• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini berisi mengenai kesimpulan atas permasalahan yang telah dibahas juga berisi saran-saran penulis mengenai permasalahan yang timbul akibat perbedaan karakteristik kontrak menurut masing-masing peraturan hukum tersebut.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK

A. Definisi Perjanjian

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Dalam Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan bahwa : persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Persetujuan yang dimaksud ialah berjanji untuk mengikatkan diri kepada pihak lain. Perjanjian memiliki defenisi yang berbeda-beda menurut pendapat pakar hukum. Perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.7 Sehingga dengan demikian, dari perjanjian tersebutlah timbul suatu perikatan. Sedangkan perikatan itu sendiri menurut Subekti ialah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.8

Perjanjian menurut M Yahya Harahap ialah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi

7

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2001) hlm.1.

8 Ibid.

kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi.9

Salim H.S. dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, berpendapat bahwa dalam Pasal 1313 perjanjian itu bersifat tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut dengan perjanjian, ia juga mengatakan bahwa dalam pasal tersebut tidak tampak asas konsensualisme dan bersifat dualisme. Hal yang mendasarinya dikarenakan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun dapat disebut perjanjian. Untuk itu, demi memperjelas pengertian mengenai perjanjian itu sendiri harus dicari dalam doktrin. Menurut doktrin (teori lama) yang disebut dengan perjanjian adalah : "perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum"

Unsur dari wujud perjanjian tersebut adalah hubungan hukum yang menyangkut harta kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberikan hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.

10

Berdasar banyak defenisi tentang kontrak, Salim H.S menyimpulkan bahwa kontrak merupakan hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain, dalam bidang harta

9

M Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian (Bandung: Penerbit Alumni, 1986) hlm. 6.

10

Salim H.S., (1). Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) hlm. 15

kekayaan.11

Hasanudin Rahman menyimpulkan bahwa kontrak adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis.

Perlu diketahui bahwa subjek hukum yang satu berhak atas prestasi, dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.

12

Kontrak adalah salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan.13

2 Perjanjian untuk berbuat sesuatu.

Perikatan terdapat di dalam perjanjian karena perikatan dapat ditimbulkan oleh perjanjian di samping undang-undang. Hal tersebut diatur dalam pasal 1233 KUH Perdata yang berbunyi : “perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang”.

Kontrak merupakan bentuk konsekuen oleh para pihak untuk saling menepati janji sesuai dengan apa telah disepakati. Di mana dalam pelaksanaannya terdapat pihak yang mendapatkan pemenuhan atas haknya, dan pihak lain memenuhi kewajibannya. Namun jika dilihat dari segi pelaksanaannya, perjanjian dapat dibagi menjadi tiga macam, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1324 KUH Perdata, yakni :

1 Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang.

11

Ibid, hlm. 17

12

Hasanudin Rahman, Legal Drafting. Seri Keterampilan Mahasiswa Fakultas Hukum Dalam MerancangKontrak Perorangnan/Bisnis (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 4

13

Budiman N.P.D, Sinaga, Hukum Kontrak & Penyelesaian Sengketa dari Perspektif Sekretaris (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 12

3 Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

B. Asas Hukum Kontrak

Kontrak dalam pembuatan atau proses terjadinya terdapat berbagai macam asas, hal ini dikarenakan dalam pembuatan kontrak itu sendiri dimaksudkan agar tercapai maksud yang dituju oleh para pihak. Sehingga tercapailah prestasi sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Dalam KUH Perdata sendiri terdapat beberapa asas hukum kontrak, antara lain :

1. Hukum Kontrak bersifat mengatur.

Sebagaimana diketahui bahwa hukum dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu :

a Hukum memaksa, dalam hal ini para pihak diharuskan untuk mengikuti segala ketentuan, tidak diperbolehkan adanya pelanggaran atas apa yang telah tertuang di dalam kontrak itu sendiri.

b Hukum mengatur, dalam hal ini jika para pihak mengaturnya secara lain dari apa yang diatur dalam hukum kontrak, maka yang berlaku adalah apa yang diatur sendiri oleh para pihak tersebut. kecuali undang undang menentukan lain.

2. Asas Kebebasan Berkontrak.

Dalam asas ini artinya para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontraknya. Menurut Pasal 1338 KUH Perdata, ketentuan yang harus dipenuhi dalam asas kebebasan berkontrak ialah sebagai berikut :

a Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak b Tidak dilarang oleh undang-undang

c Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan

d Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.

Menurut Salim H.S, asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian. 2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun.

3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.

4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. 3. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh. Artinya kontrak tersebut berlaku mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Sehingga dengan demikian

kontrak tersebut menjadi peraturan yang berlaku seperti undang-undang bagi para pihak tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi : "setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya." Adapun Huala Adolf menyatakan dalam bukunya yang berjudul "Hukum Perdagangan Internasional" bahwa pacta sunt servanda adalah prinsip yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani dan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem hukum di dunia menghormati prinsip ini.14

Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.

4. Asas Konsensual dari suatu Kontrak

15

14

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 16

15

Budiman N.P.D, Sinaga, op.cit., hlm. 15

Artinya ketika tercapainya kata sepakat, maka kontrak tersebut sudah mengikat para pihak. Hal ini tentunya setelah semua syarat sah kontrak tersebut sudah dipenuhi, sesuai dengan yang tertuang dalam pasal 1320 KUH Perdata. Sehingga, dengan hal tersebut,

maka timbul lah akibat hukum bagi para pihak untuk memenuhi hak dan kewajiban bagi para pihak.

5. Asas Obligator dari suatu Kontrak

Maksudnya adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak, tetapi pada taraf tersebut hak milik belum berpindah kepada pihak lain. Untuk dapat memindahkan hak milik ke pihak yang lain diperlukan adanya kontrak kebendaan (zakelijke

overeenkomst). Perjanjian kebendaan inilah yang disebut dengan

“penyerahan” (levering).16

4 Suatu sebab yang tidak terlarang."

C. Syarat Sahnya Suatu Kontrak

Suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga dapat mengikat kedua belah pihak, maka kontrak tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat-syarat sahnya kontrak tersebut tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan "supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat ;

1 Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, 2 Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3 Suatu pokok persoalan tertentu,

16

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 31

Selain dari Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, ada pula syarat sah yang lainnya, seperti yang tertuang dalam Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata. Syarat sah kontrak tersebut yakni sebagai berikut :

a Syarat itikad baik,

b Syarat sesuai dengan kebiasaan, c Syarat sesuai dengan kepatutan,

d Syarat sesuai dengan kepentingan umum.

Munir Fuady dalam bukunya menyebutkan bahwa selain syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, ada syarat-syarat lainnya agar suatu kontrak itu dinyatakan sah, yakni syarat sah khusus. Menurut Munir Fuady syarat sah khusus tersebut ialah :

1) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu, 2) Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu,

3) Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk akta kontrak-kontrak tertentu, dan

4) Syarat izin dari yang berwenang.17

17Ibid, hlm. 34

Berikut ini penjelasan mengenai syarat-syarat sah suatu kontrak berdasarkan syarat syah yang umum dan syarat sah yang khusus :

Kesepakatan kehendak artinya ialah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.18 Hal ini lah yang menjadi dasar terjadinya suatu kontrak. Suatu kesepakatan itu lazimnya terjadi saat adanya penawaran. Rai Widjaya dalam bukunya menyebutkan bahwa tidak mungkin ada suatu kesepakatan apabila tidak ada pihak-pihak yang saling berkomunkasi, menawarkan sesuatu yang kemudian diterima oleh pihak lainnya.19

Yang dimaksudkan dengan paksaan (dwang, duress) ialah suatu perbuatan yang menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dimana terhadap orang yang terancam karena paksaan tersebut timbul ketakutan

Namun dalam pencapaian kata sepakat ini tidak boleh ditemukan adanya unsur-unsur yang dapat menjadi syarat batalnya suatu kontrak. Unsur-unsur tersebut seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH Perdata, yakni :

a) Unsur paksaan b) Unsur kesilapan c) Unsur penipuan

Berikut ini penjelasan mengenai unsur syarat yang dapat membatalkan suatu kontrak menurut Pasal 1321 KUH Perdata :

a) Unsur paksaan

18

Salim H.S., op.cit., hlm 23

19

I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak (Contrak Drafting, Teori Dan Praktik), (Jakarta: Kesaint Blanc, 2008), hlm. 46

baik terhadap dirinya maupun terhadap kekayaannya dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Menurut Sudargo, paksaan (duress)

adalah setiap tindakan intimidasi mental.20

(a) Ketakutan terhadap diri orang tersebut.

Menurut KUH Perdata, yakni Pasal 1323 sampai dengan Pasal 1327, suatu paksaan dapat mengakibatkan pembatalan atas suatu kontrak, jika telah terpenuhi syarat-syarat paksaan sebagai berikut :

(1) Paksaan tersebut dilakukan terhadap : (a) Orang yang membuat kontrak,

(b) Suami atau istri dari orang yang membuat kontrak. (c) Keluarga orang yang membuat kontrak dalam garis ke

atas atau ke bawah

(2) Paksaan tersebut dilakukan oleh : (a) Salah satu pihak dalam kontrak,

(b) Dari pihak ketiga yang merasa mempunyai kepentingan atas kontrak tersebut.

(3) Paksaan tersebut menakutkan seseorang.

(4) Orang yang takut karena mendapatkan paksaan tersebut haruslah dalam keadaan sehat serta berpikiran sehat.

(5) Ketakutan karena paksaan tersebut berupa :

20

Sudargo Gautama, Indonesian Business Law, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 76.

(b) Ketakutan terhadap kerugian yang nyata terhadap harta kekayaan orang tersebut.

(6) Timbulnya ketakutan karena paksaan haruslah dengan mempertimbangkan keadaan dari yang dipaksakan, berupa: (a) Usia

(b) Kelamin (c) Kedudukan

(7) Ketakutan bukan karena hormat dan patuh kepada orang tua atau sanak keluarga tanpa paksaan.

(8) Setelah terjadi paksaan, kontrak tersebut tidak telah dikuatkan (dengan tegas atau diam-diam).

(9) Tidak telah lewat waktu kadaluwarsa setelah dilakukan paksaan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesepakatan yang dipilih oleh pihak yang membuat kontrak tersebut bukan merupakan kehendak murni dari dalam hatinya. Sehingga dalam pengambilan keputusan untuk membuat kontrak tersebut pihak yang dipaksa mendapatkan tekanan untuk menyetujui/menyepakati kontrak, sehingga lahir lah sebuah kontrak yang bukan merupakan berasal dari kehendaknya sendiri, melainkan karena adanya paksaan dari luar yang membuatya harus menyepakati perjanjian.

b) Unsur Kesilapan

Seseorang yang dikatakan telah membuat kontrak secara silap ialah manakala ia ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang tidak benar.21

Yang dimaksud dengan salah pengertian di sini ialah jika terhadap suatu istilah dalam kontrak dimana istilah tersebut memiliki penafsiran atas artian yang berbeda. Sehingga dapat menimbulkan kebingungan bagi pihak yang membuat konrak.

Kesilapan yang dimaksud ini mempunyai jenis-jenis yang berbeda, tergantung dari segi mana dilihat bentuk kesilapan tersebut. bentuk kesilapan tersebut yakni :

(1) Kesilapan terhadap hakikat barang

Dalam hal ini yang menjadi objek dari kesilapan ialah barang yang diperjanjikan dalam kontrak. Maksudnya ialah barang yang diperjanjikan ternyata berbeda dengan barang yang dimaksud dalam perjanjian.

(2) Kesilapan terhadap diri orang

Kesilapan mengenai orang tersebut tidaklah dapat membatalkan kontrak, kecuali jika kontrak tersebut dibuat mengingat tentang diri orang yang diperjanjikan.

(3) Salah pengertian

21

(4) Mistranskripsi.

Mistranskripsi ialah kontrak tertulis yang sewaktu ditulisnya kontrak tersebut ternyata tidak sesuai dengan apa yang sudah secara lisan disepakati oleh para pihak. Dalam hal ini pihak yang dirugikan berhak untuk mengajukan perubahan isi kontrak sesuai dengan apa yang telah disepakati secara lisan oleh para pihak tersebut.

c) Unsur Penipuan

Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat, hal ini seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1328 KUH Perdata, namun penipuan tersebut harus dapat dibuktikan dan tidak dapat dikira-kira. Maksudnya ialah dikarenakan suatu tindakan penipuan, sehingga salah satu pihak setuju untuk mengadakan suatu perbuatan yang mengikat dirinya. Tindakan penipuan tersebut haruslah berjalan secara alami bahwa pihak yang ditipu tidak akan membuat perjanjian melainkan karena adanya unsur penipuan.22

22

Sudargo Gautama, Op.cit., hlm. 77.

Menurut Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) menyebutkan penipuan harus dilihat dari segi

pandang keterlibatan pihak dan syarat yang harus dipenuhi agar suatu penipuan dalam kontrak dapat menyebabkan pembatalan kontrak,23

(d) Penipuan termasuk juga nondisclosure.

yakni sebagai berikut :

(1) Dilihat dari segi keterlibatan pihak yang melakukan penipuan :

(a) Penipuan yang disengaja (Intentional misrepresentation).

(b) Penipuan karena kelalaian (Negligent misrepresentation).

(c) Penipuan tanpa kesalahan (Innocent misrepresentation).

(d) Penipuan dengan jalan merahasiakan (Concealment).

(e) Penipuan dengan jalan tidak terbuka informasi

(Nondisclosure).

(2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dapat dibatalkan :

(a) Penipuan harus mengenai fakta.

(b) Penipuan harus terhadap fakta substansial.

(c) Pihak yang dirugikan berpegang pada fakta yang ditipu tersebut.

23

(e) Penipuan termasuk juga kebenaran sebahagian. (f) Penipuan termasuk juga dalam bentuk tindakan.

Berdasarkan ketiga unsur tersebut, bila salah satunya tidak dipenuhi, maka suatu kontrak yang dibuat tersebut dapat dibatalkan, karena dalam kehendaknya, salah satu pihak yang telah mengalami salah satu unsur dari yang telah disebutkan tersebut sebenarnya tidaklah benar-benar menginginkan adanya kesepakatan itu.

ad. 2) Kecakapan Para Pihak

Kontrak baru dapat dikatakan sah apabila telah terpenuhi semua syarat-syaratnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata, salah satu syarat sahnya yakni “cakap bertindak”. Cakap bertindak ini artinya orang-orang yang bisa melakukan dan mempertanggungjawabkan perbuatan hukum yang dilakukannya. Berdasar Pasal 1330 KUH Perdata, orang-orang yang dianggap tidak cakap dalam bertindak digolongkan menjadi :

a) Orang yang belum dewasa

b) Orang yang berada dibawah pengampuan c) Perempuan yang telah kawin

d) Orang-orang yang oleh Undang-undang dilarang untuk melakukan perbuatan hukum.

Berikut ini penjelasan lebih lanjut tentang orang-orang yang tidak cakap dalam melakukan suatu perbuatan hukum menurut Pasal 1330 KUH Perdata:

a) Orang yang Belum Dewasa

Untuk menentukan kedewasaan seseorang dapat dilihat dari syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 330 KUH Perdata, dimana orang-orang yang dikategorikan sudah dewasa ialah :

(1) Sudah genap berumur 21 tahun.

Seseorang dikatakan dewasa jika usianya telah genap 21 tahun, sementara orang yang berusia 20 tahun 11 bulan dianggap belum dewasa karena usianya belum mencapai 21 tahun.

(2) Sudah kawin.

Seseorang dapat dikatakan dewasa meskipun ia belum berumur genap 21 tahun, namun ia telah menikah,

(3) Sudah kawin dan akhirnya bercerai.

Seseorang dikatakan sudah dewasa, dikarenakan ia telah menikah, namun dalam pernikahannya ia bercerai. Ia tetap dianggap sebagai orang yang telah dewasa walaupun ia belum berumur 21 tahun.

Seseorang dikatakan tidak cakap dalam bertindak hukum apa bila ia berada dibawah pengampuan. Dengan kata lain alasan orang-orang tersebut berada dibawah pengampuan dikarenakan ia tidak bisa mengambil keputusan yang baik bagi dirinya sendiri. Dalam Pasal 433 KUH Perdata menyebutkan, ada beberapa golongan orang yang berada dibawah pengampuan, sehingga dianggap tidak sah dalam pengambilan atau pembuatan keputusan hukum. Orang-orang tersebut ialah :

(1) Orang yang dungu (2) Orang yang gila

(3) Orang yang mata gelap (4) Orang yang boros c) Perempuan yang Telah Kawin

Dalam hal ini seorang wanita yang telah menikah dan bersuami maka dalam pengambilan keputusannya harus didasarkan kepada suami. Menurut Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul “Hukum Kontrak” mengatakan hal ini dikarenakan agar jangan sampai ada dua nahkoda dalam satu kapal, sebab dalam suatu perkawinan, pihak suami lah yang dianggap sebagai nahkodanya (kepala rumah tangga).

Namun pada saat sekarang ini, ketentuan istri dianggap tidak cakap dalam bertindak hukum sudah dapat dikatakan tidak berlaku lagi. Pasal 31 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa

“sungguhpun dikatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga, tetapi masing-masing pihak mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang, dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”. Artinya istri pada saat ini telah dikatakan sebagai orang yang cakap dalam bertindak hukum, termasuk dalam hal pembuatan kontrak.

d) Orang-orang yang oleh Undang-undang tidak diperbolehkan melakukan perbuatan hukum

Dalam hal ini undang-undang juga menyatakan secara jelas bagi sebagian orang yang tidak diperbolehkan untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Hal ini tertuang dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Orang-orang tertentu tersebut dianggap tidak berwenang utuk melakukan suatu perbuatan tertentu, dengan cara tertentu pula. Sebagai contoh, dalam bidang kontrak jual-beli, ada pihak-pihak yang disebutkan oleh undang-undang untuk dianggap tidak sah melakukan sebuah kontrak. Menurut Munir Fuady,orang-orang tersebut ialah :

(1) Suami istri yang hendak melakukan kontrak jual beli di antara mereka. Hal ini terdapat dalam Pasal 1467 KUH Perdat.

(2) Hakim, jaksa, panitera, jurusita, advokat, dan notaries tidak boleh menerima penyerahan untuk menjadi pemilik untuk

dirinya sendiri atau orang lain atas hak dan tuntutan yang menjadi pokok perkara.

(3) Pegawai dalam suatu jabatan umum dilarang membeli untuk dirinya sendiri atau untuk perantara atas barang-barang yang dijual oleh atau di hadapan mereka.24

Suatu hal tertentu dalam hal ini dimaksudkan terhadap benda atau obyek dari suatu kontrak itu sendiri. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, barang yang menjadi obyek suatu perjanjian haruslah tertentu, maksudnya harus jelas bentuk dan wujudnya. Sedangkan untuk jumlahnya sendiri tidak perlu ditentukan, asalkan kemudian bisa dihitung jumlahnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang menjadi obyek suatu perjanjian itu bisa saja barang tersebut tidak harus sudah ada saat dibuatnya kontrak, melainkan benda-benda atau barang yang hendak diciptakan sehingga pada nantinya bisa menjadi obyek perjanjian. Namun yang tidak diperbolehkan untuk menjadi obyek suatu perjanjian barang yang masih ada dalam warisan yang belum terbuka, hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 1334 KUH Perdata, dimana diatur di dalamnya mengenai barang-barang yang boleh dan tidak boleh untuk dijadikan sebagai obyek perjanjian.

ad. 3) Suatu Pokok Persoalan Tertentu

24

ad. 4) Suatu Sebab Yang Halal

Syarat ini merupakan syarat yang terakhir dalam membuat suatu kontrak itu bisa dianggap sah secara hukum. Namun hal ini berbeda dengan syarat subyektif dalam keabsahan suatu kontrak, dimana jika pada syarat subyektifnya belum terpenuhi, maka bagi para pihak diberikan keleluasaan untuk meminta apakah perjanjian itu dibatalkan ataukah dilanjutkan dengan syarat memenuhi persyaratan yang ada. Sedangkan pada syarat obyektif, jika syaratnya tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.25

Dalam syarat yang terakhir ini, yang dimaksud dengan syarat halal itu sendiri adalah tidak lain daripada isi perjanjian itu sendiri. Syarat kausa

(oorzaak) yang legal untuk suatu kontrak adalah sebab mengapa kontrak tersebut dibuat.26

Syarat itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, dimana berisi bahwa suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. Namun, dalam pengertiannya, syarat itikad baik ini bukan

Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau perjanjian yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. ad. a Syarat Itikad Baik

25

Salim H.S., (2). Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010) hlm. 35

26

merupakan syarat agar sahnya suatu kontrak, melainkan hanya sebagai sarana yang mengatur mengenai pelaksanaan tentang isi dari suatu kontrak. Artinya, bagi para pihak yang melaksanakan kontrak itu haruslah sesuai dengan apa yang tertera di dalam kontrak, tidak boleh melenceng

Dokumen terkait