• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

6 BAB II

HIMPUNAN KABUR

A. Konsep Himpunan Kabur

Himpunan tegas adalah himpunan yang terdefinisi secara tegas, artinya untuk setiap elemen dalam semestanya selalu dapat ditentukan dengan tegas apakah elemen tersebut merupakan anggota dari himpunan itu atau tidak. Dengan perkataan lain, terdapat batas yang tegas antara unsur-unsur yang merupakan anggota dan unsur-unsur-unsur-unsur yang tidak merupakan anggota dari suatu himpunan. Tetapi dalam kenyataannya tidak semua himpunan yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari terdefinisi secara demikian itu, misalnya himpunan orang miskin, himpunan mahasiswa pandai, himpunan orang yang tinggi, himpunan orang tua, dan sebagainya.

Pada himpunan orang tua, misalnya, kita tidak dapat menentukan secara tegas apakah seseorang adalah tua atau tidak. Kalau misalnya kita definisikan bahwa β€œorang tua” adalah orang yang usianya lebih besar atau sama dengan 65 tahun, maka orang yang usianya 64 tahun menurut definisi tersebut termasuk orang yang tidak tua. Sulit bagi kita untuk menerima bahwa orang yang usianya 64 tahun itu tidak termasuk orang yang tua. Hal itu menunjukkan bahwa memang batas antara kelompok orang tua dan kelompok orang tidak tua tidak dapat ditentukan secara tegas.

Untuk mengatasi permasalahan himpunan dengan batas yang tidak tegas itu, Zadeh mengaitkan himpunan semacam itu dengan suatu fungsi yang menyatakan derajat kesesuaian unsur-unsur dalam semestanya dengan konsep yang merupakan syarat keanggotaan himpunan tersebut. Fungsi itu disebut fungsi keanggotaan dan nilai fungsi itu disebut derajat keanggotaan suatu unsur dalam himpunan itu. Himpunan semacam itu selanjutnya disebut himpunan kabur (fuzzy set). Dengan demikian setiap unsur dalam semesta wacananya mempunyai derajat keanggotaan tertentu

dalam himpunan tersebut. Derajat keanggotaan dinyatakan dengan suatu bilangan real dalam selang tertutup [0,1]. Dengan perkataan lain, fungsi keanggotaan dari suatu himpunan kabur 𝐴̃ dalam semesta X adalah pemetaan πœ‡π΄Μƒ dari X ke selang [0,1], yaitu πœ‡π΄Μƒ ∢ 𝑋 β†’ [0,1]. Nilai fungsi πœ‡π΄Μƒ(π‘₯) menyatakan derajat keanggotaan unsur π‘₯ ∈ 𝑋 dalam himpunan kabur 𝐴̃.

Nilai fungsi sama dengan 1 menyatakan keanggotaan penuh, dan nilai fungsi sama dengan 0 menyatakan samasekali bukan anggota himpunan kabur tersebut. Himpunan tegas dapat dipandang sebagai kejadian khusus dari himpunan kabur, yaitu himpunan kabur yang fungsi keanggotaan hanya bernilai 0 atau 1 saja.

Secara umum suatu himpunan kabur 𝐴̃ dalam semesta wacana 𝑋 dapat dinyatakan sebagai himpunan pasangan terurut

𝐴̃ = {(π‘₯, πœ‡π΄Μƒ(π‘₯))| π‘₯ ∈ 𝑋}

dimana πœ‡π΄Μƒ adalah fungsi keanggotaan dari himpunan kabur 𝐴̃.

Antara elemen-elemen dalam suatu himpunan bisa terdapat suatu hubungan atau relasi tertentu dengan elemen-elemen dalam himpunan lainnya. Secara umum, relasi dalam himpunan didefinisikan sebagai berikut.

Diberikan himpunan 𝑋 dan π‘Œ. Relasi 𝑅 antara elemen-elemen dalam himpuan 𝑋 dengan elemen-elemen dalam himpunan π‘Œ adalah himpunan pasangan terurut (π‘₯, 𝑦), di mana π‘₯ ∈ 𝑋 berelasi dengan 𝑦 ∈ π‘Œ, yaitu

𝑅 = {π‘₯, 𝑦)|π‘₯ ∈ 𝑋, 𝑦 ∈ π‘Œ, π‘₯ berelasi dengan 𝑦}.

Elemen π‘₯ ∈ 𝑋 berelasi 𝑅 dengan 𝑦 ∈ π‘Œ disajikan dengan lambang π‘₯𝑅𝑦.

Seperti pada operasi, karena 𝑅 didefinisikan pada dua himpunan 𝑋 dan π‘Œ, maka relasi tersebut dinamakan relasi biner. Relasi 𝑅 dari himpunan 𝑋 ke himpunan π‘Œ didefinisikan sebagai himpunan bagian dari darab Cartesius 𝑋 Γ— π‘Œ. Demikian pula sebaliknya, setiap himpunan darab Cartesius 𝑋 Γ— π‘Œ dapat dipandang sebagai relasi dari himpunan 𝑋 ke

himpunan π‘Œ. Jika 𝑅 merupakan relasi dari himpunan 𝑋 ke himpunan 𝑋, maka 𝑅 disebut relasi pada himpunan X.

Diberikan relasi 𝑅 pada himpunan 𝑋.

i. Relasi 𝑅 pada himpunan 𝑋 dikatakan bersifat refleksif bila dan hanya bila π‘₯𝑅π‘₯ untuk setiap π‘₯ ∈ 𝑋.

ii. Relasi 𝑅 pada himpunan 𝑋 dikatakan bersifat simetrik bila dan hanya bila

jika π‘₯𝑅𝑦, maka 𝑦𝑅π‘₯ untuk setiap π‘₯ dan 𝑦 ∈ 𝑋.

iii. Relasi 𝑅 pada himpunan 𝑋 dikatakan bersifat antisimetrik bila dan hanya bila

jika π‘₯𝑅𝑦 dan 𝑦𝑅π‘₯, maka π‘₯ = 𝑦 untuk setiap π‘₯ dan 𝑦 ∈ 𝑋.

iv. Relasi 𝑅 pada himpunan 𝑋 dikatakan bersifat transitif bila dan hanya bila

jika π‘₯𝑅𝑦 dan 𝑦𝑅𝑧, maka π‘₯𝑅𝑧 untuk setiap π‘₯, 𝑦, dan 𝑧 ∈ 𝑋.

Relasi 𝑅 yang bersifat refleksif, antisimetrik, dan transitif disebut relasi urutan parsial yang disajikan dengan lambang β‰Ό. Himpunan 𝑋 yang dilengkapi dengan relasi urutan parsial β‰Ό disebut himpunan terurut parsial yang disajikan dengan lambang (𝑋, β‰Ό).

Himpunan terurut (𝑋, β‰Ό) adalah himpunan kontinu jika untuk setiap π‘Ž, 𝑏 ∈ 𝑋 dengan π‘Ž β‰Ό 𝑏 terdapat 𝑐 ∈ 𝑋 sedemikian sehingga π‘Ž β‰Ό 𝑐 dan 𝑐 β‰Ό 𝑏. Jika semesta 𝑋 merupakan himpunan kontinu, maka himpunan kabur 𝐴̃

biasanya dinyatakan dengan

𝐴̃ = ∫ πœ‡π΄Μƒ(π‘₯)/π‘₯

π‘Ÿ

π‘₯βˆˆπ‘‹

dimana notasi ∫ dalam hal ini bukanlah notasi integral seperti yang dikenal dalam kalkulus, tetapi menotasikan keseluruhan unsur-unsur π‘₯ ∈ 𝑋 bersama dengan derajat keanggotaannya dalam himpunan kabur 𝐴̃. Jika semesta X merupakan himpunan diskret, maka himpunan kabur 𝐴̃ biasanya dinyatakan dengan

βˆ‘ πœ‡π΄Μƒ(π‘₯)/π‘₯

π‘₯βˆˆπ‘‹

dimana notasi βˆ‘ dalam hal ini bukanlah notasi operasi jumlahan seperti yang dikenal dalam aritmetika, tetapi sebagai notasi untuk menyatakan keseluruhan unsur-unsur π‘₯ ∈ 𝑋 bersama dengan derajat keanggotaannya dalam himpunan kabur 𝐴̃.

Pendukung dari suatu himpunan kabur 𝐴̃, yang dilambangkan dengan Pend(𝐴̃), adalah himpunan tegas yang memuat semua unsur dari semesta yang mempunyai derajat keanggotaan taknol dalam 𝐴̃, yaitu

𝑃𝑒𝑛𝑑(𝐴̃) = {π‘₯ ∈ 𝑋|πœ‡π΄Μƒ(π‘₯) > 0}.

Contoh 2.1:

Dalam semesta 𝑋 = {βˆ’6, βˆ’5, βˆ’4, βˆ’3, βˆ’2, βˆ’1, 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6}, diketahui himpunan kabur 𝐴̃ sebagai berikut:

𝐴̃ = βˆ‘ πœ‡π΄Μƒ(π‘₯) π‘₯⁄

π‘₯βˆˆπ‘‹

= 0.3 βˆ’5⁄ + 0.4 βˆ’4⁄ + 0.5 βˆ’3⁄ + 0.6 βˆ’2⁄ + 0.7 βˆ’1⁄ + 1 0⁄ + 0.7 1⁄ + 0.6 2⁄ + 0.5 3⁄ + 0.4 4⁄ + 0.3 5⁄ .

Bilangan 6 dan βˆ’6 mempunyai derajat keanggotaan 0, yang biasanya tidak ditulis dalam penyajian himpunan kabur diskret.

.𝑃𝑒𝑛𝑑(𝐴̃) = {βˆ’5, βˆ’4, βˆ’3, βˆ’2, βˆ’1, 0, 1, 2, 3, 4, 5}

Diberikan (𝑋, β‰Ό) adalah suatu himpunan terurut parsial dan 𝐴 βŠ† 𝑋.

Elemen π‘Ž ∈ 𝑋 disebut batas atas dari A jika π‘₯ β‰Ό π‘Ž untuk setiap π‘₯ ∈ 𝐴.

Elemen π‘Ž ∈ 𝑋 disebut batas atas terkecil (supremum) dari himpunan 𝐴, ditulis π‘Ž = sup 𝐴, jika π‘Ž adalah batas atas dari 𝐴 dan untuk setiap batas atas 𝑏 dari 𝐴 berlaku π‘Ž ≀ 𝑏.

Tinggi dari suatu himpunan kabur 𝐴̃, dilambangkan dengan Tinggi(𝐴̃), adalah supremum dari himpunan semua derajat keanggotaan dari anggota semesta dalam himpunan kabur tersebut, yaitu

𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 (𝐴̃) = sup

π‘₯βˆˆπ‘‹{πœ‡π΄Μƒ(π‘₯)}.

Suatu himpunan kabur disebut himpunan kabur normal ketika tingginya sama dengan 1, sedangkan ketika tingginya kurang dari 1 disebut himpunan kabur subnormal. Anggota semesta yang mempunyai derajat keanggotaan sama dengan 0.5 dalam suatu himpunan kabur disebut titik silang dari himpunan kabur tersebut. Untuk himpunan kabur 𝐴̃ pada Contoh 2.1 diatas, 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 (𝐴̃) = 1. Himpunan kabur 𝐴̃ tersebut merupakan himpunan kabur normal karena mempunyai tinggi sama dengan 1. Titik silang dari himpunan kabur 𝐴̃ adalah 3 dan βˆ’3.

Teras dari suatu himpunan kabur 𝐴̃, yang dilambangkan dengan π‘‡π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘  (𝐴̃), adalah himpunan tegas yang memuat semua unsur dari semestanya yang mempunyai derajat keanggotaan sama dengan 1, yaitu

π‘‡π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘  (𝐴̃) = {π‘₯ ∈ 𝑋|πœ‡π΄Μƒ(π‘₯) = 1}.

Dari Contoh 2.1, π‘‡π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘  (𝐴̃) = {0}. Dilihat dari definisinya, himpunan kabur normal mempunyai teras yang tidak kosong, sedangkan himpunan kabur subnormal mempunyai teras himpunan kosong.

Dua buah himpunan kabur 𝐴̃ dan 𝐡̃ dalam semesta X dikatakan sama, yang dinotasikan 𝐴̃ = 𝐡̃, bila dan hanya bila

πœ‡π΄Μƒ(π‘₯) = πœ‡π΅Μƒ(π‘₯)

untuk setiap π‘₯ ∈ 𝑋. Himpunan kabur 𝐴̃ dikatakan merupakan himpunan bagian dari himpunan kabur 𝐡̃, yang dinotasikan 𝐴̃ βŠ† 𝐡̃, bila dan hanya bila

πœ‡π΄Μƒ(π‘₯) ≀ πœ‡π΅Μƒ(π‘₯)

untuk setiap π‘₯ ∈ 𝑋. Jadi, 𝐴̃ = 𝐡̃ bila dan hanya bila 𝐴̃ βŠ† 𝐡̃ dan 𝐡̃ βŠ† 𝐴̃.

Contoh 2.2:

Jika 𝐴̃ = 0.1 βˆ’3⁄ + 0.3 βˆ’2⁄ + 0.5 βˆ’1⁄ + 1 0⁄ + 0.5 1⁄ + 0.3 2⁄ + 0.1 3⁄ dan 𝐡̃ = 0.2 βˆ’3⁄ + 0.4 βˆ’2⁄ + 0.6 βˆ’1⁄ + 1 0⁄ + 0.6 1⁄ + 0.4 2⁄ + 0.2 3⁄ , maka 𝐴̃ βŠ† 𝐡̃.

B. Fungsi Keanggotaan

Setiap himpunan kabur dapat dinyatakan dengan suatu fungsi keanggotaan.

Untuk menyatakan himpunan kabur dengan fungsi keanggotaannya terdapat beberapa cara, yaitu

1. Cara daftar

Untuk semesta diskret berhingga biasanya dipakai cara daftar, yaitu daftar anggota-anggota semesta bersama dengan derajat keanggotaannya. Misalnya diberikan semesta 𝑋 = {Fena, Regina, Diki, Yasinta, Tika} yang terdiri dari para mahasiswa dengan indeks prestasi berturut-turut 3.2, 2.4, 3.6, 1.6, dan 2.8. Himpunan kabur 𝐴̃ = ”himpunan mahasiswa yang pandai” dapat dinyatakan dengan cara daftar sebagai berikut:

𝐴̃ = 0,8/Fena + 0.6/Regina + 0.9/Diki + 0.4/Yasinta + 0.7/Tika 2. Cara analitik

Untuk semesta takhingga yang kontinu, cara yang paling sering digunakan adalah cara analitik untuk merepresentasikan fungsi keanggotaan himpunan kabur dalam bentuk suatu formula matematis yang dapat disajikan dalam bentuk grafik. Misalnya 𝐴̃ adalah himpunan kabur β€œbilangan real yang dekat dengan 2”. Maka 𝐴̃ dapat disajikan dengan

𝐴̃ = ∫ π‘’βˆ’(π‘₯βˆ’2)2⁄π‘₯

π‘Ÿ

π‘₯βˆˆπ‘…

dimana πœ‡π΄Μƒ(π‘₯) =π‘’βˆ’(π‘₯βˆ’2)2 adalah fungsi keanggotaan 𝐴̃.

𝑋 = himpunan semua bilangan real, himpunan kabur 𝐴̃ =”bilangan real yang dekat dengan 2” itu dapat juga dinyatakan menggunakan fungsi keanggotaan sebagai berikut

πœ‡π΄Μƒ(π‘₯) = {

π‘₯ βˆ’ 1 untuk 1 ≀ π‘₯ ≀ 2 3 βˆ’ π‘₯ untuk 2 ≀ π‘₯ ≀ 3 0 untuk π‘₯ lainnya

Untuk semesta takhingga yang diskret, misalnya dalam semesta himpunan semua bilangan bulat, himpunan kabur β€œbilangan bulat yang dekat dengan 3”, dilambangkan dengan 𝐡̃ dapat disajikan secara analitik sebagai

βˆ‘ π‘’βˆ’(π‘₯βˆ’3)2/π‘₯

π‘₯βˆˆπ‘

dimana πœ‡π΅Μƒ(π‘₯) = π‘’βˆ’(π‘₯βˆ’3)2 adalah fungsi keanggotaan 𝐡̃.

Himpuan kabur 𝐡̃ = "bilangan bulat yang dekat dengan 3" itu dapat juga dinyatakan menggunakan fungsi keanggotaan sebagai berikut:

πœ‡π΅Μƒ(π‘₯) = {

π‘₯ βˆ’ 1 untuk 1 ≀ π‘₯ ≀ 2 1 untuk 2 ≀ π‘₯ ≀ 4 5 βˆ’ π‘₯ untuk 4 ≀ π‘₯ ≀ 5 0 untuk π‘₯ lainnya

Biasanya himpunan kabur berada dalam semesta himpunan semua bilangan real ℝ dengan fungsi keanggotaan yang dinyatakan dalam bentuk suatu formula matematis. Ada beberapa fungsi keanggotaan himpunan kabur yang sering digunakan, yaitu

1. Fungsi Keanggotaan Segitiga

Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan segitiga jika mempunyai tiga buah parameter, yaitu π‘Ž, 𝑏, 𝑐 ∈ ℝ dengan π‘Ž < 𝑏 < 𝑐, dan dinyatakan dengan π‘†π‘’π‘”π‘–π‘‘π‘–π‘”π‘Ž(π‘₯; π‘Ž, 𝑏, 𝑐) dengan aturan:

π‘†π‘’π‘”π‘–π‘‘π‘–π‘”π‘Ž(π‘₯; π‘Ž, 𝑏, 𝑐) =

2. Fungsi Keanggotaan Trapesium

Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur disebut fungsi keanggotaan trapesium jika mempunyai empat buah parameter, yaitu π‘Ž, 𝑏, 𝑐, 𝑑 ∈ ℝ dengan π‘Ž < 𝑏 < 𝑐 < 𝑑, dan dinyatakan dengan 3. Fungsi Keangotaan Gauss

Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur dengan dua buah parameter yaitu π‘Ž, 𝑏 ∈ ℝ disebut fungsi keanggotaan Gauss, dinyatakan dengan πΊπ‘Žπ‘’π‘ π‘ (π‘₯; π‘Ž, 𝑏), jika memenuhi:

πΊπ‘Žπ‘’π‘ π‘ (π‘₯; π‘Ž, 𝑏) = π‘’βˆ’(π‘₯βˆ’π‘Žπ‘ )

2

dimana π‘₯ = π‘Ž adalah pusat dan 𝑏 menentukan lebar dari fungsi keanggotaan Gauss tersebut.

4. Fungsi Keanggotaan Cauchy

Suatu fungsi keanggotaan himpunan kabur dengan tiga buah parameter π‘Ž, 𝑏, 𝑐 ∈ ℝ disebut fungsi keanggotaan Cauchy atau

dimana π‘₯ = 𝑐 adalah pusat, π‘Ž menentukan lebar dan 𝑏 menentukan kemiringan (slope) di titik silang dari fungsi keanggotaan Cauchy tersebut.

C. Operasi – operasi pada Himpunan Kabur

Seperti halnya pada himpunan tegas, pada himpunan-himpunan kabur kita dapat mendefinisikan operasi uner β€œkomplemen” dan operasi-operasi biner β€œgabungan” dan β€œirisan”. Setiap himpunan tegas dapat dinyatakan secara lengkap dengan menggunakan fungsi karakteristik, yaitu fungsi dari semestanya ke himpunan {0,1}. Fungsi karakteristik dari suatu himpunan (tegas) 𝐴 dalam semesta 𝑋 adalah fungsi πœ’π΄: 𝑋 β†’ {0,1} yang didefinisikan dengan aturan

πœ’π΄(π‘₯) = {1 jika π‘₯ ∈ 𝐴 0 jika π‘₯ βˆ‰ 𝐴

untuk setiap π‘₯ ∈ 𝑋. Misalnya dalam semesta himpunan bilangan asli, himpunan 𝐴 = {π‘₯|π‘₯ adalah bilangan asli kurang dari 5} dapat dinyatakan dengan menggunakan fungsi karakteristiknya, yaitu:

πœ’π΄(π‘₯) = {1 jika π‘₯ adalah bilangan asli kurang dari 5 0 jika lainnya

Karena suatu himpunan tegas dapat dinyatakan secara lengkap dengan menggunakan fungsi karakteristiknya, maka ketiga operasi pada himpunan tegas dapat didefinisikan dengan menggunakan fungsi karakteristik itu. Ketiga operasi himpunan tegas tersebut adalah:

1. Komplemen

Misal 𝐴 adalah himpunan tegas dalam semesta 𝑋, maka komplemen dari 𝐴, yaitu 𝐴′, dapat didefinisikan dengan tabel nilai kebenaran sebagai berikut :

π‘₯ ∈ 𝐴 π‘₯ ∈ 𝐴′

1 0

0 1

Bila πœ’π΄ adalah fungsi karakteristik dari himpunan 𝐴 tersebut, maka definisi komplemen itu juga dapat dinyatakan dengan menggunakan fungsi karakteristik sebagai berikut

πœ’π΄β€²(π‘₯) = 1 βˆ’ πœ’π΄(π‘₯) untuk setiap π‘₯ ∈ 𝑋.

2. Gabungan

Gabungan dari himpunan-himpunan tegas 𝐴 dan 𝐡 dalam semesta 𝑋, yaitu 𝐴 βˆͺ 𝐡, dapat didefinisikan dengan menggunakan tabel nilai kebenaran sebagai berikut :

π‘₯ ∈ 𝐴 π‘₯ ∈ 𝐡 π‘₯ ∈ 𝐴 βˆͺ 𝐡

1 1 1

1 0 1

0 1 1

0 0 0

Definisi tersebut dapat juga dinyatakan dengan menggunakan fungsi karakteristik sebagai berikut :

πœ’π΄βˆͺ𝐡(π‘₯) = max{πœ’π΄(π‘₯), πœ’π΅(π‘₯)}

untuk setiap π‘₯ ∈ 𝑋.

3. Irisan

Irisan dari himpunan-himpunan tegas 𝐴 dan 𝐡 dalam semesta 𝑋, yaitu 𝐴 ∩ 𝐡, dapat didefinisikan dengan menggunakan tabel nilai kebenaran sebagai berikut :

π‘₯ ∈ 𝐴 π‘₯ ∈ 𝐡 π‘₯ ∈ 𝐴 ∩ 𝐡

1 1 1

1 0 0

0 1 0

0 0 0

Definisi tersebut dapat juga dinyatakan dengan menggunakan fungsi karakteristik sebagai berikut :

πœ’π΄βˆ©π΅(π‘₯) = min{πœ’π΄(π‘₯), πœ’π΅(π‘₯)}

untuk setiap π‘₯ ∈ 𝑋.

Karena fungsi keanggotaan suatu himpunan kabur adalah perampatan dari fungsi karakteristik himpunan tegas, maka operasi-operasi pada himpunan kabur dapat kita definisikan sesuai dengan operasi-operasi pada himpunan tegas seperti didefinisikan di atas.

1. Komplemen

Komplemen dari suatu himpunan kabur 𝐴̃ adalah himpunan kabur 𝐴̃′ dengan fungsi keanggotaan

πœ‡π΄Μƒβ€²(π‘₯) = 1 βˆ’ πœ‡π΄Μƒ(π‘₯) untuk setiap π‘₯ ∈ 𝑋.

2. Gabungan

Gabungan dua buah himpunan kabur 𝐴̃ dan 𝐡̃ adalah himpunan kabur 𝐴̃ βˆͺ 𝐡̃ dengan fungsi keanggotaan

πœ‡π΄Μƒβˆͺ𝐡̃(π‘₯) = max{πœ‡π΄Μƒ(π‘₯), πœ‡π΅Μƒ(π‘₯)}

untuk setiap π‘₯ ∈ 𝑋.

3. Irisan

Irisan dua buah himpunan kabur 𝐴̃ dan 𝐡̃ adalah himpunan kabur 𝐴̃ ∩ 𝐡̃

dengan fungsi keanggotaan

πœ‡π΄Μƒβˆ©π΅Μƒ(π‘₯) = min{πœ‡π΄Μƒ(π‘₯), πœ‡π΅Μƒ(π‘₯)}

untuk setiap π‘₯ ∈ 𝑋.

Contoh 2.3:

Misalkan dalam semesta 𝑋 = {βˆ’5, βˆ’4, βˆ’3, βˆ’2, βˆ’1, 0, 1, 2, 3, 4, 5}

diketahui himpunan-himpunan kabur

𝐴̃ = 0.2 βˆ’4⁄ + 0.4 βˆ’3⁄ + 0.6 βˆ’2⁄ + 0.8 βˆ’1⁄ + 1 0⁄ + 0.8 1⁄ + 0.6 2⁄ + 0.4 3⁄ + 0.2 4⁄ dan

𝐡̃ = 0.1 βˆ’3⁄ + 0.3 βˆ’2⁄ + 0.5 βˆ’1⁄ + 0.6 0⁄ + 0.9 1⁄ + 0.8 2⁄ + 1 3⁄ + 0.3 4⁄ + 0.8 5⁄ .

Maka

𝐴̃′ = 1 βˆ’5⁄ + 0.8 βˆ’4⁄ + 0.6 βˆ’3⁄ + 0.4 βˆ’2⁄ + 0.2 βˆ’1⁄ + 0.2 1⁄ + 0.4 2⁄ + 0.6 3⁄ + 0.8 4⁄ + 1 5⁄

𝐴̃ βˆͺ 𝐡̃ = 0.2 βˆ’4⁄ + 0.4 βˆ’3⁄ + 0.6 βˆ’2⁄ + 0.8 βˆ’1⁄ + 1 0⁄ + 0.9 1⁄ + 0.8 2⁄ + 1 3⁄ + 0.3 4⁄ + 0.8 5⁄

𝐴̃ ∩ 𝐡̃ = 0.1 βˆ’3⁄ + 0.3 βˆ’2⁄ + 0.5 βˆ’1⁄ + 0.6 0⁄ + 0.8 1⁄ + 0.6 2⁄ + 0.4 3⁄ + 0.2 4⁄

Ketiga operasi yang didefinisikan di atas disebut operasi baku untuk komplemen, gabungan, dan irisan pada himpunan kabur. Definisi dari operasi-operasi baku di atas dapat dirampatkan sedemikian sehingga definisi operasi-operasi baku tersebut merupakan kejadian khususnya.

Suatu pemetaan π‘˜: [0,1] β†’ [0,1] disebut komplemen kabur jika memenuhi aksioma-aksioma sebagai berikut:

1. π‘˜(0) = 1 dan π‘˜(1) = 0 (syarat batas)

2. Jika π‘₯ < 𝑦, maka π‘˜(π‘₯) β‰₯ π‘˜(𝑦) untuk semua π‘₯, 𝑦 ∈ [0,1] (syarat tak naik).

Operasi komplemen baku merupakan salah satu contoh komplemen kabur.

Suatu pemetaan 𝑠: [0,1] Γ— [0,1] β†’ [0,1] disebut gabungan kabur (norma-s) jika memenuhi aksioma-aksioma sebagai berikut:

1. 𝑠(0, π‘₯) = 𝑠(π‘₯, 0) = π‘₯ dan 𝑠(1,1) = 1 (syarat batas) 2. 𝑠(π‘₯, 𝑦) = 𝑠(𝑦, π‘₯) (syarat komutatif)

3. Jika π‘₯ ≀ π‘₯β€² dan 𝑦 ≀ 𝑦′, maka 𝑠(π‘₯, 𝑦) ≀ 𝑠(π‘₯β€², 𝑦′) untuk semua π‘₯, 𝑦 ∈ [0,1] (syarat takturun)

4. 𝑠(𝑠(π‘₯, 𝑦), 𝑧) = 𝑠(π‘₯, 𝑠(𝑦, 𝑧)) (syarat asosiatif)

Operasi gabungan baku merupakan salah satu contoh norma-s. Contoh norma-s lainnya misalnya adalah jumlah aljabar yang didefinisikan dengan π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) = π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦.

Bukti:

Akan dibuktikan bahwa π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) = π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦 untuk setiap (π‘₯, 𝑦) ∈ [0,1] Γ— [0,1] adalah suatu norma-s. Pertama-tama akan dibuktikan bahwa π‘ π‘—π‘Ž adalah suatu pemetaan.

Untuk π‘₯, 𝑦 = 0 atau 1:

π‘ π‘—π‘Ž(0,0) = 0 + 0 βˆ’ 0 = 0 π‘ π‘—π‘Ž(0,1) = 0 + 1 βˆ’ 0 = 1 π‘ π‘—π‘Ž(1,0) = 1 + 0 βˆ’ 0 = 1 π‘ π‘—π‘Ž(1,1) = 1 + 1 βˆ’ 1 = 1

Jadi, untuk π‘₯, 𝑦 = 0 atau 1, π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) ∈ [0,1].

Untuk π‘₯, 𝑦 β‰  0 dan β‰  1, maka 0 < π‘₯ < 1 dan 0 < 𝑦 < 1 sehingga ada 𝑐 > 0 sedemikian sehingga π‘₯ = 1 βˆ’ 𝑐, dan ada 𝑑 > 0 sedemikian sehingga 𝑦 = 1 βˆ’ 𝑑. Maka 𝑐𝑑 > 0 dan

π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) = π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦

= (1 βˆ’ 𝑐) + (1 βˆ’ 𝑑) βˆ’ (1 βˆ’ 𝑐)(1 βˆ’ 𝑑)

= 1 βˆ’ 𝑐 + 1 βˆ’ 𝑑 βˆ’ 1 + 𝑐 + 𝑑 βˆ’ 𝑐𝑑

= 1 βˆ’ 𝑐𝑑.

Jadi, π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) < 1.

Untuk π‘₯, 𝑦 β‰  0 dan β‰  1, maka 0 < π‘₯ < 1 dan 0 < 𝑦 < 1, yang berarti π‘₯ > 0, (1 βˆ’ π‘₯) > 0, dan 𝑦 > 0. Maka

π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) = π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦 = π‘₯ + (1 βˆ’ π‘₯)𝑦 > 0.

Jadi, untuk π‘₯, 𝑦 β‰  0 dan β‰  1, 0 < π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) < 1, sehingga π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) ∈ [0,1]. Dengan demikian, terbukti bahwa untuk setiap (π‘₯, 𝑦) ∈

[0,1] Γ— [0,1], π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) ∈ [0,1].

Selanjutnya akan dibuktikan bahwa pemetaan π‘ π‘—π‘Ž: [0,1] Γ— [0,1] β†’ [0,1]

memenuhi keempat aksioma norma-s.

1. π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) = π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦 π‘ π‘—π‘Ž(0, π‘₯) = 0 + π‘₯ βˆ’ 0 = π‘₯ π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 0) = π‘₯ + 0 βˆ’ 0 = π‘₯ π‘ π‘—π‘Ž(1,1) = 1 + 1 βˆ’ 1 = 1

Jadi, π‘ π‘—π‘Ž(0, π‘₯) = π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 0) = π‘₯ dan π‘ π‘—π‘Ž(1,1) = 1 2. π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) = π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦 = 𝑦 + π‘₯ βˆ’ 𝑦π‘₯ = π‘ π‘—π‘Ž(𝑦, π‘₯)

Jadi, π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) = π‘ π‘—π‘Ž(𝑦, π‘₯)

3. Diketahui π‘₯ ≀ π‘₯β€² dan 𝑦 ≀ 𝑦′, π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) = π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦,

π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯β€², 𝑦′) = π‘₯β€²+ π‘¦β€²βˆ’ π‘₯′𝑦′, π‘₯, 𝑦 ∈ [0,1]. Akan ditunjukkan bahwa π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) ≀ π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯′𝑦′). Terdapat empat kemungkinan sebagai berikut:

β€’ Untuk π‘₯ = π‘₯β€², 𝑦 = 𝑦′:

π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) = π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦 = π‘₯β€²+ π‘¦β€²βˆ’ π‘₯′𝑦′ = π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯β€², 𝑦′)

β€’ Untuk π‘₯ = π‘₯β€², 𝑦 < 𝑦′ , karena 𝑦 < 𝑦′ maka (βˆƒπ‘ ∈ (0,1)) sedemikian sehingga 𝑦 + 𝑐 = 𝑦′.

π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) = π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦

π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯β€², 𝑦′) = π‘₯β€²+ π‘¦β€²βˆ’ π‘₯′𝑦′= π‘₯ + 𝑦 + 𝑐 βˆ’ π‘₯(𝑦 + 𝑐) = π‘₯ + 𝑦 + 𝑐 βˆ’ π‘₯𝑦 βˆ’ π‘₯𝑐

= π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦 + 𝑐 βˆ’ π‘₯𝑐 = π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) + 𝑐 βˆ’ π‘₯𝑐

dengan 𝑐 ∈ (0,1) sehingga 𝑐 βˆ’ π‘₯𝑐 = 𝑐(1 βˆ’ π‘₯) β‰₯ 0.

Jadi, π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) ≀ π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯β€², 𝑦′).

β€’ Untuk π‘₯ < π‘₯β€², 𝑦 = 𝑦′, karena π‘₯ < π‘₯β€² maka (βˆƒπ‘‘ ∈ (0,1)) sedemikian sehingga π‘₯ + 𝑑 = π‘₯β€².

π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) = π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦

π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯β€², 𝑦′) = π‘₯β€²+ π‘¦β€²βˆ’ π‘₯′𝑦′= π‘₯ + 𝑑 + 𝑦 βˆ’ (π‘₯ + 𝑑)𝑦 = π‘₯ + 𝑦 + 𝑑 βˆ’ π‘₯𝑦 βˆ’ 𝑑𝑦

= π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦 + 𝑑 βˆ’ 𝑑𝑦 = π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) + 𝑑 βˆ’ 𝑑𝑦

dengan 𝑑 ∈ (0,1) sehingga 𝑑 βˆ’ π‘₯𝑑 = 𝑑(1 βˆ’ π‘₯) β‰₯ 0.

Jadi, π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) ≀ π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯β€², 𝑦′)

β€’ Untuk π‘₯ < π‘₯β€², 𝑦 < 𝑦′, karena π‘₯ < π‘₯β€² dan 𝑦 < 𝑦′ maka (βˆƒπ‘Ž, 𝑏 ∈ (0,1)) sedemikian sehingga π‘₯ + π‘Ž = π‘₯β€² dan 𝑦 + 𝑏 = 𝑦′.

π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) = π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦 π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯β€², 𝑦′) = π‘₯β€²+ π‘¦β€²βˆ’ π‘₯′𝑦′

= π‘₯ + π‘Ž + 𝑦 + 𝑏 βˆ’ (π‘₯ + π‘Ž)(𝑦 + 𝑏) = π‘₯ + π‘Ž + 𝑦 + 𝑏 βˆ’ π‘₯𝑦 βˆ’ π‘₯𝑏 βˆ’ π‘¦π‘Ž βˆ’ π‘Žπ‘ = π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦 + π‘Ž + 𝑏 βˆ’ π‘₯𝑏 βˆ’ π‘¦π‘Ž βˆ’ π‘Žπ‘ = π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) + π‘Ž + 𝑏 βˆ’ π‘₯𝑏 βˆ’ π‘¦π‘Ž βˆ’ π‘Žπ‘ = π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) + π‘Ž(1 βˆ’ 𝑦 βˆ’ 𝑏) + 𝑏(1 βˆ’ π‘₯) = π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) + π‘Ž(1 βˆ’ (𝑦 + 𝑏)) + 𝑏(1 βˆ’ π‘₯) = π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) + π‘Ž(1 βˆ’ 𝑦′) + 𝑏(1 βˆ’ π‘₯) Jadi, π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) ≀ π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯β€², 𝑦′)

4. π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) = π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦

π‘ π‘—π‘Ž(π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦), 𝑧) = π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) + 𝑧 βˆ’ π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦)𝑧

= π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦 + 𝑧 βˆ’ (π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦)𝑧

= π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦 + 𝑧 βˆ’ (π‘₯𝑧 + 𝑦𝑧 βˆ’ π‘₯𝑦𝑧)

= π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦 + 𝑧 βˆ’ π‘₯𝑧 βˆ’ 𝑦𝑧 + π‘₯𝑦𝑧

= π‘₯ + 𝑦 + 𝑧 βˆ’ 𝑦𝑧 βˆ’ π‘₯(𝑦 + 𝑧 βˆ’ 𝑦𝑧)

= π‘₯ + π‘ π‘—π‘Ž(𝑦, 𝑧) βˆ’ π‘₯ (π‘ π‘—π‘Ž(𝑦, 𝑧))

= π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, π‘ π‘—π‘Ž(𝑦, 𝑧)).

Karena memenuhi empat aksioma-aksioma diatas, maka π‘ π‘—π‘Ž(π‘₯, 𝑦) = π‘₯ + 𝑦 βˆ’ π‘₯𝑦 merupakan norma-s.

Suatu pemetaan 𝑑: [0,1] Γ— [0,1] β†’ [0,1] disebut irisan kabur (norma-t) jika memenuhi aksioma-aksioma sebagai berikut:

1. 𝑑(π‘₯, 1) = 𝑑(1, π‘₯) = π‘₯ dan 𝑑(0,0) = 0 (syarat batas) 2. 𝑑(π‘₯, 𝑦) = 𝑑(𝑦, π‘₯) (syarat komutatif)

3. Jika π‘₯ ≀ π‘₯β€² dan 𝑦 ≀ 𝑦′, maka 𝑑(π‘₯, 𝑦) ≀ 𝑑(π‘₯β€², 𝑦′) untuk semua π‘₯, 𝑦 ∈ [0,1] (syarat takturun)

4. 𝑑(𝑑(π‘₯, 𝑦), 𝑧) = 𝑑(π‘₯, 𝑑(𝑦, 𝑧)) (syarat asosiatif)

Operasi irisan baku merupakan salah satu contoh norma-t. Contoh lainnya misalnya adalah darab aljabar yang didefinisikan dengan π‘‘π‘‘π‘Ž(π‘₯, 𝑦) = π‘₯𝑦

21 BAB III LOGIKA KABUR

A. Variabel Linguistik

Variabel adalah suatu lambang atau kata yang menunjuk kepada sesuatu yang tidak tertentu dalam semesta wacananya. Misalnya dalam kalimat: β€œMahasiswa itu lulusan matematika”, kata β€œmahasiswa” adalah suatu variabel karena menunjuk kepada orang yang tidak tertentu dalam semesta wacananya yaitu himpunan manusia. Demikian pula dalam proposisi β€œπ‘₯ adalah bilangan bulat positif”, lambang β€œπ‘₯” adalah suatu variabel dengan semesta wacana himpunan bilangan-bilangan. Suatu variabel dapat diganti oleh unsur-unsur dalam semesta wacananya, misalnya variabel β€œmahasiswa” dapat diganti dengan β€œAnton”, dan variabel β€œπ‘₯” dapat diganti dengan 4. Kata β€œAnton” dan lambang β€œ4” menunjuk pada unsur yang tertentu pada masing-masing semesta wacananya, dan disebut konstanta.

Apabila semesta wacananya adalah himpunan bilangan-bilangan, maka variabelnya disebut variabel numeris, sedangkan kalau semesta wacananya adalah himpunan kata-kata atau istilah-istilah dari bahasa sehari-hari (misalnya: tinggi, cepat, muda, cantik, dst), maka variabelnya disebut variabel linguistik.

Suatu variabel linguistik adalah suatu rangkap-5 (π‘₯, 𝑇, 𝑋, 𝐺, 𝑀), di mana π‘₯ adalah lambang variabelnya, 𝑇 adalah himpunan nilai-nilai linguistik yang dapat menggantikan π‘₯, 𝑋 adalah semesta wacana (numeris) dari nilai-nilai linguistik dalam 𝑇 (jadi juga dari variabel π‘₯), 𝐺 adalah himpunan aturan-aturan sintaksis yang mengatur pembentukan istilah-istilah anggota 𝑇, dan 𝑀 adalah himpunan aturan-aturan semantik yang mengaitkan setiap istilah dalam 𝑇 dengan suatu himpunan kabur dalam semesta 𝑋.

Contoh 3.1:

Bila variabel linguistiknya adalah β€œtinggi badan”, maka sebagai himpunan nilai-nilai linguistik dapat diambil himpunan istilah-istilah 𝑇={pendek,

sangat pendek, agak pendek, tidak pendek, tidak sangat pendek, tidak pendek dan tidak tinggi, tidak tinggi, agak tinggi, tinggi, tidak sangat tinggi, sangat tinggi}, dengan semesta 𝑋=[0, 190], aturan sintaksis yang membentuk aturan pembentukan istilah-istilah dalam 𝑇, dan aturan semantik yang mengaitkan setiap istilah dalam 𝑇 dengan suatu himpunan kabur dalam semesta 𝑋.

Dalam himpunan 𝑇 pada contoh di atas terdapat dua macam istilah, yaitu

a. Istilah primer, misalnya: β€œtinggi”, β€œpendek”.

b. Istilah sekunder, yang dibentuk dari istilah primer dengan menggunakan aturan-aturan sintaksis dalam 𝐺, misalnya: β€œtidak pendek”, β€œtidak pendek dan tidak tinggi”, β€œtidak sangat tinggi”,

β€œsangat tinggi”. Istilah-istilah sekunder tersebut juga dapat dibentuk dengan menggunakan operator logika β€œtidak”, β€œdan”, β€œatau”, dan pengubah linguistik seperti β€œagak”, β€œsangat”, dan sebagainya.

Jika istilah 𝐴 dan 𝐡 dalam 𝑇 oleh aturan semantik dalam 𝑀 dikaitkan dengan berturut-turut himpunan kabur 𝐴̃ dan 𝐡̃ dalam semesta 𝑋, maka istilah-istilah β€œtidak 𝐴”, β€œπ΄ dan 𝐡”, β€œπ΄ atau 𝐡” dikaitkan berturut-turut dengan himpunan-himpunan kabur 𝐴̃′, 𝐴̃ ∩ 𝐡̃, dan 𝐴̃ βˆͺ 𝐡̃.

B. Pengubah Linguistik

Pengubah linguistik (linguistic hedge/modifier) merupakan suatu kata yang digunakan untuk mengubah suatu kata/istilah menjadi kata/istilah yang baru dengan makna yang baru pula. Dua pengubah linguistik yang paling sering digunakan adalah β€œsangat” dan β€œagak”.

Jika suatu istilah 𝐴 dikaitkan dengan himpunan kabur 𝐴̃ dalam semesta 𝑋, maka istilah β€œsangat 𝐴” dikaitkan dengan himpunan kabur konsentrasi dari 𝐴̃, dengan lambang Kon(𝐴̃) dan fungsi keanggotaan

πœ‡πΎπ‘œπ‘›(𝐴̃)(π‘₯) = (πœ‡π΄Μƒ(π‘₯))2

untuk setiap π‘₯ ∈ 𝑋, sedangkan istilah β€œagak 𝐴” dikaitkan dengan himpunan kabur dilasi dari 𝐴̃, dengan lambang 𝐷𝑖𝑙(𝐴̃) dan fungsi keanggotaan

πœ‡π·π‘–π‘™(𝐴̃)(π‘₯) = (πœ‡π΄Μƒ(π‘₯))1/2 untuk setiap π‘₯ ∈ 𝑋.

Contoh 3.2:

Misalkan 𝑋 = {5,6,7,8,9} dan istilah β€œdekat dengan 9” dikaitkan dengan himpunan kabur 𝐴̃ = 0.56/5+0.67/6+0.78/7+0.89/8+1/9. Maka istilah

β€œsangat dekat dengan 9” dikaitkan dengan himpunan kabur πΎπ‘œπ‘›(𝐴̃) = 0.3136/5+0.4489/6+0.6084/7+0.7921/8+1/9

β€œsangat dekat sekali dengan 9” dikaitkan dengan himpunan kabur Kon(Kon(𝐴̃)) = 0.0983/5+0.2015/6+0.3702/7+0.6274/8+1/9

β€œagak dekat dengan 9” dikaitkan dengan himpunan kabur Dil(𝐴̃) = 0.75/5+0.82/6+0.88/7+0.94/8+1/9

β€œtidak sangat dekat dengan 9” dikaitkan dengan himpunan kabur (Kon(𝐴̃))β€² = 0.6864/5+0.5511/6+0.3916/7+0.2079/8+0/9

β€œdekat tetapi (dan) tidak sangat dekat dengan 9” dikaitkan dengan himpunan kabur

𝐴̃ ∩ (πΎπ‘œπ‘›(𝐴̃))β€² = 0.56/5+0.5511/6+0.3916/7+0.2079/8+0/9.

C. Relasi Kabur

Misalkan 𝑅1 βŠ† 𝑋 Γ— π‘Œ dan 𝑅2 βŠ† π‘Œ Γ— 𝑍 adalah dua buah relasi tegas.

Komposisi relasi tegas 𝑅1 dan 𝑅2, yang dinotasikan dengan 𝑅1∘ 𝑅2, didefinisikan sebagai relasi

𝑅1∘ 𝑅2 βŠ† 𝑋 Γ— 𝑍

sedemikian sehingga (π‘₯, 𝑧) ∈ 𝑅1∘ 𝑅2 bila dan hanya bila terdapat 𝑦 ∈ π‘Œ sedemikian sehingga (π‘₯, 𝑦) ∈ 𝑅1 dan (𝑦, 𝑧) ∈ 𝑅2.

Relasi kabur 𝑅̃ antara elemen-elemen dalam himpunan X dengan elemen-elemen dalam himpuanan Y didefinisikan sebagai himpunan bagian kabur dari darab Cartesius 𝑋 Γ— π‘Œ, yaitu himpunan kabur

𝑅̃ = {((π‘₯, 𝑦), πœ‡π‘…Μƒ(π‘₯, 𝑦))|(π‘₯, 𝑦) ∈ 𝑋 Γ— π‘Œ}.

Relasi kabur 𝑅̃ disebut juga relasi kabur pada himpunan (semesta) 𝑋 Γ— π‘Œ.

Jika 𝑋 = π‘Œ, maka 𝑅̃ disebut relasi kabur pada himpunan X.

Bila himpunan X dan Y keduanya berhingga, misalnya 𝑋 = {π‘₯1, π‘₯2, β‹― , π‘₯π‘š} dan π‘Œ = {𝑦1, 𝑦2, β‹― , 𝑦𝑛}, maka relasi kabur 𝑅̃ antara elemen-elemen dalam himpunan X dengan elemen-elemen dalam himpunan Y dapat dinyatakan dalam bentuk suatu matriks berukuran π‘š Γ— 𝑛 sebagai berikut

𝑅̃ = [ π‘Œ, maka relasi kabur 𝑅̃ pada himpunan X itu dapat disajikan dengan suatu matriks persegi.

Contoh 3.3:

Misalnya 𝑋 = {24,86,108}, π‘Œ = {3,10,130}, dan 𝑅̃ adalah relasi kabur

β€œjauh lebih besar” antara elemen-elemen dalam X dengan elemen-elemen dalam Y, yaitu 𝑅̃ = 0.2/(24,3) + 0.1/(24,10) + 0.7/(86,3) + 0.6/

(86,10) + 0.9/(108,3) + 0.8/(108,10). Relasi 𝑅̃ tersebut dapat disajikan dalam bentuk matriks persegi sebagai berikut:

𝑅̃1 = [

D. Komposisi Relasi Kabur

Jika 𝑅̃1 adalah relasi kabur pada 𝑋 Γ— π‘Œ dan 𝑅̃2 adalah relasi kabur

di mana t adalah suatu norma-t.

Setiap norma-t menghasilkan suatu komposisi tertentu. Misalnya, jika diambil operator β€œmin” sebagai norma-t, maka diperoleh relasi komposit 𝑅̃1∘ 𝑅̃2 dengan fungsi keanggotaan

πœ‡π‘…Μƒ1βˆ˜π‘…Μƒ2(π‘₯, 𝑧) = sup

π‘¦βˆˆπ‘Œ

min {πœ‡π‘…Μƒ1(π‘₯, 𝑦), πœ‡π‘…Μƒ2(𝑦, 𝑧)}.

Komposisi ini sering kali disebut komposisi sup-min.

Kalau sebagai norma-t kita ambil operator β€œdarab aljabar”, maka diperoleh komposisi relasi kabur 𝑅̃1∘ 𝑅̃2 dengan fungsi keanggotaan

πœ‡π‘…Μƒ1βˆ˜π‘…Μƒ2(π‘₯, 𝑧) = sup

π‘¦βˆˆπ‘Œ

{πœ‡π‘…Μƒ1(π‘₯, 𝑦). πœ‡π‘…Μƒ2(𝑦, 𝑧)}.

Komposisi ini sering kali disebut komposisi sup-darab.

Contoh 3.4:

Misalnya 𝑋 = {24,86,108}, π‘Œ = {3,10,130}, dan 𝑍 = {17,93,120}. Relasi kabur 𝑅̃1 adalah relasi β€œjauh lebih besar” antara elemen-elemen dalam X dengan elemen-elemen dalam Y yang disajikan dalam bentuk matriks sebagai berikut:

Jika dipakai komposisi sup-min, maka πœ‡π‘…Μƒ1βˆ˜π‘…Μƒ2(24,17) = sup

min{πœ‡π‘…Μƒ1(24,130), πœ‡π‘…Μƒ2(130,17)}}

= max {min{0.2,0.2} , min{0.1,0.1} , min{0,0}}

= max {0.2,0.1,0}

= 0.2

Perhatikan bahwa komputasi di atas, relasi 𝑅̃1∘ 𝑅̃2 dengan komposisi sup-min tersebut dikerjakan seperti komputasi perkalian matriks, dengan mengganti operasi operasi perkalian menjadi operasi β€œmin” dan operasi penjumlahan menjadi operasi β€˜max”.

Komposisi relasi kabur 𝑅̃1∘ 𝑅̃2 dengan komposisi sup-min:

𝑅̃1∘ 𝑅̃2 = [

Jika dipakai komposisi sub-darab, maka πœ‡π‘…Μƒ1βˆ˜π‘…Μƒ2(24,17) = sup tersebut dikerjakan seperti komputasi perkalian matriks, dengan mengganti operasi penjumlahan menjadi operasi β€œmax”.

Komposisi relasi kabur 𝑅̃1∘ 𝑅̃2 dengan komposisi sup-darab:

𝑅̃1∘ 𝑅̃2 = [

= [

Proposisi kabur adalah kalimat yang memuat predikat kabur, yaitu predikat yang dapat direpresentasikan dengan suatu himpunan kabur.

Proposisi kabur yang mempunyai nilai kebenaran tertentu disebut pernyataan kabur. Nilai kebenaran dari suatu pernyataan kabur disajikan dengan suatu bilangan real dalam selang [0,1]. Nilai kebenaran itu disebut juga derajat kebenaran dari pernyataan kabur itu. Bentuk umum dari suatu proposisi kabur adalah

π‘₯ adalah 𝐴

di mana π‘₯ adalah suatu variabel linguistik dan predikat 𝐴 adalah suatu nilai linguistik dari π‘₯. Bila 𝐴̃ adalah himpunan kabur yang dikaitkan dengan nilai linguistik 𝐴 dan π‘₯0 adalah suatu elemen tertentu dalam semesta 𝑋 dari himpunan kabur 𝐴̃, maka π‘₯0 mempunyai derajat keanggotaan πœ‡π΄Μƒ(π‘₯0) dalam himpunan kabur 𝐴̃. Derajat kebenaran dari pernyataan kabur

π‘₯0 adalah 𝐴

didefinisikan sama dengan derajat keanggotaan π‘₯0 dalam himpunan kabur 𝐴̃, yaitu πœ‡π΄Μƒ(π‘₯0).

Misalkan proposisi kabur β€œπ‘₯ adalah 𝐴” dilambangkan dengan 𝑝(π‘₯), pernyataan kabur β€œπ‘₯0 adalah 𝐴” dengan β€œπ‘(π‘₯0)”, dan derajat kebenaran dari 𝑝(π‘₯0) dengan 𝜏(𝑝(π‘₯0)), maka

𝜏(𝑝(π‘₯0)) = πœ‡π΄Μƒ(π‘₯0).

Seperti halnya dengan proposisi yang tegas, kita juga dapat membentuk proposisi kabur mejemuk dari proposisi-proposisi kabur tunggal, dengan menggunakan operator-operator logika. Beberapa contoh proposisi kabur mejemuk misalnya:

Dea baik hati dan Dea disukai banyak orang.

Dian kurus atau Dian kelebihan lemak.

Bila Dini memiliki tubuh ideal, maka Dini bisa menjadi model.

Tagihan listrik mahal bila dan hanya bila penggunaan listrik boros.

Secara umum terdapat empat macam proposisi kabur majemuk dengan operator logika biner, yaitu:

Konjungsi kabur : π‘₯ π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž 𝐴 𝒅𝒂𝒏 𝑦 π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž 𝐡 Disjungsi kabur : π‘₯ π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž 𝐴 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝑦 π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž 𝐡

Implikasi kabur : π‘©π’Šπ’π’‚ π‘₯ π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž 𝐴, π’Žπ’‚π’Œπ’‚ 𝑦 π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž 𝐡

Ekivalensi kabur : π‘₯ π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž 𝐴 π’ƒπ’Šπ’π’‚ 𝒅𝒂𝒏 π’‰π’‚π’π’šπ’‚ π’ƒπ’Šπ’π’‚ 𝑦 π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž 𝐡

Variabel-variabel linguistik dalam proposisi-proposisi tunggal penyusunnya tidak harus sama (yaitu tidak harus dalam semesta numeris yang sama).

Misalkan π‘₯ adalah variabel linguistik dengan semesta numeris X, dan A adalah suatu predikat kabur yang dikaitkan dengan himpunan kabur 𝐴̃ dalam X, maka negasi kabur:

π‘₯ π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž π‘‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘˜ 𝐴

adalah proposisi kabur dengan predikat β€œtidak A” yang dapat dikaitkan dengan himpunan kabur komplemen kabur dari 𝐴̃, yaitu 𝐴̃′, dengan fungsi keanggotaan

πœ‡π΄Μƒβ€²(π‘₯) = π‘˜(πœ‡π΄Μƒβ€²(π‘₯)) di mana k adalah suatu komplemen kabur.

Jika x adalah variabel linguistik dengan semesta numeris X dan y adalah variabel linguistik dengan semesta numeris Y, maka konjungsi kabur

π‘₯ π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž 𝐴 π‘‘π‘Žπ‘› 𝑦 π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž 𝐡

di mana A dikaitkan dengan himpunan kabur 𝐴̃ dalam X, dan B dikaitkan dengan himpunan kabur 𝐡̃ dalam Y, dapat dipandang sebagai suatu relasi kabur ∧ dalam 𝑋 Γ— π‘Œ dengan fungsi keanggotaan

πœ‡βˆ§(π‘₯, 𝑦) = 𝑑(πœ‡π΄Μƒ(π‘₯), πœ‡π΅Μƒ(𝑦))

dengan t adalah suatu norma-t. Sedangkan disjungsi kabur π‘₯ π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž 𝐴 π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘’ 𝑦 π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘™π‘Žβ„Ž 𝐡

dapat dipandang sebagai suatu relasi kabur ∨ dalam 𝑋 Γ— π‘Œ dengan fungsi keanggotaan

πœ‡βˆ¨(π‘₯, 𝑦) = 𝑠(πœ‡π΄Μƒ(π‘₯), πœ‡π΅Μƒ(𝑦)) dengan s adalah suatu norma-s.

F. Implikasi Kabur

Bentuk umum implikasi kabur adalah

Bila π‘₯ adalah 𝐴, maka 𝑦 adalah 𝐡

di mana 𝐴 dan 𝐡 adalah predikat-predikat kabur yang dikaitkan dengan himpunan-himpunan kabur 𝐴̃ dan 𝐡̃ dalam semesta 𝑋 dan π‘Œ berturut-turut.

Seperti halnya dengan konjungsi dan disjungsi kabur, implikasi kabur juga dapat dipandang sebagai suatu relasi kabur dalam 𝑋 Γ— π‘Œ, yang akan dilambangkan dengan β†’.

Dalam logika dwinilai, telah diketahui bahwa implikasi tegas 𝑝 β‡’ π‘ž

Dalam logika dwinilai, telah diketahui bahwa implikasi tegas 𝑝 β‡’ π‘ž

Dokumen terkait