• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Tidak terdapat hubungan stres dengan siklus menstruasi pada mahasiswi FK USU tahun masuk 2012 (p>0,05)

2. Stres responden terdiri dari berbagai tingkatan, dimana lebih banyak responden yang tidak stres

3. Siklus menstruasi responden lebih banyak siklus menstruasi yang normal

6.2 Saran

1. Penelitian dilakukan dengan follow up menstruasi selama 3 bulan dengan menggunakan kalender menstruasi

2. Mahasiswi FK USU dengan kelainan siklus menstruasi melakukan evaluasi pribadi untuk mengetahui penyebab kelainan siklus menstruasi 3. Mahasiswi FK USU dengan keadaan stres harus mengatasi stres masing-

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres

2.1.1 Definisi Stres

Stres adalah respon nonspesifik generalisata tubuh terhadap setiap faktor yang mengalahkan, atau mengancam untuk mengalahkan kemampuan kompensasi tubuh untuk mempertahankan homeostasis (Sherwood, 2012). Sebagian stres ini akan mengakibatkan besar dari stres ini akan mengaktifkan respon tanggapan (counteractions) di tingkat molekul, sel, atau sistemik yang cenderung memulihkan sebelumnya, yaitu, respon tersebut adalah reaksi homeostasis (Ganong, 2012).

2.1.2 Patofisiologi Stres

Respon terhadap stres dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh hipotalamus. Hipotalamus menerima masukan stresor fisik atau emosi dari hampir semua bagian otak dan dari banyak reseptor di seluruh tubuh. Sebagai respons, hipotalamus secara langsung mengaktifkan sistem saraf simpatis, mengeluarkan CRH ( Corticotropin Releasing Hormon) untuk merangsang pengeluaran ACTH dan kortisol, serta memicu pelepasan vasopresin. Stimulasi simpatis, pada gilirannya menyebabkan sekresi epinefrin, yang sama-sama memiliki efek pada sekresi insulin dan glukagon oleh pankreas. Selain itu, vasokonstriksi arteriol aferen ginjal oleh katekolamin secara tidak langsung merangsang renin dengan mengurangi aliran darah beroksigen ke ginjal. Renin, selanjutnya, mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron. Dengan cara ini, hipotalamus mengintegrasikan respon sistem saraf simpatis dan sistem endokrin selama stres (Sherwood, 2012).

Agen penginduksi respon secara tepat disebut sebagai stresor, sementara stres merujuk kepada keadaan yang ditimbulkam oleh stresor. Jenis-jenis rangsangan yang mengganggu berikut ini menggambarkan ragam faktor yang

5

dapat menginduksi respon stres: fisik (trauma, pembedahan, panas atau dingin hebat); kimia (penurunan pasokan O2,ketidakseimbangan asam-basa); fisiologik (olahraga berat, syok hemoragik, nyeri); infeksi (invasi bakteri); psikologis atau emosional (rasa cemas, ketakutan, kesedihan); dan sosial (konflik perorangan, perubahan gaya hidup (Sherwood,2012).

2.1.3 Perubahan Hormon Akibat Stres

Adapun hormon-hormon yang mengalami perubahan selama stres, yaitu : a. Kortisol

Kortisol berperan kunci dalam adaptasi terhadap stres. Segala jenis stres merupakan rangsangan utama bagi peningkatan sekresi kortisol. Meskipun peran persis kortisol dalam adaptasi terhadap stres belum diketahui namun penjelasan yang spekulatif tetapi masuk akal adalah sebagai berikut. Manusia primitif atau hewan yang terluka atau menghadapi situasi yang mengancam nyawa harus bertahan tanpa makan. Pergeseran dari penyimpanan protein dan lemak ke peningkatan simpanan karbohidrat dan ketersediaan glukosa darah yang ditimbulkan oleh kortisol akan membantu melindungi otak dari malnutrisi selama periode puasa terpaksa tersebut. Juga, asam-asam amino yang dibebaskan oleh penguraian protein akan menjadi pasokan yang siap digunakan untuk memperbaiki jaringan jika terjadi cedera fisik. Karena itu, terjadi peningkatan cadangn glukosa, asam amino, dan asam lemak yang dapat digunakan sebagai kebutuhan.

Peningkatan drastis sekresi kortisol, yang diperantarai oleh susunan saraf pusat melalui peningkatan aktivitas sistem CRH-ACTH, terjadi sebagai respon terhadap segala jenis situasi stres. Besar peningkatan konsentrasi kortisol plasma umumnya setara dengan intensitas stimulasi stres berat menyebabkan peningkatan sekresi kortisol yang lebih besar daripada stres ringan (Ganong, 2012).

6

b. Katekolamin

Stimulasi sumbu hipofisis - adrenal dikaitkan dengan pelepasan katekolamin. Hal ini menyebabkan peningkatan curah jantung, aliran darah ke otot rangka, retensi natrium, penurunan motilitas usus, vasokonstriksi kulit, peningkatan glukosa, dilatasi bronkiolus, dan aktivasi perilaku.

Perbedaan antara persepsi keadaan internal atau eksternal menyebabkan tanggapan stres yang melibatkan beberapa sistem homeostatis. Keadaan seperti hipoglikemia, hipoksia, perdarahan, kolaps sirkulasi menimbulkan aktivasi SAMS termasuk stimulasi jantung, splanchnic, kulit, dan vasokonstriksi ginjal. Dalam situasi ini, aktivitas SAMS berkoordinasi dengan sistem saraf parasimpatis, sistem hipofisis-adrenocortical, dan mungkin beberapa sistem neuropeptida (Ranabir, S., & Reetu, K., 2011).

c. Vasopresin dan Renin-Angiotensin-Aldosteron

Secara bersama-sama, hormon-hormon ini meningkatkan volume plasma dengan mendorong retensi garam dan H2O. Peningkatan volume plasma diperkirakan berfungsi sebagai tindakan protektif untuk mempertahankan tekanan darah seandainya terjadi kehilangan cairan plasma melalui perdarahan atau berkeringat berlebihan selama periode bahaya. Vasopresin dan angiotensin juga memiliki efek vasopresor langsung, yang dapat bermanfaat dalam mempertahankan tekanan arteri jika terjadi kehilangan darah akut. Vasopresin juga dipercayai mampu mempermudah proses belajar, yang berdampak pada adaptasi terhadap stres di mana mendatang (Sherwood, 2012).

d. Gonadotropin

Stres menyebabkan penekanan gonadotropin dan hormon steroid lainnya yang akan menyebabkan gangguan siklus menstruasi. Tekanan psikologis dan sosial yang akut dan kronis dapat mengganggu sekresi hormon reproduksi dalam berbagai spesies primata, bukan hanya manusia. Gangguan ini bisa halus, yang terdiri dari penekanan ringan pada sekresi hormon reproduksi yang mendasari

7

penurunan tingkat kesuburan dan perilaku reproduksi. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap variabilitas respon sumbu reproduksi termasuk jenis stres, besarnya dan durasi stres, persepsi stres oleh individu, status sosial individu, tingkat bersamaan perilaku agresif yang ditampilkan oleh individu, dan aktivitas reproduksi. Namun, lebih banyak pekerjaan yang diperlukan untuk memahami mekanisme yang mendasari penurunan sumbu reproduksi oleh tekanan psikologis dan sosial, serta mekanisme yang mendasari perbedaan kerentanan terhadap gangguan stres yang disebabkan fungsi reproduksi dalam individu. Terlalu lama stres dapat menyebabkan gangguan fungsi reproduksi . Perjalanan gonadotrophin releasing hormon ke hipofisis menurun karena peningkatan sekresi CRH (Ranabir, S., & Reetu, K., 2011).

e. Hormon Tiroid

Fungsi tiroid biasanya menurun selama kondisi stres. Stres menghambat sekresi thyroid- stimulating hormone (TSH) melalui aksi glukokortikoid pada sistem saraf pusat. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa stres akut dan berulang dapat mengubah sekresi hormon (Ranabir, S., & Reetu, K.., 2011).

f. Hormon Pertumbuhan

Kegagalan pertumbuhan tanpa etiologi bisa terkait dengan gangguan perilaku dan stres psikososial. Kondisi ini meliputi gagal tumbuh, pengerdilan sekunder, kekurangan gizi kronis, dan hipopituitarisme idiopatik. Beberapa anak menunjukkan pertumbuhan yang memuncak spontan ketika dihindarkan dari sumber stres (Ranabir, S., & Reetu, K.., 2011).

2.1.4 Sumber Stres

Kondisi stres dapat disebabkan oleh berbagai penyebab atau sumber, dalam istilah yang lebih umum disebut stressor. Stressor adalah keadaan atau situasi, obyek atau individu yang dapat menimbulkan stres. Secara umum, stressor dapat dibagi menjadi tiga, yaitu stressor fisik, sosial, dan psikologis.

8

a. Stressor Fisik

Bentuk dari stressor fisik adalah suhu (panas dan dingin), suara bising, polusi udara, keracunan, obat-obatan (bahan kimiawi).

b. Stressor Sosial

i. Stressor sosial, ekonomi dan politik, misalnya tingkat inflasi yang tinggi, tidak ada pekerjaan, pajak yang tinggi, perubahan teknologi yang cepat, kejahatan.

ii. Keluarga, misalnya peran seks, iri,cemburu, kematian anggota keluarga, masalah keuangan, perbedaan gaya hidup dengan pasangan atau anggota keluarga yang lain.

iii. Jabatan dan karir, misalnya kompetisi dengan teman, hubungan yang kurang baik dengan atasan atau sejawat, pelatihan, aturan kerja.

iv. Hubungan interpersonal dan lingkungan, misalnya harapan sosial yang terlalu tinggi, pelayanan yang buruk, hubungan sosial yang buruk.

c. Stressor Psikologik 1. Frustasi

Frustasi adalah tidak tercapainya keinginan atau tujuan karena ada hambatan.

2. Ketidakpastian

Apabila seseorang sering berada dalam keraguan dan merasa tidak pasti mengenai masa depan atau pekerjaannya. Atau merasa selalu bingung dan tertekan, rasa bersalah, perasaan khawatir dan inferior (Dede, 2009).

2.1.5 Gejala Stres

Gejala terjadinya stres secara umum terdiri dari 2 (dua) gejala, yaitu: a. Gejala Fisik

Beberapa bentuk gangguan fisik yang sering muncul pada stres adalah : nyeri dada, diare selama beberapa hari, sakit kepala, mual, jantung berdebar, lelah, susah tidur, dan lain-lain.

9

b. Gejala Psikis

Sementara bentuk gangguan psikis yang sering terlihat adalah cepat marah, ingatan melemah, tak mampu berkonsentrasi, tidak mampu menyelesaikan tugas, perilaku impulsive, reaksi berlebihan terhadap hal sepele, daya kemampuan berkurang, tidak mampu santai pada saat yang tepat, tidak tahan terhadap suara atau gangguan lain, dan emosi tidak terkendali (Dede, 2009).

2.1.6 Tingkatan Respon Terhadap Stres

Hans Selye membagi stres menjadi tiga, yaitu: a. Eustress

Eustress adalah respon stres ringan yang menimbulkan rasa bahagia, senang, menantang, dan menggairahkan. Dalam hal ini tekanan yang terjadi bersifat positif, misalnya lulus ujian, atau kondisi ketika menghadapi perkawinan. b. Distress

Distress merupakan respon stres yang buruk dan menyakitkan, sehingga tidak mampu lagi diatasi.

c. Optimal Stress

Optimal stress atau Neustress adalah stres yang berada antara eustress dan distress, merupakan respon stres yang menekan namun masih seimbang sehingga seseorang merasa tertantang untuk menghadapi masalah dan memacu untuk lebih bergairah, berprestasi, meningkatkan produktivitas kerja dan berani bersaing (Dede, 2009).

2.1.7 Tahapan Stres

Tahapan Stres menurut Amberg (dalam) memiliki enam tahapan, yaitu: a. Stres Tingkat I

Tahapan ini merupakan tingkat stres yang paling ringan, dan biasanya disertai perasaan-perasaan sebagai berikut:

1. Semangat besar

10

3. Energi dan gugup yang berlebihan, kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya

4. Tahapan ini biasanya menyenangkan dan orang bertambah semangat, tanpa disadari bahwa cadangan energinya sedang menipis

b. Stres Tingkat II

Pada tahap ini dampak stres yang menyenangkan mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan dikarenakan cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari. Keluhan yang sering digunakan sebagai berikut:

1. Merasa letih sewaktu bangun pagi 2. Merasa letih sesudah makan siang 3. Merasa lelah menjelang sore hari

4.Terkadang gangguan dalam sistem pencernaan (gangguan usus, perut kembung), kadang-kadang pula jantung berdebar-debar

5. Perasaan tegang pada otot punggung dan tengkuk (belakang leher) 6. Perasaan tidak santai

c. Stres Tingkat III

Pada tahap ini keluhan keletihan semakin nampak disertai gejala sebagai berikut:

1. Gangguan usus lebih terasa (sakit perut, mulas, sering ke belakang) 2. Otot-otot terasa lebih tegang

3. Perasaan tegang yang semakin meningkat

4. Gangguan tidur (sukar tidur, sering terbangun malam dan sukar tidur kembali, atau bangun terlalu pagi

5. Badan terasa oyong, rasa-rasa mau pingsan (tidak sampai jatuh pingsan)

6. Pada tahap ini eksekutif harus berkonsultasi pada dokter, psikolog, kecuali kalau beban stres atau tuntutan-tuntutan dikurangi, dan tubuh mendapat kesempatan untuk beristirahat atau relaksasi guna memulihkan suplai energi.

11

d. Stres Tingkat IV

Tahapan ini sudah menunjukkan keadaan yang lebih buruk ditandai dengan gejala sebagai berikut:

1. Untuk bertahan sepanjang hari terasa lebih sulit

2. Kegiatan-kegiatan yang semula menyenangkan terasa semakin sulit

3. Kehilangan kemampuan untuk menanggapi situasi, pergaulan sosial, dan kegiatan-kegiatan rutin lainnya terasa berat

4. Tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan dan seringkali terbangun dini hari

5. Perasaan negativistik

6. Kemampuan konsentrasi menurun tajam

7. Perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan, tidak mengerti mengapa

e. Stres Tingkat V

Tahapan ini merupakan keadaan yang lebih mendalam dari tahap IV, dengan gejala sebagai berikut:

1. Keletihan yang mendalam (physical dan psychological exhaution) 2. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang sedehana saja terasa kurang mampu

3. Gangguan sistem pencernaan (sakit maag dan usus) lebih sering, sukar buang air besar atau sebaliknya feses encer dan sering ke belakang

4. Perasaan takut yang semakin menjadi, mirip panik

f.Stres Tingkat VI

Tahapan ini merupakan tahapan puncak yang merupakan keadaan gawat darurat. Tidak jarang eksekutif dalam tahapan ini dibawa ke ICCU. Gejala dalam tahap ini cukup mengerikan.

Debaran jantung terasa amat keras, hal ini disebabkan karena zat adrenalin yang dikeluarkan akibat stres tersebut cukup tinggi dalam peredaran darah, nafas sesak, megap-megap, badan gemetar, tubuh dingin, keringat bercucuran. Tenaga untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kurang lagi, pingsan atau kolaps (Dede, 2009).

12

2.1.8 Klasifikasi Stres

Klasifikasi stres menurut Stuart dan Sundeen (1998) adalah sebagai berikut: a. Stres Ringan

Pada tingkat stres ini sering terjadi pada kehidupan sehari-hari dan kondisi ini dapat membantu individu menjadi waspada dan bagaimana mencegah berbagai kemungkinan yang terjadi.

b. Stres sedang

Pada stres tingkat ini individu lebih cenderung memfokuskan hal penting saat ini dan mengesampingkan yang lain sehingga mempersempit lahan persepsinya.

c. Stres Berat

Pada tingkat ini lahan persepsi individu sangat menurun dan cenderung memusatkan perhatian pada hal-hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi stres. Individu tersebut mencoba memusatkan perhatian pada lahan lain dan memerlukan banyak pengarahan.

2.2. Menstruasi

2.2.1 Siklus Menstruasi Normal

Menstruasi disebabkan oleh pengurangan mendadak progesteron dan estrogen pada akhir siklus haid ovarium. Efek pertama adalah penurunan rangsangan sel-sel endometrium oleh kedua hormon tersebut, diikuti dengan cepat oleh involusi endometrium itu sendiri sampai sekitar 65 persen tebal sebelumnya. Selama 24 jam sebelumnya mulai menstruasi, pembuluh darah yang menuju ke lapisan mukosa endometrium menjadi vasospastik, mungkin karena beberapa efek involusi, seperti pengeluaran zat vasokonstriktor. Vasospasme dan kehilangan rangsang hormonal mulai menimbulkan nekrosis pada endometrium. Sebagai akibatnya, darah merembes dalam lapisan vaskular endometrium, area perdarahan mulai terbentuk setelah 24 sampai 36 jam. Lambat laun, lapisan luar endometrium yang nekrotik terlepas dari uterus pada tempat perdarahan, pada 48 jam setelah

13

mulainya menstruasi, semua lapisan superfisisal endometrium telah mengalami deskuamasi. Jaringan deskuamasi dan darah dalam kubah uterus memulai kontraksi uterus yang mengeluarkan isi uterus.

Selama menstruasi normal, sekitar 35 ml darah dan 35 mL cairan serosa hilang. Cairan menstruasi ini dalam keadaan normal tidak membeku, karena fibrinolisin dikeluarkan bersama dengan endometrium yang nekrotik.

Dalam tiga sampai tujuh hari setelah menstruasi mulai, perdarahan berhenti karena pada saat ini endometrium sudah mengalami epitelisasi penuh (Guyton, 2011).

Menurut Sarwono (2011), siklus menstruasi terbagi atas : 1. Fase Folikular

Siklus diawali dengan hari pertama menstruasi, atau terlepasnya endometrium. FSH merangsang pertumbuhan beberapa folikel primordial dalam ovarium. Umumnya hanya satu yang terus berkembang dan menjadi folikel de Graaf dan yang lainnya berdegenerasi. Folikel terdiri dari sebuah ovum dan dua lapisan sel yang mengelilinginya. Lapisan dalam, yaitu sel-sel granulosa menyintesis progesteron yang disekresi ke dalam cairan folikular selama paruh pertama siklus menstruasi, dan bekerja sebagai prekursor pada sintesis estrogen oleh lapisan sel teka interna yang mengelilinginya. Estrogen disintesis dalam sel-sel lutein pada teka interna. Jalur biosintesis estrogen berlangsung dari progesteron dan pregnenolon melalui 17-hidroksilasi turunan dari androstenedion, testosteron, dan estreadiol. Kandungan enzim aromatisasi yang tinggi pada sel-sel ini mempercepat perubahan androgen menjadi estrogen.

Di dalam folikel, oosit primer mulai menjalani proses pematangannya. Pada waktu yang sama, folikel yang sedang berkembang menyekresi estrogen lebih banyak ke dalam sistem ini. Kadar estrogen yang meningkat menyebabkan pelepasan LHRH melalui mekanisme umpan balik positif.

14

2. Fase Ovulasi

Lonjakan LH sangat penting untuk proses ovulasi pascakeluarnya oosit dan folikel. Lonjakan LH dipicu oleh kadar estrogen yang tinggi yang dihasilkan oleh folikel preovulasi. Ovulasi diperkirakan terjadi 24-36 jam pascapuncak kadar estrogen (estradiol) dan 10-12 jam pascapuncak LH. Di lapangan awal lonjakan LH digunakan sebagai pertanda/indikator untuk menentukan waktu kapan diperkirakan ovulasi bakal terjadi. Ovulasi terjadi sekitar 34-36 jam pascaawal lonjakan LH.

Lonjakan LH yang memacu sekresi prostaglandin, dan progesteron bersama lonjakan FSH yang mengaktivasi enzim proteolitik, menyebabkan dinding folikel “pecah”. Kemudian sel granulosa yang melekat pada membran basalis, pada seluruh dinding folikel, berubah menjadi sel luteal. Pada tikus menjelang ovulasi, sel granulosa kumulus yang melekat pada oosit, menjadi longgar akibat enzim asam hialuronik yang dipicu oleh lonjakan FSH. FSH menekan proliferasi sel kumulus, tetapi FSH bersama faktor yang dikeluarkan oosit, memacu proliferasi sel granulosa mural, sel granulosa yang melekat pada dinding folikel.

3. Fase Luteal

Menjelang dinding folikel “pecah” dan oosit keluar saat ovulasi, sel granulosa membesar, timbul vakuol dan penumpukan pigmen kuning, lutein proses luteinisasi, yang kemudian dikenal sebagai korpus luteum. Selama 3 hari pascaovulasi, sel granulosa terus membesar membentuk korpus luteum bersama sel teka dan jaringan stroma di sekitarnya. Vaskularisasi yang cepat, luteinisasi dan membrana basalis yang menghilang, menyebabkan sel yang membentuk korpus luteum sulit dibedakan asal muasalnya.

Pascalonjakan LH, pembuluh darah kapiler mulai menembus lapisan granulosa menuju ke tengah ruangan folikel dan mengisinya dengan darah. LH memicu sel granulosa yang telah mengalami luteinisasi, untuk menghasilkan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan angiopoetin. Kemudian VEGF

15

dan angiopetin memacu angiogenesis, dan pertumbuhan pembuluh darah ini merupakan hal yang penting pada proses luteinisasi. Pada hari ke 8-9 pascaovulasi vaskularisasi mencapai puncaknya bersamaan dengan puncak kadar progesteron dan estradiol.

Pertumbuhan folikel pada fase folikuler yang baik akan menghasilkan korpus luteum yang baik/normal pula. Jumlah reseptor LH di sel granulosa yang terbentuk cukup adekuat pada pertengahan siklus/akhir fase folikuler, akan menghasilkan korpus luteum yang baik. Korpus luteum mampu menghasilkan baik progesteron, estrogen, maupun androgen. Kemampuan menghasilkan steroid seks korpus luteum sangat tergantung pada tonus kadar LH pada fase luteal. Kadar progesteron meningkat tajam segera pascaovulasi. Kadar progesteron dan estradiol mencapai puncaknya sekitar 8 hari pascalonjakan LH, kemudian menurun perlahan, bila tidak terjadi pembuahan. Bila terjadi pembuahan, sekresi progesteron tidak menurun karena adanya stimulus dari human Chorionic Gonadotropin (hCG), yang dihasilkan oleh sel trofoblast buah kehamilan.

2.2.2 Kelainan Menstruasi

Sebagian wanita yang tidak subur mengalami siklus anovulatorik; mereka tidak mengalami ovulasi, tetapi mendapat haid dengan interval yang relatif teratur. Siklus anovulatorik hampir selalu terjadi pada 1-2 tahun pertama setelah menarche dan juga sebelum menopause.

Amenorea berarti tidak adanya periode haid. Bila perdarahan menstruasi tidak pernah terjadi, keadaan tersebut dinamai amenorea primer. Beberapa wanita dengan amenorea primer memiliki payudara berukuran kecil dan tanda kegagalan pematangan seksual lainnya. Terhentinya siklus pada wanita yang sebelumnya mengalami daur yang normal disebut amenorea sekunder. Penyebab tersering amenorea sekunder adalah kehamilan. Penyebab lain amenorea adalah rangsangan emosi, perubahan lingkungan, kelainan hipotalamus, gangguan hipofisis, kelainan ovarium primer, dan berbagai penyakit sistemik. Bukti memeperlihatkan bahwa

16

pada beberapa wanita dengan amenorea hipotalamus, frekuensi pulsatil GnRH melambat akibat aktivitas opioid yang berlebihan di hipotalamus.

Istilah hipomenorea dan menoragia masing-masing mengacu pada darah haid yang sedikit dan berlebihan, pada daur yang teratur. Metroragia adalah perdarahan dari uterus yang terjadi di antara periode haid, dan oligomenorea adalah frekuensi haid yang berkurang (Sylvia, 2002; Lorraine, 2002).

Menurut Manuaba, 2010 beberapa kelainan siklus menstruasi adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 : Kelainan Menstruasi

Bentuk Kelainan Manifestasi Kliniknya Sebabnya Hipermenorea  Perdarahan banyak saat haid,

gumpalan melebihi 8 hari.  Irreguler shedding, gamgguan

tumbuh endometrium.  Banyaknya melebihi 8 cc.  Hormonal esterogen dominan, pelepasan endometrium tidak normal-tidak teratur.

 Sebab fisik organ genital, seperti: mioma uteri, endometrial atau servikal polip, endometrium proliferase  Terapinya, yaitu: miomektomi, dan lain-lain.

Hipomenorea  Perdarahan sedikit dan lamanya kurang dari 3 hari.

 Gangguan uterus karena resoptor

17

 Endometrium kurang subur.  Fertilitas tidak terganggu.

esterogennya kurang

 Defisiensi Vit. E  Pos ablasio uteri  Pos supravaginal

histerektomi, darah berasal dari sisa serviks yang masih aktif.

Polimenorea  Frekuensi menstruasi pendek kurang dari 21 hari.

 Jumlah dan lama perdarahan sama.  Gangguan hormonal, korpus luteum defisiensi  Sebab lainnya, yaitu: endometriosis dan infeksi ovarium Oligomenorea  Siklus menstruasi panjang

melebihi 35 hari.

 Jumlah dan lama perdarahan relatif sama.

 Patrun ovulatoir menstruasi fertilitas tidak terganggu.

 Perdarahan oligomenorea berkurang dan durasinya makin pendek.  Sebabnya cukup kompleks.

Amenorea  Terhentinya menstruasi lebih dari 3 bulan.

 Pembagiannya, yaitu: primer amenorea dan sekunder amenorea.

 Sistem hormonal  Kongenital organ  Kelainan genetik

Metroragia  Perdarahan yang banyak di luar menstruasi.

 Gangguan hormonal

18  Berlangsung di antara 2 siklus menstruasi.  Gangguan fisik uterus  Gangguan pembekuan darah  Infeksi dan perlukaan alat reproduksi  Perdarahan uterus fungsional/tidak ada hubungan dengan organik Spotting  Perdarahan sedikit di antra

dua menstruasi

 Tidak banyak tetapi mengagetkan  Gangguan emosi  Pemakaian terapi/KB hormonal  Pemakaian IUD Kontak berdarah  Perdarahan yang terjadi saat

hubungan seksual.  Hubungannya perlukaan keganasan serviks.  Hubungan seksual saat hamil  Kelainan reproduksi eksternal Endometrial/servi kal polip

 Kelainan pada uterus  Keganasan Premenstrual

tension

 Ketegangan menjelang menstruasi

 Emosional, insomnia, gelisah, tertekan, cepat marah

 Mamae tegang, sakit kepala  Gangguan konsentrasi/ketakutan  Ketidakseimban- gan hormonal dengan dominan estrogen

19

Mastodinia  Rasa nyeri pada mamae, menjelang menstruasi

 Akibat pengaruh esterogen

 Konsentrasi esterogen menyebabkan retensio air dan garam pada mamae, sehingga ujung saraf tertekan

Mittelschmriz  Rasa sakit saat ovulasi, pada abdomen bagian bawah  Diikuti peningkatan

temperatur basal

 Perdarahan intraabdominal bleeding mirip kehamilan ektopik terganggu  Perdarahan intraabdominal/ akut abdomen dilakukan laparotomi

Dismenorea  Rasa nyeri menstruasi dan disertai gangguan menjalankan tugas sehari-hari  Pembagiannya, yaitu: primer dismenorea dan sekunder dismenorea  Primer dismenorea: tidak dijumpai kelainan anatomis reproduksi  Sekunder dismenorea: dijimpai kelainan anatomis reproduksi

2.2.3 Hubungan Stres dengan Siklus Menstruasi

Dalam penelitian sebelumnya tentang hubungan antara stres dan siklus menstruasi, ditemukan adanya keterkaitan keduanya. Sebuah analisis cross- sectional satu tahun data dari 206 wanita menunjukkan adanya korelasi antara tingkat stres, yang diukur dengan jumlah dan tingkat keparahan peristiwa

20

kehidupan dengan stres, dan karakteristik siklus, termasuk panjang selang, durasi

Dokumen terkait