• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis data, peneliti mendapatkan pelanggaran-pelanggaran maksim sebagai berikut. Pertama , pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa yang dilakukan oleh remaja adalah pelanggaran prinsip kerjasama, pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa, dan pelanggaran prinsip muka. Bentuk tuturan yang tidak santun yang dilakukan usia remaja kepada orang tua adalah tuturan yang menyinggung atau melukai mitra tutur serta berpotensi merusak citra diri penutur dan mitra tutur. Kedua, penanda yang membuat usia remaja tidak santun ketika bertutur adalah (a) penutur tidak dapat menahan emosi, (b) penutur memaksakan pendapat, dan (c) penutur memojokkan mitra tutur. Bentuk tuturan yang santun yang dilakukan oleh usia remaja ternyata tidak selalu mematuhi ketiga aturan kesantunan berbahasa. Bentuk tuturan yang santun dapat berupa pelanggaran salah satu aturan kesantunan dalam rangka untuk mematuhi aturan yang lainnya. Penanda tuturan usia remaja yang dikatakan santun adalah bila tuturan tersebut (a) menanggapi mitra tutur dengan positif, (b) menyampaikan pendapat dengan lugas, dan (c) mengungkapkan ketidaksetujuan tanpa memojokkan mitra tutur. Ketiga, fakta pemakaian bahasa oleh usia remaja masih banyak yang bertutur menggunakan kata yang tidak santun kepada orang

yang lebih tua sebagai mitra tuturnya karenanya masih perlu banyak diperbaiki dan diajarkan berbahasa yang lebih santun kepada orang yang lebih tua.

Berbahasa dengan santun bukan hanya dapat menjaga hubungan dengan orang lain namun juga dapat membentuk citra diri yang baik bagi penutur sendiri. Oleh karena itu, penutur hendaknya memperhatikan kaidah-kaidah kesantunan ketika bertutur. Bila penutur mampu bertutur dengan santun, akan memperoleh manfaat ganda yaitu menjaga relasi dengan orang lain sekaligus membentuk citra diri yang positif.

Pada penelitian ini peneliti menemukan bahwa sebagian tuturan yang berkategori tidak santun dari 20 responden yang masuk dalam golongan usia remaja. Perbandingan antara jumlah tuturan yang tidak santun dan santun cukup sama. Artinya usia remaja seimbang menggunakan tuturan yang santun dan tidak santun.

Ketidaksantunan dalam berbahasa ini disebabkan usia remaja menggunakan tuturan langsung dalam menyatakan ketidaksepakatan atas tuturan mitra tuturnya. Menurut Pranowo (2009), tuturan yang santun adalah tuturan apa yang dikatakan tidak seperti apa yang dituturkan. Artinya bila seorang penutur ingin mengatakan sesuatu, ia tidak perlu mengatakan dengan tuturan yang langsung. Tuturan yang santun adalah tuturan yang mengandung sasmita. Tuturan yang mengandung sasmita merupakan tuturan yang memberi lebih banyak pilihan pada mitra tutur. Dengan adanya sasmita, mitra tutur diberi kelonggaran untuk memilih.

Pelanggaran kaidah kesantunan dapat merusak hubungan interpersonal penutur dan mitra tutur.

Salah satu temuan peneliti adalah rendahnya kesantunan berbahasa usia remaja. Penyebabnya adalah dilanggarnya kaidah-kaidah kesantunan berbahasa. Rendahnya kesantunan berbahasa ini dapat memicu konflik dengan orang yang lebih tua. Apabila usia remaja bermasalah, maka yang akan menjadi korban adalah orang lain yang lebih tua di luar lingkup keluarganya. Untuk itu kesantunan berbahasa hendaknya dijaga agar kerukunan dapat tercipta.

Usia remaja yang tidak santun dalam bertutur dapat menyinggung mitra tuturnya. Ketika mitra tutur tidak dapat menguasai dirinya dengan bertutur santun, ia akan membalas dengan tuturan yang tidak santun pula. Saling menyerang dengan tuturan yang tidak santun pun dapat terjadi. Disinilah awal mula percekcokan antara keluarga dimulai.

Untuk menghindari kejadian-kejadian seperti di atas, perlulah anak usia remaja bertutur dengan santun. Bertutur santun dapat dilakukan dengan mematuhi kaidah-kaidah kesantunan berbahasa, masalah dapat diminimalkan. Namun demikian, kepatuhan pada kaidah kesantunan harus diiringi dengan kepekaan penutur untuk menangkap pesan yang tersembunyi dalam sebuah tuturan atau implikatur. Kesantunan berbahasa sangat berkaitan dengan implikatur dalam tuturan. Penutur seringkali menuturkan sesuatu yang berbeda dengan pesan yang sesungguhnya yang hendak dikomunikasikan. Tuturan yang santun seringkali

menyimpan sesuatu yang tersembunyi. Kepekaan penutur harus diasah untuk memahami maksud-maksud yang tersembunyi ini. Apabila penutur tidak mampu menangkap sasmita-sasmita ini, komunikasi akan terhambat, kesalahpahamanpun dapat terjadi.

Bahasa remaja tidak harus diidentikkan dengan bahasa yang tidak santun. Tuturan remaja yang masih tidak santun dengan orang yang lebih tua sebaiknya dikoreksi dan diperbaiki supaya lebih santun. Karena dengan tidak memandang siapa yang diajak berbicara akan menimbulkan kalimat yang tidak santun. Usia remaja seringkali berbicara dengan lugas. Meskipun demikian, kelugasan tuturan ini tidak harus selalu kelugasan yang menyerang mitra tutur. Tuturan yang lugas juga dapat dibuat sebagai tuturan yang santun apabila memenuhi kaidah-kaidah kesantunan. Disinilah perlunya mengasah kemampuan bertutur. Dimana saatnya penutur harus bertutur dengan lugas namun tetap santun dan dimana saatnya harus bertutur menggunakan sasmita.

Dengan tuturan yang santun, komunikasipun akan berjalan dengan lancar. Tukar pendapat, pembicaraan akan berjalan maksimal karena gesekan antar peserta diskusi dapat ditekan. Saat akhir pembicaraanpun dapat diambil dengan baik dan pembicaraan dapat berjalan efektif. Menjaga agar tuturan tetap santun memberi manfaat bagi oranglain. Keputusan-keputusan yang diambil dengan kepala dingin dan arah diskusi yang baik dapat menjadi salah satu hal yang menentukan arah kebijakan selanjutnya.

Citra bahasa remaja yang buruk dimata masyarakat sedikit demi sedikit dapat diperbaiki bila anak usia remaja mau bertutur dengan bahasa yang santun. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa tidak hanya akan bermanfaat bagi orang lain, juga bermanfaat bagi penutur sendiri. Cara bertutur yang santun pun harus dimiliki oleh masyarakat. Tuturan adalah cermin bagi sebuah budaya. Tuturan yang tidak santun mencerminkan budaya yang rendah sebaliknya tuturan yang santun mencerminkan penuturnya yang berkebudayaan tinggi. Penggunaan bahasa mencerminkan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, baiklah apabila tuturan yang santun tidak hanya menjadi bagian dalam sejarah namun masih bertahan hingga zaman yang akan datang.

Dokumen terkait