• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KEBIJAKAN ANGGARAN KETENAGAKERJAAN INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KEBIJAKAN ANGGARAN KETENAGAKERJAAN INDONESIA"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN

STUDI KEBIJAKAN ANGGARAN

KETENAGAKERJAAN INDONESIA

(2)
(3)

LAPORAN

STUDI KEBIJAKAN ANGGARAN

KETENAGAKERJAAN INDONESIA

Penyusun:

Abdul Waidl

Rohidin Sudarno

European Union

This publication has been produced with the assistance of the European Union. The contents of this publication are the sole responsibility of the authors and can in no way be taken to reflect the views of the European Union.

This report has been developed with the assistance of Oxfam in order to share research results and to contribute to the debate on development and humanitarian policy and practice. The content and views expressed in this report are the responsibility of the author and do not necessarily represent the views of Oxfam.

(4)

DAFTAR SINGKATAN

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BLK : Balai Latihan Kerja

BPS : Badan Pusat Statistik

CSR : Corporate Social Responsibility (Tanggung jawab Sosial Perusahaan) EPR : Employment to Population Ratio (Rasio Penduduk Bekerja terhadap

Jumlah Penduduk)

GCI : Global Competitiveness Index (Indeks Kompetitif Global) GPS : Global Positioning System (Sistem navigasi berbasis satelit) ILO : International Labour Organitation (Organisasi Buruh Internasional) IT : Informasi dan Teknologi

KILM : Key Indicators of Labour Market (Indikator Pasar Tenaga Kerja) LPDP : Lembaga Pengelola Dana Pendidikan

OECD : Organisation for Economic Cooperation and Development (Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan)

PDB : Produk Domestik Bruto Permen : Peraturan Menteri Perpres : Peraturan Presiden PP : Peraturan Pemerintah

Sakernas : Survei Angkatan Kerja Nasional

SDGs : Suistainable Development Goals (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) SDM : Sumber Daya Manusia

SMA : Sekolah Menengah Umum SMK : Sekolah Menengah Kejuruan

TOR : Term of Reference (Kerangka Acuan Kerja) TPAK : Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

(5)

Pendahuluan

DAFTAR ISI

ii

Daftar Singkatan

iv

Ringkasan Eksekutif

1

BAB I. Pendahuluan

2

Mengapa Studi Anggaran Ketenagakerjaan

4

Tingkat Urgensi Studi

4

Tujuan Studi

5

Metode

7

BAB II. Profil dan Tantangan Ketenagakerjaan Kontemporer

9

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

12

Status Pendidikan Terakhir

13

Lapangan Pekerjaan Utama

14

Pekerja Paruh Waktu dan Setengah Pengangguran

15

Kerja di Sektor Informal

16

Revolusi Industri: Tantangan Ketenagakerjaan Kontemporer

21

BAB III. Kebijakan Anggaran Ketenagakerjaan Indonesia

33

BAB IV. Kesimpulan dan Rekomendasi

34

A. Kesimpulan

38

B. Rekomendasi Untuk:

38

1. Kementerian Ketenagakerjaan

40

2. Kementerian Keuangan RI

40

3. Pemerintah Pusat secara Umum

(6)

1. Sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama tujuan ke-10 untuk menurunkan ketimpangan di dalam dan antarnegara, perluasan kesempatan kerja menjadi tantangan tersendiri dalam rangka penurunan ketimpangan di dalam negara. Oleh karena itu, kajian yang dilakukan mengenai kebijakan dan anggaran pelatihan kerja untuk mendorong peningkatan kesempatan kerja diharapkan menghasilkan rekomendasi bagi pengambil kebijakan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, terutama tujuan ke-10.

2. Jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas bertambah dengan cepat, tetapi angkatan kerja hanya berkisar 65-66% dengan tingkat pengangguran mencapai 5-6% dari angkatan kerja. Rasio penduduk bekerja jika dibandingkan dengan jumlah penduduk (Employment to Population Ratio –EPR) mencapai 62,62. Artinya, dari 100 jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas, terdapat 63 orang yang bekerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki lebih tinggi dibandingkan TPAK perempuan. TPAK laki-laki mencapai 81,87 % dan perempuan 50,77%.

3. Sebanyak 61,27% pekerja berstatus pendidikan terakhir (per Februari 2016) adalah yang lulus pendidikan formal setingkat SMP, SD, dan yang tidak pernah sekolah formal. Di antara 118,41 juta orang yang bekerja (2016), sebanyak 60,15 juta orang (50,80%) bekerja di sektor informal. Sektor formal didominasi laki-laki (63,78%).

4. Postur APBN Tahun Anggaran 2015-2017 secara umum menunjukkan pertumbuhan fiskal yang melambat, yang berpotensi menjadi salah satu faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi. Perbandingan APBN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kurang dari 20%, bahkan terus berkurang. Artinya, negara memerlukan peran swasta atau investor untuk menggerakkan lebih dari 80% perekonomian nasional yang tidak bisa difasilitasi negara.

5. Perhatian terhadap ketenagakerjaan disalurkan melalui Kementerian Ketenagakerjaan. Namun, anggaran kementerian ini sangat kecil dan terus mengalami penurunan alokasi. Pada tahun 2015, Kementerian Ketenagakerjaan mendapatkan alokasi sebesar 5,25 triliun rupiah (0,26% dari APBN 2015), turun menjadi 3,8 triliun rupiah (0,18% dari APBN 2016), dan turun lagi menjadi 3,46 triliun rupiah (0,17% dari APBN 2017). Anggaran untuk ketenagakerjaan jauh di bawah anggaran untuk pencapaian akses pendidikan formal.

6. Ketenagakerjaan Indonesia (dan dunia) mendapat tambahan tantangan baru, yaitu era Revolusi Industri Keempat (Industri 4.0). Zaman ini ditandai dengan integrasi dunia online dengan produksi industri. Manufaktur masa depan akan tersambung secara real-time dan efisien, toko ritel digital sudah bekerja mendasarkan pengalaman pelanggan, tambang akan ditransformasikan menjadi perusahaan teknologi tinggi yang efisien secara operasional, dan pertanian cerdas akan merevolusi produksi pangan.

7. Pada tahun 2017, Kementerian Ketenagakerjaan perlu melaksanakan beberapa hal sebagai berikut, a) Mendorong agar ketenagakerjaan menjadi perbincangan publik dan mendorong berbagai riset isu ketenagakerjaan, termasuk dalam menghadapi tantangan

(7)

Pendahuluan

Industri 4.0., dan tidak semata soal upah buruh formal; b) Melakukan assessment untuk membuat roadmap menguatkan kompetensi tenaga kerja di Indonesia, melakukan assessment tentang kebutuhan peningkatan kompetensi para siswa SMK, dan assessment terhadap Balai Latihan Kerja (BLK) di semua daerah di Indonesia; dan c) Melakukan review dan revisi terhadap rencana strategis Kementerian Ketenagakerjaan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan menjawab tantangan ketenagakerjaan 5 tahun ke depan. Revisi juga memerhatikan besaran anggaran yang diajukan yang bisa mencakup semua kebutuhan.

8. Pada tahun 2018, agenda Kementerian Ketenagakerjaan yang perlu kita dorong adalah,  a) Intervensi program penguatan kompetensi tenaga kerja berupa pelatihan keterampilan kepada 60% tenaga kerja yang berpendidikan SMP ke bawah; b) Penguatan kapasitas keterampilan dan sarana prasarana semua BLK di Indonesia; c) Mendekatkan akses pelatihan dan keterampilan melalui berbagai institusi masyarakat sipil, seperti pesantren; dan d) Mendorong kerjasama dengan pemerintah daerah untuk melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pelatihan keternagakerjaan.

9. Dalam APBN Perubahan 2017, Kementerian Keuangan perlu mengalokasikan dana untuk assessment yang akan dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. APBN tahun 2018, secara keseluruhan Kementerian Keuangan perlu mengalokasikan tambahan dana antara 5-10 triliun untuk kebutuhan pelaksanaan prioritas pelatihan keterampilan, setidaknya 35% tenaga kerja dengan pendidikan terakhir maksimal SMP. Kementerian Keuangan perlu menambah peruntukan LPDP bukan hanya untuk akses sekolah formal dan riset-riset, tetapi juga dapat digunakan untuk segala upaya yang terkait dengan perluasan lapangan kerja. Setidaknya 10% dana LPDP dapat digunakan untuk pelatihan keterampilan dan riset ketenagakerjaan.

10. Digitalisasi harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. Ada banyak pekerjaan hilang, sekaligus ada banyak peluang tercipta, seperti bisnis jadi lebih murah karena tidak perlu membayar tempat yang mahal. Banyak sektor manufaktur yang akan pindah ke sektor jasa, bagaimana digitalisasi memberi peluang pekerjaan di sektor jasa. Daring dan luring harus dipadukan dengan baik untuk menciptakan peluang kerja lebih banyak dan tetap menjadi sumber pendapatan negara. Perlu kolaborasi antara pemerintah dengan swasta agar fokus menaikkan nilai investasi IT mulai dari hulu hingga hilir demi peningkatan kualitas infrastruktur, tingkat penetrasi internet masyarakat, dan produktivitas kerja.

11. Perlu kebijakan tingkat nasional dan daerah (Perpres, PP, atau Permen) yang memprioritaskan pada bidang-bidang pekerjaan yang mampu menyerap tenaga kerja luas dan mampu meningkatkan kapasitas tenaga kerja, diantaranya adalah a) Pertanian, perikanan, dan kehutanan; b) Manufaktur dan produksi; c) Kaitan hospitality dan makanan; d) Transportasi dan logistik; e) Bisnis dan keuangan; f) Jasa penjualan; g) Layanan jasa pribadi; h) Konstruksi dan ekstraksi; dan i) Komputer dan matematika. Perkantoran dan administrasi meskipun menyerap tenaga kerja luas, namun tidak diisyaratkan karena rentan mengalami penurunan.

(8)

PENDAHULUAN

1

(9)

Pendahuluan

Mengapa Studi Anggaran Ketenagakerjaan

Selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2015-2030, isu ketenagakerjaan di Indonesia telah turut mewarnai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tersebut, terutama pada Tujuan Kedelapan (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi) dan Tujuan Kesepuluh (Mengurangi Ketimpangan). Dua tujuan di antara 17 SDGs juga mempunyai mata rantai yang saling terkait dengan Tujuan Keempat, yaitu Pendidikan Bermutu. Oleh karena itu, sangat diharapkan perubahan melalui prinsip SDGs –“Tidak ada seorang pun ditinggalkan”– bisa menjadi komitmen bersama antara pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat. Bentuk komitmen tersebut di antaranya menjadikan isu ketenagakerjaan menjadi bagian fokus pembangunan ketenagakerjaan melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja di Indonesia.

Pendidikan ketenagakerjaan (vocational education and training) sangat penting. Hubungan internasional sudah terbuka, sehingga memicu kondisi persaingan tenaga kerja terampil di level regional dan global yang seru. Warga negara akan kalah bersaing dengan tenaga kerja terampil dari luar negeri jika pendidikan ketenagakerjaan tidak ditangani serius. Akibatnya, memberi dampak pertumbuhan ekonomi nasional yang lambat.

Melihat angkatan kerja kita, masih banyak pengangguran. Tahun 2015 sebanyak 120,85 juta orang bekerja dan 7,45 juta menganggur. Tahun 2016 sebanyak 120,7 juta orang bekerja

(10)

angkatan kerja berpendidikan SD dan SMP. Dalam survei OECD/Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (2016)2: dari 34 negara anggota dan mitra OECD, kemampuan

orang Indonesia dewasa bekerja dan berkarya berada di peringkat paling bawah. Ini terkait kemampuan literasi, numerasi, dan kemampuan pemecahan masalah.

Kita memiliki pekerjaan rumah yang mahadahsyat terkait dengan sumber daya manusia (khususnya keterampilan bekerja). Presiden Joko Widodo berulang kali menegaskan komitmen dan prioritas penanganan pengangguran di era pemerintahannya. Pertanyaannya, sejauh mana komitmen dan prioritas tersebut tercermin dalam kebijakan anggaran negara? Mengapa kebijakan anggaran? Karena kebijakan anggaran merupakan alat ukur paling mudah untuk melihat alokasi anggaran pendidikan, apakah mendorong penguatan keterampilan atau tidak. Mari kita mencoba melihat alokasi pendidikan dalam APBN 2017, khususnya anggaran pendidikan.

APBN 20173 memiliki alokasi belanja nasional sebesar 2.080,45 trilliun rupiah. Sebesar

416,09 triliun (20%) dialokasikan untuk pendidikan. Jumlah tersebut dibagi ke daerah melalui transfer daerah sebesar 266,18 triliun (64,45%), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar 39,82 triliun (9,57%), Kementerian Agama sebesar 50,44 triliun (12,12%), Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi sebesar 38,73 triliun (9,31%), dan 17 kementerian/lembaga lainnya sebesar 12,83 triliun (3,08%).4

Kementerian yang dianggap terkait langsung dengan ketenagakerjaan (Kementerian Ketenagakerjaan) hanya mendapatkan alokasi 3,584 triliun rupiah dalam APBN 2017. Tentu saja anggaran tersebut terlalu kecil jika dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas keterampilan bagi sebanyak lebih dari 127 juta angkatan kerja pada tahun 2017. Anggaran tersebut tentu tidak mencukupi upaya melakukan pelatihan dan perbaikan peralatan kerja. Jumlah tersebut sama sekali tidak sebanding dengan besaran angka mencapai 400 triliun untuk kebutuhan akses pendidikan formal untuk kurang dari 50 juta siswa di tingkat SD sampai perguruan tinggi.

Studi ini akan mencoba melacak (tracking) lebih dalam terkait dengan kebijakan anggaran untuk ketenagakerjaan. Diharapkan akan didapat peta kebijakan anggaran di tingkat nasional, berapa persisnya yang diarahkan untuk penguatan sumber daya manusia terutama kepada angkatan kerja kita. Berikutnya, akan menyampaikan usulan program dan nomenklatur beserta besaran dana yang penting untuk APBN 2018. Hal ini diharapkan dapat memperbaiki peluang meningkatkan kapasitas sumber daya manusia angkatan kerja pada tahun 2018 dan tahun-tahun berikutnya.

1 BPS, Berita Resmi Statistik No. 46/05/Th. XIX. 04 Mei 2016 2 OECD, Ikhtisar Survei Ekonomi OECD Indonesia, Oktober 2016

3 Undang-undang No.18 Tahun 2016 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017

4 Tujuh belas kementerian/lembaga tersebut terdiri dari: Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian KUKM, Kementerian Kominfo, Kementerian Desa, Perpustakaan Nasional, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Kementerian Pariwisata, Kementerian Pertahanan, Kementerian LHK, Kementerian KKP,

(11)

Ke-Pendahuluan

Tingkat Urgensi Studi

Studi ini diharapkan menjadi acuan dalam perumusan kebijakan APBN 2018 dan tahun-tahun yang akan datang. Beberapa rekomendasi yang akan disampaikan dalam studi ini diharapkan mampu menjawab urgensi studi ini, yaitu sebagai berikut.

1. Menjawab proyeksi Bonus Demografi Indonesia 10-30 tahun ke depan, yang telah terjadi penurunan daya saing perdagangan melalui rasio pertambahan modal-output yang disebabkan rendahnya kualitas SDM Indonesia dibandingkan dengan negara lain, padahal proporsi investasi PDB Indonesia terus meningkat setiap tahun.

2. Wujud negara hadir untuk menjawab dan meningkatkan profil angkatan kerja Indonesia yang 60% berpendidikan SD sampai Sekolah Menengah.

3. Menyiapkan angkatan kerja terampil profesional untuk menjadi ekonomi berdaya saing, skilled-based, dan knowledge-based .

4. Mempercepat pencapaian target: pengurangan kemiskinan, pengangguran, dan penurunan ketimpangan (Gini Rasio) pada 2017-2019.

5. Mengatasi bias pendidikan formal dan tidak siap kerja: Pendidikan vokasi via SMK/ politeknik/universitas tidak memadai, baik jumlah dan mutu. Perlu jalur-jalur lain yang dapat mengatasi dan melengkapi pendekatan SMK: Informal dan non-formal (BLK dan pelatihan di perusahaan) yang link and match dengan kebutuhan pasar kerja.

6. Menggambarkan kondisi ketenagakerjaan Indonesia atas kesiapan menghadapi Revolusi Industri ke-4 yang diwarnai konvergensi teknologi informasi dan e-manufacturing lanjutan.

Tujuan Studi

Studi ini diharapkan menghasilkan dokumen usulan kebijakan anggaran ketenagakerjaan untuk APBN 2018 dan tahun anggaran berikutnya. Secara khusus diharapkan menghasilkan beberapa poin penting, antara lain sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi kebijakan penganggaran di tingkat nasional terkait dengan upaya penguatan ketenagakerjaan.

2. Memetakan peluang usulan untuk perbaikan alokasi anggaran dan nomenklatur penganggaran yang ditujukan untuk ketenagakerjaan yang adil dan merata.

3. Menyampaikan beberapa input penting bagi kebijakan anggaran di tingkat nasional terkait dengan penganggaran terkhusus untuk ketenagakerjaan di Indonesia.

(12)

Studi ini dilakukan terhadap kebijakan APBN dalam hal ketenagakerjaan. Mengapa APBN? karena angka 20% pendidikan pada dasarnya bersumber dari kebijakan APBN yang selanjutnya diklaimkan ulang oleh APBD. Intervensi terhadap APBN diharapkan akan memberi dampak signifikan.

Sumber utama analisis adalah dokumen APBN tahun 2015-2017. Nota keuangan dokumen APBN juga menjadi sumber rujukan analisis, ditambah beberapa regulasi yang terkait dengan kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia. Seluruh dokumen diharapkan bisa menjawab pertanyaan: Bagaimana kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia, apa jenis nomenklatur/ program dan besaran dana yang dialokasikan untuk ketenagakerjaan? Jawaban-jawaban tersebut diharapkan memudahkan menyampaikan usulan untuk APBN pada tahun 2018 dan tahun-tahun setelahnya.

Penelitian ketenagakerjaan ini menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelitian pustaka (desk study), yaitu dengan cara pengumpulan data

(13)

Pendahuluan

dan informasi melalui sumber-sumber yang tersedia di publik (data sekunder), seperti dokumen anggaran, dokumen kebijakan, surat kabar, majalah, laporan riset, jurnal, data statistik, putusan dan dokumen peraturan perundang-undangan yang relevan.

Data-data yang terkumpul kemudian diolah sehingga menghasilkan analisis mengenai kondisi ketenagakerjaan, kebijakan penganggaran, proyeksi kebutuhan, dan hal lain terkait dengan ketenagakerjaan. Melalui penelitian ini diharapkan dapat dirumuskan hal-hal yang perlu guna memberikan penilaian pelaksanaan kebijakan, kondisi anggaran ketenagakerjaan dari tahun 2015-2017, dan proyeksi ketenagakerjaan di Indonesia.

Jenis penelitian ini disebut penelitian deskriptif analitis yang menjelaskan dan menyajikan hasil penelitian melalui deskriptif analitis. Jenis penelitian ini dipilih sebagai cara penyajian atas hasil analisis.

Tahap pertama proses penelitian dimulai dengan tahapan pembuatan kerangka acuan kegiatan atau TOR/term of reference yang dibuat oleh INFID, kemudian didiskusikan bersama peneliti lain untuk mendapat masukan tentang substansi, metode, dan tujuan penelitian.

Tahap kedua, dimulai dengan pengumpulan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan tertulis, antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi kebijakan, anggaran, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan lain-lain.5 Tahapan

ini menjadi kegiatan utama dalam mendapatkan gambaran tentang kondisi ketenagakerjaan di Indonesia, hubungannya dengan pencapaian SDGs, kebijakan dan anggaran menyangkut ketenagakerjaan, dan rujukan lain yang terkait dengan ketenagakerjaan.

Tahap ketiga, analisis berbagai bahan sekunder yang berhasil dikumpulkan. Analisis bahan mendasarkan pada substansi pokok kondisi ketenagakerjaan (profil ketenagakerjaan), gap lapangan pekerjaan berdasarkan gender, pencapaian SDGs, ketersediaan anggaran, analisis kebijakanan, dan anggaran ketenagakerjaan.

Tahap empat, pembuatan laporan hasil penelitian (desk study report), meliputi tahap pembuatan hasil penelitian pustaka setelah mendapat masukan dari ahli (peer review). Tahapan ini merupakan tahap akhir dalam menyarikan berbagai bahan dan argumen yang telah dibaca, ditelaah, dan analisis oleh peneliti dan ahli.

(14)

PROFIL DAN TANTANGAN

KETENAGAKERJAAN KONTEMPORER

2

(15)

Profil dan Tantangan Ketenagakerjaan Kontemporer

Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun melakukan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas)6 yang bertujuan melakukan monitoring dinamika ketenagakerjaan dalam rangka

memperbaiki permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia. Sakernas disusun berdasarkan publikasi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organitation-lLO), yaitu Indikator Pasar Tenaga Kerja (Key Indicators of Labour Market-KILM). KILM telah diluncurkan ILO sejak tahun 1999.

Peran KILM ditujukan untuk, 1) Mempromosikan agenda ILO tentang pekerjaan yang layak (decent work); 2) Pemantauan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Suistainable Development Goals-SDGs), termasuk yang berkaitan dengan meningkatnya jumlah pekerja penuh, penduduk kerja yang produktif, dan penyediaan pekerjaan yang layak; 3) Memantau kesetaraan gender di pasar tenaga kerja, disebabkan perempuan menghadapi tantangan khusus dalam mencapai pekerjaan yang layak; dan 4) Mengkaji tenaga kerja di era globalisasi, bahwa globalisasi memberikan peluang penciptaan lapangan pekerjaan yang layak bagi semua.

Beberapa data terkait dengan profil ketenagakerjaan di bawah ini banyak bersumber dari Sakernas yang dilaksanakan oleh BPS.

6 BPS, Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) adalah survei khusus untuk mengumpulkan data ketenagakerjaan. Saker-nas bertujuan untuk memperoleh informasi data jumlah penduduk yang bekerja, pengangguran, dan penduduk yang pernah berhenti/pindah bekerja, serta perkembangannya dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun nasional.

(16)

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

Pada bulan Agustus 2016 terdapat 189.096.722 penduduk berusia 15 tahun ke atas. Di antara jumlah tersebut, 125.443.748 orang (66,34%) masuk dalam kategori angkatan kerja (usia produktif, 15-64 tahun). Di antara jumlah angkatan kerja tersebut, 118.411.973 orang (94,39%) bekerja, dan 7.031.775 orang (5,61%) tidak bekerja.

No Jenis Kegiatan 2014 2015 2016

Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus

1 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas 181 169 972 182 992 204 184 599 615 186 100 917 187 600 634 189 096 722 2 Angkatan Kerja 125 316 991 121 872 931 128 301 588 122 380 021 127 671 869 125 443 748   a. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%) 69,17 66,60 69,50 65,76 68,06 66,34   b. Bekerja 118 169 922 114 628 026 120 846 821 114 819 199 120 647 697 118 411 973   c. Pengangguran Terbuka *) 7 147 069 7 244 905 7 454 767 7 560 822 7 024 172 7 031 775   d. Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 5,70 5,94 5,81 6,18 5,50 5,61 3 Bukan Angkatan Kerja 55 852 981 61 119 273 56 298 027 63 720 896 59 928 765 63 652 974   a. Sekolah 15 899 591 16 769 494 16 514 465 16 734 963 16 245 007 15 922 029   b. Mengurus Rumah Tangga 32 853 393 36 019 249 32 488 589 38 203 701 36 158 428 39 335 203   c. Lainnya 7 099 997 8 330 530 7 294 973 8 782 232 7 525 330 8 395 742 Sumber: BPS, 2016

Jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas bertambah. Agustus 2014 sebanyak 182.992.204 orang dan Agustus 2015 berjumlah 186.100.917 orang. Di antara jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas tersebut, yang masuk dalam kategori angkatan kerja (usia 15-64 tahun) pada tahun 2014 sebanyak 121.872.931 orang (65,6%), dan pada tahun 2015 sebanyak 122.380.021 orang (65,76%). Di antara jumlah angkatan kerja tersebut, pada Agustus 2014 yang bekerja sebanyak 114.628.026 orang (94,06%), dan yang menganggur sebanyak 7.244.905 orang (5,94%). Pada Agustus 2015 yang bekerja sebanyak 114.819.199 orang (93,82%), dan yang menganggur sebanyak 7.560.822 orang (6,18%).

Membaca angka-angka di atas, dapat dicatat bahwa jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas bertambah dengan cepat. Pada tahun 2014 ke 2015 bertambah sebanyak 3.108.713 orang, dan dari tahun 2015 ke 2016 bertambah 2.995.805 orang. Sementara itu, angkatan kerja hanya bertambah sebanyak 507.090 pada tahun 2014 ke 2015, dan 3.063.727 orang dari tahun 2015 ke 2016. Jumlah pengangguran naik dari 7.244.905 orang (Agustus 2014) menjadi 7.560.822 orang (Agustus 2015), dan turun menjadi 7.031.775 orang (Agustus 2016). Indikator penting lain di pasar kerja adalah Rasio Penduduk Bekerja terhadap Jumlah Penduduk (Employment to Population Ratio-EPR). Angka EPR menghitung perbandingan angka angkatan kerja terhadap jumlah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas. Pada Agustus 2016 secara nasional menunjukkan angka 62,62. Di antara angka 62,62 dapat

(17)

Profil dan Tantangan Ketenagakerjaan Kontemporer

diinterpretasikan bahwa pada Agustus 2016 dari 100 orang penduduk usia 15 tahun ke atas, terdapat 63 orang bekerja. Angka ini menunjukkan peningkatan jika dibandingkan Agustus 2015, yaitu 61,70 atau naik 0,92 poin, tetapi mengalami penurunan jika dibandingkan Februari 2016, yaitu 64,31 atau turun 1,69 poin.

EPR penduduk kelompok muda (kelompok 5-24 tahun) selalu lebih rendah daripada penduduk kelompok usia dewasa (25 tahun ke atas). EPR penduduk kelompok usia muda lebih rendah sekitar 31-33% dari kelompok umur dewasa.

Sumber: BPS, Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Agustus 2016, hal.22

Jika diklasifikasi berdasarkan wilayah, pada Agustus 2016, wilayah perkotaan lebih rendah (59,72) dibandingkan EPR perdesaan (66,08). Hal ini menunjukkan bahwa wilayah perdesaan sedikit lebih mampu menciptakan pekerjaan dibandingkan perkotaan, terlepas pekerjaan tersebut layak atau tidak.

EPR Wilayah Perdesaan (66,08) EPR Wilayah Perkotaan (59,72)

Wilayah perdesaan lebih mampu menciptakan pekerjaan

Bagaimana Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Laki-laki dan Perempuan? TPAK laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Pada Agustus 2016 TPAK laki-laki mencapai 81,87% dan perempuan 50,77%. Hal ini dapat diartikan bahwa dari 100 orang penduduk usia kerja laki-laki terdapat angkatan kerja sekitar 82 orang, dan dari 100 orang penduduk usia kerja perempuan sekitar 51 orang yang termasuk angkatan kerja.

(18)

Ketimpangan Gender dalam Ketenagakerjaan

Dalam laporan ILO 2010 berjudul “Women in Labour Markets: Maesuring Progress and Identifying Challenges” menunjukkan kemajuan yang dicapai   di bidang kesetaraan gender yang ditunjukkan melalui peningkatan partisipasi tenaga kerja perempuan dari 50,2% menjadi 51,7%, antara tahun 1980 sampai 2008, sementara tingkat partisipasi laki-laki sedikit berkurang, yaitu dari 82,0% menjadi 77,7%. Laporan ini menggambarkan jumlah perempuan yang melakukan pekerjaan berupah dan bergaji meningkat dari 42,8% tahun 1999 menjadi 47,3% tahun 2009. Ada tiga faktor utama terjadinya ketidakseimbangan gender dalam dunia kerja. Pertama, 48,4% penduduk perempuan usia 15 tahun ke atas tidak aktif secara ekonomi dibandingkan 22,3% laki-laki. Kedua, perempuan mau bekerja menghadapi kesulitan yang lebih besar dibandingkan laki-laki dalam mencari pekerjaan. Ketiga, bila perempuan memperoleh pekerjaan, mereka akan menerima upah dan tunjangan lebih kecil dibandingkan pekerja laki-laki dengan jabatan yang sama. Secara global ILO juga memperkirakan pengangguran di kalangan perempuan meningkat, dari 6,0% pada tahun 2007 menjadi 7,0% tahun 2009.

Kondisi ketimpangan gender juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan data terakhir BPS 2016 menunjukkan TPAK laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Pada Agustus 2016 TPAK laki-laki mencapai 81,87% dan perempuan 50,77%. Hal ini dapat diartikan bahwa dari 100 orang penduduk usia kerja laki-laki terdapat angkatan kerja sekitar 82 orang, sedangkan dari 100 orang penduduk usia kerja perempuan sekitar 51 orang yang termasuk angkatan kerja.

Sumber: BPS, Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Agustus 2016, hal.16

Berdasar Sakernas 2016, TPAK tertinggi berdasarkan provinsi dicapai Bali (77,24%), Papua (76,70%), dan Sulawesi Tenggara (73,47%). TPAK terendah berdasarkan provinsi adalah Jawa Barat (60,65%), Kalimantan Utara (62,40%), dan Sulawesi Selatan (62,92%).

Menjadi pekerjaan rumah bersama, agar ketimpangan gender perempuan dalam ketenagakerjaan makin terus dibenahi. Kementerian Ketenagakerjaan dan instansi terkait harus memiliki terobosan dalam upaya memperbaiki iklim ketenagakerjaan dan peningkatan kualitas ketenagakerjaan Indonesia secara umum.

(19)

Profil dan Tantangan Ketenagakerjaan Kontemporer

Status Pendidikan Terakhir

Di antara 187,6 juta penduduk dengan usia 15 tahun ke atas pada Februari 2016, sebanyak 120,65 juta orang (68,06%) di antaranya adalah bekerja. Di antara 120,65 juta orang tersebut, sebagian besar berpendidikan terakhir setingkat SMP (61,26%).

Tingkat Pendidikan Angkatan Kerja atau yang Bekerja

Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

2016 Februari

Angkatan Kerja (AK) Jumlah Penduduk Usia 15 tahun ke Atas Persentase Angkat­ an Kerja terhadap Penduduk Usia Kerja (TPAK) Bekerja Pengangguran Jumlah AK % Bekerja / AK

Tidak/belum tamat SD 15.653.745 557.418 4.394.433 97,85 7.847.148 56,00 SD 32.478.422 1.218.954 16.211.163 96,56 23.487.728 69,02 SLTP 21.481.275 1.313.815 33.697.376 96,38 48.905.026 68,90 22.795.090 94,24 40.968.590 55,64 SLTA Umum/SMU 20.671.183 1.546.699 22.217.882 93,04 31.932.739 69,58 SLTA Kejuruan/SMK 12.376.565 1.348.327 13.724.892 90,18 17.526.267 78,31 Akademi/Diploma 3.202.427 249.362 3.451.789 92,78 4.242.277 81,37 Universitas 10.483.940 695.304 11.179.244 93,78 12.690.859 88,09 Total 120.647.697 7.024.172 127.671.869 94,50 187.600.634 68,06 Sumber: BPS, Sakernas 2016 (diolah)

Secara lebih detail dapat dibuat persentase status pendidikan terakhir pekerja per Februari 2016 adalah sebagai berikut, 1) Sebanyak 16,54% adalah yang tidak pernah sekolah dan yang tidak menamatkan pendidikan setingkat SD; 2) Sebanyak 44,73% adalah yang telah menamatkan pendidikan formal setingkat SD dan SMP; 3) Sebanyak 27,39% adalah pekerja yang telah menamatkan pendidikan formal setingkat SMU (SLTA, SMK, dan MA); dan 4) sebanyak 11,34% adalah yang berlatar belakang pendidikan formal akademi/diploma dan universitas.

Angkatan Kerja per Februari 2016

Tamat SD&SMP 44,73 % Tamat SMU/SMK/MA 27,39 % Tamat Diploma/Universitas 11,34 % Tidak Pernah Sekolah/ Tidak Tamat SD 3,63 %

(20)

BPS membuat setidaknya tujuh komponen pertanyaan terkait dengan lapangan pekerjaan utama pekerja kita. Ketujuh komponen tersebut kemudian dikategori menjadi tiga komponen, yaitu, 1) Status Berusaha (untuk mewadahi status Berusaha Sendiri, Berusaha Dibantu Buruh tidak Tetap/Buruh tidak Dibayar, dan Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar); 2) Status Bekerja dengan Upah/Gaji (mewadahi status Buruh/Karyawan/Pegawai, Pekerja Bebad di Pertanian, dan Pekerja Bebas di Nonpertanian); dan 3) Status Pekerja Keluarga (mewadahi pertanyaan status Pekerja Keluarga/ Tak Dibayar).

Penduduk 15 Tahun ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama

No. Status Pekerjaan Utama 2014 2015 2016 Februari Agustus Februari Agustus Februari Agustus

1 Berusaha Sendiri 20.320.671 20.486.560 21.653.271 19.529.747 20.392.400 20.015.291 2 Berusaha Dibantu Buruh tidak Tetap/Buruh tidak Dibayar 19.734.696 19.275.556 18.798.629 18.187.786 20.997.852 19.450.879 3 Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar 4.143.512 4.176.729 4.210.501 4.072.340 4.023.653 4.380.002 4 Buruh/Karyawan/Pegawai 43.348.961 42.382.148 46.617.534 44.434.390 46.301.470 45.827.785 5 Pekerja Bebas di Pertanian 4.739.310 5.094.354 5.076.013 5.086.153 5.240.458 5.499.898 6 Pekerja Bebas di Nonpertanian 6.750.395 6.406.270 6.803.128 7.449.080 7.002.288 6.965.506 7 Pekerja Keluarga/Tak Dibayar 19.132.377 16.806.409 17.687.745 16.059.703 16.689.576 16.272.612

  Total 118.169.922 114.628.026 120.846.821 114.819.199 120.647.697 118.411.973

Sumber: BPS, Sakernas 2016 (diolah)

Berturut-turut status pekerjaan utama dalam rentang tahun 2014-2016 adalah sebagai berikut. Pada tahun 2014, yang punya Status Berusaha adalah sebesar 43,94 juta orang (38,33%), Status Pekerja Upah/Gaji sebesar 53,88 juta orang (47,01%), dan Status Pekerja Keluarga adalah sebanyak 16,81 juta orang (14,66%). Pada tahun 2015 berturut-turut Status Berusaha adalah sebesar 41,78 juta orang (36,40%), Status Pekerja Upah/Gaji sebesar 56,97 juta orang (49,62%), dan Status Pekerja Keluarga adalah sebanyak 16,06 juta orang (13,99%). Tahun 2016 berturut-turut Status Berusaha sebesar 43,85 juta orang (37,03%), Status Pekerja Upah/Gaji sebesar 58,29 juta orang (49,23%), dan Status Pekerja Keluarga 16,27 juta orang (13,74%).

Apa saja lapangan kerja utama para pekerja kita? Kondisi lapangan pekerjaan utama didominasi oleh sektor jasa sebesar 46,69%, pertanian sebesar 31,90% dan manufaktur 21,41%. Gambaran besar kondisi lapangan pekerjaan utama di Indonesia menunjukkan pola yang sama dari Agustus 2015, Februari 2016, dan Agustus 2016. Persentase penduduk umur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama didominasi sektor jasa-jasa disusul sektor pertanian dan manufaktur.

(21)

Profil dan Tantangan Ketenagakerjaan Kontemporer

Sumber: BPS, Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Agustus 2016, hal.31

Dilihat lebih lanjut penyumbang terbesar sektor jasa-jasa adalah sektor perdagangan (22,54%) dan kemasyarakatan (16,43%). Sedangkan sektor manufaktur penyumbang terbesar adalah industri (13,12%) dan bangunan (6,74%). Februari 2016 sampai Agustus 2016 sektor jasa-jasa mengalami penurunan 0,52%, berbeda dibandingkan dengan Agustus 2015 sampai Februari 2016, yang terjadi peningkatan 1,93%. Sektor pertanian dan manufaktur mengalami peningkatan.

Sektor Jasa 46,69 % Sektor Pertanian 31,90 % Sektor Manufaktur 21,41 %

Lapangan pekerjaan utama didominasi oleh Sektor Jasa

Pekerja Paruh Waktu dan Setengah

Pengangguran

Dalam rangka melakukan pemantauan kondisi kerja, kondisi hidup dan menganalisis perkembangan ekonomi, maka salah satunya menggunakan indikator pekerja paruh waktu yang terfokus pada individu dengan jumlah kerja kurang dari 35 jam seminggu (full time), sebagai persentase dari total penduduk bekerja.

Dalam waktu 3 tahun (2014-2016), penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja di bawah 35 jam seminggu berkisar antara 31-33%. Penduduk yang bekerja di atas 35 jam seminggu berkisar antara 66-68%. Sebagian besar penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja masuk dalam kategori pekerja penuh waktu.

(22)

Agustus 2016 menunjukkan bahwa tingkat pekerja paruh waktu perempuan mencapai dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 29,60% perempuan dan 13,44% laki-laki. Berdasarkan klasifikasi sebaran daerah, tingkat pekerja paruh waktu di perdesaan mengalami penurunan, sedangkan wilayah perkotaan terjadi fluktuatif. Pada Agustus 2016, pekerja paruh waktu di perkotaan 14,22%, sementara di perdesaan mencapai 25,49%. Tingkat pekerja paruh waktu di perkotaan mengalami peningkatan 0,48% poin jika dibandingkan Agustus 2015, namun mengalami penurunan dibandingkan Februari 2016, yaitu mengalami penurunan 1,12% poin. Di wilayah perdesaan mengalami penurunan dibandingkan Agustus 2015 maupun Februari 2016 dengan penurunan masing-masing 4,10% poin dan 2,66% poin. Bagaimana dengan pekerja setengah pengangguran? Pekerja setengah pengangguran adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu) dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan (sebelumnya dinamakan setengah pengangguran terpaksa). Persentase setengah pengangguran didapatkan dari pembagian penduduk yang termasuk dalam kategori setengah pengangguran dan angkatan kerja dikali 100%. Data Sakernas menunjukkan adanya persentase setengah pengangguran di Indonesia tahun 2016 sebesar 7,15% dari seluruh penduduk yang bekerja. Berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa persentase pekerja setengah pengangguran laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan, yaitu 7,19% berbanding 7,10%. Sebaran angka setengah pengangguran di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan.

Kerja di Sektor Informal

Urbanisasi di Indonesia yang tinggi, ekonomi informal cenderung tumbuh untuk menyerap sebagian besar tenaga kerja. Mayoritas penduduk di Indonesia bekerja di sektor informal yaitu 50,80%. Mereka bekerja di sektor informal terdiri dari semua orang yang selama periode waktu tertentu setidaknya di satu unit produksi yang memenuhi konsep sektor informal, baik pekerjaan utama maupun sampingan.

Di antara 118,41 juta orang yang bekerja, 60,15 juta orang (50,80%) bekerja di sektor informal. Pada periode Agustus 2015, Februari 2016, dan Agustus 2016 menunjukkan fluktuasi persentase penduduk yang bekerja di sektor informal. Pembagian penduduk bekerja berdasarkan sektor formal/informal dan jenis kelamin 2015-2016 menunjukkan bahwa sektor formal masih didominasi laki-laki, yaitu mencapai 63,78%.

(23)

Profil dan Tantangan Ketenagakerjaan Kontemporer

Revolusi Industri: Tantangan Ketenagakerjaan

Kontemporer

Dalam Pertemuan Tahunan World Economic Forum (WEF) 2015, Kanselir Jerman, Angela Markel, menyinggung tentang Revolusi Industri Keempat atau biasa dikenal sebagai Industri 4.0. Rupanya isu Revolusi Industri Keempat mendapat tanggapan sangat baik dari para pemimpin dunia. Pertemuan Tahunan WEF 2016 bahkan mengambil tema lebih spesifik “Mastering the Fourth Industrial Revolution”.

Bagaimana gambaran tentang Revolusi Industri Keempat atau Industri 4.0? McKinsey Indonesia Office (September, 2016) memberikan gambaran setidaknya sebagai berikut. 1. Manufaktur masa depan akan tersambung dan efisien. Semua akan memiliki sektor

yang dibangun di bagian penting proses produksi, mengirimkan status operasi secara real-time ke menara kontrol.

2. Ritel akan berkembang menjadi pengalaman pelanggan. Sebuah toko ritel digital membutuhkan hampir nol sumber daya manusia. Seorang pelanggan akan dapat masuk ke toko pakaian dan menerima pemberitahuan tentang promosi yang disesuaikan berdasarkan riwayat pembelian.

3. Tambang akan ditransformasikan menjadi perusahaan teknologi tinggi yang efisien secara operasional. Digitisasi secara signifikan akan meningkatkan produktivitas tambang. Perencanaan tambang akan dilakukan dengan bantuan perangkat lunak canggih, menggabungkan pertimbangan geologi dan peralatan.

4. Pertanian cerdas akan merevolusi produksi pangan. Pertanian hampir tidak bisa dikenali. Traktor otonom yang dikendalikan GPS akan melakukan sebagian besar pekerjaan, mulai dari menyiapkan tanah dan menabur benih untuk memanen produk dan mengemudikannya ke tempat pengumpulan.

Bagi tenaga kerja, keadaan Industri 4.0 memberikan dampak yang signifikan. Pabrik-pabrik pintar nyaris tidak membutuhkan tenaga manusia, kecuali sedikit tenaga-tenaga kerja yang sangat terampil. Oleh karena itu, akan ada banyak tenaga kerja yang diprediksi akan menjadi pengangguran karena terbatasnya peluang kerja dan standar kompetensi tenaga kerja yang tinggi. Pada dasarnya, tanpa Industri 4.0 pun, banyak negara, termasuk Indonesia mengalami masalah pengangguran.7 Industri 4.0 akan menambah beban setiap negara

untuk mengatasi masalah peningkatan kompetensi tenaga kerja, pengangguran yang naik, dan gap kesejahteraan. Semua akan membuat tekanan di pasar kerja kian kuat.

7 Dalam Laporan ILO “World Employment and Social Outlook, Trends 2016”, disebutkan bahwa angka pengangguran rata-rata dunia akan terus meningkat pada 2016 hingga 2017. Angka pengangguran tahun 2015 diperkirakan mencapai 197,1 juta orang, tahun 2016 perkiraan bertambah 2,3 juta orang sehingga mencapai 199,4 orang yang menganggur, dan diperkirakan secara global akan naik lagi sekitar 1,1 juta orang pada tahun 2017. Meningkatnya pengangguran antara lain disebabkan oleh jumlah penduduk dunia yang terus bertambah, harga komoditas yang jatuh, serta pertumbuhan ekonomi negara

(24)

berkem-transformasi teknologi digital, fisika, dan biologi. Dampak atas Industri 4.0 juga membawa transisi baru pada sistem yang mendorong upaya negara-negara dalam memproduksi, mengkonsumsi, bergerak dan melakukan banyak interaksi lainnya. Salah satu dampak lanjutan adalah berubahnya hubungan tenaga kerja, produksi, dan pasar dikemudian hari. Revolusi industri membawa berbagai potensi dan tantangan dalam memajukan ekonomi suatu negara. Potensi dan tantangan tersebut dimulai dari penggunaan teknologi yang meningkatkan efisiensi dalam mengembangkan produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan atau produsen dalam suatu negara. Disisi lain, dampak pengembangan teknologi membawa tantangan pada pengangguran massal, kekurangan bakat, dan peningkatan kesenjangan (antara miskin dengan kaya). Teknologi juga turut mempengaruhi reformasi pendidikan dasar bagi generasi yang akan datang. Pendidikan akan berpengaruh dan dipengaruhi oleh perkembangan teknologi di lingkungan, tempat calon angkatan tenaga kerja mendapatkan pendidikan.

Begitupula upaya-upaya peningkatan kapasitas tenaga kerja yang akan dilaksanakan, pola pelatihan, dan pembelajaran akan mendapatkan perubahan sesuai dengan lingkup teknologi yang digunakan, bisnis yang dikembangkan, dan pasar pekerja yang terbuka saat munculnya masa transisi.

Sementara itu, kondisi daya saing Indonesia dalam persaingan global belum pada posisi yang menggembirakan. Di antara 12 pilar indikator The Global Competitiveness Index (GCI) atau Indeks Kompetitif Global yang membandingkan dan membuat rangking situasi kompetitif ekonomi satu negara dengan negara lain di dunia adalah labor market efficiency atau efisiensi pasar tenaga kerja. Efisiensi menjadi salah satu kata kunci atau kontributor dalam memastikan berbagai indikator kompetitif lain yang menjadi perhatian. Di dalam subindikator efiensi juga terkait dengan pendidikan dan pelatihan yang lebih tinggi, pasar yang baik, pengembangan pasar keuangan, kesiapan teknologi, dan ukuran pasar yang tersedia.

(25)

Profil dan Tantangan Ketenagakerjaan Kontemporer

Berdasarkan posisi umum GCI tahun 2016-2017, Indonesia menduduki posisi 41 dari 138 negara. Posisi ini turun 4 dari posisi sebelumnya (2015-2016), yaitu di ranking 37 karena disusul oleh beberapa negara. Salah satu indikator yang mempengaruhi adalah terkait efisiensi. Indonesia menduduki posisi ke 49 (skor 4.38), jauh di bawah Thailand untuk indeks efisiensi menduduki 37 (4.56) atau Malaysia posisi ke 24 (4.96), apalagi dengan Singapura posisi ke 2 (5.73).

McKinsey Global Institute (September 2012) pernah menyatakan bahwa sebagai negara dengan perekonomian terbesar ke-16 di dunia, Indonesia berpotensi menempati peringkat ekonomi terbesar ketujuh pada 2030. Indonesia mengalami kemajuan pesat dalam pengelolaan makroekonomi. Inflasi turun dari dua digit menjadi satu digit, dan utang pemerintah sebagai bagian dari PDB lebih rendah jika dibandingkan dengan utang sebagian besar negara ekonomi maju. Indonesia juga memiliki mayoritas penduduk berusia muda dan sedang dalam proses urbanisasi, yang akan mendorong pertumbuhan penghasilan. Sampai dengan tahun 2030, Indonesia akan menjadi tempat tinggal bagi sekitar 90 juta konsumen tambahan dengan daya beli yang cukup besar.

Perekonomian Indonesia dihadapkan pada tiga tantangan utama hingga tahun 2030. Pertama, tuntutan produktivitas. Indonesia perlu meningkatkan pertumbuhan produktivitas sebesar 60% dari angka yang dicapai antara 2000-2010 agar perekonomian dapat mencapai target pertumbuhan PDB tahunan pemerintah sebesar 7%.

(26)

kesenjangan menjadi isu penting. Indonesia perlu memikirkan cara untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi sedapat mungkin mencakup semua golongan masyarakat. Ketiga, cara agar Indonesia tidak mengalami kendala infrastruktur dan sumber daya saat kelas konsumennya mendorong pertumbuhan dan permintaan akan sumber daya yang akan menciptakan potensi pasar baru yang menguntungkan.

Ketiga tantangan tersebut sampai saat ini belum banyak perubahan, kecuali sektor infrastruktur. Pertumbuhan PDB masih di bawah 7%, distribusi pertumbuhan belum merata, dan produktivitas tenaga kerja juga tidak mengalami kenaikan lebih dari 60%.

Hingga Tahun 2015 nampak sekali terjadi penurunan atas pertumbuhan PDB riil Indonesia yang hanya mencapai 3,44%, padahal target pertumbuhan adalah 7% per tahun. Terjadi “kegagalan” pencapaian pertumbuhan yang signifikan, bahwa perlu upaya ekstra-keras dalam rangka mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan eksklusif.

(27)
(28)

KEBIJAKAN ANGGARAN

KETENAGAKERJAAN

INDONESIA

3

(29)

Kebijakan Anggaran Ketenagakerjaan Indonesia

1. Postur APBN Tahun Anggaran 2015-2017 secara umum menunjukkan perubahan besaran alokasi yang tidak signifikan, bahkan dapat dikatakan mengalami penurunan alokasi. Alokasi yang turun memberikan aba-aba makin berkurang kesempatan negara melakukan upaya pembangunan. Pertumbuhan fiskal yang melambat juga berpotensi menjadi salah satu faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Tahun 2015, dari segi pendapatan negara, semula tercatat 1.793,59 triliun rupiah dalam APBN, tetapi kemudian turun 1,78% menjadi 1.761,64 triliun rupiah dalam APBN Perubahan. Demikian pula pada tahun 2016, dari target pendapatan negara dalam APBN berjumlah 1.822,54 triliun rupiah, kemudian diturunkan 1,99% menjadi 1.786,22 triliun rupiah dalam APBN Perubahan. Dalam APBN 2017, pendapatan negara turun sebanyak 3,96% dari APBN 2016, menjadi 1.750,28 triliun rupiah.

Alokasi untuk belanja negara menunjukkan kecenderungan yang hampir sama. APBN 2015 menetapkan belanja negara sebesar 2.039,48 triliun rupiah, tetapi turun sebesar 2,71% menjadi 1.984,15 triliun rupiah dalam APBN Perubahan 2015. Pada tahun 2016, APBN menetapkan belanja negara sebesar 2.095,72 triliun rupiah. Kemudian turun sebesar 0,61% menjadi 2.082,95 triliun rupiah. Tahun 2017, belanja negara ditetapkan sebesar 2.080,45 triliun rupiah, turun 0,73% dibandingkan dengan belanja negara dalam APBN 2016.

(30)

Sumber: APBN Tahun 2015, 2016 dan 2017 (diolah)

2. Peran APBN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kurang dari 20%, bahkan terus berkurang. Artinya, negara memerlukan peran swasta atau peran investor untuk menciptakan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Negara harus bekerjasama dengan sektor non-negara untuk menggerakkan lebih dari 80 persen perekonomian nasional yang tidak bisa difasilitasi oleh negara.

Sumber: APBN Tahun 2015, 2016, dan 2017 (diolah)

PDB merupakan alat ukur pendapatan nasional. PDB adalah nilai keseluruhan barang dan jasa yang diproduksi di wilayah tertentu (seperti di wilayah Negara Indonesia) pada waktu tertentu (biasanya per tahun).

Pada tahun 2015, PDB kita mencapai 11.126,45 triliun rupiah, terus tumbuh setiap tahun, sampai pada tahun 2017 diperkirakan sebesar 13.699,90 triliun rupiah. Namun, karena pertumbuhan belanja kita hanya sekitar 2.000 triliun bahkan mengalami penurunan, maka persentase terhadap PDB kita hanya mencapai dalam kisaran 18,33% dan terus turun hingga mencapai 15,19%.

3. Pendapatan negara sebagian besar berasal dari pajak, terus bertambah hampir mencapai 90%. Artinya, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berasal dari intervensi negara sangat bergantung kepada pendapatan pajak. Bila pajak tidak mencapai target, maka peluang pembangunan semakin mengecil.

(31)

Kebijakan Anggaran Ketenagakerjaan Indonesia

Sumber: APBN Tahun 2015, 2016, dan 2017 (diolah)

Ketergantungan terhadap pajak melonjak terutama sejak APBNP 2015, dari 76,94% dalam APBN 2015 menjadi 84,54% dalam APBNP 2015. Persentase tersebut naik turun sekitar 1% dalam APBN 2016, APBNP 2016, dan APBN 2017.

4. Belanja negara yang paling mencolok perubahannya adalah dana desa, berturut-turut dari 9,07 triliun rupiah (APBN 2015) menjadi 20,77 triliun (APBNP 2015), terus naik menjadi 46,98 triliun (2016), dan saat ini (2017) mendapat alokasi sebesar 60 triliun rupiah. Meskipun sebenarnya masih sangat kecil dibanding dengan belanja pemerintah pusat dan nilai transfer daerah, namun pertumbuhan nilai dalam dana desa bermakna peluang bagi pemerintah untuk menggerakkan perekonomian nasional dan mengurangi tingkat kemiskinan.

5. Perhatian terhadap ketenagakerjaan disalurkan melalui Kementerian Ketenagakerjaan. Akan tetapi, anggaran kementerian ini sangat kecil dan terus mengalami penurunan alokasi. Pada tahun 2015, Kementerian Ketenagakerjaan mendapatkan alokasi sebesar 5,25 triliun rupiah (0,26% dari APBN 2015), turun menjadi 3,8 triliun rupiah (0,18% dari APBN 2016), dan turun lagi menjadi 3,46 triliun rupiah (0,17% dari APBN 2017).

Jumlah alokasi anggaran yang sangat kecil tersebut, dialokasikan dalam berbagai program yang ada di 7-9 unit organisasi, yang secara spesifik terkait dengan peningkatan kompetensi tenaga kerja kurang dari 1,5 triliun rupiah.

(32)

Sumber: APBN Tahun 2015, 2016, dan 2017 (diolah)

Di antara alokasi anggaran yang disediakan untuk Kementerian Ketenagakerjaan, sekitar 400 milyar berasal dari total 20% APBN yang dialokasikan untuk pendidikan. Nilai 400-an milyar tersebut terutama dimaksudk400-an untuk meningkatk400-an kompetensi tenaga kerja dari sisi sekolah formal dan non-formal, seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Cara membaca besaran Kementerian Ketenagakerjaan yang juga menanggung penguatan kompetensi tenaga kerja di lembaga pendidikan formal. Kita bisa melihat postur anggaran pendidikan tahun anggaran 2017, sebagai berikut.

(33)

Kebijakan Anggaran Ketenagakerjaan Indonesia

Pada tahun 2017, total alokasi belanja negara adalah sebesar 2.080,45 triliun rupiah. Dua puluh persen dari total anggaran belanja negara tersebut (416,09 triliun rupiah) dialokasikan untuk pendidikan.

Besaran alokasi anggaran pendidikan terbagi untuk transfer daerah sebesar 268,18 triliun (64,45% dari anggaran pendidikan), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebesar 39,82 triliun rupiah (9,57% dari anggaran pendidikan), Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) mendapat alokasi sebesar 38,73 triliun rupiah (9,31% dari anggaran pendidikan), Kementerian Agama mendapat alokasi sebesar 50,44 triliun rupiah (12,12% dari anggaran pendidikan, dan sisa sebesar 12,83 triliun rupiah (3,08% dari anggaran pendidikan) dialokasikan untuk 17 K/L lainnya, termasuk Kementerian Ketenagakerjaan.

6. Anggaran Kementerian Ketenagakerjaan terbagi kecil-kecil untuk memenuhi berbagai kebutuhan ketenagakerjaan di Indonesia. Ada 8-10 program utama yang menjadi prioritas Kementerian Ketenagakerjaan. Besaran anggaran yang tidak seberapa dari total anggaran belanja APBN per tahun, dapat dilihat anggaran dana yang diperuntukkan dukungan manajemen, pengawasan aparatur, perluasan kesempatan kerja, memperkuat hubungan industrial, pembangunan kawasan transmigrasi (wilayah dan masyarakat), perlindungan tenaga kerja, balitbang kementerian, dan penguatan kompetensi melalui diagram berikut ini.

(34)

2017), persentase belanja untuk kompetensi adalah sekitar 27,07% pada tahun 2015, naik menjadi 37,38% pada tahun 2016, dan naik lagi menjadi 51,18% pada tahun 2017. Seiring upaya alokasi anggaran untuk peningkatan kompetensi, terjadi penurunan di beberapa alokasi lain. Di antaranya, perluasan kesempatan kerja yang fluktuatif, dari 16,25% pada tahun 2015 naik menjadi 28,65% pada tahun 2016, dan menurun menjadi 22,95% pada tahun 2017. Demikian pula dengan alokasi untuk perlindungan tenaga kerja juga mengalami fluktuasi alokasi. Anggaran 9,50% pada tahun 2015, naik menjadi 13% pada tahun 2016, tetapi turun drastis menjadi 8,28% pada tahun 2017.

Maknanya adalah, Kementerian Ketenagakerjaan memiliki peluang yang kecil untuk mencukupi berbagai kebutuhan ketenagakerjaan. Dana yang kecil juga berkebalikan antara upaya menaikkan kompetensi dengan upaya perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Anggaran ditarik-tarik untuk memenuhi banyak kebutuhan ketenagakerjaan. Akan tetapi, alokasi yang memang rendah mengakibatkan sulitnya anggaran membantu kebutuhan ketenagakerjaan di Indonesia.

7. Penganggaran Kementerian Ketenagakerjaan belum menunjukkan adanya prioritas program sebagai cara intervensi negara (kementerian) terhadap masalah ketenagakerjaan, termasuk kebutuhan meningkatkan kompetensi tenaga kerja. Nomenklatur masih sangat umum dan tidak mencerminkan masalah ketenagakerjaan dan program (beserta dana) untuk menjawab masalah tersebut.

Kementerian Pertahanan mungkin memiliki gambaran besar ketenagakerjaan, tetapi belum membuat daftar prioritas pelatihan dan strategi pencapaian dalam tahun jamak. Keadaan tenaga kerja yang lebih 60% adalah lulusan SMP ke bawah, misalnya, sudah diketahui. Akan tetapi, program dan jenis intervensi peningkatan kompetensi yang strategis dan sesuai dengan kebutuhan mereka, Kementerian Ketenagakerjaan barangkali belum membuat langkah strategis yang bisa dilakukan diluar dana APBN secara rinci sampai beberapa pembagian pendanaan beberapa tahun (tahun jamak). Keadaan tersebut mengakibatkan kementerian kesulitan membuat usulan anggaran yang sebenarnya dibutuhkan untuk mengatasi berbagai masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Hal tersebut kira-kira berbeda dengan Kemdikbud yang sudah memiliki basis perhitungan berbagai program, sehingga memudahkan usulan anggaran yang sebenarnya diperlukan agar semua anggota masyarakat berusia sekolah jenjang tertentu dapat mengakses pendidikan.

8. Anggaran untuk ketenagakerjaan jauh dibawah anggaran untuk pencapaian akses pendidikan formal. Pada tahun 2015 anggaran pendidikan sebesar 409,131 triliun rupiah. Anggaran tersebut dialokasikan untuk dana transfer daerah, Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementerian Ristek dan Dikti, dan beberapa kementerian/lembaga

(35)

Kebijakan Anggaran Ketenagakerjaan Indonesia

lainnya. Khusus untuk kementerian/lembaga lainnya adalah sebesar 8,48 triliun rupiah. Bila dikurangkan dengan alokasi untuk kementerian/lembaga lainnya, maka ada dana sebanyak kurang lebih 400,651 triliun rupiah yang dialokasikan untuk pencapaian akses pendidikan dari tingkat SD/MI sampai perguruan tinggi.

Pada tahun 2015, perkiraan jumlah siswa tingkat SD sampai perguruan tinggi adalah sebesar 48.723.302 orang. Maka, untuk kebutuhan sejumlah siswa/mahasiswa tersebut, pemerintah mengalokasikan dana sebesar 400,651 triliun rupiah. Jika dihitung rata-rata, maka per siswa mendapatkan alokasi anggaran akses pendidikan formal sebesar 8,2 juta rupiah dalam setahun.

Sumber: APBN Tahun 2015 (diolah)

Marilah kita bandingkan dengan anggaran yang disediakan untuk kebutuhan menyelesaikan berbagai masalah ketenagakerjaan. Pada tahun 2015, ada angkatan kerja sebanyak 122.380.021 orang. Sementara itu, pemerintah dan DPR sepakat jumlah dana untuk Kementerian Ketenagakerjaan sebesar 5,251 triliun rupiah. Apabila dibagi rata, alokasi anggaran untuk mengupayakan menyelesaikan masalah ketenagakerjaan (seperti meningkatkan kapasitas, membuka lowongan kerja, dan lain-lain) hanya disediakan per orang sebesar 43 rupiah dalam setahun.

(36)

a) Perlindungan hak dan keselamatan pekerja migran; dan b) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional yang dilakukan melalui peningkatan daya saing tenaga kerja. Ada dua sasaran utama pembangunan ketenagakerjaan, yaitu, a) Tingkat pengangguran terbuka diperkirakan antara 4,0% – 5,0% pada tahun 2019; dan b) Memfasilitasi penciptaan kesempatan kerja sebesar 10 juta selama 5 tahun. Akan tetapi, beberapa sasaran utama pembangunan ketenagakerjaan tersebut diragukan bisa tercapai. Beberapa hal berikut menunjukkan indikasi tersebut.

10. Rencana Strategis Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2015-2019 memang merencanakan penganggaran kementerian dengan jumlah alokasi yang sangat rendah.

Kementerian Ketenagakerjaan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2015-2019, tertanggal 5 Juni 2015. Dalam Peraturan Menteri tersebut, terdapat rencana anggaran Kementerian Ketenagakerjaan selama 5 tahun (2015-2019) berjumlah 19,756 triliun rupiah. Rincian per tahun, pada tahun 2015 sebesar 3,384 triliun rupiah, tahun 2016 sebesar 3,718 triliun rupiah, tahun 2017 sebesar 4,074 triliun rupiah, tahun 2018 sebesar 4,248 triliun rupiah, dan tahun 2019 sebesar 4,330 triliun rupiah. Artinya, Kementerian Ketenagakerjaan tidak memiliki perencanaan pembiayaan yang memungkinkan untuk mendanai cita-cita besar bagi ketenagakerjaan masa depan yang memiliki kapasitas dan kompetensi sehingga berdaya saing secara nasional dan internasional.

No. Tahun Alokasi (miliar rupiah)

01 2015 3.384,46 02 2016 3.718,98 03 2017 4.074,10 04 2018 4.248,37 05 2019 4.330,18 Jumlah 19.756,10

Sumber: Renstra Kemenaker 2015-2019 (diolah)

11. Rendahnya alokasi dana yang dirancang oleh Kementerian Ketenagakerjaan mengakibatkan langkah kementerian menjadi sangat terhambat. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan belum memiliki cita-cita besar untuk mengatasi berbagai hal yang terkait dengan ketenagakerjaan di Indonesia. Renstra Kementerian Ketenagakerjaan tahun 2015-2019 memiliki 7 program dengan rincian alokasi dana sebagai berikut.

(37)

Kebijakan Anggaran Ketenagakerjaan Indonesia

Di antara ketujuh program tersebut, yang mendapat perhatian utama adalah Program Pertama, “Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja dan Produktivitas” dan Program Kedua, “Penempatan dan Pemberdayaan Tenaga Kerja”. Masing-masing mendapatkan alokasi rata-rata sebesar 42,5% dan 33,89% per tahun.

Program “Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja dan Produktivitas” memiliki tujuh kegiatan dan 36 indikator kinerja. Salah satu kegiatannya adalah “Pengembangan Standardisasi Kompetensi Kerja dan Pelatihan Kerja”. Salah satu indikator kinerja adalah jumlah tenaga kerja yang mendapat Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK). Coba kita amati, target dari indikator tersebut selama lima tahun hanya sebanyak 438.779 tenaga kerja yang mendapat PBK. Jumlah lulusan pelatihan yang diharapkan akan mendapatkan kompetensi hanya sebanyak 85 ribu dalam lima tahun (19,37%).

(38)

sedikit, yaitu berturut-turut sebanyak 75 program (2015); 100 program (2016); 125 program (2017); 150 program (2018); dan 175 program (2019). Jumlah selama lima tahun sebanyak 625 program selama lima tahun. Di antara jumlah tersebut, hanya 492 program yang diharapkan bisa diterapkan. Jumlah tersebut tentu sangat sedikit bagi sebuah perencanaan strategis tingkat nasional.

Di dalam Program Kedua, “Penempatan dan Pemberdayaan Tenaga Kerja”, dalam kegiatan “Pembinaan Penempatan dan Perlindungan TKI Luar Negeri”, salah satu indikator kinerja adalah jumlah lokasi penyelenggaraan pelatihan investasi usaha mikro sebagai exit program untuk TKI luar negeri yang pulang kampung. Disebabkan oleh rendahnya anggaran yang tersedia, indikator kinerja hanya sejumlah 30 lokasi atau rata-rata lima tempat per tahun. Sekali lagi, untuk sebuah indikator kinerja tingkat nasional, tentu saja ini jumlah yang sangat rendah.

Ada pula indikator kinerja yang tampaknya tidak dirancang dengan perhitungan yang matang, dan setelah berjalan tiga tahun tampak belum diusahakan dengan sungguh-sungguh, padahal hal ini sangat penting. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dalam Program Kedua, “Penempatan dan Pemberdayaan Tenaga Kerja”. Dalam kegiatan yang sama dengan di atas, “Pembinaan Penempatan dan Perlindungan TKI Luar Negeri”. Salah satu indikator kinerja adalah “Amandemen UU Nomor 39 Tahun 2004 dan Menyusun Aturan Turunannya”. Direncanakan pada tahun 2016 amandemen sudah selesai, dan pada tahun 2017-2019 tinggal aturan turunannya. Namun demikian, sampai tahun 2017, amandemen undang-undang tersebut tidak tampak ada perkembangan yang signifikan.

(39)
(40)

4

BAB

KESIMPULAN DAN

REKOMENDASI

(41)

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan

1. Jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas bertambah dengan cepat, tetapi angkatan kerja hanya berkisar 65-66%. Pada Agustus 2014 berjumlah 182,99 juta, bertambah sebanyak 3,1 juta menjadi 186,1 juta (Agustus 2015), dan bertambah lagi sebanyak 2,99 juta menjadi 189,09 juta pada tahun 2016. Di antara jumlah tersebut, yang masuk dalam kategori Angkatan Kerja (usia 15-64 tahun) pada tahun 2014 sebanyak 121.872.931 orang (65,6%); pada tahun 2015 sebanyak 122.380.021 orang (65,76%); dan pada tahun 2016 sebanyak 125.443.748 orang (66,34%). Di antara angkatan kerja tersebut, jumlah pengangguran sebanyak 5,94% (Agustus 2014), 6,18% (Agustus 2015), dan 5,61% (Agustus 2016). 2. Rasio Penduduk Bekerja terhadap Jumlah Penduduk (Employment to Population

Ratio-EPR) pada Agustus 2016 secara nasional menunjukkan angka 62,62. Di antara angka 62,62 dapat diinterpretasikan bahwa pada Agustus 2016, dari 100 orang penduduk usia 15 tahun ke atas, terdapat 63 orang bekerja. Wilayah perkotaan menyumbang (59,72) lebih rendah dibandingkan dengan EPR wilayah perdesaan (66,08). Hal ini menunjukkan bahwa wilayah perdesaan sedikit lebih mampu menciptakan pekerjaan dibanding wilayah perkotaan.

3. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki lebih tinggi dibandingkan TPAK perempuan. Pada bulan Agustus 2016 TPAK laki-laki mencapai 81,87% dan perempuan

(42)

terdapat angkatan kerja sekitar 82 orang, sedangkan dari 100 orang penduduk usia kerja perempuan hanya ada sekitar 51 orang yang termasuk angkatan kerja.

4. Status pendidikan terakhir pekerja per Februari 2016 adalah sebagai berikut, 1) Sebanyak 16,54% adalah yang tidak pernah sekolah dan yang tidak menamatkan pendidikan setingkat SD; 2) Sebanyak 44,73% adalah yang telah menamatkan pendidikan formal setingkat SD dan SMP; 3) Sebanyak 27,39% adalah pekerja yang telah menamatkan pendidikan formal setingkat SMU (SLTA, SMK, dan MA); dan 4) Sebanyak 11,34% adalah yang berlatar belakang pendidikan formal akademi/diploma dan universitas.

5. Pada tahun 2016, sebagian besar pekerja (49,23%) kita adalah pekerja upah/bergaji, bukan wirausaha sendiri (37,03%). Sementara itu, yang bekerja di sektor keluarga yang mendapat upah kecil, dan bahkan mendapatkan gaji tidak pasti mencapai persentase besar (13,74%).

6. Pekerjaan utama didominasi sektor jasa (46,69%), pertanian (31,90%), dan manufaktur (21,41%). Gambaran besar kondisi lapangan pekerjaan utama di Indonesia menunjukkan pola yang sama dari Agustus 2015, Februari 2016, dan Agustus 2016.

7. Dalam waktu tiga tahun (2014-2016), penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja di bawah 35 jam seminggu berkisar antara 31-33%. Sedangkan yang bekerja di atas 35 jam seminggu berkisar antara 66-68%. Sebagian besar penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja adalah masuk dalam kategori pekerja penuh waktu. Tingkat pekerja paruh waktu perempuan mencapai dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 29,60% perempuan dan 13,44% laki-laki. Berdasarkan sebarannya, penduduk perdesaan lebih banyak yang bekerja di bawah 35 jam per minggu dibandingkan dengan penduduk perkotaan.

8. Mayoritas penduduk di Indonesia bekerja di sektor informal (50,80%). Di antara 118,41 juta orang yang bekerja (2016), sebanyak 60,15 juta orang (50,80%) bekerja di sektor informal. Sektor formal masih didominasi oleh laki-laki (63,78%).

9. Ketenagakerjaan Indonesia (dan dunia) mendapat tambahan tantangan baru, yaitu era Revolusi Industri Keempat (Industri 4.0). Zaman ini ditandai dengan integrasi dunia daring dengan produksi industri. Bagi tenaga kerja, keadaan Industri 4.0 memberikan dampak yang signifikan. Pabrik-pabrik pintar nyaris tidak membutuhkan tenaga manusia, kecuali sedikit tenaga-tenaga kerja yang sangat terampil. Tanpa Industri 4.0 saja, banyak negara, termasuk Indonesia yang mengalami masalah pengangguran. Industri 4.0 akan menambah beban setiap negara untuk mengatasi masalah peningkatan kompetensi tenaga kerja (karena membutuhkan pekerjaan dan keahlian sangat khusus), naiknya pengangguran, dan gap kesejahteraan. Semua itu akan menciptakan tekanan yang kian kuat di pasar kerja.

(43)

Kesimpulan dan Rekomendasi

10. Indeks daya saing Indonesia mengalami penurunan dalam waktu tiga tahun terakhir (2014-2017). Daya saing Indonesia ada di posisi 34 (2014-2015), turun 3 grade menjadi 37 (2015-2016), dan turun lagi 4 grade di posisi 41 (2016-2017). Salah satu indikator yang memengaruhi adalah efisiensi. Indonesia menduduki posisi 49 dengan skor 4.38, jauh di bawah Thailand yang menduduki posisi 37 (skor 4.56); di bawah Malaysia dengan posisi 24 (skor 4.96), apalagi jika dibandingkan dengan Singapura yang berada di posisi 2 (skor 5.73).

11. Penggunaan teknologi digital di Indonesia sangat bermanfaat. Diperkirakan akan memberi peluang penambahan PDB sebanyak 35 USD miliar dan menambah 3,7 juta pekerjaan pada tahun 2025. Akan tetapi, kenyataannya penggunaan dan pemanfaatan industri digital masih sangat rendah (30-40% penduduk) dan belum merata. Pemanfaatan big data yang dimiliki perusahaan juga masih rendah (sekitar 1%) untuk pengambilan keputusan bisnis. Sementara itu, meskipun digitalisasi dipandang memiliki manfaat besar dan memegang peran kunci meningkatkan produktivitas, menambah PDB, dan menyediakan lapangan pekerjaan besar, namun pemerintah tidak melakukan intervensi yang serius. Pemerintah tidak menyediakan dana cukup besar untuk belanja investasi IT.

12. Postur APBN tahun anggaran 2015-2017 secara umum menunjukkan pertumbuhan fiskal yang melambat yang berpotensi menjadi salah satu faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi. Pendapatan negara tahun 2015 ke 2015 Perubahan turun 1,78%. Tahun 2016 ke 2016 Perubahan turun 1,99%, bahkan dari APBN 2016 ke APBN 2017, pendapatan negara turun 3,96%. Alokasi belanja negara menunjukkan kecenderungan yang hampir sama. APBN 2015 ke APBN 2015 Perubahan turun sebesar 2,71%. APBN 2016 ke APBN 2016 Perubahan turun sebesar 0,61%. APBN 2016 ke APBN 2017 turun 0,73%.

13. Perbandingan APBN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kurang dari 20%, bahkan terus berkurang. APBN 2015 hanya 18,33%, turun menjadi 16,49% dalam APBN 2016, dan turun lagi menjadi 15,19% dalam APBN 2017. Artinya, negara memerlukan peran swasta atau peran investor untuk menciptakan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Negara harus bekerjasama dengan sektor non-negara untuk menggerakkan lebih dari 80% perekonomian nasional yang tidak bisa difasilitasi negara.

14. Pendapatan negara sebagian besar berasal dari pajak, yang terus bertambah hampir mencapai 90%. Artinya, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berasal dari intervensi negara sangat bergantung kepada pendapatan pajak. Bila pajak tidak mencapai target, maka peluang pembangunan semakin mengecil. Ketergantungan terhadap pajak melonjak, terutama sejak APBNP 2015, dari 76,94% dalam APBN 2015 menjadi 84,54% dalam APBNP 2015. Persentase tersebut naik-turun sekitar 1% dalam APBN 2016, APBNP 2016, dan APBN 2017.

(44)

Akan tetapi, anggaran kementerian ini sangat kecil dan terus mengalami penurunan alokasi. Pada tahun 2015, Kementerian Ketenagakerjaan mendapatkan alokasi sebesar 5,25 triliun rupiah (0,26% dari APBN 2015), turun menjadi 3,8 triliun rupiah (0,18% dari APBN 2016), dan turun lagi menjadi 3,46 triliun rupiah (0,17% dari APBN 2017). Anggaran tersebut untuk memenuhi berbagai kebutuhan ketenagakerjaan di Indonesia. Ada 8-10 program utama yang menjadi prioritas Kementerian Ketenagakerjaan.

16. Penganggaran Kementerian Ketenagakerjaan belum menunjukkan adanya prioritas program sebagai cara intervensi negara (kementerian) terhadap masalah ketenagakerjaan, termasuk kebutuhan meningkatkan kompetensi tenaga kerja. Nomenklatur masih sangat umum dan tidak mencerminkan masalah ketenagakerjaan dan program (beserta dana) untuk menjawab masalah tersebut.

17. Anggaran untuk ketenagakerjaan jauh dibawah anggaran untuk pencapaian akses pendidikan formal. Tahun 2015, anggaran pendidikan sebesar 409,131 triliun rupiah. Anggaran tersebut dialokasikan untuk dana transfer daerah, Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementerian Ristek dan Dikti, dan beberapa kementerian/lembaga lainnya. Khusus untuk kementerian/lembaga lainnya sebesar 8,48 triliun rupiah. Bila dikurangkan dengan alokasi untuk kementerian/lembaga lainnya, maka ada dana sebanyak kurang lebih 400,651 triliun rupiah yang dialokasikan untuk pencapaian akses pendidikan dari tingkat SD/MI sampai perguruan tinggi.

18. Pada tahun 2015-2019, Kementerian Ketenagakerjaan memiliki dua agenda besar, yaitu, a) Perlindungan hak dan keselamatan pekerja migran; dan b) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional yang dilakukan melalui peningkatan daya saing tenaga kerja. Ada dua sasaran utama pembangunan ketenagakerjaan, yaitu, a) Tingkat pengangguran terbuka diperkirakan antara 4,0% – 5,0% pada tahun 2019; dan b) Memfasilitasi penciptaan kesempatan kerja sebesar 10 juta selama liam tahun. Akan tetapi, beberapa sasaran utama pembangunan ketenagakerjaan tersebut tampak diragukan dapat tercapai.

19. Rencana Strategis Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2015-2019 memang merencanakan penganggaran kementerian dengan jumlah alokasi yang sangat rendah. Rendahnya alokasi dana yang dirancang oleh Kementerian Ketenagakerjaan mengakibatkan langkah kementerian menjadi sangat terhambat. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan belum memiliki cita-cita besar untuk mengatasi berbagai hal yang terkait dengan ketenagakerjaan di Indonesia.

(45)

Kesimpulan dan Rekomendasi

Rekomendasi Untuk:

A. Kementerian Ketenagakerjaan

1. Agenda Tahun 2017

a. Melakukan assessment untuk membuat roadmap menguatkan kompetensi tenaga kerja di Indonesia. Hasilnya adalah langkah-langkah intervensi program pelatihan atau keterampilan untuk tenaga kerja dengan menyesuaikan tingkat pendidikan terakhir, prioritas setiap tahun, anggaran dana yang diperlukan, dan cara kerjasama yang mungkin dibangun sesama kementerian/lembaga dan dengan pihak swasta (korporasi). Assessment ini harus selesai maksimal bulan Agustus 2017 sehingga dapat dimasukkan untuk penganggaran APBN 2018.

b. Bekerjasama dengan Direktorat SMK melakukan assessment tentang kebutuhan peningkatan kompetensi para siswa SMK, mengetahui profil ketenagakerjaan setiap daerah lokasi SMK, peluang ketenagakerjaan, peluang menjadi wirausaha, jenis keterampilan yang dibutuhkan, berapa dana yang dibutuhkan, dan bagaimana melakukan bagi pekerjaan antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan perusahaan. Perusahaan berguna menjadi mitra untuk menghitung jenis pekerjaan dan keahlian yang dibutuhkan pasar, bersama membangun digitalisasi, dan menerima magang (internship).

c. Assessment terhadap Balai Latihan Kerja (BLK) di semua daerah di Indonesia. Kondisi eksisting mereka harus dipetakan lebih jelas, terkait dengan sarana-prasarana, kompetensi SDM yang tersedia, rencana mereka untuk 3-5 tahun ke depan, prediksi peluang kerja yang diciptakan, dan anggaran dana yang dibutuhkan.

d. Mendorong agar ketenagakerjaan menjadi perbincangan publik, dan tidak semata tentang upah buruh formal. Kementerian harus mendorong alokasi dana untuk mainstreaming isu ketenagakerjaan, dan mendorong berbagai riset untuk masuk ke isu ketenagakerjaan, termasuk dalam hal menghadapi tantangan Industri 4.0. e. Kementerian Ketenagakerjaan perlu melakukan revisi terhadap Rencana Strategis

Kementerian Ketenagakerjaan. Kementerian harus menghitung kebutuhan untuk menangani berbagai kebutuhan dan tantangan ketenagakerjaan di Indonesia, setidaknya sampai tahun 2019.

2. Agenda Tahun 2018

a. Intervensi program penguatan kompetensi tenaga kerja berupa pelatihan keterampilan kepada 60% tenaga kerja dengan pendidikan SMP ke bawah. Sebagian besar mereka adalah para wiraswasta, bukan karyawan gajian karena tidak memenuhi persyaratan administrasi lulusan sekolah. Hal yang diperlukan wiraswasta adalah tambahan keterampilan yang akan menambah nilai produksi, informasi dan peluang pasar, pengemasan hasil produksi, dan peluang tambahan modal untuk ekspansi

Referensi

Dokumen terkait

Disamping itu, sekolah dapat melahirkan para pelajar yang celik IT, serta pelajar akan lebih berfikiran global dengan segala informasi yang diberikan dalam majalah web bagi

Fungsi dari perhitungan ketepatan peramalan adalah untuk membandingkan ketepatan dua atau lebih metode yang berbeda, sebagai alat ukur apakah teknik yang diambil

Dalam hal terdapat perbedaan data antara DIPA Petikan dengan database RKA-K/L-DIPA Kementerian Keuangan maka yang berlaku adalah data yang terdapat di dalam database

WAHAB

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengendalian Internal terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui penerapan Peraturan Pemerintah No. Landasan utama

003 Tanjung Batu Kecil Karimun Maryam... 008

dan Arus) dengan Hasil Tangkapan lkan Pelagis Kecil di Perairan Selat Sunda. Dibaw<ah bimbingan Dr. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendiskripsikan kondisi oseanografi

Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan SAP berbasis akrual secara bertahap pada Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun