabdian diri bushi pada periode akhir feodalisme di Jepang, dan diantaranya ada proses perubaha tersebut.

2.2.1 Moral Pengabdian Diri Bushi Periode Awal

Menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang (2006:87) dikatakan pada zaman Heian (793-1185) di daerah pertanian muncul penguasa baru yang disebut dengan bushi. Pada awalnya untuk membedakan arti dengan petani. Pada awalnya mereka hidup di daerah pertanian kemudian berubah menjadi masyarakat Kota. Berbeda dengan masyarakat Kizoku (bangsawan) pekerjaan sehari-hari mereka adalah menbidangi seni. Tetapi Bushi berprofesi sebagai ahli perang, dan mereka bekerja sebagai abdi pada Kizoku tersebut.

Pada zaman berikutnya, zaman Kamakura dan Muromachi belum dikenal nama bushido, yang dikenal adalah “tsuwamono no michi”, hal ini mempunyai arti yang lebih sempit daripada bushido. Hal tersebut berisi makna “bujo”, yaitu keterampilan menggunakan alat dan pandangan meremehkan jiwa, hal ini berbeda dengan pemikiran bushi zaman Edo.

Ada dua hal yang mempengaruhi kesetiaan bushi periode awal ini, yaitu : a. Ikatan yang didasarkan pada perjanjian tuan dan pengikut.

b. Ikatan yang didasarkan pada hubungan darah/keluarga dan wilayah (Ie). Ikatan yang didasarkan pada perjanjian tuan dan pengikut.

Hal ini berisikan pertukaran antara “onko” (pemberian) dengan “hoko” (pelayanan) di pihak lain. Pertukaran antara kedua hal ini melahirkan kekuatan kelompok. Tetapi walaupun dikatakan pertukaran, derajat kedudukan mereka tidak sama, kedudukan mereka berbentuk atas bawah atau bukan merupakan kelas yang sama. Pemberi “onko” sebagai tuan dan pemberi “hoko” sebagai pengikut. Pengertian “onko” mengandung muatan makna sebagai berkah, dan di dalam

“hoko” mengandung muatan makna pengabdian yang mempunyai warna “mujoken” (tidak abadi).

Pada masa itu, di dalam kesadaran bushi pelayanan ditujukan sebagai hubungan pertukaran antara “hoko” dan “onsho”.

Bentuk dan batas “onsho” dan “hoko”

Dalam kumpulan cerita Konjaku (Konjaku Monogatarishu) dikatakan tidak ada batas untuk membalas “onsho”, untuk membalas onsho harus siap mengorbankan diri melewati batas hidup dan mati. Pelayanan bushi melewati batas hidup dan mati tersebut dilaksanakan dalam bentuk “gunchu” (pengabdian dalam bentuk kesatrian), berusaha mempersembahkan kemenangan di medan perang kepada tuan.

Ikatan hubungan tuan dan pengikut diawali dengan pemberian hadiah oleh tuan, dan jikalau ada perang tuan harus menyediakan hadiah. Kadang-kadang janji pemberian hadiah ini dilaksanakan. Iklanan seperti ini ada pada tahun 3 tensho, berisi bahwa Odanobunaga menyediakan 23 wilayah Echizen bagi orang yang membantu perang. Sebelum berangkat ke medan perang, terlebih dahulu diberi hadiah dan pujian, hal ini membuat bushi malu jikalau tidak bertempur sebaik-baiknya di medan perang. Dalam hal seperti ini dipentingkan bukti melakukan keberhasilan, sehingga dalam hal seperti ini menjadi diperlukan saksi diperlukan saksi di medan perang. Dikatakan jikalau pergi ke medan perang sendirian dan apabila mati tidak dilihat orang sebagai saksi maka hal seperti ini disebut “Inijini” (mati konyol). Sebaliknya jikalau mati pada waktu dalam barisan kawan, maka nama sendiri menjadi terkenal dan anak cucu mendapat hadiah. Jadi

untuk melakukan “chu” (pengabdian/penghormatan anak buah kepada tuan), yang dipentingkan adalah harus mengetahui tempat dan waktu untuk mengabdi yang tepat. Karna yang penting adalah bukti pengorbanan (chu) tersebut.

Dalam pemikiran seperti di atas, ada kalanya tuan tidak mampu menyediakan hadiah yang banyak, hal ini mengakibatkan kesetiaan bushi berkurang. Oleh karena itulah dalam hal ini tuan perlu menambah suatu elemen lain, yaitu elemen rasa kasih sayang. Elemen ini muncul karena adanya hubungan tuan dengan pengikut yang sudah lama, yaitu dari generasi ke generasi. Oleh karena itu hubungan Tuan dan Pengikut menjadi hubungan keluarga (Ie).

Sedangkan pemikiran dunia kematian, pada saat itu bushi di Jepang menganut agama Budha Zen. Dalam agama Budha Zen dijelaskan adanya reinkarnasi antara hidup dan mati.

Pemikiran ini juga dijelaskan dalam Watsuji Tetsuro (1976) dalam Situmorang (2006:89) yang mengatakan, bahwa pandangan bushi akan adanya reinkarnasi mengakibatkan bushi mempunyai cita-cita menjadi abdi tuannya selama tujuh kali dalam reinkarnasi tersebut. Hal inilah yang melahirkan pengabdian yang mutlak dari anak buah terhadap tuan. Dijelaskan pula bahwa wujud daripada pengabdian yang mutlak ini adalah, keberanian mengorbankan jiwa raganya bagi tuan

Tetapi kemudian diseluruh daerah Jepang sangat dipuji keluarga bushi yang berani mengabdikan jiwa raga terhadap tuannya. Jadi bushi yang disegani bukan hanya bushi yang hebat di medan tempur tetapi adalah juga bushi yang setia terhadap tuannya.Kesetiaan tersebut adalah kesetiaan mengabdikan jiwa raga termasuk juga kesetiaan untuk melakukan bunuh diri karena kematian

tuannya. Apabila tuan meninggal tetapi anak buah tidak ada yang beranin mengikuti kematian tuannnya, maka bushi daerah tersebut disebut dengan bushi pengecut. Hal ini biasanya menimbulkan rasa malu bagi keturunan bushi tersebut. Oleh karena itu para bushi akan memilih bunuh diri. Bunuh diri mengikuti kematian dalam masyarakat bushi disebut dengan Junshi.

2.2.2 Moral Pengabdian Diri Bushi Periode Akhir (Zaman Edo)

Pembagian kelas masyarakat di Jepang berakhir pada Meijii restorasi (1868). Dalam dekrit Meijii ditetapkan bahwa seluruh masyarakat Jepang mempunyai hak yang sama dalam memilih pekerjaan yang sesuai baginya. Dengan demikian bushi, kelas petani, kelas pedagang dan kelas tukang yang dibuat pada zaman feodal dihapuskan.

Sebelum restorasi Meiji pemerintahan keshogunan berada di tangan keluarga Tokugawa (1603-1867). Dalam masa ini Tokugawa memantapkan ide pengabdian diri berdasarkan ajaran Konfusionis. Yaitu mengajarkan pengabdian bertingkat yang akhirnya seluruh masyarakat Jepang pada waktu pengabdiannya bertumpu di tangan Shogun.

Pemerintah Tokugawa melarang adanya pengabdian yang tidak rasional dari anak buah terhadap tuannya di daerah. Seperti melakukan Junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuannya ) dan juga melakukan Adauchi (melaksanakan balasa dendam terhadap musuh tuannya). Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kesetiaan anak buah terhadap tuan, dan supaya tuan (daimyo) tidak menjadi kuat sehingga mampu melakukan perlawanan bagi Shogun. Dengan peraturan Shogun Tokugawa ini membuat kesan bahwa melakukan Junshi adalah perbuatan Inujini

(mati konyol). Sehingga dengan demikian dapat dilihat sangat kontras perbedaan pengabdian diri bushi pada periode awal feodalisme dengan pengabdian diri ajaran keshogunan Tokugawa. Sehingga pada zaman Edo lahirlah pengabdian diri bushi yang khas yang merupakan perpaduan dari kesetiaan pengabdian diri bushi keshogunan Tokugawa.

Dengan demikian dapat dilihat unsur-unsur pengabdian diri bushido lama dan unsur-unsur pengabdian diri bushido baru ( bushido Tokugawa), (Watsuji dalam Situmorang, 2006:91).

Samurai dianggap sebagai golongan ksatria/ militer yang terpelajar dan memiliki derajat yang tinggi di masyarakat, namun semasa Keshogunan Tokugawa berangsur-angsur samurai kehilangan fungsi ketentaraan mereka. Pada akhir era Tokugawa, samurai secara umumnya adalah kakitangan umum bagi daimyo, dengan pedang mereka hanya untuk tujuan istiadat.

Samurai di zaman Edo menjalankan kewajiban melayani tuan tanah feodal masing-masing dengan dua cara, yaitu menjalankan tugas keprajuritan pada masa damai, yakni menjaga benteng daimyō, mengawal daimyō ketika ia pergi ke Edo dan pulang dari Edo16, dan menyediakan pasukan yang dapat digunakan daimyo untuk menjaga tanahnya.

Namun, setelah Tokugawa berhasil mewujudkan ketertiban di Jepang pada abad ke-17, para samurai ini kebanyakan menjalankan tugas administrasi, dalam hal ini adalah administrasi keuangan seperti menghimpun pendapatan dalam bentuk beras atau uang tunai untuk membayar tunjangan, merawat rumah resmi di Edo, dan membayar biaya perjalanan ke Edo setiap tahunnya.

Karena para samurai tidak dapat lagi diandalkan untuk bertempur, shogun dan daimyō tidak ingin menghilangkan nilai kesetiaan dan keberanian samurai, tetapi perkelahian dan balas dendam turun temurun, sering terjadi dan merupakan bagian dari kehidupan samurai yang tidak sesuai dalam masyarakat aman dan damai yang sedang mereka bangun. Bakufu kemudian menindak tegas pelaku perkelahian dan melarang balas dendam. Untuk mendorong agar para samurai mau menerima perubahan, maka disediakan imbalan. Pada abad ke-18, pejabat mendapat tunjangan tambahan untuk menambah gaji. Pekerjaan yang baik menjadi salah satu pertimbangan untuk naik pangkat, yang membuka kemungkinan untuk naik jabatan.

Selain itu pendidikan moral, etika, dan pengetahuan umum mulai dikenalkan. Sampai saat itu sebagian besar samurai terutama samurai berpangkat tinggi mendapat pendidikan secara individual. Pendidikan tersebut antara lain pengetahuan mengenai etika selain keahlian menggunakan senjata, berikut pengetahuan membaca dan menulis. Peran birokrasi dalam kehidupan telah menjadi norma, para atasan menginginkan nilai-nilai lebih dari seorang samurai. Seperti kaum bangsawan di zaman Nara dan Heian, mereka harus memiliki sikap moral yang “benar” jika mereka ingin mendapat peranan dalam pemerintahan. Terutama harus memahami ajaran-ajaran klasik Konfusius, oleh karena itu bakufu dan para daimyō mulai mendirikan tempat-tempat pendidikan dimana hal-hal tersebut dapat dipelajari. Terdapat lima belas tempat-tempat pendidikan yang didirikan pada tahun 1700.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa adanya pergeseran sasaran kesetiaan bushi dari tuan kepada keshogunan dalam zaman Edo

(1603-1868) di Jepang. Shido sebagai etos pengabdian diri yang didasarkan pada prinsip gorin (etika Konfusionis yang berisikan lima macam hubungan antar pribadi) telah bekerja dalam lembaga moralitas giri dan chu. Konsep chu membawa pengertian balas budi kepada shogun dalam loyalitas bertingkat, dan konsep giri berubah makna menjadi giri yang membalas kebaikan kepada tuan setulus hati yang memperhitungkan untung dan ruginya. Dengan demikian rasa berhutang anak buah terhadap atasan tertumpu pada puncak birokrasi yaitu kesogunan. Hal inilah yang mengakibatkan perubahan kesetiaan kesetiaan anak buah kepada tuan menjadi kepada keshogunan (Situmorang, 1995:83).

Dokumen terkait