• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOGRAFI PENULIS

1.5 Organisasi Penulisan

10  pernyataan ini, maka sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, maka penulis mengkomparasikan objek penelitian berdasarkan wilayah negara yang berbeda.

Pengumpulan data dilakukan dengan penelaahan kepustakaan dan pengolahan data dari internet. Pengumpulan data berupa data sekunder dilakukan untuk memperoleh landasan teoritis dalam melakukan analisis terhadap objek yang diteliti.

1.5 Organisasi Penulisan

BAB 1 PENDAHULUAN: pada bab satu ini, akan dibahas mengenai latar belakang penelitian, tujuan penelitian, pendekatan yang dipergunakan, serta organisasi penulisan.

BAB 2 PENGERTIAN, SEJARAH, DAN RITUAL O-BON: pada bab kedua ini, dengan mengacu kepada sumber-sumber data, penulis akan membahas mengenai pengertian, sejarah, dan ritual O-bon yang dilakukan di Jepang.

BAB 3 PENGERTIAN, SEJARAH, DAN RITUAL CIT GWEE PWA: pada bab ketiga ini, dengan mengacu kepada sumber-sumber data, penulis akan membahas mengenai pengertian, sejarah, dan ritual cit gwee pwa yang dilakukan oleh komunitas keturunan Tionghoa pemeluk agama Buddha di kota Bandung, Indonesia.

BAB 4 PENGHORMATAN TERHADAP LELUHUR: pada bab keempat, ini dengan mengacu kepada sumber-sumber data, penulis akan membahas mengenai penghormatan leluhur di Jepang dan China.

 

11  BAB 5 PERBANDINGAN AKTIVITAS, KONSEP LELUHR, DAN SEJARAH DALAM O-BON DAN CIT GWEE PWA : pada bab ketiga ini, penulis akan membandingkan aktivitas yang dilakukan dalam perayaan o-bon dan cit gwee pwa, konsep leluhur di dalamnya, serta penyebab persamaan di dalam kedua perayaan tersebut berdasarkan faktor sejarah, dengan mengacu kepada bab kedua, ketiga, dan keempat.

BAB 6 KESIMPULAN: pada bab terakhir ini, penulis akan menyimpulkan hasil penelitian, dengan mengacu pada bab kelima.

88  BAB 6

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis mengenai perbandingan antara o-bon dan cit gwee pwa, maka dapat disimpulkan dalam beberapa poin berikut:

1. Aktivitas dalam o-bon dan cit gwee pwa memiliki kesamaan, khususnya dalam hal penyalaan dan pelarungan api (lampion), persembahan, dan tari-tarian. Meskipun cara penyajian dan kebiasaannya berbeda, namun keduanya memiliki dasar pemikiran yang sama.

2. Objek penghormatan dalam kedua perayaan sama, yaitu arwah leluhur yang telah meninggal.

3. Penempatan altar leluhur dalam o-bon dan cit gwee pwa memiliki perbedaan, hal ini dilatarbelakangi oleh pemikiran yang berbeda mengenai arwah leluhur. Di Jepang, arwah leluhur yang baik dan yang jahat dapat menjadi dewa pelindung, sedangkan di China, arwah leluhur yang jahat dapat menjadi setan jahat (gui). 4. Baik di Jepang maupun di China, pengertian mengenai leluhur terkonsep dari

tokoh dalam kisah mitologis mengenai pembentukan masing-masing negara, Jepang dengan kisah mengenai Izanami dan Izanagi, dan China dengan kisah mengenai Pan Ku,

89  5. Batasan mengenai leluhur di Jepang dan China memiliki kesamaan, yaitu

pendahulu yang masih memiliki garis darah yang sama, dan keturunan setelahnya, 6. Konsep mengenai jiwa di Jepang dan di China memiliki kesamaan, keduanya

mempercayai bahwa jiwa seseorang yang telah meninggal akan terbagi menjadi beberapa bagian, dan masing-masing akan menuju ke tempat-tempat yang berbeda,

7. Keduanya beranggapan bahwa arwah dapat menjadi dewa, namun ada sedikit perbedaan di dalam pemikirannya. Di Jepang, arwah seseorang dapat menjadi dewa setelah mengalami upacara-upacara dan telah melewati selang waktu tertentu (disucikan, dan ingatan anggota keluarga tentang mereka sudah tidak ada), di China, arwah manusia dapat terlahir menjadi dewa jika amal perbuatan baik mereka sempurna.

8. Di Jepang, arwah yang telah menjadi dewa tidak bisa lahir kembali, sedangkan di China, arwah yang telah menjadi dewa dapat terlahir kembali.

9. Keduanya beranggapan bahwa arwah, sebagaimana manusia yang masih hidup, membutuhkan makanan untuk bertahan hidup.

10.Keduanya mempercayai adanya kehidupan dan dunia setelah kematian. Di Jepang, dunia setelah kematian digambarkan sebagai suatu dunia tersembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh manusia, sedangkan di China, dunia setelah kematian berupa surga dan neraka.

90  11.O-bon dan cit gwee pwa memiliki dasar pemikiran yang sama. Jepang dan China mempercayai bahwa arwah seseorang yang telah meninggal memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kehidupan orang-orang yang masih hidup. Karena itulah arwah leluhur disembah dan dipuaskan dengan sesajian agar para leluhur memberkati dan melindungi anak cucunya.

12.O-bon dan cit gwee pwa memiliki sejarah yang hampir sama. Kedua perayaan dilakukan untuk menyembah arwah dengan tujuan yang sama, yaitu untuk mengungkapan rasa syukur dan untuk memohon berkat, dan pada akhirnya bersinkretisme dengan ajaran Buddha.

13.Karena China dan Jepang berada dalam satu wilayah yang sama. Adanya iklim dan fenomena alam yang sama memacu terbentuknya pola pikir masyarakat yang hampir sama. Perubahan musim, kegagalan dan keberhasilan panen, bencana, dan lain sebagainya, menimbulkan pemikiran mengenai adanya kekuatan-kekuatan luar biasa yang mampu mengendalikan kehidupan manusia. Kekuatan-kekuatan ini disembah dan dipersonifikasikan sebagai dewa, dan pemimpin atau kepala

suku dianggap sebagai jelmaan dewa atau putra dewa (di China disebut Tian zi

tiān

, di Jepang disebut Tennou 天皇 てんのう

). Kemudian, dengan adanya hubungan

perdagangan dan penyebaran ajaran agama, kedua negara ini saling mempengaruhi dalam hal budaya, susunan pemerintahan, bahasa, dan lain sebagainya.

91  14.Di dalam kedua perayaan ini, sama-sama dikenal istilah setan kelaparan (segaki atau gui). Pemikiran mengenai adanya setan kelaparan telah ada sejak zaman dahulu, namun yang membedakan adalah, bahwa di Jepang, arwah yang jahat maupun yang baik dapat menjadi kami, sedangkan di China, arwah yang jahat akan memperoleh penghukuman di dunia bawah.

15.Kedua waktu perayaan dipengaruhi oleh waktu perubahan musim, ajaran Tao, dan ajaran Buddha mengenai Ullambana Sutra serta hari pravarana.

Melalui penelitian ini, dapat dipahami pula bahwa suatu kebudayaan yang berkembang di dalam satu wilayah yang sama (dalam hal ini, produk budaya yang dimaksud adalah o-bon dan cit gwee pwa di wilayah Asia Timur), dapat mengalami perkembangan dan perubahan yang disesuaikan dengan kebiasaan dan pola pikir masyarakat tempat budaya itu menyebar. Hal ini membuktikan bahwa budaya merupakan sesuatu yang dinamis, dan terus menerus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Berakulturasinya suatu unsur budaya dengan budaya lain merupakan suatu wujud koeksistensi agar suatu budaya dapat bertahan dalam perubahan yang terjadi di masyarakat. Perubahan, perkembangan, dan bertahannya suatu kebudayaan dalam menghadapi perkembangan zaman menjadi bukti kokohnya kepedulian suatu bangsa terhadap budaya yang telah membentuk dan memberikan kepribadian kepada bangsa tersebut.

Dokumen terkait