• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam dokumen LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN FUNDAMENTAL (Halaman 31-48)

Mempertimbangkan kenyamanan termal dalam setiap disain merupakan hal yang sangat penting bagi seorang arsitek untuk kenyamanan dan kesehatan penghuni bangunan. Indonesia mengembangkan standar kenyamanan termal (SNI 03-6572-2001) mengacu pada standara ASHRAE. Penelitian ini mengevaluasi tingkat kenyamanan termal ruangan dengan sistem ventilasi alami untuk mengetahui tingkat kenetralan, keterterimaan, dan preferensi kondisi termal responden bangunan. Hasil penelitian ini dibandingan dengan standar dan model kenyamanan termal yang ada. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penyimpangan yang terjadi pada model PMV ketika diterapkan pada bangunan dengan sistemventilasi alami dimana kondisi nyamanan aktual diperoleh pada suhu ruang 27,9 C, sementara PMV memprediksi pada suhu 24,1 C. Hal ini juga ditunjukkan oleh standar SNI yang ada yang menetapkan suhu nyaman lebih rendah dibandingkan dengan suhu aktual.

DAFTAR PUSTAKA

1. ANSI/ASHRAE55, (2004), ASHRAE Standard Thermal Environmental Conditions for Human Occupancy, American Society of Heating, Refrigerating and Airconditioning Engineers Inc, Atlanta, USA.

2. ASHRAE (2009), Handbook fundamentals. Atlanta: American Society of Heating, Refrigerating and Air-Conditioning Engineers (Chapter 9), CD edisi 2009.

3. Auliciems, A, (1981), towards a psychophysiological model of thermal perception, International Journal of Biometeorology 25, 109–122.

4. Brager, G.S., de Dear, R.J., (1998), Thermal adaptation in the built environment: a literature review, Energy and Buildings 27 (1) 83–96.

5. Brager, G.S., Paliage, G., de Dear, R.J., (2004), Operable windows, personal control, and occupant comfort, ASHRAE Transactions 110, 17–31.

6. Dear, R. J. D., & Brager, G. S. (2002). Thermal comfort in naturally ventilated buildings : revisions to ASHRAE Standard 55. Energy and Buildings, 34, 549–561. 7. Fanger. P.O., (1970), Thermal comfort, McGraw-Hill, New York.

8. Feriadi, H., Wong, N. H., Chandra, S., & Cheong, K. W. (2003). Adaptive behaviour and thermal comfort in Singapore’s naturally ventilated housing. Building Research & Information, 31(1), 13–23.

9. Feriadi, H., Wong, N.H., (2004), Thermal comfort for naturally ventilated houses in Indonesia, Energy and Building, 36: 614-626.

10. Humphreys, M. A., Rijal, H. B., & Nicol, J. F. (2013). Updating the adaptive relation between climate and comfort indoors ; new insights and an extended database q. Building and Environment, 63, 40–55. doi:10.1016/j.buildenv.2013.01.024

11. ISO7730, 2005, Moderate Thermal Environments—Determination of the PMV and PPD Indices and Specification of the Conditions for Thermal Comfort, International Standards Organization, Geneva.

12. Karyono, T.H., (1995), Thermal Comfort for the Indonesian Workers in Jakarta, Journal: Building Research Information, vol 23 Nov 1995

13. Karyono, T.H., (2000), Report on thermal comfort and building energy studies in Jakarta Indonesia, Building and Environment, Vol. 35: 77-90.

14. Munir, A., Sofyan, Muslimsyah. (2009), A determination of neutral temperature in air conditioned room on the basis of physiological and psychological responses of the human body in low activity. Proceeding International Seminar CONVEESH & SENVAR 10th, Manado, Indonesia.

15. Munir, A., Sofyan, Muslimsyah. (2011), Thermal Comfort In Naturally Ventilated and Air Conditioned Room: A Comparison between PMV and Actual Vote. Proceeding International Seminar SENVAR 12th, Malang, Indonesia.

16. Nicol, F. (2004). Adaptive thermal comfort standards in the hot–humid tropics. Energy and Buildings, 36(7), 628–637.

17. Nicol, J.F., Humphreys, M.A., (2002), Adaptive thermal comfort and sustainable thermal standards for buildings, Energy and Buildings 34 (6), 563–572.

18. Parsons, K.C., 2003, Human Thermal Environments: The Effects of Hot, Moderate, and Cold Environments on Human Health, Comfort and Performance, 2nd edition, Taylor & Francis.

19. SNI 03-6572-2001 (2001), Tata Cara Perancangan Sistem Ventilasi dan Pengkondisian Udara, Badan Standardisasi Nasional (BSN).

20. Soegijanto, RM, (1998), Bangunan di Indonesia Dengan Iklim Tropis Panas Lembab Ditinjau Dari Aspek Fisika Bangunan; Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Lampiran 1. Susunan Organisasi Tim Peneliti No Nama/NIDN Instansi

Asal

Bidang Ilmu Alokasi Waktu

Uraian Tugas

1 Ir. Muslimsyah, M.Sc/

0020036602

UNSYIAH Arsitektur 15 - Koordinator Penelitian - Studi Pustaka - Desain Penelitian - Analisis data hasil - Pengisisan log book - Penulisan artikel - Laporan akhir - Mengikuti seminar 2 Sofyan, ST.MT/

0007127101

UNSYIAH Arsitektur 12 - Penyiapan alat penelitian - Pengadaan bahan-bahan penelitian - Mengkoordinir Survey Lapangan - Pengumpulan data - Pengolahan data - Pengelolaan data base

penelitian - Laporan perkembangan 3 Dr. Abdul Munir, ST.MT/ 008077201

UNSYIAH Arsitektur 10 - Penyiapan alat penelitian - Pengadaan bahan-bahan penelitian - Pengumpulan data - Pengolahan data - Laporan perkembangan

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan peralatan:

Midi Graphtec GL-800

InfraRed Camera

Pelaksanaan Penelitian:

DRAF ARTIKEL JURNAL ILMIAH

PENGEMBANGAN MODEL STANDAR KENYAMANAN TERMAL ADAPTIF UNTUK MEMPREDIKSI KENYAMANAN TERMAL PADA BANGUNAN

BERVENTILASI ALAMI DI INDONESIA

Muslimsyah1), Abdul Munir2) , Sofyan3) 1 Fakultas Teknik,Universitas Syiah Kuala

email: imuslimsyah@gmail.com

2 Fakultas Teknik,Universitas Syiah Kuala email: munirsyadi@unsyiah.ac.id

3 Fakultas Teknik,Universitas Syiah Kuala email: sonyan712@gmail.com

Abstract

Mempertimbangkan kenyamanan termal dalam setiap disain merupakan hal yang sangat penting bagi seorang arsitek untuk kenyamanan dan kesehatan penghuni bangunan. Indonesia mengembangkan standar kenyamanan termal (SNI 03-6572-2001) mengacu pada standara ASHRAE. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi tingkat kenyamanan termal ruangan dengan sistem ventilasi alami untuk mengetahui tingkat kenetralan, keterterimaan, dan preferensi kondisi termal bangunan. Hasil penelitian ini dibandingan dengan standar dan model kenyamanan termal yang ada. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penyimpangan yang terjadi pada model PMV ketika diterapkan pada bangunan dengan sistemventilasi alami dimana kondisi nyamanan aktual diperoleh pada suhu ruang 27,9 C, sementara PMV memprediksi pada suhu 24,1 C. Hal ini juga ditunjjukan oleh standar SNI yang ada yang menetapkan suhu nyaman lebih rendah dibandingkan dengan suhu aktual.

Keywords: kenyamanan termal, ventilasi alami, PMV, SNI, sensasi termal

PENDAHULUAN

Mempertimbangkan kenyamanan termal merupakan hal yang penting bagi arsitek untuk mendisain bangunan yang nyaman dan sehat bagi penghuni, disamping sebagi upaya penghe Estimasi yang baimatan penggunaan energy. Kenyamanan termal didefinisikan “kondisi perasaan yang mengekspresikan kepuasan terhadap lingkungan termal”

(ASHRAE, 2009). Metode untuk

mempredikasi tingkat kenyamanan termal, saat ini berkembang dua pendekatan, yakni statik dan adaptif.

Pendekatan statik dikembangkan dengan mengacu pada hasil penelitian sensasi termal responden dalam ruang iklim (climatic chamber) oleh Fanger pada era tahun 1970-an (Fanger, 1970) yang kemudian menjadi

standar kenyamanan termal dalam ASHRAE Standard 55 dan ISO 7730 dengan indeks Predicted Mean Vote (PMV) dan Predicted Percentage Dissatisfied (PPD). Indeks kenyamanan termal model statik lainnya adalah ET* (effective temperature), SET* (standard effective temperature), DISC (discomfort), TSENS (thermal sensation), dan HSI (heat stress index) (ASHRAE, 2009).

Tidak seperti pendekatan statis yang menggunakan permodelan dengan prinsip keseimbangan termal, pendekatan adaptif menggunakan responden penghuni bangunan dalam kondisi riil. Penelitian kenyamanan termal adaptif adalah upaya untuk mengetahui kenetralan termal (thermal neutrality), keterterimaan termal (thermal acceptability), dan preferensi termal (thermal preference)

serta kajian perilaku adaptif penghuni untuk memperoleh kenyamanan termal. PMV tidak dapat mempertimbangkan interaksi yang kompleks antara manusia dengan lingkungan. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa PMV tidak dapat memprediksi secara akurat kondisi kenyamanan pada bangunan berventilasi alami (de Dear, 1991; Feriadi, 2003, Nicol, 2004; Wong, 2002; Munir, 2009; Munir ,2011).

Humphreys (1976) dan Aulciems (1981), dan de Dear (1997) mengembangkan model kenyamanan termal adaptif (Adaptive Comfort Standard, ACS) sebagai alternatif untuk mengatasi keterbataasan model PMV (Humphreys, 2013). Model ACS diperlukan untuk menggambarkan tingkat kenyamanan termal secara menyeluruh dengan mempertimbangkan dalam konteks lokal iklim tropis. Disamping indeks PMV-PPD,

ASHRAE Standard 55-2004 mulai

memperkenalkan ACS sebagai model pendekatan adaptif yang lebih tepat digunakan untuk bangunan tanpa sistem pengkondisian udara (AC), free-running building (FR). Dalam pengembangan standar tersebut, penggunaan data yang berbasis pada daerah tropis lembab, terutama Indonesia, masih terbatas, sehingga standar tersebut masih dapat diperdebatkan untuk aplikasi di Indonesia.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kenetralan, keterterimaan, dan preferensi kondisi termal responden bangunan berventilasi alami dalam rangka pengembangan standar kenyamanan termal

adaptif untuk Indonesia dan

membandingkannya dengan perkiraan menurut standar dan model kenyamanan termal yang ada. Disamping itu, penelitian ini juga dapat memperkaya data dalam penyempurnaan standar kenyamanan termal adaptif internasional seperti yang dikembangkan de Dear (1997, 2002) sebagai ASHRAE Standard 55 dimana data yang disertakan yang mewakili kondisi Indonesia

hanya hasil penelitian Karyono (1995) yang dilakukan di Jakarta.

KAJIAN LITERATUR

Standar Internasional kenyamanan termal dalam ruang dikembangkan Fanger (1970) berdasarkan teori perpindahan panas antara tubuh manusia dengan lingkungan yang dikalibrasi menggunakan hasil penelitian dalam ruang iklim khusus yang terkontrol di laboratorium atau kamar iklim (climatic

chamber). ISO 7730 dan ASHRAE

menggunakan rumus PMV yang

dikembangkan Fanger (1970) utuk memprediksi secara numeris sensai termal penghuni terhadap lingkungan termal. Parameter yang diperhitungkan adalah laju metabolism (M), insulasi pakaiaan (clo) dari subyek, temperature udara (ta) dan temperature radiasi rata-rata (tr) tekanan uap air (pa) dan kecepatan pergerakan udara (v). Namun demikian, banyak penelitian menunjukkan bahwa model tersebut gagal dalam memperediksi sensasi termal pada bangunan yang tidak dikondisikan, free-running building.

Akhir-akhir ini kenyamanan termal adaptif menjadi perhatian peneliti karena permasalahan yang timbul akibat pemakaian energi yang berlebihan untuk kenyamanan termal bangunan. Pendekatan statik identik dengan kebutuhan AC yang berarti kebutuhan energi bangunan gedung yang besar. Menyadari kelemahan pendekatan statik tersebut, ASHRAE telah mempelopori kemungkinan penerapan standar kenyamanan adaptif dengan memasukkannya pada ASHRAE Standard 55 edisi 2004. ISO 7730 tidak menyertakan model adaptif ini, tetapi menyebutkan kemungkinan penerapannya pada bangunan ventilasi alami secara terbatas.

PMV merupakan indeks untuk memprediksi nilai rata-rata sensasi termal yang dipilih oleh sekelompok orang berdasarkan skala 7-titik sensasi termal (Tabel 1) yang dihitung berdasarkan prinsip

keseimbangan panas tubuh manusia. Kondisi keseimbangan termal diperoleh ketika produksi panas internal dalam tubuh sama dengan panas yang hilang ke lingkungan. PPD merupakan indek yang memprediksi orang yang merasa terlalu sejuk atau terlalu hangat sehingga dapat dikategorikan tidak puas dengan kondisi termal. Yang dinyatakan tidak puas adalah orang yang memilih panas, hangat, sejuk, atau dingin pada skala sensasi termal 7-titik berikut.

+ 3 Hot (Panas) + 2 Warm (Hangat)

+ 1 Slightly warm (Agak hangat) 0 Neutral (Netral)

− 1 Slightly cool (Agak sejuk) −2 Cool (Sejuk)

− 3 Cold dingin

SNI yang terkait dengan kenyamanan termal saat ini hanya SNI 03-6572-2001 tentang “Tata Cara Perancangan Sistem Ventilasi dan Pengkondisian Udara”. Rumusan kenyamanan termal dalam SNI tersebut mengacu pada Soegianto (1998) dan ASHRAE (1997). Tingkat kenyamanan termal untuk Indonesia berdasarkan SNI 03-6572-2001 dibagi menjadi berdasarkan suhu efektif sebagai berikut :

Sejuk Nyaman, dengan Suhu Efektif 20.5° C - 22.8° C

Nyaman Optimal, dengan Suhu Efektif 22.8° C - 25.8° C

Hangat Nyaman, dengan Suhu Efektif 25.8° C - 27.1° C

ASHRAE dikembangkankan berdasarkan kenyamanan untuk orang berstandar Eropa dan Amerika. Diperlukan penyesuaian yang signifikan untuk diterapkan untuk orang dengan standar Indonesia. Penelitian ini akan memberi kontribusi terhadap pengembangan standar kenyamanan termal adaptif di Indonesia seperti yang digagas oleh Sujatmiko (2008) dan telah diinisiasi oleh Karyono (1995, 2000) dan Feriadi (2004) yang semuanya melakukan kajian kenyamanan

termal untuk pulau Jawa. Diperlukan banyak penelitian diwilayah lainnya untuk memperkuat upaya terwujudnya SNI tentang kenyamanan termal Indonesia.

METODE PENELITIAN

Subyek penelitian merupakan pengguna ruang kelas yang tidak dikondisikan oleh sistem pongkondisian udara. Ruangan hanya memanfaatkan sistem ventilasi alami sebagai upaya pergantian udara dalam ruang. Responden penelitian ini merupakan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala yang sedang menggunakan ruang kelas. Penelitian ini menggunakan orang sebagai subyek untuk mendapatkan respon/persepsi mereka sebagai pengguna bangunan terhadap kondisi suhu ruang kelas secara psikologi (subjective responses). Respon psikologi diamati dengan sistem voting terhadap sensasi termal yang dirasa oleh subyek selama berlangsungnya penelitian dengan menggunakan skala ASHRAE (+3:panas, +2:hangat, +1:agak hangat, 0:netral, -1:agak sejuk, -2:sejuk, -3:dingin).

Penelitian ini menggunakan orang sebagai subyek untuk mendapatkan respon/persepsi mereka sebagai pengguna bangunan terhadap kondisi suhu ruang kelas baik secara fisiologi (thermophysiological responses) maupun secara psikologi (subjective responses) serta perilaku adaptif sebagai upaya untuk mempertahankan kondisi nyaman. Respon psikologi diamati dengan sistem voting terhadap sensasi termal yang dirasa oleh subyek selama berlangsungnya penelitian dengan menggunakan skala ASHRAE (+3:panas, +2:hangat, +1:agak hangat, 0:netral, -1:agak sejuk, -2:sejuk, -3:dingin).

Peralatan utama dalam penelitian ini adalah instrument pengukur suhu dan parameter lingkungan lainnya yaitu dengan menggunakan thermocouple sensor yang direkam dengan WBGT Heat Stress Monitor dan Graptec data logger. Peralatan lainnya adalah thermorecorder/thermistors untuk

mengukur suhu dan kelembaban dalam dan luar ruangan, anemometer untuk mengukur kecepatan angin, globe thermometer untuk mengukur suhu radiasi, Infared Camera mengukur dan memvisualisai suhu tubuh beberapa subyek dan stopwatch. Disamping itu, data klimatologi dari BMKG juga dikumpulkan untuk merumuskan hubungan antara suhu rata-rata bulanan terhadap kenyamanan termal dalam ruangan.

Pengumpulan data utama dalam penelitian ini adalah dengan metode survey melalui kuesioner terhadap persepsi termal pengguna bangunan terhadap suhu yang sedang dirasakan dan metode eksperiment dalam ruang yang diatur suhunya untuk verifikasi model. Penelitian dilakukan pada ruang-ruang kelas yang berventilasi. Responden merupakan mahasiswa yang sedang melaksanakan proses belajar-mengajar. Pada saat yang bersamaan, parameter-parameter lingkungan baik di dalam maupun di luar ruang kelas juga diukur.

Subyek diminta untuk menjawab tiga kondisi subyektif setiap menit yaitu tentang kondisi sensasi pada kulit secara termal, kondisi yang diinginkan dan kondisi kenyamanan termal dengan menulisnya dalam format yang telah dibuat. Sensasi termal dievaluasi dengan menggunakan skala 7 titik dari ASHRAE (+3 Panas, +2 Hangat, +1 Agak Hangat, 0 Netral, -1 Agak Sejuk, -2 Sejuk, dan -3 Dingin). Kondisi termal yang diinginkan adalah berdasarkan ISO 10551 dengan menjawab pertanyaan: “bagaimana kondisi yang anda inginkan saat ini?” (+1 Lebih Hangat, 0 Tidak Berubah, -1 Lebih Dingin). Untuk kondisi rasa ketidaknyaman dievaluasi dengan mengadopsi skala DISC dari ASHRAE yang terdiri atas 6 titik (0 Nyaman, 1 Agak Tidak Nyaman, 2 Tidak Nyaman, 3 Sangat Tidak Nyaman, 4 Masih bisa ditoleransi, 5 Tidak bisa ditoleransi).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Subyek Penelitian

Tabel 1 Menunjukkankan karakteristik dari semua subject yang terlibat dapam

penelitian ini. Total 518 subject yangterdiri atas 215 laki-laki dan 300 perempuan yang merupakan mahasiswa Fakultas Teknik dari berbagai angkatan terlibat dalam survey ini. Umur dan postur tubuh juga diperlihatkan pada Tabel 1.

Kondisi Termal Ruang

Ruangan yang digunakan merupakan ruang kelas dengan sistem ventilasi alami, tanpa pengkondisisan udara. Kondisi lingkungan dalam ruangan pada saat penelitian ditunjukkan pada Tabel 2 dimana parameter-parameter lingkungan diukur pada saat yang bersamaan dengan survey tingkat kenyamanan termal pengguna ruangan.

Tabel 2. Kondisi termal ruang pada saat pengukuran kenyamanan termal

Sensasi Termal

Respon terhadap kondisi ruangan ruang kelas dengan sistem ventilasi alami berdasarkan sensasi termal terhadap suhu operatif ruangan diperlihatkan pada Gambar 1. Kondisi nyaman secara optimum dapat diasumsikan terjadi ketika responden tidak merasa panas atau dingin dimana responden memilih jawaban netral (0). Dengan persamaan regresi,

Num. Of Subjects: 515 Age (years) Weight (kg) Height (cm) BMI (kg/m2) ADU (m2) CLOTH (clo) Min 17.00 31.00 132.00 12.94 1.07 1.07 Max 26.00 98.00 190.00 33.30 2.17 2.17 Ave 19.02 54.14 162.26 20.46 1.55 0.72 SD 1.54 11.10 8.53 3.25 0.18 0.18 ALL SUBJECTS Survey TA (C) TG (C) RH (%) V (m/s) T_op (C) 1 30.8 30.8 64% 0.05 30.8 2 27.9 28.1 74% 0.05 28.0 3 30.3 30.3 62% 0.07 30.3 4 30.4 30.4 60% 0.45 30.4 5 31.9 32.0 57% 0.41 32.0 6 31.7 31.9 56% 0.21 31.8 7 28.4 28.4 71% 0.11 28.4 8 29.0 29.1 73% 0.11 29.1 9 30.0 30.0 71% 0.15 30.0 10 29.1 29.2 75% 0.23 29.2 11 29.0 29.1 77% 0.41 29.0 12 27.4 27.6 81% 0.23 27.5 13 27.0 27.3 80% 0.14 27.1 14 29.4 29.5 72% 0.16 29.5 15 28.9 29.0 76% 0.22 29.0 16 25.9 26.0 81% 0.12 26.0 17 26.5 26.6 84% 0.18 26.6

hubungan sensasi termal yang dirasakan oleh responden terhadap suhu operatif ruangan pada Gambar 1 menunjukkan bawha secara umum pesponden merasa nyaman optimal ketika suhu ruangan pada 27,9 C. Namun demikian, kondisi kategori nyaman dapat diasumsikan ketika jawaban responden berada antara agak hangat (+1) dan agak sejuk (-1). Dengan definisi ini maka diperoleh rentang kenyaman termal yang dirasakan oleh responden adalah antara 25 – 31 C.

Kenyamanan Termal

Survey ini juga menanyakan secara langsung persepsi pengguna ruang terhadap perasaan nyaman secara termel yang mereka rasakan. Gambar 2 menunjakkan persepsi pengunjung terhadap definisi termal. Pada Gambar 2 tersebut persepsi nyaman pada y-axis menunjukan: (1) sangat nyaman; (2) cukup nyaman; (3) agak nyaman; (4) agak tidak nyaman; (5) cukup tidak nayman; dan (6) sangat tidak nyaman. Sementara x-axis menunjukkan: (+3) Panas, (+2) Hangat, (+1) Agak Hangat, (0) Netral, (-1) Agak Sejuk, (-2) Sejuk, dan (-3) Dingin.

Berdasarkan Gambar 2, kecendrungan responden mempersepsikan kenyamanan termal optimum pada sensasi agak sejuk, bukan pada kondisi neutral. Responden

cendrung menginginkan ruangan

yangdigunakan menjadi lebih sejuk. Hasil ini menunjukkan bahwa kondisi nyaman yang diinginkan oleh responden adalah berada antara sejuk (-2) dan neutral (0). Kondisi agak hangat tidak dipersepsikan sebagai kondisi

nyaman, walaupun kondisi tersebut masih dapat diterima (themal acceptability)

Gambar 2. Persepsi kenyamanan pengguna ruang terhadap sensai termal.

Perbandingan dengan model PMV

Untuk melihat kinerja dari model yang sudah luas digunakan untuk memprediksi tingkat kenyamanan termal ruangan, hasil penelitian ini dibandingkan kengan model Predictive Mean Vote (PMV). Model ini dikembangkan di Eropa dan sudah diadopsi sebagai secara global untuk ISO 7730. Dengan menggunakan data lingkungan yang sama seperti pada actual

vote - yang terdiri atas data suhu udara, suhu

radiasi, kelembaban udara, dan pergerakan udara serta faktor aktifitas dan pakaian yang digunakan (clo-value) – hasil model PMV diplot pada Gambar 1 sehingga menjadi Gambar 3. Nilai PMV yang dihasilkan menunjukkan bahwa PMV memprediksi kondisi nyaman pengguna ruang pada kondisi lebih dingin, dimana nilai senssi termal netral berada pada suhu 24.1 C. Penyimpangan yang terjadi ini menunjukkan bahwa model PMV tidak sesui digunakan untuk ruangan dengan sistem ventilasi alami. Model PMV dibangun berdasarkan data penelitian yang berbasis laboratorium di Eropa dan Amerika, sehingga aplikasinya menjadi bias ketika diterapkan pada bangunan berventilasi alami di daerah tropis.

Gambar 3. Perbandingan hasil penelitian (actual vote) dengan model PMV.

Perbandingan dengan SNI

Tingkat kenyamanan termal berdasarkan SNI dikembangkan mengacu pada ASHRAE. Hal ini dapat terlihat dari nilai suhu nyaman yng ditetapkan lebih rendah dibandingkan dengan kondisi actual vote seperti pada hasil penelitian ini. Seluruh kategori nyaman menurut SNI berada dibawah kondisi nyaman optimum hasil penelitian ini (27,9 C). Kategori menurut SNI: (1) Sejuk Nyaman, dengan Suhu Efektif 20.5° C - 22.8° C (2) Nyaman Optimal, dengan Suhu Efektif 22.8° C - 25.8° C, dan (3) Hangat Nyaman, dengan Suhu Efektif 25.8° C - 27.1° C

.

KESIMPULAN

Mempertimbangkan kenyamanan termal dalam setiap disain merupakan hal yang sangat penting bagi seorang arsitek untuk kenyamanan dan kesehatan penghuni bangunan. Indonesia mengembangkan standar kenyamanan termal (SNI 03-6572-2001) mengacu pada standara ASHRAE. Penelitian ini mengevaluasi tingkat kenyamanan termal ruangan dengan sistem ventilasi alami untuk mengetahui tingkat kenetralan, keterterimaan, dan preferensi kondisi termal responden bangunan. Hasil penelitian ini dibandingan dengan standar dan model kenyamanan termal yang ada. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penyimpangan yang terjadi pada model PMV ketika diterapkan pada bangunan dengan

sistemventilasi alami dimana kondisi nyamanan aktual diperoleh pada suhu ruang 27,9 C, sementara PMV memprediksi pada suhu 24,1 C. Hal ini juga ditunjjukan oleh standar SNI yang ada yang menetapkan suhu nyaman lebih rendah dibandingkan dengan suhu aktual.

REFERENSI

ANSI/ASHRAE55, (2004), ASHRAE

Standard Thermal Environmental Conditions for Human Occupancy,

American Society of Heating, Refrigerating and Airconditioning Engineers Inc, Atlanta, USA.

ASHRAE (2009), Handbook fundamentals.

Atlanta: American Society of Heating, Refrigerating and Air-Conditioning Engineers (Chapter 9), CD edisi 2009.

Auliciems, A, (1981), Towards a psychophysiological model of thermal perception, International Journal of

Biometeorology 25, 109–122.

Brager, G.S., de Dear, R.J., (1998), Thermal adaptation in the built environment: a literature review, Energy and Buildings 27 (1) 83–96.

Brager, G.S., Paliage, G., de Dear, R.J., (2004), Operable windows, personal control, and occupant comfort, ASHRAE

Transactions 110, 17–31.

Dear, R. J. D., & Brager, G. S. (2002). Thermal comfort in naturally ventilated buildings : revisions to ASHRAE Standard 55.

Energy and Buildings, 34, 549–561.

Fanger. P.O., (1970), Thermal comfort, McGraw-Hill, New York.

Feriadi, H., Wong, N. H., Chandra, S., & Cheong, K. W. (2003). Adaptive behaviour and thermal comfort in Singapore’s naturally ventilated housing.

Building Research & Information, 31(1),

13–23.

Feriadi, H., Wong, N.H., (2004), Thermal comfort for naturally ventilated houses in Indonesia,

Humphreys, M. A., Rijal, H. B., & Nicol, J. F. (2013). Updating the adaptive relation between climate and comfort indoors ; new insights and an

extended database q. Building and Environment, 63, 40–55.

doi:10.1016/j.buildenv.2013.01.024 ISO7730, 2005, Moderate Thermal

Environments—Determination of the PMV and PPD Indices and Specification of the Conditions for Thermal Comfort,

International Standards Organization, Geneva.

Karyono, T.H., (1995), Thermal Comfort for the Indonesian Workers in Jakarta,

Journal: Building Research Information,

vol 23 Nov 1995

Karyono, T.H., (2000), Report on thermal comfort and building energy studies in Jakarta Indonesia, Building and Environment, Vol. 35: 77-90.

Munir, A., Sofyan, Muslimsyah. (2009), A determination of neutral temperature in air conditioned room on the basis of physiological and psychological responses of the human body in low activity. Proceeding International Seminar CONVEESH & SENVAR 10th,

Manado, Indonesia.

Munir, A., Sofyan, Muslimsyah. (2011), Thermal Comfort In Naturally Ventilated and Air Conditioned Room: A Comparison between PMV and Actual Vote. Proceeding International Seminar

SENVAR 12th, Malang, Indonesia.

Nicol, F. (2004). Adaptive thermal comfort standards in the hot–humid tropics.

Energy and Buildings, 36(7), 628–637.

Nicol, J.F., Humphreys, M.A., (2002), Adaptive thermal comfort and sustainable thermal standards for buildings, Energy

and Buildings 34 (6), 563–572.

Parsons, K.C., 2003, Human Thermal

Environments: The Effects of Hot, Moderate, and Cold Environments on

Human Health, Comfort and

Performance, 2nd edition, Taylor & Francis.

SNI 03-6572-2001 (2001), Tata Cara

Perancangan Sistem Ventilasi dan

Pengkondisian Udara, Badan

Standardisasi Nasional (BSN).

Soegijanto, RM, (1998), Bangunan di

Indonesia Dengan Iklim Tropis Panas Lembab Ditinjau Dari Aspek Fisika Bangunan; Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam dokumen LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN FUNDAMENTAL (Halaman 31-48)

Dokumen terkait