• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAKHRIJ HADITS TALAK TIGA SEKALIGUS

B. Kritik Sanad Hadits

3. Keshahihan Sanad

berpegang padanya dalam menukil hadits dan kabar. Ibnu al-Mubarak mengatakan: “Isnad adalah bagian dari agama, kalaulah tidak ada isnad, niscaya semua orang akan berbicara seenaknya”. Ats-Tsaury mengatakan: “Isnad merupakan senjata orang mukmin”.

Jelaslah nilai dan urgensi isnad bagi orang yang ingin mengetahui tokoh-tokoh isnad, dengan jalan membahas keadaan mereka pada kitab-kitab biografi para rawi. Sebagaimana tampak urgensinya untuk mengetahui isnad yang bersambung dan yang terputus. Jika tidak ada isnad, hadits yang shohih dan yang dha’if batasannya kabur dan masuklah untuk menggunakan kesempatan ini dalam berdusta dengan membuat yang tidak-tidak setiap para mubtadi’ (orang yang suka mengada-ada), mubthil (orang yang suka membuat kebatilan), dan jadilah perkaranya seperti yang diungkapkan oleh Ibnu al-Mubarak di atas.

3. Keshahihan Sanad

Untuk kepentingan penelitian hadits, ulama telah menciptakan berbagai kaidah dan ilmu hadits. Dengan kaidah dan ilmu hadits itu, ulama mengadakan pembagian kualitas hadits. Diantara kaidah yang telah diciptakan oleh ulama adalah keshahihan sanad hadits, yakni segala syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu sanad hadits yang berkualitas shahih. Segala syarat atau kriteria keshahihan sanad hadits tersebut, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus yang melingkupi seluruh bagian sanad.

34

a. Unsur-Unsur Kaidah Keshahihan Sanad Hadits

Menurut Ismail (1995:120), ulama hadits dari kalangan al-mutaqaddimun, yakni ulama hadits sampai abad III H, belum memberikan pegertian (definisi) yang eksplisist (sharih) tentang hadits shahih. Mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan tentang penerimaan berita yang dapat dipegangi. Pernyataan-pernyataan mereka, misalnya berbunyi:

1) Tidak boleh diterima suatu riwayat hadits, terkecuali yang berasal dari orang-orang yang siqat.

2) Hendaklah orang yang memberikan riwayat hadits itu diperhatikan ibadah shalatnya, perilakunya dan keadaan dirinya; apabila shalatnya, perilakunya dan keadaan orang itu tidak baik, agar tidak diterima riwayat haditsnya;

3) Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadits;

4) Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang-orang yang suka berdusta, mengikuti hawa nafsunya dan tidak mengerti hadits yang diriwayatkannya;

5) Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang ditolak kesaksiannya.

Pernyataan-pernyataan tersebut tertuju kepada kualitas dan kapasitas periwayat, baik yang boleh diterima maupun yang harus ditolak riwayatnya.

35

Ismail (1995:121) melanjutkan, Imam asy-Syafi’i telah mengemukakan penjelasan yang lebih kongkret dan terurai tentang riwayat hadits yang dapat dijadikan hujah. Ia mengatakan, khabar al-khashshah (hadits ahad) tidak dapat dijadikan hujah, kecuali apabila hadits itu:

1) Diriwayatkan oleh para periwayat yang: a) Dapat dipercaya pengamalan agamanya;

b) Dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan berita; c) Memahami dengan baik hadits yang diriwayatkan;

d) Mengetahui perubahan makna hadits bila terjadi perubahan lafalnya;

e) Mampu menyampaikan riwayat hadits secara lafal, tegasnya, tidak meriwayatkan hadits secara makna;

f) Terpelihara hafalannya, bila ia meriwayatkan secara hafalan, dan terpelihara catatannya, bila ia meriwayatkan melalui kitabnya;

g) Apabila hadits yang diriwayatkannya diriwayatkan juga oleh orang lain, maka bunyi hadits itu tidak berbeda;

h) Terlepas dari perbuatan menyembunyikan cacat (tadlis).

2) Rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi, atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.

Kriteria yang dikemukakan oleh asy-Syafi’i tersebut sangat menekankan pada sanad dan cara periwayatan hadits.

36

Menurut Ahmad Muhammad Syakir, kriteria yang

dikemukakan oleh asy-Syafi’i telah mecakup seluruh aspek yang berkenaan dengan keshahihan hadits. Kata Syakir, asy-Syafi’i-lah ulama yang mula-mula menerangkan secara jelas kaidah keshahihan hadits.

Ismail (1995:126-127) menyatakan, “unsur-unsur kaidah umum keshahihan sanad hadits ialah:

1) Sanad bersambung;

2) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil; 3) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith; 4) Sanad hadits itu terhindar dari syudzudz; dan 5) Sanad hadits itu terhindar dari ‘illat

Sedangkan unsur-unsur kaidah khususnya sebagai berikut: 1) Untuk sanad bersambung:

a) Muttashil (maushul); b) Marfu’;

c) Mahfuzh;

d) Bukan Mu’all (bukan hadits yang ber-‘illat). 2) Untuk periwayat bersifat adil:

a) Beragama Islam; b) Mukallaf;

c) Melaksanakan ketentuan agama; d) Memelihara Muru’ah.

37

3) Untuk periwayat bersifat dhabith dan atau tamm al-dhabth: a) Hafal dengan baik hadits yang diriwayatkannya;

b) Mampu dengan baik menyampaikan hadits yang dihafalnya kepada orang lain;

c) Terhindar dari syudzudz; d) Terhindar dari ‘illat.

b. Macam-Macam Hadits Yang Tidak Memenuhi Unsur-Unsur Kaidah Keshahihan Sanad Hadits

Kaidah keshahihan hadits yang telah disampaikan oleh M. Syuhudi Ismail di atas merupakan acuan utama untuk penelitian kualitas sanad hadits. Hadits yang memenuhi semua unsur dari kaidah itu disebut sebagai hadits shahih sanadnya. Sedangkan yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh unsur dari kaidah, hadits itu tidak termasuk berkualitas shahih sanadnya. Sanad hadits yang tidak shahih, diantanya ada yang disebut sebagai hadits hasan dan ada yang disebut sebagai hadits dha’if.

Hadits yang sanadnya hasan, menurut mayoritas ulama hadits, ialah hadits yang sanadnya bersambung, para periwayatnya bersifat adil, tetapi kurang sedikit sifat ke-dhabith-annya (khafif al-dhabth), tidak terdapat syudzudz dan ‘illat.(Isma’il, 1995:170)

38

Adapun yang dimaksud hadits dha’if menurut Ismail (1995:171) ialah hadits yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh syarat hadits shahih atau hasan.

Ismail (1995:176-177) melanjutkan, dalam hubungannya dengan tidak terpenuhinya unsur sanad bersambung, secara garis besar Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy membagi hadits dha’if kepada lima macam. Yakni, hadits mu’allaq, hadits mursal, hadits mu’dhal, hadits

munqathi’, hadits mudallas.

Yang dimaksud hadits mu’allaq ialah hadits yang periwayat diawal sanadnya (periwayat yang disandari oleh penghimpun hadits) gugur (terputus), seorang atau lebih secara berurut. Di segi yang lain, hadits mu’allaq adalah hadits marfu’, karena hadits itu disandarkan kepada Nabi.

Selanjutnya yang dimaksud hadits mursal menurut mayoritas ulama hadits, ialah hadits yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh tabi’in, baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil, tanpa terlebih dahulu hadits itu disandarkan kepada sahabat Nabi.

Jenis hadits lain yang terputus sanadnya ialah hadits mu’dhal.

Yakni hadits yang terputus sanadnya, dua orang periwayat atau lebih secara berurut.

Selanjutnya hadits munqathi’. Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Pendapat-pendapat ulama tersebut sebagai berikut:

39

a. Hadits Munqathi’ ialah hadits yang sanadnya terputus dibagian mana saja, baik dibagian periwayat yang berstatus sahabat, maupun periwayat yang bukan sahabat;

b. Hadits munqathi’ ialah hadits yang sanadnya terputus, karena periwayat yang tidak berstatus tabi’in dan sahabat Nabi telah menyatakan menerima hadits dari sahabat Nabi;

c. Hadits munqathi’ ialah hadits yang bagian sanadnya sebelum sahabat, jadi periwayat sesudah sahabat, hilang atau tidak jelas orangnya;

d. Hadits munqathi’ adalah hadits yang dalam sanadnya ada periwayat yang gugur seorang atau dua orang tidak secara berurutan;

e. Hadits munqathi’ ialah hadits yang dalam sanadnya ada seorang periwayat yang terputus atau tidak jelas;

f. Hadits munqathi’ ialah hadits yang sanadnya di bagian sebelum sahabat, jadi periwayat sesudah sahabat, terputus seorang atau lebih tidak secara berurut dan tidak terjadi di awal sanad;

g. Hadits munqathi’ ialah pernyataan atau perbuatan tabi’in.

Isma’il (1995:178) menjelaskan bahwa jenis hadits lain yang sanadnya terputus juga ialah hadits mudallas. Dikatakan mudallas, karena dalam hadits itu terdapat tadlis. Menurut ulama hadits, jenis tadlis secara umum ada dua macam, tadlis al-isnad dan tadlis al-syuyukh.

40

Yang dimaksud dengan tadlis al-isnad ialah periwayat hadits menyatakan telah menerima hadits dari periwayat tertentu yang sezaman dengannya, padahal mereka tidak pernah bertemu. Dan yang dimaksud tadlis al-syuyukh ialah periwayat hadits menyebut secara salah identitas guru atau syaikh hadits yang menyampaikan hadits kepadanya.

Selain macam-macam hadits yang telah kami kemukakan, masih ada lagi jenis hadits yang termasuk terputus sanadnya. Yakni hadits mauquf, maqthu’, syadz, dan mu’all (mu’allal). Hadits mauquf dan maqthu’, sanadnya tidak sampai kepada Nabi. Sedangkan hadits syadz dan mu’all, bentuk keterputusan sanadnya cukup beragam.

4. Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil a. Pengertian dan Kegunaan

Menurut bahasa, al-jarh artinya cacat. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada periwayat hadits, seperti pelupa, pembohong dan lain sebagainya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa periwayat tersebut cacat. Hadits yang dibawa oleh periwayat semacam ini ditolak, dan haditsnya dinilai lemah (dha’if).

Menurut al-Fayyad (1998:57), jarh ada dua macam, yaitu: 1) Jarh material, yaitu suatu bentuk jarh (luka) yang menimbulkan

41

benda tajam dan lain sebagainya. Bentuk jarh ini tidak di butuhkan dalam takhrij al-hadits.

2) jarh immaterial, yaitu suatu bentuk jarh (luka) nonfisik, seperti menyebutkan sifat-sifat kejelekan seseorang dengan menggunakan ucapan atau bentuk tulisan. Bentuk jarh inilah yang digunakan dalam takhrij al-hadits.

Al-Ta’dil menurut al-Fayyad (1998:57) secara bahasa artinya menilai adil kepada orang lain. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti kuat hafalan, terpercaya, cermat dan lain sebagainya. Orang yang mendapat penilaian seperti ini disebut ‘adil. Sehingga hadits yang di bawanya dapat diterima sebagai dalil agama. Haditsnya dinilai shahih. Sesuai dengan fungsinya sebagai sumber ajaran Islam, maka yang diambil adalah hadits shahih.

Ilmu al-jarh wa al-ta’dil dibutuhkan oleh para ulama hadits karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar datang dari Nabi dan mana yang bukan. Sesuai dengan fakta sejarah, pemalsuan hadits telah terjadi semenjak dini, dan menonjol pada masa perebutan kekuasaan politik Islam. Fakta itu menunjukkan bahwa tidak semua pembawa hadits dapat dipercaya. Menunjukkan cacat periwayat hadits bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan martabat individu, apalagi ulama, tetapi untuk melindungi informasi Nabi dari kepalsuan. Para ulama sadar sepenuhnya bahwa

42

menunjukkan aib orang lain itu dilarang oleh agama. Akan tetapi, bila al-jarh (kritik) tidak dilakukan, maka bahaya yang timbul akan lebih besar, dan hadits Nabi tidak dapat diselamatkan.

Namun demikian, para ulama juga menggunakan tata krama dalam menunjukkan cacat periwayat. Misalnya, bila dengan sebuah ungkapan target menunjukkan cacat itu sudah terpenuhi, mereka tidak akan membuka cacat-cacat yang lainnya, kendati mereka mengetahuinya.

b. Tingkatan Al-Ta’dil

Zuhri (1997:127-128) mengatakan, tingkatan ta’dil adalah sebagai berikut.

1) Ta’dil dengan menggunakan ungkapan/kata pujian yang bersangatan, seperti ريظن هل سيلو ،سانلا طبضأو ، سانلا قثوأ ada juga

. هنع لأسي لا نلف

2) Ta’dil dengan mengulangi kata pujian, baik dengan kata yang sama atau mirip, seperti وأ ، تبث ةقث وأ ، ظفاح ةقث وأ ، نومأم ةقث وأ ، ةقث ةقث . نقتم ةقث

3) Ta’dil dengan menggunakan kata-kata pujian tanpa pengulangan, seperti مامإ وأ ، ةجح وأ ، ظفاح وأ ، طباض وأ ، ةقث نلف

4) Ta’dil dengan menggunakan kata-kata yang menggambarkan kebaikan seseorang, tetapi tidak melukiskan kecermatan atau kekuatan hafalan, seperti kata yang digunakan untuk ta’dil diatas, misalnya هب سأب لا وأ ، نومأم وأ ، قودص

43

5) Ta’dil dengan menggunakan kata yang agak dekat kepada tajrih. Misalnya اوور وأ ، الله ءاش نإ قودص وأ ، حليوص وأ ، باوصلا نم ديعبب سيل

. قدصلا هلحم وأ ، هنع

c. Tingkatan Al-Jarhu

Menurut Zuhri (1997:129) tingkatan Al-Jarh adalah sebagai berikut:

1) Jarh dengan menggunakan ungkapan yang sangat buruk dan sangat memberatkan kepada orang yang cacat karena kedustaannya. Misalnya عاضو وأ ، ثيدحلا عضي وأ ، باذك وأ ، سانلا بذكأ ثيدحلا

2) Jarh dengan menggunakan kata yang sedikit lebih lunak, juga berkisar pada dusta. Misalnya نلف وأ ، طقاس نلف وأ ، بذكلاب مهتم نلف ثيدحلا بهاذ نلف وأ ، هوكرت وأ ، كورتم نلف وأ ، كلاه

3) Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak dari poin 2, yang menunjukkan bahwa haditsnya ditolak oleh orang banyak, atau tidak ditulis haditsnya. Seperti وأ ، ثيدحلا دودرم وأ ، هثيدح در نلف ءيشب سيل نلف وأ ، دج فيعض

4) Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak lagi. Seperti نلف ركنم وأ ، هب جتحي لا وأ ، هوفعض وأ ، فيعض

ثيدحلا

5) Jarh dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan cacat ringan. Seperti ، ةجحب سيل وأ ، يوقلاب نلف وأ ، فعض هيف وأ ، هيف لاقي نلف ثيدحلا نيل وأ ، نيتملاب سيل وأ ، ظفحلا ءيس وأ

44

Apabila ada seorang periwayat hadits, yang pada dirinya terdapat jarh dan ta’dil sekaligus, maka menurut Zuhri (1997:130) ada beberapa pendapat:

1) pendapat pertama mendahulukan al-jarh dari at-ta’dil.

2) Pendapat kedua mengambil penilaian yang didukung oleh suara terbanyak.

3) Pendapat ketiga mengambil/mendahulukan pujian atas celaan, kecuali apabila celaan disertai penjelasan tentang seabb-sebab celaan.

4) Pendapat keempat menangguhkan penilaian sampai ada bukti lain yang menguatkan, apakah periwayat kontroversi itu termasuk orang ‘adil atau orang cacat.

Dokumen terkait