• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan

1. Jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas bertambah dengan cepat, tetapi angkatan kerja hanya berkisar 65-66%. Pada Agustus 2014 berjumlah 182,99 juta, bertambah sebanyak 3,1 juta menjadi 186,1 juta (Agustus 2015), dan bertambah lagi sebanyak 2,99 juta menjadi 189,09 juta pada tahun 2016. Di antara jumlah tersebut, yang masuk dalam kategori Angkatan Kerja (usia 15-64 tahun) pada tahun 2014 sebanyak 121.872.931 orang (65,6%); pada tahun 2015 sebanyak 122.380.021 orang (65,76%); dan pada tahun 2016 sebanyak 125.443.748 orang (66,34%). Di antara angkatan kerja tersebut, jumlah pengangguran sebanyak 5,94% (Agustus 2014), 6,18% (Agustus 2015), dan 5,61% (Agustus 2016). 2. Rasio Penduduk Bekerja terhadap Jumlah Penduduk (Employment to Population

Ratio-EPR) pada Agustus 2016 secara nasional menunjukkan angka 62,62. Di antara angka 62,62 dapat diinterpretasikan bahwa pada Agustus 2016, dari 100 orang penduduk usia 15 tahun ke atas, terdapat 63 orang bekerja. Wilayah perkotaan menyumbang (59,72) lebih rendah dibandingkan dengan EPR wilayah perdesaan (66,08). Hal ini menunjukkan bahwa wilayah perdesaan sedikit lebih mampu menciptakan pekerjaan dibanding wilayah perkotaan.

3. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki lebih tinggi dibandingkan TPAK perempuan. Pada bulan Agustus 2016 TPAK laki-laki mencapai 81,87% dan perempuan

terdapat angkatan kerja sekitar 82 orang, sedangkan dari 100 orang penduduk usia kerja perempuan hanya ada sekitar 51 orang yang termasuk angkatan kerja.

4. Status pendidikan terakhir pekerja per Februari 2016 adalah sebagai berikut, 1) Sebanyak 16,54% adalah yang tidak pernah sekolah dan yang tidak menamatkan pendidikan setingkat SD; 2) Sebanyak 44,73% adalah yang telah menamatkan pendidikan formal setingkat SD dan SMP; 3) Sebanyak 27,39% adalah pekerja yang telah menamatkan pendidikan formal setingkat SMU (SLTA, SMK, dan MA); dan 4) Sebanyak 11,34% adalah yang berlatar belakang pendidikan formal akademi/diploma dan universitas.

5. Pada tahun 2016, sebagian besar pekerja (49,23%) kita adalah pekerja upah/bergaji, bukan wirausaha sendiri (37,03%). Sementara itu, yang bekerja di sektor keluarga yang mendapat upah kecil, dan bahkan mendapatkan gaji tidak pasti mencapai persentase besar (13,74%).

6. Pekerjaan utama didominasi sektor jasa (46,69%), pertanian (31,90%), dan manufaktur (21,41%). Gambaran besar kondisi lapangan pekerjaan utama di Indonesia menunjukkan pola yang sama dari Agustus 2015, Februari 2016, dan Agustus 2016.

7. Dalam waktu tiga tahun (2014-2016), penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja di bawah 35 jam seminggu berkisar antara 31-33%. Sedangkan yang bekerja di atas 35 jam seminggu berkisar antara 66-68%. Sebagian besar penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja adalah masuk dalam kategori pekerja penuh waktu. Tingkat pekerja paruh waktu perempuan mencapai dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 29,60% perempuan dan 13,44% laki-laki. Berdasarkan sebarannya, penduduk perdesaan lebih banyak yang bekerja di bawah 35 jam per minggu dibandingkan dengan penduduk perkotaan.

8. Mayoritas penduduk di Indonesia bekerja di sektor informal (50,80%). Di antara 118,41 juta orang yang bekerja (2016), sebanyak 60,15 juta orang (50,80%) bekerja di sektor informal. Sektor formal masih didominasi oleh laki-laki (63,78%).

9. Ketenagakerjaan Indonesia (dan dunia) mendapat tambahan tantangan baru, yaitu era Revolusi Industri Keempat (Industri 4.0). Zaman ini ditandai dengan integrasi dunia daring dengan produksi industri. Bagi tenaga kerja, keadaan Industri 4.0 memberikan dampak yang signifikan. Pabrik-pabrik pintar nyaris tidak membutuhkan tenaga manusia, kecuali sedikit tenaga-tenaga kerja yang sangat terampil. Tanpa Industri 4.0 saja, banyak negara, termasuk Indonesia yang mengalami masalah pengangguran. Industri 4.0 akan menambah beban setiap negara untuk mengatasi masalah peningkatan kompetensi tenaga kerja (karena membutuhkan pekerjaan dan keahlian sangat khusus), naiknya pengangguran, dan gap kesejahteraan. Semua itu akan menciptakan tekanan yang kian kuat di pasar kerja.

Kesimpulan dan Rekomendasi

10. Indeks daya saing Indonesia mengalami penurunan dalam waktu tiga tahun terakhir (2014-2017). Daya saing Indonesia ada di posisi 34 (2014-2015), turun 3 grade menjadi 37 (2015-2016), dan turun lagi 4 grade di posisi 41 (2016-2017). Salah satu indikator yang memengaruhi adalah efisiensi. Indonesia menduduki posisi 49 dengan skor 4.38, jauh di bawah Thailand yang menduduki posisi 37 (skor 4.56); di bawah Malaysia dengan posisi 24 (skor 4.96), apalagi jika dibandingkan dengan Singapura yang berada di posisi 2 (skor 5.73).

11. Penggunaan teknologi digital di Indonesia sangat bermanfaat. Diperkirakan akan memberi peluang penambahan PDB sebanyak 35 USD miliar dan menambah 3,7 juta pekerjaan pada tahun 2025. Akan tetapi, kenyataannya penggunaan dan pemanfaatan industri digital masih sangat rendah (30-40% penduduk) dan belum merata. Pemanfaatan big data yang dimiliki perusahaan juga masih rendah (sekitar 1%) untuk pengambilan keputusan bisnis. Sementara itu, meskipun digitalisasi dipandang memiliki manfaat besar dan memegang peran kunci meningkatkan produktivitas, menambah PDB, dan menyediakan lapangan pekerjaan besar, namun pemerintah tidak melakukan intervensi yang serius. Pemerintah tidak menyediakan dana cukup besar untuk belanja investasi IT.

12. Postur APBN tahun anggaran 2015-2017 secara umum menunjukkan pertumbuhan fiskal yang melambat yang berpotensi menjadi salah satu faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi. Pendapatan negara tahun 2015 ke 2015 Perubahan turun 1,78%. Tahun 2016 ke 2016 Perubahan turun 1,99%, bahkan dari APBN 2016 ke APBN 2017, pendapatan negara turun 3,96%. Alokasi belanja negara menunjukkan kecenderungan yang hampir sama. APBN 2015 ke APBN 2015 Perubahan turun sebesar 2,71%. APBN 2016 ke APBN 2016 Perubahan turun sebesar 0,61%. APBN 2016 ke APBN 2017 turun 0,73%.

13. Perbandingan APBN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kurang dari 20%, bahkan terus berkurang. APBN 2015 hanya 18,33%, turun menjadi 16,49% dalam APBN 2016, dan turun lagi menjadi 15,19% dalam APBN 2017. Artinya, negara memerlukan peran swasta atau peran investor untuk menciptakan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Negara harus bekerjasama dengan sektor non-negara untuk menggerakkan lebih dari 80% perekonomian nasional yang tidak bisa difasilitasi negara.

14. Pendapatan negara sebagian besar berasal dari pajak, yang terus bertambah hampir mencapai 90%. Artinya, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berasal dari intervensi negara sangat bergantung kepada pendapatan pajak. Bila pajak tidak mencapai target, maka peluang pembangunan semakin mengecil. Ketergantungan terhadap pajak melonjak, terutama sejak APBNP 2015, dari 76,94% dalam APBN 2015 menjadi 84,54% dalam APBNP 2015. Persentase tersebut naik-turun sekitar 1% dalam APBN 2016, APBNP 2016, dan APBN 2017.

Akan tetapi, anggaran kementerian ini sangat kecil dan terus mengalami penurunan alokasi. Pada tahun 2015, Kementerian Ketenagakerjaan mendapatkan alokasi sebesar 5,25 triliun rupiah (0,26% dari APBN 2015), turun menjadi 3,8 triliun rupiah (0,18% dari APBN 2016), dan turun lagi menjadi 3,46 triliun rupiah (0,17% dari APBN 2017). Anggaran tersebut untuk memenuhi berbagai kebutuhan ketenagakerjaan di Indonesia. Ada 8-10 program utama yang menjadi prioritas Kementerian Ketenagakerjaan.

16. Penganggaran Kementerian Ketenagakerjaan belum menunjukkan adanya prioritas program sebagai cara intervensi negara (kementerian) terhadap masalah ketenagakerjaan, termasuk kebutuhan meningkatkan kompetensi tenaga kerja. Nomenklatur masih sangat umum dan tidak mencerminkan masalah ketenagakerjaan dan program (beserta dana) untuk menjawab masalah tersebut.

17. Anggaran untuk ketenagakerjaan jauh dibawah anggaran untuk pencapaian akses pendidikan formal. Tahun 2015, anggaran pendidikan sebesar 409,131 triliun rupiah. Anggaran tersebut dialokasikan untuk dana transfer daerah, Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementerian Ristek dan Dikti, dan beberapa kementerian/lembaga lainnya. Khusus untuk kementerian/lembaga lainnya sebesar 8,48 triliun rupiah. Bila dikurangkan dengan alokasi untuk kementerian/lembaga lainnya, maka ada dana sebanyak kurang lebih 400,651 triliun rupiah yang dialokasikan untuk pencapaian akses pendidikan dari tingkat SD/MI sampai perguruan tinggi.

18. Pada tahun 2015-2019, Kementerian Ketenagakerjaan memiliki dua agenda besar, yaitu, a) Perlindungan hak dan keselamatan pekerja migran; dan b) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional yang dilakukan melalui peningkatan daya saing tenaga kerja. Ada dua sasaran utama pembangunan ketenagakerjaan, yaitu, a) Tingkat pengangguran terbuka diperkirakan antara 4,0% – 5,0% pada tahun 2019; dan b) Memfasilitasi penciptaan kesempatan kerja sebesar 10 juta selama liam tahun. Akan tetapi, beberapa sasaran utama pembangunan ketenagakerjaan tersebut tampak diragukan dapat tercapai.

19. Rencana Strategis Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2015-2019 memang merencanakan penganggaran kementerian dengan jumlah alokasi yang sangat rendah. Rendahnya alokasi dana yang dirancang oleh Kementerian Ketenagakerjaan mengakibatkan langkah kementerian menjadi sangat terhambat. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan belum memiliki cita-cita besar untuk mengatasi berbagai hal yang terkait dengan ketenagakerjaan di Indonesia.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dokumen terkait