• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN FUNDAMENTAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN FUNDAMENTAL"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN TAHUNAN

PENELITIAN FUNDAMENTAL

PENGEMBANGAN MODEL STANDAR KENYAMANAN TERMAL ADAPTIF UNTUK MEMPREDIKSI KENYAMANAN TERMAL PADA BANGUNAN

BERVENTILASI ALAMI DI INDONESIA

Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun Ir. Muslimsyah, M.Sc/0028096102 Dr. Abdul Munir, ST.MT/ 0008077201

Sofyan, ST.MT/0007127101

UNIVERSITAS SYIAH KUALA NOVEMBER 2014

(2)
(3)

RINGKASAN

Mempertimbangkan kenyamanan termal dalam setiap disain merupakan hal yang sangat penting bagi seorang arsitek untuk kenyamanan dan kesehatan penghuni bangunan. ISO 7730 ASHRAE Standard 55 merupakan standar internasional untuk kenyamanan termal. Indonesia belum mempunyai standar kenyamanan termal seperti format standar internasional tersebut. Standar kenyamanan Indonesia SNI 03-6572-2001 tentang “Tata Cara Perancangan Sistem Ventilasi dan Pengkondisian Udara”, tetapi tidak dikhususkan sebagai standar kenyamanan termal. Diperlukan standar yang lengkap termasuk untuk bangunan berventilasi alami untuk menjadi acuan dalam mendisain bangunan. Pengembangan standar memerlukan banyak penelitian dari berbagai wilayah di Indonesia untuk memperkuat rumusan standar kenyamanan termal Indonesia, sehingga standar yang dihasilkan dapat diaplikasikan untuk seluruh daerah Indonesia.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kenetralan, keterterimaan, dan preferensi kondisi termal responden bangunan berventilasi alami dalam rangka pengembangan standar kenyamanan termal adaptif untuk Indonesia dan membandingkannya dengan perkiraan menurut standar dan model kenyamanan termal yang ada. Disamping itu, penelitian ini juga dapat menjadi pengayaan data dalam penyempurnaan standar kenyamanan termal adaptif dalam ASHRAE Standard 55 dimana data yang disertakan yang mewakili kondisi Indonesia hanya hasil penelitian Karyono (1995) yang dilakukan di Jakarta. Dengan target dapat dipublikasikan dalam jurnal internasional, data-data hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu acuan untuk pengembangan standar dimasa mendatang.

Penelitian ini akan memfokuskan pada kenyamanan termal pada ruang berventilasi alami dengan pendekatan model adaptif. Penelitian dilakukan melalui survey lapangan dan diverifikasi dengan experiment laboratorium. Pada tahun pertama, penelitian dilaksanakan dengan melakukan survey tingkat kenyaman termal pada ruang kelas berventilasi alami di daerah bersuhu hangat (Banda Aceh). Penelitian ini menggunakan orang sebagai subyek untuk mendapatkan respon/persepsi mereka sebagai pengguna bangunan terhadap kondisi suhu ruang kelas baik secara fisiologi (thermophysiological responses) maupun secara psikologi (subjective responses) serta perilaku adaptif sebagai upaya untuk mempertahankan kondisi nyaman. Respon psikologi diamati dengan sistem voting terhadap sensasi termal yang dirasa oleh subyek selama berlangsungnya penelitian dengan menggunakan skala ASHRAE (+3:panas, +2:hangat, +1:agak hangat, 0:netral, -1:agak sejuk, -2:sejuk, -3:dingin).

Penelitian ini akan memberi kontribusi terhadap pengembangan standar kenyamanan termal Indonesia terutama untuk bangunan dengan ventilasi alami dengan pendekatan adaptif. Diperlukan banyak penelitian dari berbagai daerah di Indonesia untuk memperkuat upaya terwujudnya SNI tentang kenyamanan termal Indonesia. Disamping itu, data dari penelitian ini juga dapat berkontribusi dalam penyempurnaan standar kenyamanan termal adaptif internasional seperti yang dikembangkan ASHRAE Standard 55. Dengan target dapat dipublikasikan dalam jurnal internasional, data-data hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu acuan untuk pengembangan standar internasional dimasa mendatang. Kata kunci: kenyamanan termal, adaptif, ventilasi alami, SNI, sensasi termal

(4)

PRAKATA

Alhamdulillah, penelitian dengan judul “Pengembangan Model Standar Kenyamanan Termal Adaptif untuk Memprediksi Kenyamanan Termal pada Bangunan Berventilasi Alami di Indonesia” telah dapat terlaksana untuk tahap awal sampai pelaporan kemajuan penelitian ini.

Keberhasilan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik material maupun moril. Untuk itu selayaknya kami ucapkan terima kasih kepada:

1. Universitas Syiah Kuala yang telah menyediakan dana melalui Lembaga Penelitian. 2. Dekan Fakultas Teknik Unsyiah yang telah memberikan dorongan untuk berkarya demi

pengembangan karir sebagai tenaga pengajar di lingkungan Arsitektur Unsyiah.

3. Laboratorium Sains Arsitektur yang telah membantu sebagian peralatan yang digunakan dalam penelitian ini.

4. Terima kasih terutama kepada mahasiswa yang telah berpartisipasi secara aktif dalam penelitian ini

5. Teman-teman dosen di lingkungan Jurusan Arsitektur dan Jurusan Teknik dan Fakultas Teknik Unsyiah yang telah membantu memberikan masukan terhadap proses dan hasil penelitian ini.

Penelitian ini belum selesai seluruhnya, mudah-mudahan dalam sisa waktu tahun anggaran ini dapat selesai secara sempurna sehingga dapat diperoleh sail seperti yang telah direncanakan. Akhirnya dengan rasa rendah hati kami bersyukur kepada Allah SWT, karena dengan Rahmat-Nya jua penelitian ini samapai saat ini masih berjalan dengan baik dan sesuai rencana. Kami juga mengakui tidak ada pekerjaan yang sempurna, untuk itu segala masukan dan kritikan positif akan diterima dengan senang hati.

Banda Aceh, 25 November 2014

(5)

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL i HALAMAN PENGESAHAN ii RINGKASAN iii PRAKATA iv DAFTAR ISI v DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN viii BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Standar Kenyamanan Termal ... 3

2.2 PMV-PPD Model ... 3

2.3 Kenyamanan Termal Adaptif ... 4

2.4 Model Kenyamanan Termal Adaptif ... 5

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 8

3.1 Tujuan Penelitian ... 8

3.2 Manfaat Penelitian ... 8

BAB 4. METODE PENELITIAN ... 9

4.1 Diagram Alir Penelitian ... 9

4.2 Waktu dan Tempat ... 9

4.3 Subyek dan Alat Penelitian ... 10

4.4 Pengumpulan data ... 10

4.5 Variabel Penelitian ... 10

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 12

5.1 Karakteristik Subyek Penelitian ... 12

5.2 Kondisi Termal Ruang ... 13

5.3 Sensasi Termal ... 14

5.4 Kenyamanan Termal ... 15

5.5 Thermal Preference... 16

5.6 Keterterimaan Termal ... 18

5.7 Perbandingan dengan model PMV ... 19

5.8 Perbandingan dengan SNI ... 20

5.9 Faktor Gender ... 20

BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ... 22

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN ... 23

(6)

DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Skala sensasi termal tujuh titik (ASHRAE, 2009)

Tabel 5.1. Karakterikstik seluruh responden dan nilai pakaian yang digunakan Tabel 5.2. Karakterikstik responden laki-laki dan nilai pakaian yang digunakan Tabel 5.3. Karakterikstik responden perempuan dan nilai pakaian yang digunakan Tabel 5.4 Kondisi termal ruang pada saat pengukuran kenyamanan termal

(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Temperatur nyaman untuk bangunan berventilasi alami berdasarkan adaptive comfort standard (ACS)

Gambar 4.1 Diagram alir rancangan penelitian

Gambar 4.2. Variabel-variabel penelitian

Gambar 5.1 Grafik karakteristik seluruh responden untuk masing-masing parameter (±SD)

Gambar 5.2 Buble diagram yang menunjukkan persentase jawaban responden terhadap sensasi termal untuk masing-masing suhu ruang serta analisa regresi pengaruh suhu ruang terhadap sensasi termal.

Gambar 5.3 Sensasi termal yang dirasakan responden terhadap kondisi ruang dan hubungannya dengan kondisi yang diinginkan

Gambar 5.4. Persepsi kenyamanan pengguna ruang terhadap sensasi termal.

Gambar 5.5 Hubungan tingkat preferensi responden terhadap suhu operatif ruangan dan regresi linear tingkat preferensi dengan Top.

Gambar 5.6 Hubungan tingkat preferensi responden terhadap sensasi termal dan regresi linear Gambar 5.7 Hubungan tingkat kenyaman responden terhadap preferensi

Gambar 5.8 Keterterimaan termla terhadap suhu operatif ruang Gambar 5.9 Keterterimaan termla terhadap suhu operatif ruang

Gambar 5.10. Perbandingan hasil penelitian (actual vote) dengan model PMV. Gambar 5.11. Perbedaan tingkat pakaian (clo value) antara laki-laki dan perempuan. Gambar 5.12. Perbedaan tingkat pakaian (clo value) antara laki-laki dan perempuan.

(8)

DAFTAR LAMPIRAN - 1. Data Personil Peneliti

- 2. Foto-Foto Pelaksanaan Penelitian - 3. Draft Manuskip Jurnal Ilmiah

(9)

BAB 1. PENDAHULUAN

Mempertimbangkan kenyamanan termal dalam setiap disain merupakan hal yang sangat penting bagi seorang arsitek untuk kenyamanan dan kesehatan penghuni. Estimasi yang baik dalam perancangan tidak hanya dapat menyediakan kenyamanan penghuni, tetapi juga menentukan jumlah konsumsi energi oleh sistem pengkondisian udara. Salah satu konsep nyaman yang sangat penting adalah kenyamanan secara termal karena berpengaruh terhadap kualitas kerja dan istirahat. Kenyamanan termal didefinisikan “kondisi perasaan yang mengekspresikan kepuasan terhadap lingkungan termal” (ASHRAE, 2009). Metode untuk mempredikasi tingkat kenyamanan termal, saat ini berkembang dua pendekatan, yakni statik dan adaptif.

Pendekatan statik dikembangkan dengan mengacu pada hasil penelitian sensasi termal responden dalam ruang iklim (climatic chamber) oleh Fanger pada era tahun 1970-an (Fanger, 1970) yang kemudian menjadi standar kenyamanan termal dalam ASHRAE Standard 55 dan ISO 7730 dengan indeks Predicted Mean Vote (PMV) dan Predicted Percentage Dissatisfied (PPD). Indeks kenyamanan termal model statik lainnya adalah ET* (effective temperature), SET* (standard effective temperature), DISC (discomfort), TSENS (thermal sensation), dan HSI (heat stress index) (ASHRAE, 2009).

Tidak seperti pendekatan statis yang menggunakan permodelan dengan prinsip keseimbangan termal, pendekatan adaptif menggunakan responden penghuni bangunan dalam kondisi riil. Penelitian kenyamanan termal adaptif adalah upaya untuk mengetahui kenetralan termal (thermal neutrality), keterterimaan termal (thermal acceptability), dan preferensi termal (thermal preference) serta kajian perilaku adaptif penghuni untuk memperoleh kenyamanan termal. Model adaptif memposisikan penghuni sebagai subyek yang aktif dalam menciptakan kondisi yang disukai terkait lingkungan termalnya melalui tiga jenis adaptasi, yaitu pengaturan perilaku, penyesuaian fisiologis, dan penyesuaian psikologis (de Dear, 1997 dan 1998). PMV tidak dapat mempertimbangkan interaksi yang kompleks antara manusia dengan lingkungan. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa PMV tidak dapat memprediksi secara akurat kondisi kenyamanan pada bangunan berventilasi alami (de Dear, 1991; Feriadi, 2003, Nicol, 2004; Wong, 2002; Munir, 2009; Munir ,2011).

Humphreys (1976) dan Aulciems (1981), dan de Dear (1997) mengembangkan model kenyamanan termal adaptif (Adaptive Comfort Standard, ACS) sebagai alternatif untuk mengatasi keterbataasan model PMV (Humphreys, 2013). Model ACS diperlukan untuk

(10)

menggambarkan tingkat kenyamanan termal secara menyeluruh dengan mempertimbangkan dalam konteks lokal iklim tropis. Disamping indeks PMV-PPD, ASHRAE Standard 55-2004 mulai memperkenalkan ACS sebagai model pendekatan adaptif yang lebih tepat digunakan untuk bangunan tanpa sistem pengkondisian udara (AC), free-running building (FR). Dalam pengembangan standar tersebut, penggunaan data yang berbasis pada daerah tropis lembab, terutama Indonesia, masih terbatas, sehingga standar tersebut masih dapat diperdebatkan untuk aplikasi di Indonesia. Diperlukan basis data yang cukup mewakili berbagai daerah di Indonesia dengan karakteristik populasi yang beragam. Disamping untuk mengembangkan model kenyamanan termal adaptif untuk Indonesia (iklim tropis lembab), penelitian ini juga dimaksudkan untuk ketersediaan data dalam upaya pengembangan standar kenyamanan termal secara internasonal sehingga diharapkan standar tersebut akan dapat diaplikasikan dengan akurasi yang baik untuk Indonesia.

Indonesia belum mempunyai standar kenyamanan termal seperti format ISO 7730 dan ASHRAE Standard 55. Standar kenyamanan yang ada sekarang hanya SNI 03-6572-2001 tentang “Tata Cara Perancangan Sistem Ventilasi dan Pengkondisian Udara”. Aplikasi standar tersebut masih sangat terbatas untuk dapat digunakan sebagai acuan disain, terutama untuk bangunan dengan system ventilasi alami. Rintisan studi kenyamanan adaptif yang mengacu pada metode penilaian ASHRAE Standard 55 dan ISO 7730 telah dilakukan Karyono (2000) dan Feriadi (2004) masing-masing untuk perkantoran di Jakarta dan perumahan di Yogyakarta. Sujatmiko dkk. (2008) juga telah merintis menuju penentuan standar kenyamanan termal adaptif dengan penelitian pada rumah tinggal berventilasi alami di Bandung, Semarang dan Bekasi. Diperlukan banyak penelitian untuk mengembangkan standar kenyamanan termal untuk menjadi standar Indonesia. Hasil-hasil penelitian terhadap respon penghuni bangunan dari berbagai daerah mutlak diperlukan untuk memperkaya data base sehingga dapat merepresentasikan sebagai standar Indonesia. Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjadi bagian dari pengembangan standar kenyamanan termal Indonesia.

(11)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Standar Kenyamanan Termal

Menciptakan lingkungan yang nyaman secara termal merupakan salah satu parameter paling penting untuk dipertimbangkan dalam disain bangunan. Kenyamanan termal didefinisikan dalam standar ISO 7730 dan ASHRAE (2009) sebagai “kondisi perasaan yang mengekspresikan kepuasan terhadap lingkungan termal”. Kenyamanan termal akan sangat berpengaruh terhadap kinerja seseorang dalam beraktifitas yang berdampak pada efisiensi kerja.

Standar Internasional kenyamanan termal dalam ruang dikembangkan Fanger (1970) berdasarkan teori perpindahan panas antara tubuh manusia dengan lingkungan yang dikalibrasi menggunakan hasil penelitian dalam ruang iklim khusus yang terkontrol di laboratorium atau kamar iklim (climatic chamber). ISO 7730 dan ASHRAE menggunakan rumus PMV yang dikembangkan Fanger (1970) utuk memprediksi secara numeris sensai termal penghuni terhadap lingkungan termal. Parameter yang diperhitungkan adalah laju metabolism (M), insulasi pakaiaan (clo) dari subyek, temperature udara (ta) dan temperature radiasi rata-rata (tr) tekanan uap air (pa) dan kecepatan pergerakan udara (v). Namun demikian, banyak penelitian menunjukkan bahwa model tersebut gagal dalam memperediksi sensasi termal pada bangunan yang tidak dikondisikan, free-running building.

Akhir-akhir ini kenyamanan termal adaptif menjadi perhatian peneliti karena permasalahan yang timbul akibat pemakaian energi yang berlebihan untuk kenyamanan termal bangunan. Pendekatan statik identik dengan kebutuhan AC yang berarti kebutuhan energi bangunan gedung yang besar. Menyadari kelemahan pendekatan statik tersebut, ASHRAE telah mempelopori kemungkinan penerapan standar kenyamanan adaptif dengan memasukkannya pada ASHRAE Standard 55 edisi 2004. ISO 7730 tidak menyertakan model adaptif ini, tetapi menyebutkan kemungkinan penerapannya pada bangunan ventilasi alami secara terbatas.

2.2 PMV-PPD Model

PMV merupakan indeks untuk memprediksi nilai rata-rata sensasi termal yang dipilih oleh sekelompok orang berdasarkan skala 7-titik sensasi termal (Tabel 1) yang dihitung berdasarkan prinsip keseimbangan panas tubuh manusia. Kondisi keseimbangan termal diperoleh ketika produksi panas internal dalam tubuh sama dengan panas yang hilang ke lingkungan. PPD merupakan indek yang memprediksi orang yang merasa terlalu sejuk atau

(12)

terlalu hangat sehingga dapat dikategorikan tidak puas dengan kondisi termal. Yang dinyatakan tidak puas adalah orang yang memilih panas, hangat, sejuk, atau dingin pada skala sensai termal 7-titik seperti terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Skala sensasi termal tujuh titik (ASHRAE, 2009)

+ 3 Hot Panas

+ 2 Warm Hangat

+ 1 Slightly warm Agak hangat

0 Neutral Netral

− 1 Slightly cool Agak sejuk

−2 Cool Sejuk

− 3 Cold dingin

PMV dapat dihitung dengan rumus dibawah ini: = 0,303. exp −0,036. + 0,028 . − − 3,05. 10 . 5733 − 6,99 − − − 0,42 − − 58,15 − 1,7. 10 . . 5867 − − 0,0014. . 34 − ! − 3,96. 10 ". #$% !$%+ 273 &− !̅(+ 273 & − #$%. ℎ$. !$%− ! * (1) !$% = 35,7 − 0,028. − − +$% 3,96 ". #$%. !$%+ 273 &− !̅(+ 273 & + #$%. ℎ$. !$%− ! * (2)

PPD dihitung dengan rumus dibawah ini:

, = 100 − 95. exp −0,033. &− 0,2179. . (3)

Diamana:

PMV = Predicted Mean Vote;

PPD = Predicted Percentage Dissatisfied (%); M = laju metabolisme (W/m2);

W = Kerja mekanis efektif (W/m2);

hc = koefisien perpindahan panas konvektif [W/(m2.°K)];

ta = suhu udara (°C);

tr = suhu radiasi rata-rata (°C); pa = tekanan uap air (Pa);

tcl = suhu permukaan pakaian (°C). fcl = factor luas permukaan pakaian; Icl = insulasi pakaianan (m2.°K/W); 2.3 Kenyamanan Termal Adaptif

Teori kenyamanan termal adaptif pertama kali diusulkan pada tahun 1970-an (Humphreys and Nicol, 1976) yang kemudian diikuti oleh Aulciem (1981) dan de Dear (1997), seperti diuraikan Humphyes (2013). Prinsip dari kenyamanan adaptif adalah ketika terjadi ketidaknyamanan termal orang akan bereaksi cenderung untuk mendapatkan kembali kenyamanan. Keseimbangan termal konvensional berdasarkan teori kenyamanan termal

(13)

difokuskan pada lingkungan yang terkontrol dengan baik mempunyai keterbatasan dalam mengakses lingkungan dimana penghuni bebas untuk beradaptasi (Nicol dan Humphreys, 2002). Konsep kenyamanan termal adaptif memperkenalkan adaptasi termal penghuni terhadap lingkungan yang diklasifikasikan dalam penyesuaian fisiologi, psikologi dan adaptasi prilaku (Brager dan de Dear, 1998).

Adaptasi fisiologi biasanya dipertimbangkan sebagai regulasi termal dari tubuh manusia. Kategori ini dapat dibagi menjadi dua sub kategori, yaitu adaptasi genetik dan aklimatisasi (Brager dan de Dear, 1998). Kategori adaptasi genetic sulit untuk dipelajari dalam teori kenyaman termal adaptif, akan tetapi ketegori aklimatisasi telah dipelajari secara intensif dengan eksperimen, dalam climatic chamber. Vasoconstriction, vasodilation, sweating dan shivering merupakan regulasi umum tubuh manusia dari adaptasi fisiologi dalam meresfon kendisi termal yang ekstrim (Parsons, 2003).

Dibandingkan dengan adaptasi yang lain, adaptasi perilaku merupakan salah satu yang banyak diobservasi dalam lingkungan nyata sehingga dapat dipelajari secara intensif. Adaptasi perilaku termasuk perilaku yang disadari atau tidak disadari yang dilakukan. Adaptasi perilaku dapat dikategorikan dalam tiga sub-kategori, yaitu: personal (misalnya membuka satu item pakaian), teknologi (misal: menghidupkan AC) dan respon secara budaya (Brager dan de Dear, 1998). Adaptasi perilaku dalam upaya mempertahankan kenyamanan termal dilakukan dengan memakai/membuka pakaian, menhidupkan/mematikan kipas angin, mengidupkan/mematikan AC, minum air panas/dingin, dan lain-lain (Brager, et al. 2004; Feriadi, 2004; dan Wong, 2003). Ketersediaan dan keragaman fasilitas kontrol lingkungan mencerminkan sejauh-mana penghuni dapat menyesuaikan kondisi lingkungan termal ruang hunian. Kondisi ini dapat disebut sebagai peluang adaptasi (adaptive opportunities) dan keterbatasan adaptasi (adaptive constrains).

Adaptasi psikologi tidak dapat diobservasi secara langsung. Karakteriktik tak terlihat tidak mudah digambrakan dan dievaluasi. Kehilangan sensitifitas termal dapat terbentuk karena terjadi paparan pada kondisi termal tertentu secara berulang (Auliciems, 1981). Saat ini, masih sedikit studi yang meneliti berapa lama adaptasi psikologi akan terjadi. Hal ini mungkin karena perbedaan ras, kondisi gaya hidup, dan lain-lain yang dapat menyebabkan terjadi penyimpangan keriteria persepsi termal dan proses kognitif.

2.4 Model Kenyamanan Termal Adaptif 2.1.1 Model Adaptif Humphreys

(14)

Humphreys mengkuantitatifkan hubungan antara kenyaman termal dalam ruang dan kondisi iklim yang direpresentasikan oleh lebih dari 200.000 data sensasi termal dari 30 hasil survey. Humphreys mendapatkan rumusan untuk bangunan ventilasi alami dan AC (Humphreys, et al., 2013). Suhu netral yang diinginkan penghuni untuk bangunan yang tidak dikondisikan (ventilasi alami) dan yang dikondisikan (AC) masing-masing adalah:

/0 =11,9 0,534/1 (4)

/0 23,9 0,295 /1 22 . 23 4 5 /1 22 /724√29:.; (5) Dimana:

Tn = temperature netral atau tempertur yang diinginkan untuk kenyamanan (°C), dan To = suhu luar rata-rata bulanan (°C).

2.1.2 Model Adaptif Auliciems

Auliciems (1981) menganalisis data hasil survey tanpa membedakan kedua jenis kondisi bangunan, baik yang dikondisikan maupun yang tidak dikondisikan. Disamping menggunakan suhu luar rata bulanan (To), Auliciems juga menggunakan suhu luar rata-rata (Tm) ketika survey berlangsung. Hubungan suhu netral dan suhu luar yang diperoleh adalah sebagai berikut:

/0 9,2 0,48 /< 0,14 /1 (6)

2.1.3 Model Adaptif ASHRAE

Data base untuk merumuskan konsep kenyamanan termal adaptif ASHRAE dirangkum oleh de Dear et al (1997) yang merupakan hasil observasi di 190 bangunan dari 160 negara, termasuk Indonesia yang secara keseluruhan terdiri atas lebih dari 21.000 data observasi sensasi termal. Data tersebut dikumpulkan untuk proyek penelitian RP-884 ASHRAE untuk mengembangkan sebuah model

adaptif kenyamanan termal. de Dear dan Brager (2002) kemudian menyederhanakan rumusan suhu nyaman dengan variable suhu nyaman (Tcomf) dan suhu luar (Ta,out) seperti pada

Persamaan (8) dan Gambar 1.

Gambar 2.2 Temperatur nyaman untuk bangunan berventilasi alami berdasarkan adaptive comfort standard (ACS)

(15)

/$=>? 0,31/ ,=@A+ 17.8 (8)

2.2 Standar Kenyamanan Termal Indonesia

Tingkat kenyamanan termal untuk Indonesia berdasarkan SNI 03-6572-2001 dibagi menjadi berdasarkan suhu efektif sebagai berikut :

Sejuk Nyaman, dengan Suhu Efektif 20.5° C - 22.8° C Nyaman Optimal, dengan Suhu Efektif 22.8° C - 25.8° C Hangat Nyaman, dengan Suhu Efektif 25.8° C - 27.1° C

(16)

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kenetralan, keterterimaan, dan preferensi kondisi termal responden bangunan berventilasi alami dalam rangka pengembangan standar kenyamanan termal adaptif untuk Indonesia dan membandingkannya dengan perkiraan menurut standar dan model kenyamanan termal yang ada. Seperti dijelaskan pada uraian di atas bahwa untuk bangunan dengan ventilasi alami, model kenyamanan adaptif lebih tepat digunakan. Penelitian ini bukan dimaksudkan untuk menguji validitas dari model kenyamanan termal adaptif yang sudah ada, tetapi difokuskan pada pengembangan model kenyamanan termal untuk Indonesia yang beriklim tropis lembab berdasarkan teori kenyamanan termal adaptif. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar bangunan hunian di Indonesia merupakan bangunan dengan ventilasi alami atau free-running building.

3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberi kontribusi pengembangan standar kenyaman termal bangunan khususnya pada aerah tropis lembab. Penentuan kondisi netral nyaman dapat memberikan kondisi optimal yang dapat dicapai pada bangunan berventilasi alami. Dengan dapat ditetapkannya standar tingkat kenyaman termal untuk bangunan beventilasi alami diharapkan dapat mengurangi penggunaan sistem pengkondisian udara secara berlebihan, karena pada fungsi bangunan tertentu, kenyamanan termal dapat dicapai dengan mengoptimalpan pemakaian ventilasi alami secara adaptif. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk memperkaya model kenyamanan termal adaptif yang sudah ada yang difokuskan pada pengembangan model kenyamanan termal untuk Indonesia yang beriklim tropis lembab berdasarkan teori kenyamanan termal adaptif diaman sebagian besar bangunan hunian di Indonesia merupakan bangunan dengan ventilasi alami.

(17)

BAB 4. METODE PENELITIAN

4.1 Diagram Alir Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian separti target yang telah direncankan, maka perlu dibuat organisasi urutan-urutan pekerjaan agar memudahkan dalam pelaksanaan nantinya. Diagram alir urutan pekerjaan penelitian adalah perti pada Gambar 3.

4.2 Waktu dan Tempat

Penelitian ini direncanakan di ruang kelas Fakutas Teknik Universitas Syiah Kuala. Survey telah dilakukan dalam kondisi ruang kelas terpakai dimana di ruang kelas sedang berlangsung proses belajar-menagar. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus, September, Oktober dan November. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada jadwal perkuliahan pagi, siang dan sore.

- Studi literatur tentang konsep dan standar kenyaman termal, Internasional & Indonesia; - Desain Konsep Penelitian; - Persiapan bahan dan pelaratan dan tim survey lapangan

- Analisa data - Pembuatan laporan

perkembangan

- Pembuatan laporan akhir - Pendaftaran dan menghadiri

seminar internasional

- Penulisan paper untuk jurnal

Nasional

-

- Kajian Kenyaman Termal

berdasarkan respon sensasi termal pengguna terhadap kondisi lingkungan;

- Kajian Tingkat kenyamanan

pada daerah pesisir (Banda Aceh);

- Kajian Tingkat kenyamanan di

Dataran Tinggi (Banda Aceh);

- Rumusan Kenyamanan termal

adaptif berdasarkan kondisi iklim setempat.

- Kajian Kenyaman Termal

berdasarkan respon sensasi termal pengguna terhadap kondisi lingkungan di dua kabupaten/kota lain;

- Pengujian respon termal di

laboratorium (ruang iklim) dengan pengaturan suhu dingin dan panas untuk verivikasi dan validasi model kenyamanan termal adaptif;

- Analisa data - Pembuatan laporan

perkembangan

- Pembuatan laporan akhir - Pendaftaran dan menghadiri

seminar internasional

- Penulisan paper untuk jurnal

Internasional

- Venulisan Buku Ajar tentang

Kenyamanan Termal TAHUN - 1 TAHUN - 2 Model Standar Kenyamanan Termal Adaptif untuk bangunan berventilasi alami

(18)

4.3 Subyek dan Alat Penelitian

Penelitian ini menggunakan orang (mahasiswa) sebagai subyek untuk mendapatkan respon/persepsi mereka sebagai pengguna bangunan terhadap kondisi suhu ruang kelas psikologi (subjective responses) serta kondisi lingkungan termal pada saat berlangsungnya perkuliahan. Respon psikologi diamati dengan sistem voting terhadap sensasi termal, preferensi termal, kenyamanan termal, serta keterterimaan termal. Pengukuran sensasi termal yang yang dirasa oleh subyek selama berlangsungnya penelitian dengan menggunakan skala ASHRAE (+3:panas, +2:hangat, +1:agak hangat, 0:netral, -1:agak sejuk, -2:sejuk, -3:dingin). Peralatan utama dalam penelitian ini adalah instrument pengukur suhu dan parameter lingkungan lainnya yaitu dengan menggunakan thermocouple sensor yang direkam dengan WBGT Heat Stress Monitor, Hot wire Anemometer dan thermorecorder. Disamping itu, data klimatologi dari BMKG juga dikumpulkan untuk merumuskan hubungan antara suhu rata-rata bulanan terhadap kenyamanan termal dalam ruangan.

4.4 Pengumpulan data

Pengumpulan data utama dalam penelitian ini adalah dengan metode survey melalui kuesioner terhadap persepsi termal pengguna bangunan terhadap suhu yang sedang dirasakan di dalam ruangan. Penelitian dilakukan pada ruang-ruang kelas yang berventilasi alami (tanpa menggunakan sistem pengkondisian udara). Responden merupakan mahasiswa yang sedang melaksanakan proses belajar-mengajar pada ruang-ruang kelas Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Pada saat yang bersamaan, parameter-parameter lingkungan baik di dalam maupun di luar ruang kelas juga diukur.

Karena perumusan standar kenyamanan relatif menggunakan basis data dari responden, diperlukan jumlah data yang banyak untuk menemukan kecendrungan yang jelas hubungan antara sensasi termal terhadap kondisi lingkungan. 515 responden (data tervalidasi) terlibat dalam survey kenyamanan ruang kelas dengan 215 responden laki-kali dan 300 reponden wanita. Pengumpulan data dilakukan pada waktu pagi, siang, dan sore untuk merepresentasikan kondisi temperatur yang berbeda untuk melihat korelasi sensasi termal terhadap perubahan temperatur.

4.5 Variabel Penelitian

Variabel-variabel yang menjadi parameter dalam penelitian ini adalah seperi dirangkum dalam Diagram pada Gambar 4.

(19)

Gambar 4.2. Variabel-variabel penelitian

Intervening Variables Independent Variables

• Karakteristik Lingkungan Outdoor: Data Klimatologi, Suhu rata-rata bulanan

• Personal Factors

oAklimatisasi

oSex

oEtnic

oThermal experience background

oAge

oHealth

oBody Characteristics •Iklim

oPerubahan cuaca.

oKondisi Lingkungan Sekitar oIklim Mikro

Karakteristik Lingkungan Indoor

o Suhu Udara (Ta)

o Suhu Radiasi (Tr)

o Kecepatan Angin (v)

o Kelembaban Udara (RH) • Karakteristik Personal o Faktor Pakaian (clo) o Aktivitas (met)

Kenyamanan Termal Adaptif

Ruang Ventilasi Alami Dependent Variable

Persepsi Thermal

• Thermal Neutrality • Thermal Preference • Thermal Acceptabilty

Indeks Kenyamanan Termal

• PMV-PPD, ET*, SET*, TENS, DISC, HSI

(20)

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1Karakteristik Subyek Penelitian

Tabel 5.1 menunjukkankan karakteristik dari semua responden yang terlibat dalam penelitian ini. Total 515 subject yang terdiri atas 215 laki-laki dan 300 perempuan yang merupakan mahasiswa Fakultas Teknik dari berbagai angkatan terlibat dalam survey ini. Umur, postur tubuh dan pakaian yang digunakan oleh responden dalam penelitian ini adalah diperlihatkan pada Tabel 5.1 (semua responden), Tabel 5.2 (responden laki-laki) dan Tabel 5.3 (responden perempuan). BMI (body mass index) dan ADU (Dubois area/luas permukaan tubuh) merupakan representasi karakteristik tubuh manusia berdasarkan berat dan tinggi tubuh. Rata-rata umur responden adalah 19 tahun dengan berat dan tinggi masing-masing adalah 54 kg dan 162 m. Nilai clo yang merepesentasikan jenis pakaian yang digunakan rata-ratanya adalah 0,72 clo.

Tabel 5.1. Karakterikstik seluruh responden dan nilai pakaian yang digunakan

Tabel 5.2. Karakterikstik responden laki-laki dan nilai pakaian yang digunakan

Tabel 5.3. Karakterikstik responden perempuan dan nilai pakaian yang digunakan

Num. Of Subjects: 515 Age (years) Weight (kg) Height (cm) BMI (kg/m2) ADU (m2) CLOTH (clo) Min 17.00 31.00 132.00 12.94 1.07 1.07 Max 26.00 98.00 190.00 33.30 2.17 2.17 Ave 19.02 54.14 162.26 20.46 1.55 0.72 SD 1.54 11.10 8.53 3.25 0.18 0.18 ALL SUBJECTS Num. Of Subjects: 215 Age (years) Weight (kg) Height (cm) BMI (kg/m2) ADU (m2) CLOTH (clo) Min 17.00 31.00 132.00 12.94 1.07 0.35 Max 26.00 98.00 190.00 33.17 2.17 1.02 Ave 19.30 60.67 169.22 21.11 1.68 0.65 SD 1.84 11.50 6.41 3.41 0.16 0.08 MALE SUBJECTS Num. Of Subjects: 300 Age (years) Weight (kg) Height (cm) BMI (kg/m2) ADU (m2) CLOTH (clo) Min 17.00 35.00 140.00 14.64 1.21 0.35 Max 24.00 80.00 170.00 33.30 1.78 1.24 Ave 18.82 49.40 157.20 19.99 1.46 0.77 SD 1.25 7.94 5.91 3.06 0.12 0.10 FEMALE SUBJECTS

(21)

Gambaran umum karakteristik responden dalam peneltian ini dapat diamati pada Gambar 5.1 yang menunjukkan rata-rata dan standar deviasi dari parameter karakteristik semua responden baik laki-laki maupun perempuan.

Gambar 5.1 Grafik karakteristik seluruh responden untuk masing-masing parameter (±SD)

5.2 Kondisi Termal Ruang

Kondisi termal ruang merupakan parameter-parameter lingkungan yang mempengaruhi tingkat kenyamanan pengguna ruang. Parameter-parameter tersebut meliputi suhu ruang (Ta; C), suhu radiasi (Tr,C) kecepatan pergerakan udara (v, m/s) dan kelembaban udara relatif (rh, %). Pengukuran parameter-parameter lingkungan ruang dalam tersebut diukur bersamaan dengan pelaksanaan survey dimana responden diminta untuk merespon terhadap kondisi lingkungna yang mereka rasakan pada saat tersebut. Rata-rata parameter lingkungan yang diukur untuk setiap ruang pada saat penelitian ditunjukkan pada Tabel 5.4. Suhu operatif (T_op) merupakan parameter utama yang digunakan dalam penelitian ini yang merupakan nilai rata-rata dari Ta dan Tr.

(22)

Tabel 5.4 Kondisi termal ruang pada saat pengukuran kenyamanan termal

5.3 Sensasi Termal

Respon terhadap kondisi ruangan ruang kelas dengan sistem ventilasi alami berdasarkan sensasi termal terhadap suhu operatif ruangan diperlihatkan pada Gambar 5.2. Kondisi nyaman secara optimum dapat diasumsikan terjadi ketika responden tidak merasa panas atau dingin dimana responden memilih jawaban netral (0). Dengan persamaan regresi, hubungan sensasi termal yang dirasakan oleh responden terhadap suhu operatif ruangan pada Gambar 5.2 menunjukkan bahwa secara umum pesponden merasa nyaman optimal ketika suhu ruangan pada 27,9 °C. Namun demikian, kondisi kategori nyaman dapat diasumsikan ketika jawaban responden berada antara agak hangat (+1) dan agak sejuk (-1). Dengan definisi ini maka diperoleh rentang kenyaman termal yang dirasakan oleh responden adalah antara 25 – 31 C. Buble diagram pada Gambar 5.2 menunjukkan persentase jawaban untuk setiap ketegori sensasi termal yang dirasakan oleh responsen pada masing-masing survey berdasarkan suhu operatif ruangan. Hubungan sensasi termal berdasarkan suhu operatif ruang yang diperoleh dengan regresi lenear adalah:

/B 0.313/=C− 8.734 Dimana:

TS = sensasi termal (nd) Top= suhu operatif ruang (°C)

Survey TA (C) TG (C) RH (%) V (m/s) T_op (C) 1 30.8 30.8 64% 0.05 30.8 2 27.9 28.1 74% 0.05 28.0 3 30.3 30.3 62% 0.07 30.3 4 30.4 30.4 60% 0.45 30.4 5 31.9 32.0 57% 0.41 32.0 6 31.7 31.9 56% 0.21 31.8 7 28.4 28.4 71% 0.11 28.4 8 29.0 29.1 73% 0.11 29.1 9 30.0 30.0 71% 0.15 30.0 10 29.1 29.2 75% 0.23 29.2 11 29.0 29.1 77% 0.41 29.0 12 27.4 27.6 81% 0.23 27.5 13 27.0 27.3 80% 0.14 27.1 14 29.4 29.5 72% 0.16 29.5 15 28.9 29.0 76% 0.22 29.0 16 25.9 26.0 81% 0.12 26.0 17 26.5 26.6 84% 0.18 26.6

(23)

Gambar 5.2 Buble diagram yang menunjukkan persentase jawaban responden terhadap sensasi termal untuk masing-masing suhu ruang serta analisa regresi pengaruh suhu ruang terhadap sensasi termal.

Gambar 5.3 mengindikasikan kecenderungan responden lebih menginginkan kondisi lebih sejuk ketika mereka agak sejuk, netral, agak hangat, hangat, dan panas. Hal ini menunjukkan bahwa responden akan merasa nyaman sensasi yang mereka rasakan lebih mengarah ke sejuk.

Gambar 5.3 Sensasi termal yang dirasakan responden terhadap kondisi ruang dan hubungannya dengan kondisi yang diinginkan.

5.4 Kenyamanan Termal

Survey ini juga telah menanyakan secara langsung persepsi pengguna ruang terhadap perasaan nyaman secara termal yang mereka rasakan. Gambar 5.3 menunjukkan persepsi pengunjung terhadap definisi termal, dimana persepsi nyaman pada y-axis menunjukan: (1)

(24)

sangat nyaman; (2) cukup nyaman; (3) agak nyaman; (4) agak tidak nyaman; (5) cukup tidak nayman; dan (6) sangat tidak nyaman. Sementara x-axis menunjukkan: (+3) panas, (+2) hangat, (+1) agak hangat, (0) netral, (-1) agak sejuk, (-2) sejuk, dan (-3) dingin. Berdasarkan grafik pada Gambar 5.3 tersebut, kecendrungan responden mempersepsikan kenyamanan termal optimum pada sensasi agak sejuk, bukan pada kondisi neutral. Sebagian besar sesponden mem-vote netral dan agak sejuk sebagai kondisi cukup nyaman. Kondisi sangat nyaman dipilih ketika mereka merasa agak sejuk, walupun jumlah merasa sangat nyaman relatif sangat kecil. Responden cendrung menginginkan ruangan yang digunakan lebih sejuk sebagai kondisi yang nyaman seperti yang ditunjukkan oleh garis hasil regresi poninomial pada Gambar 5.4. Hasil ini menunjukkan bahwa kondisi nyaman yang diinginkan oleh responden adalah berada antara sejuk (-2) dan neutral (0). Kondisi agak hangat tidak dipersepsikan sebagai kondisi nyaman, walaupun kondisi tersebut masih dapat diterima (themal acceptability).

Gambar 5.4. Persepsi kenyamanan pengguna ruang terhadap sensasi termal.

5.5 Thermal Preference

Kondisi termal yang diinginkan oleh pengguna (responden) dapat dibaca dari variabel thermal preference dengan jawaban yang diberikan responden terhadap pertanyaan “bagaimana kondisi termal ruang yang anda inginkan saat ini”. Terhadap pertanyaan tersebut, responden diberi pilihan jawaban (1) lebih hangat, (0) tidak berubah, dan (-1) lebih sejuk. Jawaban “tidak berubah” menunjukkan kepuasan pengguna ruangan terhadap kondisi lingkungan termal ruang tersebut. Jika responden menjawab ingin “lebih hangat” atau “lebih sejuk”, hal ini menunjukkan bahwa responden tidak puas dengan kondisi termal ruang. Parameter ini dapat menjadi salah satu acuan terhadap tingkat kenyamanan secara subjektif yang dirasakan

(25)

pengguna. Seperti telah disebutkan bahwa kenyamanan termal bersifat subyektif berdasarkan kepuasan pengguna terhadap kondisi termal ruang pada saat tersebut.

Gambar 5.5 mengindikasikan bahwa responden menginginkan kondisi ruang yang lebih dingin pada suhu operatif ruang di atas 26°C yang diperlihatkan oleh dimensi buble yang lebih banyak pada “lebih sejuk”. Kecenderungan ini diperlihatkan lebih jelas oleh trenline hasil regresi yang seluruhnya berada di bawah garis nol (tidak berubah). Hal ini menunjukkan kecenderungan responden untuk mendifinisikan nyaman sebagai kondisi sejuk. Kecendrungan ini diperkuat oleh grafik hubungan antara thermal preference dan thermal sensation (Gambar 5.6) dan grafik hubungan kenyamanan termal dan thermal preference (Gambar 5.7). Pada kondisi dimana sebagian besar responden memilih kondisi sensasi yang mereka rasakan adalah netral (0), tetapi merepa memilih preferensi termal “ingin lebih sejuk” seperti terlihat pada Gambar 5.7.

Gambar 5.5 Hubungan tingkat preferensi responden terhadap suhu operatif ruangan dan regresi linear tingkat preferensi dengan Top.

(26)

Gambar 5.7 Hubungan tingkat kenyaman responden terhadap preferensi

5.6 Keterterimaan Termal

Keterterimaan termal (themal acceptability) merupakan parameter tingkat toleransi responden terhadap kondisi termal. Sesuai dengan sistem regulasi tubuh terhadap termal (thermoregulatory system), tubuh manusia tidak dapat berfungsi pada suhu ekstrim yang terlalu panas atau terlalu dingin. Manusia harus berada pada tentang suhu tertentu untuk dapat berfungsi. Karena kenyamanan bersifat subjectif serta ada pengaruh aklimatisasi, rentang suhu nyaman akan bervariasi antara masing-masing orang. Thermal acceptability menggambarkan kondisi yang dapat diterima oleh responden terhadap termal ruang. Rentang suhu yang dapat diterima oleh semua responden diperlihatkan pada Gamabr 5.8 diamana sebagian besar responden dapat menerima dengan suhu operatif dalam rentang suhu penelitian ini. Gambar 5.9 menggambarkan hubungan kondisi nyaman terhadap thermal acceptability dari responden. Pada kondisi sangat nyaman, cukup nyaman, dan agak nyaman, hampir seluruh responden menjawabdapat menerima kondisi ruang. Hanya pada saat sangat tidak nyaman seluruh responden menjawab tidak dapat menerima kondisi ruang tersebut.

(27)

Gambar 5.9 Keterterimaan termla terhadap suhu operatif ruang

5.7 Perbandingan dengan model PMV

Untuk melihat kinerja dari model yang sudah luas digunakan untuk memprediksi tingkat kenyamanan termal ruangan, hasil penelitian ini dibandingkan kengan model Predictive Mean Vote (PMV). Model ini dikembangkan di Eropa dan sudah diadopsi sebagai secara global untuk ISO 7730. Dengan menggunakan data lingkungan yang sama seperti pada actual vote - yang terdiri atas data suhu udara, suhu radiasi, kelembaban udara, dan pergerakan udara serta faktor aktifitas dan pakaian yang digunakan (clo-value) – hasil model PMV diplot pada Gambar 5.2 sehingga menjadi Gambar 5.10. Nilai PMV yang dihasilkan menunjukkan bahwa PMV memprediksi kondisi nyaman pengguna ruang pada kondisi lebih dingin, dimana nilai senssi termal netral berada pada suhu 24.1 C. Penyimpangan yang terjadi ini menunjukkan bahwa model PMV tidak sesui digunakan untuk ruangan dengan sistem ventilasi alami. Model PMV dibangun berdasarkan data penelitian yang berbasis laboratorium di Eropa dan Amerika, sehingga aplikasinya menjadi bias ketika diterapkan pada bangunan berventilasi alami di daerah tropis.

(28)

5.8 Perbandingan dengan SNI

Tingkat kenyamanan termal berdasarkan SNI dikembangkan mengacu pada ASHRAE. Hal ini dapat terlihat dari nilai suhu nyaman yng ditetapkan lebih rendah dibandingkan dengan kondisi actual vote seperti pada hasil penelitian ini. Seluruh kategori nyaman menurut SNI berada dibawah kondisi nyaman optimum hasil penelitian ini (27,9 C). Kategori menurut SNI: (1) Sejuk Nyaman, dengan Suhu Efektif 20.5° C - 22.8° C (2) Nyaman Optimal, dengan Suhu Efektif 22.8° C - 25.8° C, dan (3) Hangat Nyaman, dengan Suhu Efektif 25.8° C - 27.1° C

5.9 Faktor Gender

Salah satu personal factor yang mempengaruhi tingkat kenyamanan termal adalah jenis kelamin. Namun demikian faktor gender tidak secara langsung berkaitan dengan respon fisiologi, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh latarbelakang budaya. Salah satu faktor budaya adalah faktor perbedaan pakaian lali-laki dan perempuan. Gambar 5.11 menunjukkan perbedaan nilai pakaian yang digunakan oleh reponden laki-laki dan perempuan dimana pakaian yang digunakan oleh responden laki-laki lebih rendah nilai clo-value dibandingan dengan responden perempuan. Nilai rata-rata clo-value untuk laki-laki adalah 0.65 dan untuk perempuan 0.77. Penggunaan penutup kepala (jilbab) pada perempuan memberikan nilai clo-value lebih tinggi. Nilai clo-clo-value 0.65 dan 0.77 masing-masing untuk laki-laki dan perempuan menggambarkan pakaian tipikal untuk kegiatan perkantoran dengan nilai clo sekitar 0.6. Nilai clo yang besar memberi resistensi panas yang lebih besar sehingga akumulasi panas dalam tubuh meningkat. Pada daerah tropis panas lembab, penggunaan pakaian dengan clo-value kecil akan mempercepat pelepasan panas tubuh sehingga dapat mempertahankan kondisi suhu tubuh yang lebih nyaman.

Gambar 5.11. Perbedaan tingkat pakaian (clo value) antara laki-laki dan perempuan.

Gambar 5.12 menunjukkan sensasi termal terhadap kenyamanan termal yang dirasakan oleh responden laki-laki dan perempuan. Responden perempuan merasa sedikit lebih nyamanan pada suhu tinggi dibandingkan dengan responden laki-laki. Responden perempuan menrasa

(29)

nyaman secara optimal pada sensasi antara agak sejuk dan netral, sementara responden laki-laki merasa nyaman optimal berada pada kondisi sensasi termal antara sejuk dan agak sejuk. Responden perempuan lebih responsif terhadap sensasi termal dingin dibandingkan dengan laki-laki.

(30)

BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Penelitian ini masih sangat terbatas rentang kondisi lingkungan yang telah diuji. Diperlukan perluasan responden dari berbagai elemen masyarakat untuk berbagai aktifitas. Beberapa rencana pengembangan penelitian adalah:

1. Pengujian respon dari pengguna pada rentang suhu yang lebih besar (20 – 34 C) pada ruang uji yang dapat dikontrol suhu an kelembabannya.

2. Penelitian pada responden yang memiliki kemampuan/mempunyai akses untuk mengontrol/beradaptasi terhadap ko mponen bangunan untuk memperoleh kenyamanan termal. Mahasiswa sebagai responden dalam penelitian ini tidak memiliki akses untuk mengontrol elemen bangunan (misalnya membuka/menutup jendela) untuk mendapatkan/mempertahankan tingkat kenyamanan termal. Responden yang beraktifitas di rumah menjadi subjek utama dalam penelitian lanjutan yang akan dilakukan. Kenyamanan pekerja di pasar juga akan dipertimbangkan sebagai objek kajian selanjutnya.

(31)

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN

Mempertimbangkan kenyamanan termal dalam setiap disain merupakan hal yang sangat penting bagi seorang arsitek untuk kenyamanan dan kesehatan penghuni bangunan. Indonesia mengembangkan standar kenyamanan termal (SNI 03-6572-2001) mengacu pada standara ASHRAE. Penelitian ini mengevaluasi tingkat kenyamanan termal ruangan dengan sistem ventilasi alami untuk mengetahui tingkat kenetralan, keterterimaan, dan preferensi kondisi termal responden bangunan. Hasil penelitian ini dibandingan dengan standar dan model kenyamanan termal yang ada. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penyimpangan yang terjadi pada model PMV ketika diterapkan pada bangunan dengan sistemventilasi alami dimana kondisi nyamanan aktual diperoleh pada suhu ruang 27,9 C, sementara PMV memprediksi pada suhu 24,1 C. Hal ini juga ditunjukkan oleh standar SNI yang ada yang menetapkan suhu nyaman lebih rendah dibandingkan dengan suhu aktual.

(32)

DAFTAR PUSTAKA

1. ANSI/ASHRAE55, (2004), ASHRAE Standard Thermal Environmental Conditions for Human Occupancy, American Society of Heating, Refrigerating and Airconditioning Engineers Inc, Atlanta, USA.

2. ASHRAE (2009), Handbook fundamentals. Atlanta: American Society of Heating, Refrigerating and Air-Conditioning Engineers (Chapter 9), CD edisi 2009.

3. Auliciems, A, (1981), towards a psychophysiological model of thermal perception, International Journal of Biometeorology 25, 109–122.

4. Brager, G.S., de Dear, R.J., (1998), Thermal adaptation in the built environment: a literature review, Energy and Buildings 27 (1) 83–96.

5. Brager, G.S., Paliage, G., de Dear, R.J., (2004), Operable windows, personal control, and occupant comfort, ASHRAE Transactions 110, 17–31.

6. Dear, R. J. D., & Brager, G. S. (2002). Thermal comfort in naturally ventilated buildings : revisions to ASHRAE Standard 55. Energy and Buildings, 34, 549–561. 7. Fanger. P.O., (1970), Thermal comfort, McGraw-Hill, New York.

8. Feriadi, H., Wong, N. H., Chandra, S., & Cheong, K. W. (2003). Adaptive behaviour and thermal comfort in Singapore’s naturally ventilated housing. Building Research & Information, 31(1), 13–23.

9. Feriadi, H., Wong, N.H., (2004), Thermal comfort for naturally ventilated houses in Indonesia, Energy and Building, 36: 614-626.

10. Humphreys, M. A., Rijal, H. B., & Nicol, J. F. (2013). Updating the adaptive relation between climate and comfort indoors ; new insights and an extended database q. Building and Environment, 63, 40–55. doi:10.1016/j.buildenv.2013.01.024

11. ISO7730, 2005, Moderate Thermal Environments—Determination of the PMV and PPD Indices and Specification of the Conditions for Thermal Comfort, International Standards Organization, Geneva.

12. Karyono, T.H., (1995), Thermal Comfort for the Indonesian Workers in Jakarta, Journal: Building Research Information, vol 23 Nov 1995

13. Karyono, T.H., (2000), Report on thermal comfort and building energy studies in Jakarta Indonesia, Building and Environment, Vol. 35: 77-90.

14. Munir, A., Sofyan, Muslimsyah. (2009), A determination of neutral temperature in air conditioned room on the basis of physiological and psychological responses of the human body in low activity. Proceeding International Seminar CONVEESH & SENVAR 10th, Manado, Indonesia.

15. Munir, A., Sofyan, Muslimsyah. (2011), Thermal Comfort In Naturally Ventilated and Air Conditioned Room: A Comparison between PMV and Actual Vote. Proceeding International Seminar SENVAR 12th, Malang, Indonesia.

16. Nicol, F. (2004). Adaptive thermal comfort standards in the hot–humid tropics. Energy and Buildings, 36(7), 628–637.

17. Nicol, J.F., Humphreys, M.A., (2002), Adaptive thermal comfort and sustainable thermal standards for buildings, Energy and Buildings 34 (6), 563–572.

(33)

18. Parsons, K.C., 2003, Human Thermal Environments: The Effects of Hot, Moderate, and Cold Environments on Human Health, Comfort and Performance, 2nd edition,

Taylor & Francis.

19. SNI 03-6572-2001 (2001), Tata Cara Perancangan Sistem Ventilasi dan Pengkondisian Udara, Badan Standardisasi Nasional (BSN).

20. Soegijanto, RM, (1998), Bangunan di Indonesia Dengan Iklim Tropis Panas Lembab Ditinjau Dari Aspek Fisika Bangunan; Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(34)

Lampiran 1. Susunan Organisasi Tim Peneliti No Nama/NIDN Instansi

Asal

Bidang Ilmu Alokasi Waktu

Uraian Tugas

1 Ir. Muslimsyah, M.Sc/

0020036602

UNSYIAH Arsitektur 15 - Koordinator Penelitian - Studi Pustaka - Desain Penelitian - Analisis data hasil - Pengisisan log book - Penulisan artikel - Laporan akhir - Mengikuti seminar 2 Sofyan, ST.MT/

0007127101

UNSYIAH Arsitektur 12 - Penyiapan alat penelitian - Pengadaan bahan-bahan penelitian - Mengkoordinir Survey Lapangan - Pengumpulan data - Pengolahan data - Pengelolaan data base

penelitian - Laporan perkembangan 3 Dr. Abdul Munir, ST.MT/ 008077201

UNSYIAH Arsitektur 10 - Penyiapan alat penelitian - Pengadaan bahan-bahan penelitian - Pengumpulan data - Pengolahan data - Laporan perkembangan

(35)
(36)

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan peralatan:

(37)

Midi Graphtec GL-800

InfraRed Camera

(38)

Pelaksanaan Penelitian:

(39)
(40)
(41)

DRAF ARTIKEL JURNAL ILMIAH

PENGEMBANGAN MODEL STANDAR KENYAMANAN TERMAL ADAPTIF UNTUK MEMPREDIKSI KENYAMANAN TERMAL PADA BANGUNAN

BERVENTILASI ALAMI DI INDONESIA

Muslimsyah1), Abdul Munir2) , Sofyan3) 1 Fakultas Teknik,Universitas Syiah Kuala

email: imuslimsyah@gmail.com

2 Fakultas Teknik,Universitas Syiah Kuala

email: munirsyadi@unsyiah.ac.id

3 Fakultas Teknik,Universitas Syiah Kuala

email: sonyan712@gmail.com

Abstract

Mempertimbangkan kenyamanan termal dalam setiap disain merupakan hal yang sangat penting bagi seorang arsitek untuk kenyamanan dan kesehatan penghuni bangunan. Indonesia mengembangkan standar kenyamanan termal (SNI 03-6572-2001) mengacu pada standara ASHRAE. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi tingkat kenyamanan termal ruangan dengan sistem ventilasi alami untuk mengetahui tingkat kenetralan, keterterimaan, dan preferensi kondisi termal bangunan. Hasil penelitian ini dibandingan dengan standar dan model kenyamanan termal yang ada. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penyimpangan yang terjadi pada model PMV ketika diterapkan pada bangunan dengan sistemventilasi alami dimana kondisi nyamanan aktual diperoleh pada suhu ruang 27,9 C, sementara PMV memprediksi pada suhu 24,1 C. Hal ini juga ditunjjukan oleh standar SNI yang ada yang menetapkan suhu nyaman lebih rendah dibandingkan dengan suhu aktual.

Keywords: kenyamanan termal, ventilasi alami, PMV, SNI, sensasi termal

PENDAHULUAN

Mempertimbangkan kenyamanan termal merupakan hal yang penting bagi arsitek untuk mendisain bangunan yang nyaman dan sehat bagi penghuni, disamping sebagi upaya penghe Estimasi yang baimatan penggunaan energy. Kenyamanan termal didefinisikan “kondisi perasaan yang mengekspresikan kepuasan terhadap lingkungan termal”

(ASHRAE, 2009). Metode untuk

mempredikasi tingkat kenyamanan termal, saat ini berkembang dua pendekatan, yakni statik dan adaptif.

Pendekatan statik dikembangkan dengan mengacu pada hasil penelitian sensasi termal responden dalam ruang iklim (climatic chamber) oleh Fanger pada era tahun 1970-an (Fanger, 1970) yang kemudian menjadi

standar kenyamanan termal dalam ASHRAE Standard 55 dan ISO 7730 dengan indeks Predicted Mean Vote (PMV) dan Predicted Percentage Dissatisfied (PPD). Indeks kenyamanan termal model statik lainnya adalah ET* (effective temperature), SET* (standard effective temperature), DISC (discomfort), TSENS (thermal sensation), dan HSI (heat stress index) (ASHRAE, 2009).

Tidak seperti pendekatan statis yang menggunakan permodelan dengan prinsip keseimbangan termal, pendekatan adaptif menggunakan responden penghuni bangunan dalam kondisi riil. Penelitian kenyamanan termal adaptif adalah upaya untuk mengetahui kenetralan termal (thermal neutrality), keterterimaan termal (thermal acceptability), dan preferensi termal (thermal preference)

(42)

serta kajian perilaku adaptif penghuni untuk memperoleh kenyamanan termal. PMV tidak dapat mempertimbangkan interaksi yang kompleks antara manusia dengan lingkungan. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa PMV tidak dapat memprediksi secara akurat kondisi kenyamanan pada bangunan berventilasi alami (de Dear, 1991; Feriadi, 2003, Nicol, 2004; Wong, 2002; Munir, 2009; Munir ,2011).

Humphreys (1976) dan Aulciems (1981), dan de Dear (1997) mengembangkan model kenyamanan termal adaptif (Adaptive Comfort Standard, ACS) sebagai alternatif untuk mengatasi keterbataasan model PMV (Humphreys, 2013). Model ACS diperlukan untuk menggambarkan tingkat kenyamanan termal secara menyeluruh dengan mempertimbangkan dalam konteks lokal iklim tropis. Disamping indeks PMV-PPD,

ASHRAE Standard 55-2004 mulai

memperkenalkan ACS sebagai model pendekatan adaptif yang lebih tepat digunakan untuk bangunan tanpa sistem pengkondisian udara (AC), free-running building (FR). Dalam pengembangan standar tersebut, penggunaan data yang berbasis pada daerah tropis lembab, terutama Indonesia, masih terbatas, sehingga standar tersebut masih dapat diperdebatkan untuk aplikasi di Indonesia.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kenetralan, keterterimaan, dan preferensi kondisi termal responden bangunan berventilasi alami dalam rangka pengembangan standar kenyamanan termal

adaptif untuk Indonesia dan

membandingkannya dengan perkiraan menurut standar dan model kenyamanan termal yang ada. Disamping itu, penelitian ini juga dapat memperkaya data dalam penyempurnaan standar kenyamanan termal adaptif internasional seperti yang dikembangkan de Dear (1997, 2002) sebagai ASHRAE Standard 55 dimana data yang disertakan yang mewakili kondisi Indonesia

hanya hasil penelitian Karyono (1995) yang dilakukan di Jakarta.

KAJIAN LITERATUR

Standar Internasional kenyamanan termal dalam ruang dikembangkan Fanger (1970) berdasarkan teori perpindahan panas antara tubuh manusia dengan lingkungan yang dikalibrasi menggunakan hasil penelitian dalam ruang iklim khusus yang terkontrol di laboratorium atau kamar iklim (climatic

chamber). ISO 7730 dan ASHRAE

menggunakan rumus PMV yang

dikembangkan Fanger (1970) utuk memprediksi secara numeris sensai termal penghuni terhadap lingkungan termal. Parameter yang diperhitungkan adalah laju metabolism (M), insulasi pakaiaan (clo) dari subyek, temperature udara (ta) dan temperature radiasi rata-rata (tr) tekanan uap air (pa) dan kecepatan pergerakan udara (v). Namun demikian, banyak penelitian menunjukkan bahwa model tersebut gagal dalam memperediksi sensasi termal pada bangunan yang tidak dikondisikan, free-running building.

Akhir-akhir ini kenyamanan termal adaptif menjadi perhatian peneliti karena permasalahan yang timbul akibat pemakaian energi yang berlebihan untuk kenyamanan termal bangunan. Pendekatan statik identik dengan kebutuhan AC yang berarti kebutuhan energi bangunan gedung yang besar. Menyadari kelemahan pendekatan statik tersebut, ASHRAE telah mempelopori kemungkinan penerapan standar kenyamanan adaptif dengan memasukkannya pada ASHRAE Standard 55 edisi 2004. ISO 7730 tidak menyertakan model adaptif ini, tetapi menyebutkan kemungkinan penerapannya pada bangunan ventilasi alami secara terbatas.

PMV merupakan indeks untuk memprediksi nilai rata-rata sensasi termal yang dipilih oleh sekelompok orang berdasarkan skala 7-titik sensasi termal (Tabel 1) yang dihitung berdasarkan prinsip

(43)

keseimbangan panas tubuh manusia. Kondisi keseimbangan termal diperoleh ketika produksi panas internal dalam tubuh sama dengan panas yang hilang ke lingkungan. PPD merupakan indek yang memprediksi orang yang merasa terlalu sejuk atau terlalu hangat sehingga dapat dikategorikan tidak puas dengan kondisi termal. Yang dinyatakan tidak puas adalah orang yang memilih panas, hangat, sejuk, atau dingin pada skala sensasi termal 7-titik berikut.

+ 3 Hot (Panas) + 2 Warm (Hangat)

+ 1 Slightly warm (Agak hangat) 0 Neutral (Netral)

− 1 Slightly cool (Agak sejuk) −2 Cool (Sejuk)

− 3 Cold dingin

SNI yang terkait dengan kenyamanan termal saat ini hanya SNI 03-6572-2001 tentang “Tata Cara Perancangan Sistem Ventilasi dan Pengkondisian Udara”. Rumusan kenyamanan termal dalam SNI tersebut mengacu pada Soegianto (1998) dan ASHRAE (1997). Tingkat kenyamanan termal untuk Indonesia berdasarkan SNI 03-6572-2001 dibagi menjadi berdasarkan suhu efektif sebagai berikut :

Sejuk Nyaman, dengan Suhu Efektif 20.5° C - 22.8° C

Nyaman Optimal, dengan Suhu Efektif 22.8° C - 25.8° C

Hangat Nyaman, dengan Suhu Efektif 25.8° C - 27.1° C

ASHRAE dikembangkankan berdasarkan kenyamanan untuk orang berstandar Eropa dan Amerika. Diperlukan penyesuaian yang signifikan untuk diterapkan untuk orang dengan standar Indonesia. Penelitian ini akan memberi kontribusi terhadap pengembangan standar kenyamanan termal adaptif di Indonesia seperti yang digagas oleh Sujatmiko (2008) dan telah diinisiasi oleh Karyono (1995, 2000) dan Feriadi (2004) yang semuanya melakukan kajian kenyamanan

termal untuk pulau Jawa. Diperlukan banyak penelitian diwilayah lainnya untuk memperkuat upaya terwujudnya SNI tentang kenyamanan termal Indonesia.

METODE PENELITIAN

Subyek penelitian merupakan pengguna ruang kelas yang tidak dikondisikan oleh sistem pongkondisian udara. Ruangan hanya memanfaatkan sistem ventilasi alami sebagai upaya pergantian udara dalam ruang. Responden penelitian ini merupakan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala yang sedang menggunakan ruang kelas. Penelitian ini menggunakan orang sebagai subyek untuk mendapatkan respon/persepsi mereka sebagai pengguna bangunan terhadap kondisi suhu ruang kelas secara psikologi (subjective responses). Respon psikologi diamati dengan sistem voting terhadap sensasi termal yang dirasa oleh subyek selama berlangsungnya penelitian dengan menggunakan skala ASHRAE (+3:panas, +2:hangat, +1:agak hangat, 0:netral, -1:agak sejuk, -2:sejuk, -3:dingin).

Penelitian ini menggunakan orang sebagai subyek untuk mendapatkan respon/persepsi mereka sebagai pengguna bangunan terhadap kondisi suhu ruang kelas baik secara fisiologi (thermophysiological responses) maupun secara psikologi (subjective responses) serta perilaku adaptif sebagai upaya untuk mempertahankan kondisi nyaman. Respon psikologi diamati dengan sistem voting terhadap sensasi termal yang dirasa oleh subyek selama berlangsungnya penelitian dengan menggunakan skala ASHRAE (+3:panas, +2:hangat, +1:agak hangat, 0:netral, -1:agak sejuk, -2:sejuk, -3:dingin).

Peralatan utama dalam penelitian ini adalah instrument pengukur suhu dan parameter lingkungan lainnya yaitu dengan menggunakan thermocouple sensor yang direkam dengan WBGT Heat Stress Monitor dan Graptec data logger. Peralatan lainnya adalah thermorecorder/thermistors untuk

(44)

mengukur suhu dan kelembaban dalam dan luar ruangan, anemometer untuk mengukur kecepatan angin, globe thermometer untuk mengukur suhu radiasi, Infared Camera mengukur dan memvisualisai suhu tubuh beberapa subyek dan stopwatch. Disamping itu, data klimatologi dari BMKG juga dikumpulkan untuk merumuskan hubungan antara suhu rata-rata bulanan terhadap kenyamanan termal dalam ruangan.

Pengumpulan data utama dalam penelitian ini adalah dengan metode survey melalui kuesioner terhadap persepsi termal pengguna bangunan terhadap suhu yang sedang dirasakan dan metode eksperiment dalam ruang yang diatur suhunya untuk verifikasi model. Penelitian dilakukan pada ruang-ruang kelas yang berventilasi. Responden merupakan mahasiswa yang sedang melaksanakan proses belajar-mengajar. Pada saat yang bersamaan, parameter-parameter lingkungan baik di dalam maupun di luar ruang kelas juga diukur.

Subyek diminta untuk menjawab tiga kondisi subyektif setiap menit yaitu tentang kondisi sensasi pada kulit secara termal, kondisi yang diinginkan dan kondisi kenyamanan termal dengan menulisnya dalam format yang telah dibuat. Sensasi termal dievaluasi dengan menggunakan skala 7 titik dari ASHRAE (+3 Panas, +2 Hangat, +1 Agak Hangat, 0 Netral, -1 Agak Sejuk, -2 Sejuk, dan -3 Dingin). Kondisi termal yang diinginkan adalah berdasarkan ISO 10551 dengan menjawab pertanyaan: “bagaimana kondisi yang anda inginkan saat ini?” (+1 Lebih Hangat, 0 Tidak Berubah, -1 Lebih Dingin). Untuk kondisi rasa ketidaknyaman dievaluasi dengan mengadopsi skala DISC dari ASHRAE yang terdiri atas 6 titik (0 Nyaman, 1 Agak Tidak Nyaman, 2 Tidak Nyaman, 3 Sangat Tidak Nyaman, 4 Masih bisa ditoleransi, 5 Tidak bisa ditoleransi).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Subyek Penelitian

Tabel 1 Menunjukkankan karakteristik dari semua subject yang terlibat dapam

penelitian ini. Total 518 subject yangterdiri atas 215 laki-laki dan 300 perempuan yang merupakan mahasiswa Fakultas Teknik dari berbagai angkatan terlibat dalam survey ini. Umur dan postur tubuh juga diperlihatkan pada Tabel 1.

Kondisi Termal Ruang

Ruangan yang digunakan merupakan ruang kelas dengan sistem ventilasi alami, tanpa pengkondisisan udara. Kondisi lingkungan dalam ruangan pada saat penelitian ditunjukkan pada Tabel 2 dimana parameter-parameter lingkungan diukur pada saat yang bersamaan dengan survey tingkat kenyamanan termal pengguna ruangan.

Tabel 2. Kondisi termal ruang pada saat pengukuran kenyamanan termal

Sensasi Termal

Respon terhadap kondisi ruangan ruang kelas dengan sistem ventilasi alami berdasarkan sensasi termal terhadap suhu operatif ruangan diperlihatkan pada Gambar 1. Kondisi nyaman secara optimum dapat diasumsikan terjadi ketika responden tidak merasa panas atau dingin dimana responden memilih jawaban netral (0). Dengan persamaan regresi,

Num. Of Subjects: 515 Age (years) Weight (kg) Height (cm) BMI (kg/m2) ADU (m2) CLOTH (clo) Min 17.00 31.00 132.00 12.94 1.07 1.07 Max 26.00 98.00 190.00 33.30 2.17 2.17 Ave 19.02 54.14 162.26 20.46 1.55 0.72 SD 1.54 11.10 8.53 3.25 0.18 0.18 ALL SUBJECTS Survey TA (C) TG (C) RH (%) V (m/s) T_op (C) 1 30.8 30.8 64% 0.05 30.8 2 27.9 28.1 74% 0.05 28.0 3 30.3 30.3 62% 0.07 30.3 4 30.4 30.4 60% 0.45 30.4 5 31.9 32.0 57% 0.41 32.0 6 31.7 31.9 56% 0.21 31.8 7 28.4 28.4 71% 0.11 28.4 8 29.0 29.1 73% 0.11 29.1 9 30.0 30.0 71% 0.15 30.0 10 29.1 29.2 75% 0.23 29.2 11 29.0 29.1 77% 0.41 29.0 12 27.4 27.6 81% 0.23 27.5 13 27.0 27.3 80% 0.14 27.1 14 29.4 29.5 72% 0.16 29.5 15 28.9 29.0 76% 0.22 29.0 16 25.9 26.0 81% 0.12 26.0 17 26.5 26.6 84% 0.18 26.6

(45)

hubungan sensasi termal yang dirasakan oleh responden terhadap suhu operatif ruangan pada Gambar 1 menunjukkan bawha secara umum pesponden merasa nyaman optimal ketika suhu ruangan pada 27,9 C. Namun demikian, kondisi kategori nyaman dapat diasumsikan ketika jawaban responden berada antara agak hangat (+1) dan agak sejuk (-1). Dengan definisi ini maka diperoleh rentang kenyaman termal yang dirasakan oleh responden adalah antara 25 – 31 C.

Kenyamanan Termal

Survey ini juga menanyakan secara langsung persepsi pengguna ruang terhadap perasaan nyaman secara termel yang mereka rasakan. Gambar 2 menunjakkan persepsi pengunjung terhadap definisi termal. Pada Gambar 2 tersebut persepsi nyaman pada y-axis menunjukan: (1) sangat nyaman; (2) cukup nyaman; (3) agak nyaman; (4) agak tidak nyaman; (5) cukup tidak nayman; dan (6) sangat tidak nyaman. Sementara x-axis menunjukkan: (+3) Panas, (+2) Hangat, (+1) Agak Hangat, (0) Netral, (-1) Agak Sejuk, (-2) Sejuk, dan (-3) Dingin.

Berdasarkan Gambar 2, kecendrungan responden mempersepsikan kenyamanan termal optimum pada sensasi agak sejuk, bukan pada kondisi neutral. Responden

cendrung menginginkan ruangan

yangdigunakan menjadi lebih sejuk. Hasil ini menunjukkan bahwa kondisi nyaman yang diinginkan oleh responden adalah berada antara sejuk (-2) dan neutral (0). Kondisi agak hangat tidak dipersepsikan sebagai kondisi

nyaman, walaupun kondisi tersebut masih dapat diterima (themal acceptability)

Gambar 2. Persepsi kenyamanan pengguna ruang terhadap sensai termal.

Perbandingan dengan model PMV

Untuk melihat kinerja dari model yang sudah luas digunakan untuk memprediksi tingkat kenyamanan termal ruangan, hasil penelitian ini dibandingkan kengan model Predictive Mean Vote (PMV). Model ini dikembangkan di Eropa dan sudah diadopsi sebagai secara global untuk ISO 7730. Dengan menggunakan data lingkungan yang sama seperti pada actual

vote - yang terdiri atas data suhu udara, suhu

radiasi, kelembaban udara, dan pergerakan udara serta faktor aktifitas dan pakaian yang digunakan (clo-value) – hasil model PMV diplot pada Gambar 1 sehingga menjadi Gambar 3. Nilai PMV yang dihasilkan menunjukkan bahwa PMV memprediksi kondisi nyaman pengguna ruang pada kondisi lebih dingin, dimana nilai senssi termal netral berada pada suhu 24.1 C. Penyimpangan yang terjadi ini menunjukkan bahwa model PMV tidak sesui digunakan untuk ruangan dengan sistem ventilasi alami. Model PMV dibangun berdasarkan data penelitian yang berbasis laboratorium di Eropa dan Amerika, sehingga aplikasinya menjadi bias ketika diterapkan pada bangunan berventilasi alami di daerah tropis.

Gambar

Tabel 2.1. Skala sensasi termal tujuh titik (ASHRAE, 2009)
Gambar  2.2 Temperatur nyaman untuk bangunan  berventilasi alami berdasarkan adaptive comfort standard  (ACS)
Diagram alir urutan pekerjaan penelitian adalah perti pada Gambar 3.
Gambar  4.2. Variabel-variabel penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rest merupakan tindakan pemberian waktu istirahat bila terjadi cedera agar tidak terjadi cedera yang lebih parah.. Menghentikan aktivitas olahraga

Semasa pemain daripada pasukan lawan yang dibenarkan berada dalam kawasan itu membuat hantaran percuma, bola tidak boleh dibaling melebihi kawasan gelanggang

Infrastruktur yang ada pada organisasi/perusahaan, telah mencakup lapisan transport yang merupakan lapisan yang menyediakan kemampuan jaringan/networking dan

Salah satu asas penting yang wajib diperhatikan adalah bahwa hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut

Bertitik-tolak dari gagasan Arthur Lupia tentang empat sarana yang menjamin akuntabilitas (2003: 45-51), penulis menerapkannya untuk menganalisis proses akuntabilitas

Pengembangan pemodelan secara matematis untuk ditengah meja-kerja mesin CNC dengan alat ukur Laser Interferometer sudah dapat menghasilkan suatu persamaan pemodelan

Peran Badan Pengawas Pemilihan Umum Kota Probolinggo setiap tahapan dan proses pemilihan umum berjalan sesuai Undang-Undang dan Peraturan yang ada dan menjalankan

Modul yang digunakan untuk pendataan administrasi berbagai layanan medis yang diberikan oleh masing-masing unit kepada pasien.. Pengaturan Kode dan Parameter Tindakan