• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan saran yang diperoleh dari pembahasan bab-bab sebelumnya, dan saran-saran yang berkaitan dengan studi ini dan rekomendasi untuk diterapkan di lokasi studi.

26 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai

2.1.1. Defenisi Sungai

Sebagian besar air hujan yang turun ke permukaan tanah, mengalir ketempat yang lebih rendah dan setelah mengalami bermacam perlawanan akibat gaya berat, akhirnya melimpah ke danau atau ke laut. Suatualur yang panjang di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasaldari hujan disebut alur sungai, dan perpaduan antara alur sungai dan aliran airdidalamnya disebut sungai.

Jadi sungai adalah salah satu dari sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga pemanfaatan air di hulu akan menghilangkan peluang di hilir (opportunity value), pencemaran di hulu akan menimbulkan biaya sosial di hilir (externality effect) dan pelestarian di hulu akan memberikan manfaat di hilir. Suatu daerah yang tertimpa hujan dan kemudian air hujan ini menuju sebuah sungai, sehingga berperan sebagai sumber air sungai tersebut dinamakan daerah pengaliran sungai dan batas antara dua daerah pengaliran sungai yang berdampingan disebut batas daerah pengaliran. Wilayah sungai merupakan satu kesatuan wilayah pengembangan sungai. Mulai dari mata airnya di bagian paling hulu di daerah pegunungan dalam perjalanannya ke hilir di daerah dataran, aliran sungai secara berangsur-angsur berpadu dengan banyak sungai lainnya, sehingga lambat laun tubuh sungai menjadi semakin besar.

27

Menurut penampang melintangnya, sungai terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut seperti pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Penampang Melintang Sungai

Daerah Aliran Sungai disingkat DAS adalah air yang mengalir pada suatu kawasan yang dibatasi oleh titik-titik tinggi dimana air tersebut berasal dari air hujan yang jatuh dan terkumpul dalam sistem tersebut. Kegunaan dari DAS adalah menerima, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh diatasnya melalui sungai.

2.1.2. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah aliran sungai adalah suatu alur yang panjang di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan disebut alur sungai dan perpaduan antar alur sungai dan aliran air didalamnya disebut sungai (Sosrodarsono, 1984).

Daerah – daerah DAS yakni :

a. Hulu sungai, berbukit-bukit dan lerengnya curam sehingga banyak jeram.

b. Tengah sungai, relatif landai, terdapat meander, dan banyak aktifitas penduduk.

28 2.2. Banjir

Banjir merupakan fenomena alam yang biasa terjadi di suatu kawasan yang banyak dialiri oleh aliran sungai. Secara sederhana banjir dapat didefinisikan sebagainya hadirnya air di suatu kawasan luas sehingga menutupi permukaan bumi kawasan tersebut. Dalam cakupan pembicaraan yang luas, kita bisa melihat banjir sebagai suatu bagian dari siklus hidrologi, yaitu pada bagian air di permukaan Bumi yang bergerak ke laut. Dalam siklus hidrologi kita dapat melihat bahwa volume air yang mengalir di permukaan Bumi dominan ditentukan oleh tingkat curah hujan, dan tingkat peresapan air ke dalam tanah.

Debit banjir dapat diukur secara langsung atau tidak langsung. 1. Pengukuran secara langsung

Pengukuran debit sungai secara langsung dilakukan dengan mengukur luas potongan melintang palung sungai dan kecepatan rata-rata airnya. Untuk mengukur kecepatan air digunakan alat pengukur kecepatan air (current meter) atau dengan listrik atau menggunakan bahan-bahan kimia, diantaranya:

• Salt velocity method

• Salt dilution method

• Radioactive tracers

• Oxigen polarography

• Electromagnetic flow meter

• Ultrasonic flow meter

Debit sungai juga dapat kita ketahui dari tinggi permukaan air diatas dasar kalau sebelumnya sudah kita tentukan lebih dahulu hubungan antara tinggi air dan debit. Untuk ini, pada berbagai ketinggian air kita ukur debitnya dan hasilnya kita

29

gambarkan dengan suatu grafik. Ordinat menunjukan tinggi muka air diatas dasar sungai, absisnya menunjukan debit. Lengkung yang diperoleh pada grafiknya disebut rating curve. Rating curve dapat kita tentukan dengan metode kuadrat terkecil atau dengan cara logaritma atau dengan cara regresi dan korelasi. Kalau rating curve sudah kita dapatkan, maka pada setiap tinggi muka air dapat kita bacakan langsung besarnya debit. Tinggi muka air dapat kita bacakan pada papan duga atau dapat juga diukur dengan alat pengukur otomatis (water level recorders atau water stage recorders)

2. Pengukuran secara Tidak Langsung

Menentukan debit sungai secara tidak langsung dapat dilakukan dengan beberapa cara:

a) Luas penampang palung sungai diukur sedang kecepatan air dihitung secara analitis,

b) Debit sungai dihitung dari bangunan-bangunan air yang terdapat didalam sungai, misalanya gorong-gorong, jembatan, talang, sypon, bangunan terjun, bendung, atau lainnya. Besarnya debit aliran yang melalui bangunan itu dihitung dengan rumus hidrolika yang berlaku untuk bangunan yang bersangkutan. Banyak juga dipakai bangunan ukur khusus seperti type Cipoletti, Thomson, Crump de Gruiter dan lain-lain.

c) Debit sungai dihitung dari hujan,

d) Debit sungai dihitung dengan menggunakan rumus-rumus empiris.

Cara tidak langsung umumnya dipakai kalau pengukuran secara langsung tidak dapat dilakukan.

30

Umumnya dapat dikatakan bahwa cara tidak langsung tidak seteliti pengukuran dengan instrumen. Menurut Chezy persamaan debit pada saluran terbuka dihitung sebagai berikut:

Q = A C √�.� (2.1)

Rumus Antoine de Chezy :

V = C √�.� dalam meter/detik (2.2)

R = Radius Hirolik =

meter

F = Luas keliling basah dalam meter² O = keliling basah dalam meter

C = koefisien kekasaran dinding saluran Besarnya angka kekasaran c adalah :

C = 87 1+ √� (2.3) Bazin : C = 41,65+0,00281 + 1,811 1+(41,65+0,00281 )√� (2.4) E. Ganguillet – W.R Kutter : C = 23+0,00155 + 1 1+ √�(23+ 0,00155 )

(2.5) V = 1

23

12 (2.6) Rumus Manning :

31

C = �16

Dimana : n = Koefisien kekasaran Manning S = Kemiringan saluran

2.3. Curah Hujan Rata-rata Suatu Daerah

Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rencana pemanfaatan air dan rencana pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata yang terkait buka curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah daerah dan dinyatakan data satuan mm. Cara perhitungan curah hujan daerah dan pengaruh curah hujan di beberapa titik dapat dihitung dengan cara, diantaranya:

(1) Metode rata-rata aljabar (mean arithmetic method)

Metode perhitungan dengan rata-rata aljabar (mean arithmetic method) ini merupakan cara yang paling sederhana dan memberikan hasil yang tidak teliti. Hal tersebut diantaranya karena setiap stasiun dianggap mempunyai bobot yang sama. Hal ini hanya dapat digunakan kalau hujan yang terjadi dalam DAS homogen dan veriasi tahunannya tidak terlalu besar. Keadaan hujan di Indonesia (daerah tropik pada umumnya) sangat bersifat ‘setempat’, dengan variasi ruang (spatial variation) yang sangat besar.

R = 1/n . (R1 + R2 + …. + Rn) (2.7)

Dimana :

R = curah hujan daerah

R1, R2, Rn = curah hujan di setiap titik pemangatan

32

(2) Metode Poligon Thiessen

Hitungan dengan Poligon Thiessen dilakukan seperti sketsa pada gambar. Metode ini memberikan bobot tertentu untuk setiap stasiun hujan dengan pengertian bahwa setiap stasiun dianggap mewakili hujan dalam suatu daerah dengan luas tertentu, dan luas tersebut merupakan faktor koreksi bagi hujan distasiun yang bersangkutan. Luas masing-masing daerah tersebut diperoleh dengan cara berikut:

a. Semua stasiun yang terdapat didalam (atau diluar) DAS dihubungkan dengan garis, sehingga terbentuk jaringan segitiga-segitiga. (hendaknya dihindari segitiga dengan sudut yang sangat tumpul),

b. Pada masing-masing segitiga ditarik garis sumbunya, dan semua garis sumbu tersebut membentuk poligon,

c. Luas daerah yang hujannya dianggap mewakili oleh salahsatu stasiun yang bersangkutan adalah daerah yang dibatasi oleh garis-garis poligon tersebut (atau dengan batas DAS)

d. Luas relatif daerah ini dengan luas DAS merupakan faktor koreksinya.untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada persamaan dibawah ini:

R = W1. R1 + W2 . R2 + …… + Wn . Rn (2.8)

W1, W2, ….. , Wn = A1/A, A2/A, An/A Dengan :

R = hujan rata-rata DAS, dalam mm

A1, A2, ….. , An = Luas masing-masing poligon, (km)

R1, R2, ……,Rn = curah hujan disetiap stasiun pengamatan, dalam (km2)

33

n = jumalah stasiun pengamatan

W1, W2,....Wn = faktor pembobot Thiessen untuk masing-masing stasiun Gambar 2.3. Hitungan Hujan dengan Metode Thiessen

Sumber : Ir. Iman Subarkah, tahun 1980

Metode Thiessen memberikan hasil yang lebih baik dan teliti daripada cara aljabar rata-rata. Kelemahan metode ini adalah penentuan titik pengamatan dan pemilihan ketinggian akan mempengaruhi ketelitian hasil yang didapat. Demikian pula apabila ada salahsatu stasiun yang tidak berfungsi, misalnya rusak atau data tidak benar, maka poligon harus diubah.

(3) Metode Isohyet

Metode ini dilakukan dengan membuat garis isohyet yaitu garis yang menghubungkan tempt-tempat yang mempunyai kedalaman hujan sama pada saat yang bersamaan. Cara membut garis isohyet adalah dengan cara interpolasi data antar stasiun.

Pada prinsipnya, cara ini mengikuti sedekat mugkin kenyataan dialam, dengan mencari bobot yang sesuai untuk suatu nilai hujan. Tidak jarang pula, luas untuk hitungan bobot adalah luas antara dua garis kontur dan nilai hujan yang mewakili luas antara dua kontur adalah nilai rata-rata aljabar anatara dua kontur tersebut.

34

R = W1 . R1 + W2 . R2 + ….. + Wn . Rn (3.9)

Dengan:

R = hujan rata-rata DAS, dalam mm

R1, R2, …., Rn = Hujan rata-rata antara dua buah isohyet, dalam mm W1, W2,….,Wn = perbandingan luas DAS antara dua isohyet dan luas

total DAS.

Kelemahan utama cara isohyet ini adalah pembuatan garis kontur yang sangat dipegaruhi oleh si pembuat kontur, sehingga bersifat subjektif. Dengan data yang sama, tiga orang yang berbeda dapat melukis garis kontur yang berbeda dan menghasilkan nilai rata-rata hujan yang berbeda pula. Dari ketiga metode ini dipilih metode poligon unutk analisis selanjutnya. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa titik pengamatan didalam daerah itu tersebar merata dan kondisinya jarang-jarang. Selain itu, karena dalam metode Thiessen diperhitungkan pula daerah pengaruh tiap titik pengamatan atau disebut faktor pembobot bagi masing-masing stasiun pengmatan sehingga memberikan hasil perhitungan yang lebih teliti dan akurat daripada metode yang lain. Disamping itu faktor subjektivitas dapat dihindari dengan penggunaan metode ini.

2.4. Analisis Frekuensi

Dalam penentuan distribusi frekuensi ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi, yaitu mengenai nilai parameter-parameter statistiknya. Parameter tersebut antara lain: koefisien variasi, koefisien asimetri (skewnees) dan koefisien kurtosis.

Analisis frekuensi harus dilakukan secara bertahap dan sesuai dengan urutan kerja yang telah ada karena hasil dari masing-masing perhitungan

35

tergantung dan saling mempengaruhi terhadap hasil perhitungan sebelumnya. Berikut adalah penerapan dari langkah-langkah analisis frekuensi setelah persiapan data dilakukan.

Standar Deviasi (S):

S = √�(��−�)2)

�−1 (3.10)

Dengan:

S = Standar deviasi

X = Curah hujan rencana pada priode tertentu Xi = Curah hujan harian maksimum rata-rata

N = Jumlah data Koefisien variasi (Cv): Cv = � � (3.11) Dengan: Cv = koefisien variasi

Koefisien Asimetri / Skewnees (Cs)

Cs = �

(�−1)(�−2)�3

�(� − ��)

3 (3.12)

Dengan:

Cs = Koefisien Asimetri / Skewnees Koefisien Kurtosis (Ck)

Ck = �

(�−1)(�−2)(�−3)�4

�(� − ��)

4

(3.13)

Dengan:

36 2.5. Analisis Hujan Rencana

Perhitungan hujan rencana dapat dikerjakan dengan berbagai metode distribusi, yaitu metode normal, log normal, Gumbel, maupun log Pearson Type III. Hal ini tergantung dari hasil perhitungan analisa frekuensi.

1) Distribusi Normal

Fungsi kerapatan kemungkinan (probability density fungtion) distribusi ini adalah sebagai berikut:

P’ (x) = 1

�√2�

(� −�2�2)2

(3.14) Dengan:

P’ = fungsi kerapatan kemungkinan

S =Deviasi standar

X = nilai rata-rata x = variable alat

Sifat khas lain dari jenis distribusi ini adalalh nilai koefisien skewnees hampir sama dengan nol (Cs ~ 0) dan nilai koefisien kurtosis mendekati tiga (Ck ~ 3).

2) Distribusi Log Normal

Fungsi kerapatan kemungkinan (probability density function) distribusi ini adalah sebagai berikut:

P’(X) = 1

�� √2�

(−0,5(ln�−��/��)2

(3.15) Dengan :

37 Xn =

0,5 ln(

42+�2

)

(3.16) Sn = ln(2+2 �2 ) Besarnya Skewness (Cs) = ��3+ 3�� Besarnya Kurtosis (Ck) = ��8+ 6��6+ 15.��4+ 16��2+ 3 (3.17) Dengan:

P’ = fungsi kerapatan kemungkinan S = deviasi standar

X = nilai rata-rata

3) Distribusi Log Pearson Type III

Untuk menghitung banjir perencanaan dalam praktek, The Hydrology Committee of The Water Resources Council USA, menganjurkan pertama kali mentransformasikan data ke nilai-nilai logaritmanya, kemudian menghitung parameter-parameter statistiknya, karena informasi tersebut, maka cara ini disebut Log Pearson Type III.

Garis besar analisis ini sebagai berikut:

a. Mengubah data debit banjir tahunan sebanyak n buah.

X1, X2, …. , Xn menjadi log X1 , log X2 , log Xn. (3.18) b. Menghitung harga rata-rata, dengan rumus:

����= ∑=1log�� (3.19)

c. Menghitung harga standar deviasi dengan rumus:

�=√∑ (Log X1 – Log X) 2

�=1

�−1 (3.20)

Dengan S = Standar Deviasi

38

� =.=1(log1log)2

(�−1)(�−2) (3.21)

e. Menghitung logaritma hujan atau banjir periode ulang T tahun, sebagai berikut :

Log Xt = Log X + K.s (3.22)

Dimana K adalah variabel standar untuk x yang besarnya tergantung pada koefisien “G” yang dicantumkan pada tabel 2.1: Tabel 2.1. Menentukan Variable Standart yang besarnya tergantung pada G

Sumber : Suripin, 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan

4) Metode Gumbel

Untuk perhitungan dipakai rumusan :

= 1+� (2.23)

1

=

39

= ��̅2− ��2 (2.35)

Dimana :

= angka hujan selama 1 hari (24 jam) yang mungkin terjadi dalam waktu T tahun

�̅ = angka rata-rata dari x

= diambil dari tabel 2.2. (nilai standard deviation untuk reduce variate)

= diambil dari tabel 2.2. (nilai rata-rata untuk reduce variate) ��

= diambil dari tabel 2.3. (reduce variate sebagai fungsi balik waktu)

Tabel 2.2. Nilai Reduce Variate berdasarkan banyak tahun pengamatan

40 Tabel 2.3. Nilai Reduce Variate sebagai fungsi balik waktu

Sumber : Ir. C.D. Soemarto, Dipl. H.E., buku Hidrologi Teknik

Reduce variate (Y) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

= −ln⁡(−ln⁡((� −1)/�)) (2.36)

2.6. Uji Kecocokan

Diperlukan penguji parameter untuk menguji kecocokan distribusi frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Pengujian parameter yang sering dipakai adalah Chi-Kuadrat dan Smirnov-Kolmogorov.

2.6.1. Uji Chi-Kuadrat

Uji Chi-Kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi yang telah dipilih dapat mewakili distribusi sampel data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan

parameter χ2, yang dapat dihitung dengan rumus berikut: χh2 = ∑ (Oi − Ei )2

Ei G

i=1 (2.37)

χ h² = Parameter Chi-Kuadrat terhitung, G = Jumlah Sub Kelompok,

Oi = Jumlah Nilai Pengamatan pada Sub Kelompok I, Ei = Jumlah Nilai Teoritis pada Sub Kelompok i.

41

Parameter χh2 merupakan variabel acak. Peluang untuk mencapai nilai χh2 sama atau lebih besar dari nilai chi-kuadrat sebenarnya (χ2) dapat

dilihat pada tabel 2.4:

Tabel 2.4. Nilai Kritis Untuk Distribusi Chi-Kuadrat

Dimana:

χh2 = Parameter Chi-Kuadrat terhitung G = Jumlah sub Kelompok

Oi = Jumlah Nilai Pengamatan pada Sub Kelompok i Ei = Jumlah Nilai Teoritis pada Sub Kelompok i

Prosedur Uji Probabilitas metode Chi-Kuadrat adalah sebagai berikut:

1. Urutkan data pengamatan dengan cara mengurutkan data terbesar hingga data terkecil atau sebaliknya,

42

2. Kelompokkan data menjadi G sub Grup yang masing-masing

beranggotakan minimal 4 data pengamatan,

3. Jumlahkan data pengamatan sebesar Oi tiap sub grup,

4. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar Ei, 5. Pada tiap-tiap sub grup hitung nilai:

(Oi - Ei)² atau (Oi − Ei )² Ei

Dimana:

Oi = Jumlah data Pengamatanpada Grup I,

Ei = Jumlah data dari Persamaan Distribusi pada grup i.

6. Jumlahkan seluruh G sub grup nilai (Oi - Ei)2 untuk menetukan nilai Chi-Kuadrat hitung.

7. Tentukan kuadrat kebebasan, dk = G – R -1 (nilai R=2 untuk distribusi normal dan binormal).

Interpretasi hasil uji adalah sebagai berikut:

1. Apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi yang digunakan dapat diterima,

2. Apabila peluang kurang dari 1%, maka persamaan distribusi yang digunakan tidak dapat diterima,

3. Apabila peluang lebih dari 1% - 5%, maka tidak mungkin mengambil keputusan (dibutuhkan data tambahan).

2.6.2. Uji Smirnov-Kolmogorov

Uji kecocokan Smirnov – Kolgomorov sering disebut juga uji kecocokan non parametrik, karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi disribusi tertentu. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

43

1) Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya peluang dari masing-masing data tersebut

�=

�+1�100% (2.38)

Dimana :

P = Peluang (%) m = Nomor urut data n = Jumlah data

X1 = P(X1) (2.39)

X2 = P(X2) (2.40)

X3 = P(X3), dan seterusnya (2.41)

2. Urutkan nilai masing-masing peliuang teoritis dari hasil penggambaran data (persamaan distribusinya)

X1 = P’(X1) (2.42)

X2 = P’(X2 (2.43)

X3 = P’(X3), dan seterusnya (2.44)

3. Dari kedua nilai peluang tersebut ditentukan selisih terbesar antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis.

D = maksimum [�(�)− �()] (2.45)

4. Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov – Kolgomorov test) tentukan harga Do.

5. Apabila nilai D lebih kecil dari nilai Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima, tetapi apabila nilai D lebih besar dari nilai Do, maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan distribusi tidak dapat diterima.

44

Nilai kritis, Do dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut ini :

Tabel 2.5. Nilai Kritis Do Untuk Uji Smirnov – Kolmogorov

N A 0,20 0,10 0,05 0,01 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0,45 0,32 0,27 0,23 0,21 0,19 0,18 0,17 0,16 0,15 0,51 0,37 0,30 0,26 0,24 0,22 0,20 0,19 0,18 0,17 0,56 0,41 0,34 0,29 0,27 0,24 0,23 0,21 0,20 0,19 0,67 0,49 0,40 0,36 0,32 0,29 0,27 0,25 0,24 0,23 n > 50 1,07/n0,5 1,22/n0,5 1,36/n0,5 1,63/n0,5 2.7. Banjir Rencana

Debit banjir rancangan diprediksikan berdasarkan data curah hujan dari stasiun pencatat hujan disekitar daerah tangkapan sungai. Periode/kala ulang yang diperhitungkan dalam analisis debit banjir rancangan ini adalah 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 25 tahun, 100 tahun, dan 1000 tahun.

45

Untuk menentukan analisis debit banjir dengan menggunakan Metode Melchior dan metode Hasper

2.7.1. Metode Melchior

Untuk memakai metode Melchior jika luas daerah aliran yang dikeahui lebih besar dari 100 km2. Bentuk persamaan dasar analisis banjir rancangan dengan menggunakan metode Melchior adalah sebagai berikut:

QT = α x β x A x XT

200 (2.46)

Tc = 0.186 x L x Q0 – 0.2 x I – 0.4 (2.47)

Langkah-langkah untuk menghitung debit rencana dengan menggunakan metode Melchior ini adalah sebagai berikut:

a. Menentukan:

a = Sumbu panjang/panjang sungai (km)

b = Sumbu pendek, dimana 2/3 dari sumbu panjang (km). F = Luas Ellips (km2)

b. Dengan diketahui F maka dapa kia tentukan besarnya hujan

maksimum harian β dengan berbagai kemungkinan.

c. Mencari harga Q0

d. Q0= α x β x A

2.7.2. Metode Hasper

Ketertarikan parameter alam yang diperhitungkan dalam metode ini dinyatakan dalam bentuk persamaaan dasar seperti berikut:

46 α = 1+0.012 A0.7 1+0.075∗ A0.7

(2.49) 1 β = 1 + t+3.7∗ 10−0.4t t2+ 15 x A0.75 12

(2.50) Dimana:

QT = Debit banjir rencana dengan kala ulang T tahun (m3/det)

Β = Koefisien reduksi

α = Koefisien limpasan

R = Intensitas curah hujan (m3/km2/det)

α = Luas daerah aliran sungai (km2)

I = Rata-rata kemiringan dasar sungai utama 2.8. Bendung Pelimpah

Menurut Standar Tata Cara Perencanaan Umum Bendung, yang diartikan dengan bendung adalah suatu bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun melintang sungai yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf muka air atau untuk mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat disadap dan dapat dialirkan secara gravitasi ketempat yang membutuhkan.

Dalam perencanaan bendung akan meliputi komponen-komponen seperti elevasi crest, lebar efektif bendung, tipe mercu, tipe bangunan peredam energi serta panjang lantai depan (apron). Dimana dalam perencanaannya senantiasa didasarkan pada pertimbangan kondisi hidrolis dan kestabilan bangunan. Hal ini dimaksudkan agar bangunan yang direncanakan dapat berfungsi secara optimal dan aman terhadap pengaruh gaya-gaya yang bekerja.

47

Penentuan serta pemilihan lokasi bendung didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:

•Diusahakan sedapat mungkin lebih ke hulu, agar bendung tidak terlalu tinggi, namun harus mengingat juga panjang saluran primer yang akan diperlukan supaya tidak terlalu panjang.

•Dipilih lokasi bendung pada ruas sungai relatif lurus, sempit dan dengan penampang yang relatif konstan serta kedua tanggulnya stabil. Hal ini mencerminkan bahwa sungai itu sudah stabil dengan kondisi dasarnya yang sekarang.

•Kondisi geologi teknik, sangat berpengaruh terhadap kemantapan atau kestabilan dari bangunan utama, terutama daya dukung tanah pondasi serta nilai kelulusan air tanah bawah (koefisien permeability tanah bawah).

•Kondisi topografi, sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan konstruksi dan biaya pelaksanaannya. Selain harus cukup tempat yang tersedia di tepi sungai untuk memuat kompleks bangunan utama termasuk kantong lumpur dan bangunan-bangunan penguras serta bangunan pengambilan saluran primer. Juga harus diupayakan sedemikian hingga beda antara volume galian dan timbunan tidak terlalu besar, sehingga pelaksanaannya relatif mudah dan biayanya relatif murah.

•Metode pelaksanaan, harus dipertimbangkan juga dalam pemilihan lokasi bendung karena akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan konstruksi dan biaya pelaksanaan. Namun demikian, yang utama dalam penentuan lokasi bendung adalah kondisi-kondisi yang

48

mendukung tercapainya kestabilan bendung secara keseluruhan, kemudian baru diikuti dengan pertimbangan metode pelaksanaannya, dan bukan sebaliknya.

2.8.2. Elevasi crest

Untuk elevasi muka air yang diperlukan, kehilangan tinggi energi berikut harus dipertimbangkan :

•Elevasi sawah yang akan diairi

•Kedalaman air di sawah

•Kehilangan tinggi energi di saluran dan boks

•Kehilangan tinggi energi di bangunan sadap

•Panjang dan kemiringan saluran primer

•Kehilangan tinggi energi di bangunan-banguan saluran primer 2.8.3. Lebar Bendung

Lebar bendung yaitu jarak antara pangkal-pangkalnya (abutment), sebaiknya sama dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil. Lebar maksimum bendung sebaiknya tidak lebih dari 1.2 kali lebar rata-rata sungai.

Agar bangunan peredam energi tidak terlalu mahal, maka aliran per satuan lebar hendaknya dibatasi sekitar 12 – 14 m3/dt/m1 yang memberikan tinggi energi maksimum sebesar 3.5 – 4.5 m.

Lebar efektif mercu bendung sehubungan dengan lebar bendung dirumuskan persamaan berikut :

49 Tabel 2.6. Nilai Ka dan Kp

No URAIAN Kp

1.

2.

3.

Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut-sudut yang dibulatkan pada jari-jari yang hampir sama dengan 0.1 dari tebal pilar

Untuk pilar berujung bulat

Untuk pilar berujung runcing

0.02 0.01 Ka 1. 2. 3.

Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu pada 900 kearah aliran

Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada 900 kearah aliran dengan 0.5 H1 >r> 0.15 H1

Untuk pangkal tembok bulat dimana r > 0.5 H1 dan tembok hulu tidak lebih dari 450 kearah aliran

0.20

0.10

50 2.8.4. Mercu Bendung

Mercu bendung yang umum di pakai di Indonesia adalah tipe Ogee dan tipe Bulat. Kedua mercu tersebut dapat di pakai untuk konstruksi beton dan pasangan batu. Tekanan yang bekerja pada mercu bendung merupakan fungsi perbandingan antara tinggi energi diatas mercu dengan jari-jari mercu bendung.

Hubungan antara tinggi energi dan debit yang melimpah diatas mercu bendung tipe Ogee dan Bulat dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan seperti berikut :

H b g 2/3 2/3 C Q= d 11.5 (2.51) C x C x C Cd= 0 1 2 (2.52) dimana,

Q = Debit aliran diatas mercu (m3/det) Cd = Koefisien debit

C0 = Koefisien debit yang merupakan fungsi dari H1/r C1 = Koefisien debit yang merupakan fungsi dari P/H1

C2 = Koefisien debit yang merupakan fungsi dari P/H1 dan kemiringan hulu bendung.

g = Percepatan gravitasi (m/det2) b = Lebar efektif mercu bendung (m) H1 = Tinggi energi diatas mercu bendung (m)

51 2.8.5. Peredam Energi

Aliran di atas bendung akan dapat menunjukan berbagai perilaku aliran di sebelah hilirnya. Apabila yang terjadi adalah aliran tenggelam

Dokumen terkait