• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan dan Relevansi Terkait dengan Isu-isu

Dalam dokumen Edited tugas uts Filsafat dan Metodologi (Halaman 56-66)

Critical Theory (Teori Kritis) bisa dikatakan sebagai teori baru dalam Hubungan Internasional. Critical Theory awalnya bukan berasal dari perspektif Hubungan Internasional, tetapi berasal dari ilmu sosial (sosiologi) yang berakar dari pemikiran Marxis. Critical Theory diawali dengan berkembangnya Frankfurt School of thought pada tahun 1920an-1930an. Tokoh – tokoh yang terkenal adalah Jurgens Habermas dan Gramsci, namun yang paling berpengaruh sebenarnya adalah Habermas. Pemikir teori – teori kritis seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Herbert Marcuse lah yang menginspirasi kritik Habermas. Habermas menekankan pada sebuah kebutuhan masyarakat mengenai “teori kebenaran” di dalam dunia yang bersifat emansipasi (bebas) di segala kepentingan manusia. Ia berasumsi bahwa apa yang “benar” adalah apa yang dianggap dan disepakati benar oleh masyarakat. Teori kritis berusaha untuk membuka pemikiran baru dengan cara membandingkan atau mengkritik dengan cara pandang yang berbeda.

Menanggapi hal ini, Robert Cox menyetujui bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dan kepentingan yang menekankan bahwa sebuah teori memang harus diuji kebenarannya. Cox ini sendiri membedakan “teori” berdasarkan dasar tujuannya. Pendasaran ini terbagi menjadi dua, yang pertama adlaah “Problem solving theory” dimana Cox mengatakan bahwa teori ini digunakan untuk memecahkan suatu masalah yang kontekstual. Yang kedua adalah “Critical Theory” yang digunakan untuk mencari asumsi dasar dari teori

dan proses perumusan teori. Menurut Cox, Critical theory itu mempertanyakan adanya peraturan dunia yang dominan dengan menggunakan reflektifitas dari aturan tersebut. Menurutnya, sejarah adalah sebuah perubahan yang terjadi secara berkala atau terus – menerus dan Critical Theory disini mencoba untuk menemukan elemen apa yang secara universal bisa digunakan dalam aturan – aturan dunia.

Critical Theory ini sudah masuk dalam ranah Hubungan Internasional sejak tahun 1980an. Berkembang dan berakar dari pemikiran Marx yang berdasarkan pada emansipatoris atau pembebasan. Teori ini yang sebelumnya bukan merupakan teori yang berasal dari Hubungan Internasional dan lama kelamaan mulai dijadikan salah satu teori penting dalam Hubungan Internasional. Hal ini dikarenakan Critical Theory berani untuk mencari tahu penyebab dari gagalnya teori – teori sebelumnya dalam praktik kehidupan dunia nyata. Dalam bidang ilmu filsafat, critical theory ini dibagi menjadi dua, yang pertama adalah segala pemikiran yang mengedepankan pada emansipatoris seperti feminisme, post –kolonial dan Critical Theory menurut Frankfurt School, dengan tokohnya yang terkenal seperti Habermas dan Gramsci. Habermas lambat laun menghilangkan budaya Marxis (Cris Brown 1994) kemudian timbul pemikir – pemikir yang epistemologis, ontologis, dan aksiologis seperti Richard Ashley, Robert Cox, Andrew Linklater, dan Mark Hoffman.

Critical Theory menempatkan masyarakat sebagai objek utamanya dan memfokuskan emansipasi dalam hubungan sosial dan hal ini dipengaruhi oleh

pemikiran Marxis yang mengatakan bahwa sifat manusia ditentukan oleh kondisi sosial pada waktu itu. Critical Theory berasumsi bahwa prosesnya dipengaruhi oleh nilai, ideologi dan kondisi sosialnya yang sekaligus mempengaruhi manusia dalam melakukan kepentingan – kepentingan sosialnya. kemudian, hal ini dikritik sebagai revolusi Behavioralisme yang terjadi tahun 1960-70an yang terjadi dalam Hubungan Internasional. Critical Theory menekankan bahwa ilmu sosial termasuk Hubungan Internasional diperlakukan sama seperti sains sehingga perilaku dalam ilmu sosial itu sendiri dapat diprediksi. Critical Theory mengesampingkan perbedaan seperti adanya ras, gender, etnis, dan lain-lain pada manusia untuk berbagi kepentingan untuk mencapai suatu kebebasan atau emansipasi.

Untuk memahami dan mempelajari fenomena hubungan internasional yang rumit dan kompleks, kita perlu memfokuskan studi kita pada tingkat-tingkat analisa (level of analysis), yakni pada level faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena hubungan internasional. Istilah level of analysis diperkenalkan pada studi Hubungan Internasional oleh J. David Singer ketika ia mereview tulisan KN Waltz tentang perang bulan April 1960.1

Tingkat analisis individu berfokus pada aktor manusia di panggung dunia. Pendekatan ini dimulai dengan mengidentifikasi karakteristik proses kompleks pengambilan keputusan manusia yang meliputi pengumpulan informasi, menganalisis informasi tersebut, menetapkan tujuan, merenungkan pilihan, dan membuat pilihan-pilihan kebijakan. Disini ada satu contoh kasus yang terkait mengenai Critical Theory yang menyangkut terhadap level of analysis individu.

Millenium Development Goals dan Kapitalisme, analisis dengan Critical Theory dan Level of Analysis Individu

Dalam artikel yang dimuat oleh vivanews.com dengan judul ”Ahmadinejad: Kapitalisme di Ambang Kekalahan, Perang retorika: Pemimpin Iran dan Jerman terjadi saat mereka mendapat giliran berpidato” berisi tentang 2 pidato pemimpin negara yang saling menimpali mengenai kapitalisme, hal itu terjadi pada forum PBB di New York yang membicarakan tentang Millenium Development Goals (MDGs)2.

Pada saat sidang tahunan PBB di New York, Amerika Serikat, yang membahas tentang Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dan bagaimana program itu mengangkat banyak negara dari kemiskinan, wabah penyakit, dan kesenjangan sosial, tiap-tiap pemimpin negara diberi kesempatan berpidato mengenai perkembangan MDGs di negaranya masing-masing. Ketika Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran, berpidato, dia tidak menyebutkan bagaimana perkembangan MDGs di negaranya, melainkan Presiden Ahmadinejad justru memanfaatkan forum tersebut untuk mengkritik kapitalime dan tata pemerintahan global yang selama ini tidak demokratis dan tidak adil.

Kemudian Merkel, Perdana Menteri Jerman, menimpali pidato Ahmadinejad. Merkel cenderung berbicara dengan mewakili dunia kapitalis yang menekankan bahwa tanggung jawab utama bagi pembangunan berada di pundak

pemerintah negara-negara berkembang. Menurutnya, pemerintahan yang baik dan ekonomi kapitalis yang tumbuh subur merupakan kunci bagi kemakmuran ekonomi.

Tindakan rasional komunikatif atau moral praktis seperti yang dijelaskan Habermas dalam Critical Theory dapat menarik bentuk-bentuk pemikiran moral-praktis dalam kehidupan sosial. Seperti yang dilakukan oleh dua pemimpin negara, yaitu Presiden Iran dengan Konselir Jerman mengenai pro kontra kapitalisme, melalui pidato mereka yang saling menimpali, memberikan sebuah pandangan baru kepada masyarakat internasional. Sebagai individu-individu, pandangan mereka sangat berseberangan dalam melihat perekonomian kapitalis ini.

Dalam melihat perpolitikan dunia, para penganut Marxisme mengembangkan penafsiran mereka sesuai dengan perkembangan zaman. Diantara berbagai teori yang dikembangkan tersebut salah satunya adalah Critical Theory. Critical Theory sendiri muncul sekitar tahun 1973 yang dikembangkan oleh Frankfrut School, merupakan institusi yang didirikan oleh sekelompok intelektual Marxism di Jerman tahun 1923. Jadi Critical Theory merupakan teori yang dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran kaum Marxism secara langsung maupun tidak langsung atau cabang dari Marxism. Teori kritis ini memiliki keterkaitan yang erat dengan Ekonomi Politik Internasional Marxis.3

Habermas tidak memerlukan pembedaan ciptaan Marx antara kekuatan dan hubungan produksi dan beralih ke pembedaan antara rasionalitas

instrumental-kognitif dan rasionalitas komunikatif. Dasar pembedaan yang dilakukan oleh habermas terletak pada bagaimana ilmu pengetahuan diartikan sebagai tindakan, yang mengarah kembali, dalam banyak hal, ke pembedaan awal Habermas antara kepentingan teknis dan praktis.4

Berdasar latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, mengenai isu terkait kapitalisme dan MDGs. Pada forum PBB yang membahas tentang kelanjutan tujuan dari MDGs, Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, justru menggunakan forum tersebut untuk mengkritik kapitalisme dan tatanan pemerintahan global yang selama ini tidak demokratis dan tidak adil. “Kini tatanan kapitalisme dan pendekatan hegemoni yang diskriminatif berada di ambang kekalahan,” kata Ahmadinejad. Maka, dia mengusulkan agar PBB menyebut sepuluh tahun ke depan sebagai dekade bagi pemerintahan global bersama.

Menurut pendapat penulis, Ahmadinejad menggunakan forum tersebut untuk mengkritik kapitalisme karena forum tersebut dianggap tepat. Forum yang dihadiri oleh sekitar 140 pemimpin negara-negara yang turut andil dalam program MDGs tersebut, dianggap cocok untuk mengungkapkan mengenai masalah kapitalisme. Karena dalam forum tersebut tidak hanya membahas mengenai target yag harus dicapai MDGs pada tahun 2015, tapi juga membahas tentang bagaimana cara mewujudkannya.

Mengingat latar belakang diadakannya program MDGs adalah karena adanya negara-negara miskin di dunia yang didalamnya terdapat masalah-masalah

4 Burchill, Scott dan Andrew Linklater.“Teri-Teori Hubungan Internasional”. Bandung:Nusamedia. 2009.Hlm 218

kelaparan yang berkepanjangan, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad menuding kapitalisme global sebagai penyebab dari berbagai persoalan dunia ketiga. Dia memprediksikan jatuhnya kapitalisme, sekaligus menuding para pelaku utama bisnis tingkat global bertanggungjawab bagi penderitaan banyak orang di muka bumi.

Apa yang dikatakan oleh Ahmadinejad memang tidak dapat dipungkiri. Isu tersebut jika dianalisis dengan Critical Theory, menurut Habermas dalam Critical Theory, komunikatif atau moral-praktis yaitu adalah sikap komunikatif yang berkaitan dengan pemahaman bersama. Kritikannya terhadap kapitalis memang berkitan dengan diberlakukannya program MDGs. Rekosntrsuksi materialisme Habermas dalam hal ini adalah melalui paradigma bahasa.

Dilihat melalui level of analisis individu dalam Critical Theory, Ahmadinejad menggunakan bahasa untuk merekonstruksi perubahan, yaitu dominasinya sistem kapitalis saat ini. Kesimpulannya, Ahmadinejad ingin menyatakan bahwa selama sistem ekonomi kapitalis masih mendominasi, maka tatanan dunia akan tetap seperti ini meskipun upaya besar seperti MDGs digalakkan.

Dalam dua puluh tahun terakhir, suara-suara dari NGO semakin didengar dalam resolusi bagi isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Advokasi hak asasi manusia, aktivis gender, developmentalis, dan kelompok-kelompok pribumi dan representatif kepentingan lain menjadi sangat aktif dalam politik yang dikira hanya berlaku untuk actor negara. Banyak faktor yang menjadi penyebab meningkatnya peran NGO seperti berkembangnya teknologi informasi

dan bergesernya ideology dari prinsip-prinsip liberal ke yang lebih radikal dan berdampak pada perubahan hubungan antara organisasi internasional dengan NGO. Dengan menggunakan Critical Theory, kita dapat melihat sebuah unit level kelompok berupa NGO, dalam signifikansi interaksinya dengan organisasi internasional, yang berpotensi dapat menjadi global governance.

Robert W. Cox, berpendapat , “theory is always for someone and for some purpose… all theories have a per-spective (and) perspectives derive from a position in time and space, specifically social and political times and space. Theories are reflecting social and political time and space and when and where the theory was invented. No theory has permanent truth beyond time and space.”

Dengan ini ia menekankan bahwa teori politik tidak bisa dipisahkan dengan konteks sejarah yang mengelilingi teori tersebut. Maksudnya adalah teori yang lama tersebut pasti memiliki latar belakang ideologi masing-masing, sehingga butuh seperangkat teori untuk memecahkan masalah sesuai dengan parameter dari masalahnya. Critical Theory melingkupi semua teori itu, namun menampungnya dalam bentuk ideology yang terindentifikasi. Dunia membutuhkan kerangka pemikiran yang mengupas power relations dan hubungannya dengan sosial dan institusi yang ada lebih kritis dengan mempertanyakan akan bagaimana hal-hal tersebut dalam proses perubahan. Tujuan umumnya adalah untuk memahami proses perubahan komponen tersebut.

Sebelum masuk ke pembahasan, karakteristik NGO harus jelas terlebih dahulu. Menurut Gordenker dan Weiss, secara garis besar NGO adalah organisasi formal yang privat, non profit, self-governing, dan transnasional. Ditambah

dengan karakteristik tambahan yaitu bertujuan normatif. Dengan pandangan bahwa pergerakan sosial biasanya anti dengan sistem, maka NGO yang didefinisikan disini adalah yang memiliki perbedaan dengan organisasi-organisasi sistem yang sudah ada.

Contoh yang akan diambil adalah interaksi unit kelompok yaitu NGO, terkait signifikansinya dengan organisasi ekonomi internasional yaitu Bank Dunia yang berpotensi menjadi global governance. Kontak NGO dengan Bank dunia semakin ekstensif dalam dua puluh tahun terakhir. Ia berhubungan dengan NGO melalui kolaborasi operasional, penelitian, dan dialog kebijakan. Dialog tersebut telah diadakan secara formal melalui NGO-World Bank Committee yang berdiri tahun 1982. Terdapat juga diskusi untuk mengembangkan fasilitas untuk membantu membangun kapasitas NGO. Dalam isu lingkungan, NGO juga banyak mendapat bantuan dari Bank Dunia untuk bisa memberikan pinjaman bagi proyek lingkungannya. Banyak proyek yang sukses hasil kolaborasi NGO dengan Bank Dunia. Hal ini bisa terjadi karena NGO (kebanyakan lokal) dengan Bank Dunia memiliki visi yang sama yaitu pembangunan.

Lalu bagaimana global governance dapat tercipta dari hasil interaksi tersebut? Mengacu pada Critical Theory, kondisi yang harus didapat untuk mencapai hal tersebut adalah demokratisasi bottom-up multilateralisme, memperkuat permintaan masyarakat, dan memperbesar suara dari global civil society. Dapat dilihat bagaimana signifikansi NGO ditambah dengan keterbukaan organisasi ekonomi internasional memunculkan potensi tersebut.

Level of Analysis: Negara- Relevansi Critical Theory dalam level

Dalam dokumen Edited tugas uts Filsafat dan Metodologi (Halaman 56-66)

Dokumen terkait