VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.2 Saran
Beberapa saran dari hasil penelitian ini secara teknis dan kebijakan adalah: 1. Penelitian dapat dilanjutkan dengan melihat dampak perubahan harga
komoditi-komoditi energi (misalnya bensin, listrik, dan lain-lain) terhadap variabel-variabel makro seperti inflasi, tingkat pengangguran, dan sebagainya atau mengganti dengan model permintaan lain yang dianggap bisa lebih mencerminkan pola permintaan rumah tangga di Pulau Jawa, ataupun memperluas cakupan wilayah dan rentang waktu penelitian ataupun kelompok konsumen (industri, komersial, dan lainya), serta melakukan perbandingan-perbandingan yang terkait dengan perbedaan kawasan, misalnya Jawa dan luar Jawa, kawasan barat dan timur Indonesia, dan lain-lain,
2. Terkait dengan sifat permintaan komoditi yang elastis (kecuali listrik), elastisitas pendapatan komoditi energi yang lebih dari satu (untuk bensin dan solar > 2), dan perkiraan pertumbuhan ekonomi yang positif, pemerintah perlu melakukan penyesuaian harga energi untuk menekan lonjakan permintaan energi yang terjadi,
3. Meskipun komoditi-komoditi energi tersebut saling bersubstitusi, namun tingkat substitusinya tidak begitu besar, hal ini disebabkan komoditi-komoditi energi tersebut memang digunakan untuk keperluan yang berbeda-beda, untuk itu perlu dikembangkan alternatif energi yang bisa memenuhi keperluan rumah tangga baik dari sumber energi yang lain (terbarukan) maupun dari sumber energi yang sama namun dengan cara penggunaan berbeda yang lebih mudah, lebih hemat, dan lebih aman,
4. Untuk menekan konsumsi bensin dan solar pada tingkat rumah tangga, penyesuaian/peningkatan harga bensin dan solar perlu dilakukan seiring tingkat pertumbuhan pendapatan rumah tangga yang diperkirakan akan terus meningkat sejalan pertumbuhan ekonomi yang positif. Alternatif kebijakan pembatasan pemakaian bbm bersubsidi untuk rumah tangga pada golongan pendapatan tinggi juga tepat untuk mengurangi besarnya subsidi,
5. Penekanan konsumsi listrik memerlukan peningkatan harga lebih dari penurunan konsumsi yang ditargetkan, tentunya hal ini memerlukan kajian dampaknya terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan variabel lainnya.
Adioetomo SM, Djutaharta T, Hendratno. 2003. Cigarette Consumption, Taxation, and Household Income. Economics of Tobacco Control Paper No. 26.
Ahsan A, Titissari, Dorotheo U, Prugsainatz R, Rayes JL. 2010. Indonesia Tobacco Tax Report Card. Research report: Southeast Asia Initiative on Tobbaco Tax.
Aker JC. 2008. Does Digital Divide or Provide? The Impact of Cell Phones on Grain Markets in Niger. Working Paper No. 154.
Amin G. 1998. Globalization, Consumption patterns and Human Development in Egypt. Working Paper No. 9929.
Ariningsih E. 2004. Analisis Perilaku Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati pada masa krisis ekonomi di Jawa. Icaserd Working Paper No. 56.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008a. Konsep dan definisi Susenas Juli 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008b. Analisis dan Penghtungan Tingkat Kemiskinan 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009a. Statistik Indonesia 2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009b. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia per Provinsi. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009c. Statistik Komunikasi dan Teknologi Informasi Tahun 2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Profil Kemiskinan Di Indonesia Maret 2010. Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Busch SH, Bonet MJ, Falba TA, Sindelar JL. 2004. Tobacco Spending And Its Crowd-Out Of Other Goods. Working Paper No. 10974.
Chambers R. 1995. Poverty and livelihoods: whose reality counts?. Environment and Urbanization, Vol. 7, No. 1:173-204.
Daud A. 2006. Fleksibilitas Permintaan Pangan Hewani di Indonesia [tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Deaton A, Muellbauer J. 1980a. An Almost Ideal Demand System. The American Economic Review 70 (3): 312-326.
Deaton A, Muellbauer J. 1980b. Economics and Consumer Behaviour. Cambridge: University Press.
Effendy OU. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Fulginiti LE, Perrin RK. 1990. Argentine Agricultural Policy in a
Multiple-Output, Multiple_Input Framework. American Journal Agriculture Economic, 72(1):279-288.
Geda A, Jong Nd, Kimenyi MS, Mwabu G. 2005. Determinants of Poverty in Kenya: A Household Level Analysis. Working Paper No. 44
Haq ZU, Nazli H, Meilke K. 2008. Implications of High Food Prices for Poverty in Pakistan. Agricultural Economics 39 supplement:477–484.
Henderson JM, Quandt RE. (1980). Microeconomic Theory A Mathematical Approach. Third Edition. Singapore : McGraw-Hill, Inc.
Irawan PB. 2005. Dampak Penggunaan Tembakau Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/21124711/
Dampak-Penggunaan-Tembakau-Terhadap-Kemiskinan-di-Indonesia
-Oktober-2005-Puguh-B-Irawan.
Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press. Kahar M. 2010. Analisis Pola Konsumsi Daerah Perkotaan dan Pedesaan serta
keterkaitannya dengan Karakteristik Sosial Ekonomi di Propinsi Banten [tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Liu Y, Rao K, Hu Tw, Sun Q, Mao Z. 2006. Cigarette Smoking and Poverty in China. Social Science & Medicine 63:2784–2790.
Mankiw NG. 2008. Principles of Economics. USA: South-western Cengage Learning.
Nicholson W. 1995. Teori Mikro Ekonomi Prinsip Dasar dan Perluasan. Wirajaya D, penerjemah. Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Microeconomic Theory Basic Principles and Extensions.
Nssah BE,Go DS, Kearney M, Korman V, Robinson S, Thierfelder K. 2007. Economy-wide and Distributional Impacts of an Oil Price Shock on the South African Economy. The World Bank Africa Region Policy Research Working Paper No. 4354.
Nurfarma M. 2005. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan Rumah Tangga di Propinsi Sumatera Barat [tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ravallion M. 1992. Poverty Comparisons : A Guide to Concept and Measures. World Bank LSMS Working Paper No. 88.
Republik Indonesia. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004–2009. Cetakan ke-3. Jakarta: Sinar Grafika.
Republik Indonesia. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010–2014. Kementrian Perncanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Jakarta Republik Indonesia. 2010. Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2011.
Pindyck RS, Rubinfeld DL. 2005. Microeconomics Sixth Edition. United States of America : Pearson Prentice Hall.
Seale J, Regmi A, Bernstein J. 2003. International Evidence n Food Consumption Patterns. USDA Technical Buletin Report No. 1904.
Sengul S, Tuncer I. 2005. Poverty Levels and Food Demand of the Poor in Turkey. Agribusiness, Vol. 21 (3):289-311.
Sudarsono. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Cetakan ke-8. Jakarta: LP3ES.
Sumarwan U. 2002. Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.
Suryaningsih T. 2010. Analisis Pengeluaran Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa [tesis]. Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Syafwil O. 2002. Pola Spasial dan Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Pendapatan, Harga serta Konsumsi Bahan Makanan [tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Suprapto T. 2009. Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Tewari DD, Singh K. 1996. Principles of Microeconomics. New Delhi: New Age International (P), Ltd.
Teklu T, Johnson SR. 1987. Demand System from Cross Section Data: An Experiment for Indonesia. Working Paper No. 87-WP 24.
Todaro MP, Smith SC. 2002. Pembangunan Ekonomi, Edisi kesembilan, Jilid I. Munanadar H, penerjemah. Jakarta:Erlangga.
World Health Organization. 2008. WHO Report On The Global Tobacco epidemic. The MPOWER Package. Geneva Switzerland: WHO Press. Working H. 1943. Statistical Laws of Family Expenditure. Journal of the
American Statistical Association 38:43–56.
Yuliana R. 2008. Evaluasi Perubahan Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Sebagai Dampak Kenaikan Harga BBM di Indonesia, Periode Pebruari 2005-Maret 2006 [tesis]. Depok: Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia.
Zellner A. 1962. An Efficient Method of Estimating Seemingly Unrelated Regression Equations and Tests for Aggregation Bias. Journal of the American Statistical Association 57:348–368.
Lampiran 1 Hasil pengolahan estimasi model permintaan energi rumah tangga di Pulau Jawa dengan model LA-AIDS tahun 2007 – 2010
The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 1
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model A Dependent Variable W1 Label W1 Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F
Model 9 1619173 179908.1 19776.8 <.0001 Error 120558 1096707 9.096925
Corrected Total 120567 2715880
Root MSE 3.01611 R‐Square 0.59619 Dependent Mean 0.56790 Adj R‐Sq 0.59616 Coeff Var 531.09498
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 1.263139 0.004464 282.94 <.0001 Intercept LNP1 1 0.017238 0.000585 29.45 <.0001 LNP1 LNP2 1 ‐0.00174 0.000168 ‐10.40 <.0001 LNP2 LNP3 1 ‐0.00272 0.000182 ‐14.94 <.0001 LNP3 LNP4 1 0.000521 0.000118 4.41 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.002256 0.000141 15.96 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.11047 0.000353 ‐313.14 <.0001 LNP6 LNYP 1 ‐0.00613 0.000380 ‐16.13 <.0001 LNYP D1 1 ‐0.01002 0.000581 ‐17.25 <.0001 D1 T 1 0.007616 0.000306 24.85 <.0001 T
The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 2
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model B Dependent Variable W2 Label W2 Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F
Model 9 12726.58 1414.064 3916.03 <.0001 Error 120558 43533.10 0.361097
Root MSE 0.60091 R‐Square 0.22621 Dependent Mean 0.02973 Adj R‐Sq 0.22615 Coeff Var 2021.38279
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 0.000725 0.000889 0.81 0.4152 Intercept LNP1 1 0.007855 0.000117 67.35 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000969 0.000033 29.02 <.0001 LNP2 LNP3 1 ‐1.67E‐6 0.000036 ‐0.05 0.9632 LNP3 LNP4 1 0.000501 0.000024 21.28 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.001418 0.000028 50.34 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00622 0.000070 ‐88.53 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.013118 0.000076 173.21 <.0001 LNYP D1 1 0.002656 0.000116 22.95 <.0001 D1 T 1 0.000880 0.000061 14.42 <.0001 T
The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 3
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model C Dependent Variable W3 Label W3 Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 9 9996.414 1110.713 7218.95 <.0001 Error 120558 18549.15 0.153861 Corrected Total 120567 28545.56
Root MSE 0.39225 R‐Square 0.35019 Dependent Mean 0.00752 Adj R‐Sq 0.35014 Coeff Var 5218.28527
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 ‐0.02677 0.000581 ‐46.10 <.0001 Intercept LNP1 1 0.004026 0.000076 52.89 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000261 0.000022 11.95 <.0001 LNP2 LNP3 1 ‐0.00279 0.000024 ‐117.59 <.0001 LNP3 LNP4 1 0.001020 0.000015 66.38 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.001210 0.000018 65.81 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00227 0.000046 ‐49.47 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.005359 0.000049 108.40 <.0001 LNYP D1 1 0.000657 0.000076 8.70 <.0001 D1 T 1 0.003210 0.000040 80.55 <.0001 T
The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 4
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model D Dependent Variable W4 Label W4 Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F
Model 9 26379.58 2931.065 7205.69 <.0001 Error 120558 49039.50 0.406771
Corrected Total 120567 75419.08
Root MSE 0.63779 R‐Square 0.34977 Dependent Mean 0.01545 Adj R‐Sq 0.34972 Coeff Var 4128.43476
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 0.033560 0.000944 35.55 <.0001 Intercept LNP1 1 0.004569 0.000124 36.91 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000664 0.000035 18.73 <.0001 LNP2 LNP3 1 0.001935 0.000039 50.24 <.0001 LNP3 LNP4 1 ‐0.00215 0.000025 ‐86.11 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.001567 0.000030 52.43 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00786 0.000075 ‐105.41 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.012474 0.000080 155.18 <.0001 LNYP D1 1 0.005358 0.000123 43.62 <.0001 D1 T 1 ‐0.00530 0.000065 ‐81.83 <.0001 T
The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 5
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model E Dependent Variable W5 Label W5 Analysis of Variance Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F
Model 9 97508.92 10834.32 15682.8 <.0001 Error 120558 83286.59 0.690842
Corrected Total 120567 180795.5
Root MSE 0.83117 R‐Square 0.53933 Dependent Mean 0.02317 Adj R‐Sq 0.53930 Coeff Var 3587.71582
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 ‐0.11040 0.001230 ‐89.74 <.0001 Intercept
LNP1 1 0.016630 0.000161 103.09 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000833 0.000046 18.02 <.0001 LNP2
LNP3 1 0.002738 0.000050 54.56 <.0001 LNP3 LNP4 1 0.001857 0.000033 57.01 <.0001 LNP4 LNP5 1 ‐0.00232 0.000039 ‐59.61 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00434 0.000097 ‐44.65 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.031189 0.000105 297.74 <.0001 LNYP D1 1 ‐0.00808 0.000160 ‐50.47 <.0001 D1 T 1 ‐0.00097 0.000084 ‐11.43 <.0001 T
The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 6
The SYSLIN Procedure
Seemingly Unrelated Regression Estimation
Cross Model Covariance A B C D E A 9.09692 ‐.495156 ‐.110427 ‐.169363 ‐.568888 B ‐0.49516 0.361097 ‐.013327 ‐.065929 ‐.209042 C ‐0.11043 ‐.013327 0.153861 ‐.066280 ‐.058430 D ‐0.16936 ‐.065929 ‐.066280 0.406771 ‐.231441 E ‐0.56889 ‐.209042 ‐.058430 ‐.231441 0.690842 Cross Model Correlation
A B C D E A 1.00000 ‐0.27320 ‐0.09334 ‐0.08804 ‐0.22693 B ‐0.27320 1.00000 ‐0.05654 ‐0.17203 ‐0.41854 C ‐0.09334 ‐0.05654 1.00000 ‐0.26494 ‐0.17922 D ‐0.08804 ‐0.17203 ‐0.26494 1.00000 ‐0.43659 E ‐0.22693 ‐0.41854 ‐0.17922 ‐0.43659 1.00000
Cross Model Inverse Correlation
A B C D E A 2.69093 2.45920 1.54131 2.35349 2.94366 B 2.45920 3.99366 2.00731 3.17006 3.97332 C 1.54131 2.00731 2.30412 2.21309 2.56906 D 2.35349 3.17006 2.21309 4.10739 4.05074 E 2.94366 3.97332 2.56906 4.05074 5.55992
Cross Model Inverse Covariance
A B C D E A 0.29581 1.3569 1.3028 1.2235 1.17422 B 1.35686 11.0598 8.5161 8.2714 7.95523 C 1.30280 8.5161 14.9754 8.8463 7.87990 D 1.22346 8.2714 8.8463 10.0976 7.64135 E 1.17422 7.9552 7.8799 7.6413 8.04803
System Weighted MSE 1.0554 Degrees of freedom 602805 System Weighted R‐Square 0.7986
The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 7
The SYSLIN Procedure
Seemingly Unrelated Regression Estimation Model A Dependent Variable W1 Label W1 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 0.722165 0.001278 565.03 <.0001 Intercept LNP1 1 0.085681 0.000360 238.31 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.003739 0.000065 57.66 <.0001 LNP2 LNP3 1 0.003264 0.000045 71.83 <.0001 LNP3 LNP4 1 0.004494 0.000061 73.46 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.007581 0.000080 94.50 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.10476 0.000309 ‐339.43 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.004056 0.000340 11.92 <.0001 LNYP D1 1 ‐0.03448 0.000542 ‐63.58 <.0001 D1 T 1 0.015687 0.000248 63.31 <.0001 T Model B Dependent Variable W2 Label W2 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 0.027757 0.000295 94.20 <.0001 Intercept LNP1 1 0.003739 0.000065 57.66 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000457 0.000029 15.59 <.0001 LNP2 LNP3 1 0.000151 0.000017 9.02 <.0001 LNP3 LNP4 1 0.000301 0.000019 16.19 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.000991 0.000023 43.73 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00564 0.000057 ‐98.58 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.012208 0.000071 172.83 <.0001 LNYP D1 1 0.003802 0.000108 35.07 <.0001 D1 T 1 0.000542 0.000052 10.39 <.0001 T Model C Dependent Variable W3 Label W3
The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 8
The SYSLIN Procedure
Seemingly Unrelated Regression Estimation
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 ‐0.01248 0.000227 ‐55.12 <.0001 Intercept LNP1 1 0.003264 0.000045 71.83 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000151 0.000017 9.02 <.0001 LNP2 LNP3 1 ‐0.00252 0.000019 ‐130.33 <.0001 LNP3 LNP4 1 0.001200 0.000013 91.69 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.001218 0.000016 75.51 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00331 0.000040 ‐82.49 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.005863 0.000046 126.22 <.0001 LNYP D1 1 0.001575 0.000072 22.00 <.0001 D1 T 1 0.003495 0.000035 100.67 <.0001 T Model D
Dependent Variable W4 Label W4 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 0.009951 0.000255 39.00 <.0001 Intercept LNP1 1 0.004494 0.000061 73.46 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000301 0.000019 16.19 <.0001 LNP2 LNP3 1 0.001200 0.000013 91.69 <.0001 LNP3 LNP4 1 ‐0.00255 0.000022 ‐116.05 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.001609 0.000021 77.96 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00506 0.000053 ‐94.61 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.011077 0.000072 153.61 <.0001 LNYP D1 1 0.003545 0.000115 30.88 <.0001 D1 T 1 ‐0.00645 0.000052 ‐123.31 <.0001 T Model E Dependent Variable W5 Label W5
The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 9
The SYSLIN Procedure
Seemingly Unrelated Regression Estimation
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 ‐0.01497 0.000321 ‐46.57 <.0001 Intercept LNP1 1 0.007581 0.000080 94.50 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000991 0.000023 43.73 <.0001 LNP2 LNP3 1 0.001218 0.000016 75.51 <.0001 LNP3 LNP4 1 0.001609 0.000021 77.96 <.0001 LNP4 LNP5 1 ‐0.00316 0.000035 ‐90.05 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00824 0.000069 ‐119.68 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.030763 0.000095 322.69 <.0001 LNYP D1 1 ‐0.00351 0.000149 ‐23.53 <.0001 D1 T 1 ‐0.00159 0.000068 ‐23.42 <.0001 T Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
RESTRICT ‐1 ‐94866.5 2783.274 ‐34.08 <.0001 RESTRICT ‐1 738447.9 17440.14 42.34 <.0001 RESTRICT ‐1 1298911 19591.95 66.30 <.0001 RESTRICT ‐1 300907.1 17440.72 17.25 <.0001 RESTRICT ‐1 1103857 14868.36 74.24 <.0001 RESTRICT ‐1 ‐166405 7243.311 ‐22.97 <.0001 RESTRICT ‐1 266445.4 7779.268 34.25 <.0001 RESTRICT ‐1 ‐341655 9120.331 ‐37.46 <.0001 RESTRICT ‐1 104209.9 7706.557 13.52 <.0001 RESTRICT ‐1 835351.5 40129.47 20.82 <.0001 RESTRICT ‐1 ‐572061 34947.50 ‐16.37 <.0001 RESTRICT ‐1 623985.7 28265.93 22.08 <.0001 RESTRICT ‐1 ‐1943504 38130.13 ‐50.97 <.0001 RESTRICT ‐1 ‐769161 33867.41 ‐22.71 <.0001 RESTRICT ‐1 1141196 31499.94 36.23 <.0001
ABSTRACT
DIANA BHAKTI. Household Energy Demand in Java. Supervised under SRI HARTOYO and MUHAMMAD FIRDAUS
Reducing of subsidies would increase energy prices that affect the level of energy consumption and consumer welfare. Analyze the behavior of households in Java in consuming energy was the aim of this study, this include their price elasticity, income elasticity, and cross elasticity of energy commodities. The methode of this study is the linear approximate version of the almost ideal demand system (LA-AIDS) model using data from the National Socio-Economic Survey (SUSENAS) covering the period from 2007 to 2010 for household in Java along with the kerosene’s conversion to gas program undertaken by the government. The own price elasticities of energy (except for the electricity) showed that they are elastic so the increase of their price will effectively reducing its consumption. While the cross elasticities showed that the energy comodities are substitute each other, but in very low level. The kerosene’s conversion to gas has been shifting household kerosene consumption in Java into commodities LPG, city gas, and coal. Keywords : energy demand, LA-AIDS, SUR
1.1 Latar Belakang
Peranan penting energi berpengaruh besar dalam pencapaian tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan sebagai pendukung bagi kegiatan ekonomi nasional. Seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya kebutuhan untuk mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta meningkatnya aktivitas ekonomi, permintaan dan konsumsi energi juga cenderung mengalami peningkatan. Sebuah paparan oleh Nobuo Tanaka dalam acara peluncuran buku World Energy Outlook 2010 di Jakarta pada 22 November 2010 menggambarkan bahwa negara-negara di dunia pada umumnya masih memiliki fenomena seperti ini, begitu juga dengan Indonesia.
Gambar 1.1 berikut menunjukkan kecenderungan dan proyeksi permintaan energi primer dunia, baik energi yang terbarukan maupun energi yang tidak terbarukan. Pada Gambar 1.1 bisa dilihat bahwa secara keseluruhan maupun parsial, kecenderungan dan proyeksi permintaan energi dunia terus mengalami peningkatan.
konsumsi energi
tahun
Sumber: Paparan World Energy Outlook 2010, Jakarta 22 November 2010
Gambar 1.1 Permintaan energi primer dunia dalam skenario kebijakan baru tahun 1980 – 2035
Selama tahun 2000 – 2009, di Indonesia, intensitas konsumsi energi final perkapitanya mempunyai kecenderungan meningkat (Gambar 1.2). Sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk yang sangat besar, cukup wajar jika
penggunaan energi di Indonesia terus mengalami peningkatan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang ada.
konsumsi perkapita (SBM)
tahun
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2010
Gambar 1.2 Intensitas konsumsi energi final perkapita Indonesia tahun 2000-2009 Terkait sifat strategis energi ini, industri energi di Indonesia, sebagian besar masih merupakan industri monopoli yang dikuasai oleh pemerintah. Peran besar pemerintah ini diharapkan mampu menjaga ketahanan energi nasional dan menjamin ketersediaan serta akses energi untuk seluruh lapisan masyarakat. Kebijakan energi lainnya yang ditetapkan pemerintah mengenai harga keekonomian energi yang dianggap belum terjangkau oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga harga jual energi kepada konsumen/masyarakat ditetapkan di bawah harga pasar. Selisih harga tersebut disubsidi oleh pemerintah.
Kecenderungan permintaan energi yang terus meningkat menyebabkan beban subsidi yang semakin berat. Pada tahun 2011 saat ini besar subsidi energi yang dianggarkan (pagu APBN 2011) adalah sebesar 40,7 triliun rupiah. Sampai dengan April 2011, realisasi subsidi energi telah mencapai 38,8 triliun rupiah atau 28,4 persen dari pagu APBN 2011 (www.antaranews.com). Beban subsidi menjadi semakin berat terutama ketika harga energi dunia mengalami kenaikan, biaya produksi energi meningkat, dan juga pola konsumsi yang relatif boros karena harganya dianggap cukup/relatif murah. Subsidi energi juga secara tidak langsung menghambat laju perkembangan energi terbarukan.
Selain adanya permasalahan ekonomi dan kelangkaan, masalah energi yang juga sudah cukup lama menjadi perhatian dunia adalah tingkat polusi (emisi karbon) yang semakin tinggi. Dampak lingkungan yang ditimbulkan telah begitu meluas dan dikhawatirkan akan menjadi bom waktu yang akan mengganggu keseimbangan alam dan kehidupan mahluk yang ada di bumi. Masyarakat dunia yang peduli dengan masalah ini, menekankan pentingnya pengurangan emisi karbon yang salah satu caranya adalah dengan beralih pada penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan, terlebih pada sumber energi yang terbarukan. Kesepakatan dan diskusi mengenai masalah lingkungan ini banyak dibahas pada pertemuan tingkat dunia yang salah satunya tertuang pada Kyoto Protocol.
Pada tahun 2007 pemerintah Indonesia telah memulai melakukan program konversi minyak tanah ke lpg. Hal ini dilakukan karena harga minyak tanah yang melambung sehingga beban subsidinya menjadi semakin berat dan juga keunggulan lpg dibanding beberapa komoditi energi alternatif lainnya (misalnya batu bara), terutama dari sisi dampak negatif terhadap lingkungan, efisiensi, serta cadangan gas di Indonesia yang relatif melimpah.
Energi yang masih banyak digunakan sampai saat ini seperti bahan bakar minyak, gas, dan batubara merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan. Sebagai input produksi, sebagaimana diungkapkan Malthus bahwa sifatnya adalah terbatas, dan pada suatu ketika akan mengalami kelangkaan bahkan tidak mampu lagi menyangga tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi terus menerus, karena pertumbuhan penyediaannya lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan permintaan dan konsumsi sumber daya tersebut. Mengingat pola permintaan yang masih akan terus meningkat dan pola penyediaan yang belum sepenuhnya bisa mengejar laju permintaan energi, maka penghematan (peningkatan efisiensi) dan peningkatan teknologi penggunaan sumber energi terbarukan adalah hal mendesak yang harus dilakukan.
1.2 Perumusan Masalah
Energi mempunyai peranan penting dan strategis dalam kehidupan (perekonomian). Energi adalah komoditi yang banyak dikonsumsi langsung oleh konsumen/masyarakat untuk berbagai kebutuhan dan dalam berbagai aktivitas
kehidupan. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa kuantitas dan harga energi akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat (Yusgiantoro, 2000).
Sebagai salah satu barang publik (UU No. 25 Tahun 2009), energi bersifat penting dan strategis sehingga pemerintah melakukan banyak intervensi melalui berbagai instrumen. Intervensi-intervensi yang dilakukan mulai dari pengaturan masalah eksplorasi, produksi, distribusi, dan juga pengaturan harga energi. Pemerintah bertanggung jawab menentukan berbagai tindakan dan kebijakan dalam menjamin ketersediaan dan akses masyarakat terhadap energi, termasuk juga keberlangsungannya dalam jangka panjang.
Salah satu bentuk intervensi tersebut adalah subsidi terhadap harga energi. Spencer dan Amos, Jr., dalam bukunya yang berjudul Contemporary Economics, 1993, menyebutkan definisi subsidi sebagai pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah keluaran (output). Subsidi diberikan untuk menjamin akses masyarakat yang tidak mampu menjangkau harga keekonomian energi dan juga mendorong aktivitas industri terutama industri pada skala kecil.
Namun, subsidi dianggap tidak mendidik masyarakat untuk menghemat penggunaan energi yang semakin lama cadangannya semakin menipis. Subsidi energi juga menghambat laju perkembangan energi terbarukan. Saat ini elastisitas energi kita masih di kisaran 1,6, belum mencapai target 1,3 yang diharapkan bisa dicapai pada tahun 2015 (www.migas.esdm.go.id).
Pemerintah juga sudah lama menyadari bahwa pemberian subsidi bbm tidak menjangkau sasaran yang tepat, bahkan telah menciptakan kesempatan terjadinya pemalsuan dan penyelundupan bbm ke luar negeri dikarenakan harga di Indonesia jauh lebih murah dari harga di luar negeri, terutama apabila dibandingkan dengan harga di kawasan Asia Tenggara, seperti harga di Singapura (Petrominer No. 10 15 Oktober 2000 dalam Hartono, 2004). Selain itu, sebagai negara net importir minyak, ketika harga minyak dunia kian melambung, maka beban subsidi terhadap APBN akan semakin berat.
Olivia dan Gibson (2008) melakukan penelitian menggunakan data Susenas modul konsumsi tahun 1999 untuk rumah tangga di Pulau Jawa. Penelitian ini mengungkapkan bahwa meskipun bukan suatu kebijakan yang populer, masih ada ruang untuk melakukan pengurangan subsidi yang cukup besar untuk minyak tanah.
Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan terkait dengan harga energi, yakni dengan menaikkan harga jual energi ataupun mengurangi subsidi. Sebagai variabel yang sangat terkait dengan tingkat permintaan, perubahan harga energi akan memengaruhi tingkat permintaan energi konsumen baik dari kelompok rumah tangga, industri, transportasi, komersial, dan lainnya. Kenaikan harga ataupun pengurangan subsidi biasanya dilakukan berbeda antar kelompok konsumen dan dalam kelompok konsumen itu sendiri (sesuai strata pendapatannya). Pada saat ini, pemerintah sedang mempertimbangkan untuk melakukan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi (premium) terutama untuk kalangan menengah ke atas (pemilik kendaraan mewah/mobil pribadi), karena subsidi memang ditujukan untuk kalangan yang layak menerima. Selain itu, beban APBN untuk mensubsidi bahan bakar minyak semakin besar.