• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Analisis data statistik dengan selang kepercayaan 95% terhadap penurunan bobot kayu, terjadi perbedaan yang nyata antara perlakuan jenis kayu, metode x arah serat, dan jenis kayu x metode x arah serat. Perlakuan metode terjadi perbedaan yang sangat nyata. Sedangkan perlakuan arah serat, metode x arah serat, dan arah serat x jenis kayu tidak berbeda nyata. 2. Pengujian keawetan dengan jamur pelapuk P. ostreatus dengan metode

SNI 01.7207-2006 diketahui bahwa kayu karet dengan nilai rata-rata kehilangan berat sebesar 23,12% (arah serat longitudinal), 20,77% (arah serat cross section) dan kayu sengon dengan nilai rata-rata kehilangan berat sebesar 22,25 % (arah serat longitudinal) dan 18,76% (arah serat

cross section). Kedua jenis kayu tersebut termasuk ke dalam kelas awet IV (tidak tahan terhadap jamur).

3. Pengujian metode JIS K 1571-2004 dengan jamur pelapuk P. ostreatus

dengan nilai rata-rata kehilangan berat sebesar 5,91 % (arah serat

longitudinal), 14,20% (arah serat cross section) dan kayu sengon dengan nilai rata-rata kehilangan berat sebesar 9,21 % (arah serat longitudinal), 10,95% (arah serat cross section).

4. Berdasarkan niali rata-rata kehilangan berat kayu, metode SNI 01.7207-2006 arah serat yang digunakan sebaiknya arah serat longitudinal dan JIS K 1571-2004 arah serat yang digunakan sebaiknya arah serat cross section. 5. P. ostreatus belum dapat digunakan dalam standar jamur uji dengan menggunakan contoh uji kayu karet dan sengon pada metode SNI 01.7207-2006.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengganti media biakan jamur (SNI menggunakan media pasir dan JIS menggunakan media agar) sehingga lebih mudah untuk membandingkan pengaruh media biakan jamur terhadap kehilangan berat contoh uji kayu.

2. Dalam persiapan contoh uji kayu perlu dilakukan pengovenan dan penimbangan contoh uji kayu untuk mendapatkan nilai berat kering contoh uji sebelum pengujian.

3. Kondisi tempat pengujian perlu dilakukan perbaikan sesuai standar pengujian yang telah ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahim M, Iding K, Kasasi K, Mandang YI, Soewanda AP. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor: Departemen Kehutanan.

Alexopolus CJ, Mims CW, Blackweel M. 1996. Introductory Mycology. Fourth Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Boerhendhy I, Nancy C, Gunawan A. 2003. Prospek dan Potensi Pemanfaatan Kayu Karet sebagai Substitusi Kayu Alam. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis, 1(1): 35-46.

Boerhendhy I, Agustina DS. 2006. Potensi Pemanfaatan Kayu Karet untuk Mendukung Peremajaan Perkebunan Karet Rakyat. Palembang: Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet, Jurnal Litbang Pertanian, 25(2).

Boyce JS. 1961. Forest Phatology. New York: McGraw Hill Book Company, Inc.

Chang ST, Miles PG. 1989. Edible Mushrooms and Their Cultivation. Florida: CRC Press, Inc.

Eksanto EJ. 1996. Pengaruh Perendaman Air Belerang dan Minyak Tanah terhadap Sifat Fisis Mekanis Tiga Jenis Kayu Melalui Uji Serangan Jamur Pelapuk (Schizophyllum commune Fr.). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutana, IPB.

Edinintyas D. 1993. Zat Ekstraktif Tiga Jenis Kayu Awet Indonesia dan Efikasinya terhadap Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus

Light. [Skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan, IPB.

Fengel D, Wegener G. 1984. Kayu Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Terjemahan Hardjono Sastrohamidjojo dan Soenardi Prawirohatmodjo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Fitriyani I. 2010. Pengujian Keawetan Alami Kayu Karet (Hevea brasiliensis

Muell. Arg.) dan Sugi (Cryptomeria japonica (l. F.) D. Don.) terhadap Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune fr. [skripsi]. Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan, IPB.

Gunawan AW. 1999. Usaha Pembibitan Fungi. Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya.

[JIS] Japan Industrial Standard. 2004. Test Methods for Determining The Effectiveness of Wood Preservativeness of Wood Preservatives and Their Performance Requirement. JIS K 1571-2004.

Haygreen JG, Bowyer JL. 1982. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Herliyana EN. 1997. Potensi Schizophyllum commune dan Phanerochaete chrysosporium untuk Pemutihan Pulp Kayu Acacia mangium dan Pinus merkusii. [Thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Herliyana EN. 2007. Potensi Lignolitik Jamur Pelapuk Kayu Pleurotoid. [Desertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Martawijaya A. 1972. Keawetan dan Pengawetan Kayu Karet (Hevea

brasiliensis Muell. Arg.). Laporan Penelitian Hasil Hutan No. 1. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.

Nandika D, Soenaryo, Saragih A. 1996. Kayu dan Pengawetan Kayu. Jakarta: Dinas Kehutanan DKI Jakarta.

Padlinurjaji IM. 1977. Rendaman Dingin Larutan Wolmanit Terhadap Lima Jenis Kayu pada Berbagai Tingkat Konsentrasi dan Waktu Rendam. Bogor: Fakultas Kehutanan, IPB.

Pandit IKN, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu sebagai Bahan Baku. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan, IPB.

Pari G. 1996. Analisis Komponen Kimia dari Kayu Sengon dan Kayu Karet pada Beberapa Macam Umur. Bogor: Buletin Penelitian Hasil Hutan, 14(8): 321-327.

Partini. 2003. Daya Tahan Papan Partikel dari Limbah Serbuk Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Plastik Polypropilene Daur Ulang Terhadap Serangan Jamur Schizophyllum commune. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, IPB.

Pelczar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume ke-1. Hadioetomo RS, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah: UI Press. Terjemahan dari: Elements of Mocrobiology.

Safitri ES. 2003. Analisis Komponen Kimia dan Dimensi Serat Kayu Karet (Hevea brasliensis Muell. Arg.) Hasil Klon. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, IPB.

Seng OD. 1990. Berat Jenis Kayu-kayu Indonesia dan Pengertian dari Berat Kayu untuk Keperluan Praktek. Bogor: Pengumuman No:13. Lembaga Penelitian Hasil Hutan.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1998. Tata Cara Pengawetan Kayu untuk Bangunan Rumah dan Gedung. Badan Standarisasi Nasional. SNI 01.3233-1998. Jakarta.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2006. Uji Ketahanan Kayu dan Produk Kayu terhadap Organisme Perusak Kayu. Badan Standarisasi Nasional. SNI 01.7207-2006. Jakarta.

Tim ELSSPAT. 1997. Pengawetan Kayu dan Bambu. Jakarta: Puspa Swara. Tambunan B, Nandika D. 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. Bogor:

Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB.

Tobing TL. 1977. Pengawetan Kayu. Bogor: Fakultas Kehutanan, IPB.

Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood: Structure, Properties, Utilization. Van Nostrand Reinhold. New York.

Wartaka. 2006. Studi Pertumbuhan Beberapa Isolat Jamur Tiram (Pleurotus spp.) pada Berbagai Media Berlignin. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, IPB.

Wilcox WW. 1987. Degradasi dalam Hubungannya dengan Struktur Kayu. Yoedodibroto H, Penerjemah. Di dalam: Nicholas DD, editor. Jilid 1. New York: Syracuse University Press. Hlm 131-173. Terjemahan dari: Wood Deterioration and Its Prevention by Preservative Treatments. Volume 1. Wistara IN. 2002. Ketahanan 10 Jenis Kayu Tropis. Jurnal Penelitian Hasil Hutan

Vol. XV. Bogor: Badan Litbang Kehutanan.

Lampiran 1 Dokumen Asli Standar Pengujian JIS K 1571- 2004

4. Test method

4. 1 Preservative sample preparation-omitted 4. 2 Decay test

4. 2. 1 Laboratory test

4. 2. 1. 1 Impregnation treatment 4. 2. 1. 1. 1 Materials

a) Wood sample 1)-5)-omitted b)Test fungi

Fomitopsis palustris (Berk. Et Curt.) Gilbn. & Ryv. FFPRI 0507 Trametes versicolor (L.: Fr.) Pilat FFPRI 1030

c) Incubation jar

Cylindrical glass jar with a wide opening and a lid, having 50-100 cm² bottom area and 500-900 ml capacity

d)Medium

350 g quartz sand + 100ml nutrient solution [D(+)-glucose 4% (m/m), peptone 0,3% (m/m) and malt extract 1,5% (m/m)] with pH 5,5-6,0

e) Inoculum-beech feeder strips are previously placed on fully grown mycelia on agar plate for 5-6 days. A feeder strip is then transferred onto an autoclaved-medium (autoclave: 120° C for 30 min)

We used a modified method to prepare an inoculums. Reciprocal shaking is used instead of feeder strips. A fragment of fungal mycelium is introduced into a 250-300 ml nutrient solution in a 1 liter-shaking flask and shaken reciprocally for 7-10 days until fungal broth is obtained.

4. 2. 1. 1. 1 Test wood specimens a) Treated wood specimens:

1) Wood specimens are vacuum-impregnated. After impregnation treatment wood specimens are recovered from a treatment beaker and gently wiped excessive solution.

2) Solution uptake is determined from the difference in masses nearest 0,01 g (0,001 g in our case) of wood specimens before and after impregnation.

3) Target uptake

250 ± 10% for waterborne and emulsifiable preservative samples, 200 ± 10% for oil-based and oilborne preservatives

b)Wood specimens for correction

Applied only for oil-based and oilborne preservatives c) Untreated wood specimens

Wood specimens designated as in 4. 2. 1. 1. 1 a) are used to monitor fungal activity

d)Number of replications

4. 2. 1. 1. 1 Fungal test

Weathered wood specimens are subjected to decay test. Wood specimens for correction are placed on a thermotolerant net on the quartz sand moistened with deionized water in jars without test fungi

a) Weathering method

A set of 9 specimens of the same treatment group is soaked in deionized water 10-fold volume of wood specimens in a 500 ml-beaker. Th water is agitated by a magnetic stirrer at 400-500 rpm to allow leaching of waterborne substances from wood specimens for 8 hr at 25 ± 3°C, and immediately transferred into an air-circulated oven to allow evaporation for 16 hr. the cycle is then repeated 9 times. Wood specimens Number of test fungi used Number of replications Waterborne and emulsifiable preservatives

Oil-based and oilborne preservatives Number of replications Subtotal Number of replications Subtotal Treated specimens 2 9 18 9 18 Specimens for correction - - - 9 9 Untreated specimens 2 9 18 9 18 Total number of specimens - - 36 - 45

After weathering cycles, all wood specimens are taken for their ovendried masses nearest 0,01 g (0,001 g in our case) after keeping them at 60 ± 2°C for 48 hr prior to cooling them down in a desiccators for 30min.

b)Fungal exposure

A set either treated or untreated wood specimens are introduced onto a fully grown mycelia mat of a test fungus designated as in 4. 2. 1. 1. 1 e). The specimens are directly place on a mycelia mat of T. versicolor so that longitudinal direction is vertical to a mycelia mat, while mm thick thermotolerant plastic net is inserted between wood specimens and a mycelia mat of F. palustris. Assembled jars are incubated at 26 ± 2°C and >70% RH for 12 wk. After fungal exposure, recovered wood specimens are cleaned off surface adherents such as mycelium (we use tapwater and tooth brush for cleaning), kept under ambient conditions for ca 24 hr, dried at 60 ± 2°C for 48 hr prior to cooling them down in a desiccators for ca 30 min, and then their ovendried masses are measured nearest 0,01 g (0,001 g in our case).

4. 2. 1. 1. 4 Calculation

Percent mass loss* is calculated according to the following equation:

Lı= (m3-m4)/m3 x 100, where

Lı: Percent mass loss (%)

m3: Mass determined in 4. 2. 1. 1. 3 a) (g) m4: Mass determined in 4. 2. 1. 1. 3 b) (g) *round at one place of decimal to obtain integral value

Percent mass loss for wood specimens treated with an oil-based oroilborne preservative should be calculated by deduction of percent mass loss of wood specimens for correction from that obtained without correction.

4. 2. 1. 1. 5 Validity of test

Mean mass loss percent of untreated wood specimens which are tested together with treated wood specimens in 4. 2. 1. 1. 3 should be >30% and >15% for F. palustris and T. versicolor, respectively. Otherwise, retest is needed.

Lampiran 2 Analisis Uji Beda Nilai Tengah

summary(aov(TKDeg ~ Ulangan+(Metode*ArahSerat*Jenis)))

Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F) Ulangan 9 162.83 18.09 0.8895 0.5396988 Metode 1 1943.21 1943.21 95.5366 3.029e-14 *** ArahSerat 1 7.43 7.43 0.3653 0.5477580 Jenis 1 82.74 82.74 4.0680 0.0479691 * Metode:ArahSerat 1 249.64 249.64 12.2735 0.0008511 *** Metode:Jenis 1 7.16 7.16 0.3522 0.5549864 ArahSerat:Jenis 1 63.80 63.80 3.1365 0.0813957 . Metode:ArahSerat:Jenis 1 111.06 111.06 5.4603 0.0226468 * Residuals 63 1281.42 20.34 --- Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

> model2 <- aov(TKDeg ~ Ulangan+(Metode*ArahSerat*Jenis)) > library(agricolae)

> LSD.test(model2, "Metode")

Study:

LSD t Test for TKDeg

Mean Square Error: 20.33994

Metode, means and individual ( 95 %) CI

TKDeg std.err replication LCL UCL JIS 11.37075 0.6411472 40 10.08952 12.65198 SNI 21.22775 0.9215428 40 19.38619 23.06931

alpha: 0.05 ; Df Error: 63 Critical Value of t: 1.998341

Least Significant Difference 2.015252

Means with the same letter are not significantly different.

Groups, Treatments and means

a SNI 21.22775

b JIS 11.37075

> LSD.test(model2, "Jenis")

Study:

LSD t Test for TKDeg

Mean Square Error: 20.33994

Jenis, means and individual ( 95 %) CI

TKDeg std.err replication LCL UCL Karet 17.31625 1.013793 40 15.29035 19.34215 Sengon 15.28225 1.193793 40 12.89665 17.66785

alpha: 0.05 ; Df Error: 63 Critical Value of t: 1.998341

Least Significant Difference 2.015252

Means with the same letter are not significantly different.

Groups, Treatments and means

a Karet 17.31625

Lampiran 3 Dokumentasi penelitian

Gambar kayu karet (SNI) sebelum diuji Gambar kayu sengon (JIS) sebelum diuji

Gambar pasir kuarsa (media JIS) Gambar toples uji

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan dengan keanekaragaman hayati merupakan kekayaan alam Indonesia yang sangat berharga. Salah satu bentuk keanekaragaman tersebut adalah jamur yang potensinya belum dimanfaatkan secara maksimal di Indonesia. Sebagai salah satu sumber hayati, jamur diketahui hidup liar di alam. Tempat tumbuhnya di tanah ataupun pada kayu yang mulai lapuk. Jamur biasanya banyak ditemukan pada awal musim hujan. Salah satu spesies jamur pelapuk kayu adalah

Pleurotus ostreatus yang tumbuh secara alami pada batang pohon berdaun lebar atau pada limbah kayu hasil hutan.

Jamur yang menyebabkan pelapukan atau pewarnaan pada kayu dan bahan-bahan selulosa bersifat autotrof karena tidak dapat memproduksi makanan sendiri, jamur harus memperoleh energinya dari bahan-bahan organik lain (Haygreen dan Bowyer 1982) Jamur pelapuk kayu contohnya P. ostreatus. merupakan penyebab utama kerusakan kayu. Jamur ini merusak dinding sel kayu sehingga mengubah sifat fisik dan kimia kayu. Akibat serangan jamur ini dapat mencapai titik kondisi yang disebut kayu busuk (decay).

Jamur perusak kayu hidup dari komponen-komponen kayu seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin yang dirombak secara biokimia dengan bantuan enzim. Karena perombakan inilah maka sifat-sifat kayu berubah. Akibat dari perombakan ini juga, serangan jamur perusak kayu bersifat menghancurkan dan membusukkan bahan organik kayu. Jamur pelapuk kayu adalah golongan jamur yang dapat merombak selulosa dan lignin sehingga kayu menjadi lapuk, kekuatan serta elastisitasnya turun dengan cepat (SNI 01-3233-198). Menurut Nandika et al. (1996) terdapat tiga jenis jamur yang banyak menyerang kayu bangunan di Indonesia yaitu : 1). Schizophyllum commune Fr; 2). Pycnoporus sanguinens (Fr.) Korst; 3). Dacryopinax spthularia (Sch). Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk memberikan masukan terhadap SNI dalam penggunaan jamur uji P. ostreatus.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: 1). Mengetahui potensi jamur P. osreatus sebagai jamur uji terhadap kayu Hevea brasiliensis dan Paraserianthes falcataria

berdasarkan arah serat (longitudinal dan cross section) pada metode SNI 01.7207-2006; 2). Mengetahui tingkat ketahanan kayu H. brasiliensis dan P. falcataria

berdasarkan arah serat (longitudinal dan cross section) terhadap serangan jamur pelapuk kayu P. ostreatus berdasarkan metode SNI 01.7202-2006 dan JIS K 1571-2004.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1). Memberikan informasi tentang perbedaan teknis pengujian ketahanan kayu terhadap jamur P. ostreatus berdasarkan SNI 01.7207-2006 dan JIS K 1571-2004; 2) Memberikan informasi tentang arah serat yang digunakan pada metode SNI 01.7207-2006.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jamur

Jamur atau cendawan merupakan organisme heterotrofik yang memerlukan senyawa organik untuk nutrisinya. Bila mereka hidup dari benda organik mati yang terlarut, mereka disebut saprofit. Saprofit menghancurkan sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang kompleks, menguraikannya menjadi zat-zat kimia yang lebih sederhana, yang kemudian dikembalikan ke dalam tanah. Sebaliknya, jamur juga dapat merugikan bilamana jamur tersebut membusukkan kayu, tekstil, makanan dan bahan-bahan lain (Pelczar dan Chan 1986).

Kollmann (1968) dalam Nandika (1996) menyatakan bahwa, beberapa faktor fisiologis yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur yaitu temperatur, oksigen, kelembaban, pH dan nutrisi, diuraikan sebagai berikut:

1. Temperatur maksimum adalah 27 − 38oC. Setelah lebih dari 40oC jamur perusak kayu umumnya tidak dapat tumbuh lagi. Temperatur minimum adalah 5oC, beberapa jamur ada yang masih dapat hidup di bawah 0oC. Temperatur optimum bagi perkembangan jamur adalah 25 – 30oC.

2. Oksigen (O2) dibutuhkan oleh jamur untuk melakukan respirasi yang menghasilkan karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). Konsentrasi CO2 yang tinggi akan menghambat pertumbuhan jamur, untuk pertumbuhan yang optimumoksigenharus diambil secara bebas di udara.

3. Kebutuhan jamur akan kelembaban berbeda-beda, akan tetapi hampir semua jenis jamur dapat hidup pada substrat-substrat yang belum jenuh air. Kadar air yang rendah dari substrat sering menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan jamur. Kayu yang memiliki kadar air kurang dari 20% tidak diserang oleh jamur perusak sedangkan kayu yang memeliki kadar air 35 − 50% sangat disukai oleh jamur.

4. Jamur akan tumbuh baik pada pH kurang dari 7 atau dalam suasana asam. Pertumbuhan yang optimum akan dicapai pada pH 4,5 sampai 5,5.

5. Jamur memerlukan makanan dari zat-zat yang terkandung dalam kayu seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat isi sel. Lebih dari setengah berat kering tanur merupakan karbon. Energi diperoleh dari hasil oksidasi senyawa-senyawa organik tersebut.

Kaul (1997) dalam Wartaka (2006) menyatakan bahwa jamur dibagi menjadi empat kelas berdasarkan ada tidaknya ciri-ciri seksual dan cara spora seksual dibentuk, yaitu sebagai berikut:

1. Deuteromycetes merupakan fungi imperfect karena dalam proses reproduksi fase telemorfnya belum diketahui sedangkan fase anamorfnya sudah diketahui. Jamur ini memiliki hifa yang bersekat. Contoh dari kelas ini adalah : Fusarium spp., Rhizoctonia spp. dan Penicilium spp.

2. Basidiomycetes pada umumnya memiliki hifa yang bersekat dengan membentuk sambungan apit (clamp connection), berkembangbiak secara seksual maupun aseksual. Perkembangan secara seksual biasanya tidak diikuti langsung oleh karyogami. Selain itu antara alat kelamain jantan dan betina tidak dapat dibedakan dan pada umumnya membentuk tubuh buah. Contoh dari kelas ini adalah : Ganoderma spp., Agaricus spp. dan

Pleurotus sp.

3. Ascomycetes umumnya mempunyai askus (kantong) yang berisi spora seksual dan hifanya berseka. Alat kelamin jantannya disebut anteridium dan alat kelamin betinanya disebut askogonium. Contoh dari kelas ini adalah : Oidium spp., Sacharomyces spp. dan Nectria spp.

4. Oomycetes mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : talusnya berbentuk filament, hifanya tidak bersekat, mempunyai alat kelamin jantan (anteridium) dan alat kelamin betina (oogium). Contoh dari kelas ini adalah : Phytium spp., Phytopthora spp. dan Saprolegnia spp.

Struktur somatik pada jamur dikenal sebagai hifa. Hifa berbentuk seperti benang atau filamen. Hifa dapat tumbuh kesegala arah pada ujung-ujungnya dan bagian tertentu tempat cabang dibentuk (Gunawan 1999). Miselium yang berasal dari satu spora dinamakan miselium primer dan merupakan miselium monokarion. Miselium ini mempunyai satu macam inti saja. Dalam kehidupannya, dua miselium primer yang serasi dapat mengadakan fusi atau melebur menjadi

miselium sekunder dan miselium dikarion. Miselium hasil peleburan ini mempunyai sel-sel dengan dua inti pada setiap selnya. Keadaan dikarion ini dapat dipertahankan melalui proses pembentukan sambungan apit. Miselium dikarion inilah yang menghasilkan tubuh buah suatu jamur (Chang dan Miles 1989).

Struktur reproduksi seksual yang dihasilkan di dalam tubuh bergantung pada kelompok jamurnya. Struktur reproduksi seksual pada Ascomycetes dinamakan askus dan spora yang terbentuk didalamnya dinamakan askospora. Jamur Basidiomycetes menghasilkan basidiospora yang dibentuk di atas basidium. Di dalam basidium dua inti saling melebur yang diikuti proses meiosis sehingga menghasilkan empat inti (Chang dan Miles 1989).

Chang dan Miles (1989) berpendapat bahwa, Pleurotus spp. termasuk ke dalam kelas Basidiomycetes. Semua jamur kelas Basidiomycetes membentuk tubuh buah atau basidium. Basidospora membentuk miselium monokariotik yang bersifat haploid (n).

2.2. Jamur Tiram (P. ostreatus)

Jamur P. ostreatus merupakan salah satu jenis jamur kayu. Pada umumnya masyarakat menyebut jamur tiram sebagai jamur kayu karena jamur ini banyak tumbuh pada media kayu yang sudah lapuk. Disebut jamur tiram atau oyster mushroom karena bentuk tudungnya agak membulat, lonjong dan melengkung seperti cangkang tiram. Batang atau tangkai tanaman ini tidak tepat berada pada tengah tudung, tetapi agak ke pinggir (Yuniasmara et al., 2001).

Jamur tiram putih secara alami hidup pada batang kayu yang sudah mati. Jamur ini mampu memproduksi enzim yang dapat mengurai material yang mempunyai kandungan selulosa dan lignin yang tinggi seperti yang dikandung oleh bahan buangan (limbah), baik dari tanaman pertanian maupun dari hasil hutan. Kemampuan jamur ini dalam mengurai selulosa dan lignin dapat dimanfaatkan dengan beberapa keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu: 1). Limbahnya digunakan sebagai media budidaya jamur; 2). Limbah sisa budidaya digunakan sebagai kompos; 3). Limbah budidaya jamur tiram dapat digunakan sebagai makanan tambahan bagi ternak ruminansia, karena bahan ini menjadi mudah dicernakan serta mengandung nilai gizi yang tinggi (Gunawan 1999).

Beberapa peneliti (Swann dan Taylor, 1993, 1995, McLaughlin et al.,1995 dan Berres et al. dalam Alexopoulus et al., 1996), membuat klasifikasi lengkap dari jamur tiram sebagai berikut: Kingdom: Fungi; Phylum: Basidiomycota; Klas: Hymenomycetes; Ordo: Agaricales; Family: Tricholomataceae; Genus: Pleurotus; Species: Pleurotus spp.. Moncalvo et al., (2002) dan Landcare Research (2004)

dalam Herliyana (2007), mengklasifikasikan Pleurotus ke dalam famili tersendiri yaitu Pleurotaceae.

Sumber Foto : Dewi. A

Gambar 1 Tubuh buah Pleurotus ostreatus (Koleksi Laboratorium Penyakit Hutan, IPB).

2.3. Jamur Tiram (P. ostreatus) sebagai Jamur Pelapuk Kayu

Pelapukan kayu adalah proses berkurangnya kepadatan kayu yang disebabkan adanya penguraian bahan dasar kayu oleh jamur. Pelapukan disebabkan oleh jamur yang menggunakan kandungan dinding sel kayu sebagai sumber makanan (Cartwright dan Findlay 1958 dalam Herliyana 2007). Pelapukan dapat menyebabkan adanya gangguan struktural, yang terjadi secara cepat dan luas dan menyebabkan kerugian secara ekonomik dan kehilangan sumberdaya yang cukup besar. Hal tersebut sejalan dengan permintaan kayu yang semakin besar (Fegel dan Wegener 1989 dalam Herliyana 2007).

Jamur pelapuk secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga, yaitu

brown rot fungi (jamur pelapuk coklat), white rot fungi (jamur pelapuk putih), dan

soft rot fungi. Brown rot fungi merupakan jamur tingkat tinggi dari kelas Basidiomycetes. Jamur kelas ini mampu mendegradasi holoselulosa kayu dan meninggalkan residu kecoklatan yang banyak mengandung lignin. White rot fungi

merupakan jamur dari kelas Basidiomycetes yang mampu mendegradasi holoselulosa dan lignin sehingga menyebabkan warna kayu menjadi lebih muda daripada warna normal. Soft root fungi merupakan jamur dari kelas Ascomycetes. Jamur ini mampu mendegradasi selulosa dan komponen penyusun dinding sel kayu sehingga menjadi lebih lunak (Fengel dan Wegener 1989 dalam Herliyana 2007).

Pelapukan kayu oleh jamur dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap awal dan tahap lanjut. Pelapukan tahap awal, mula-mula terjadi perubahan warna dan pengerasan pada permukaan kayu. Pada tahap ini, benang-benang hifa akan menyebar ke segala arah terutama ke arah longitudinal. Hifa dapat juga berkembang pada permukaan kayu atau bagian kayu yang retak. Miselium bekerja seperti akar tanaman, yaitu menghisap zat makanan. Setelah tingkat permukaan dilalui, penampilan kayu berubah secara total. Sedangkan pelapukan tahap lanjutan, kekuatan kayu berkurang sehingga mudah dihancurkan dengan jari-jari

Dokumen terkait