• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 6. Kesimpulan dan Saran

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa status fungsi motorik pasien pasca stroke di RSUP H. Adam Malik Medan mayoritas mengalami hemiplegia berat dengan jumlah 18 orang, hemiplegia mencolok atau tampak nyata berjumlah 2 orang, hemiplegia sedang berjumlah 1 orang dan tidak ada yang mengalami hemiplegia ringan.

6.2. Saran

1. Pendidikan Keperawatan

Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan informasi bagi mahasiswa/i keperawatan tentang status fungsi motorik pada pasien pasca stroke. 2. Pelayanan Keperawatan

Peneliti berharap perawat mampu melakukan pemeriksaan status fungsi motorik pasien pasca stroke dengan metode fugl-meyer sehingga dapat digunakan untuk mengkaji kemungkinan hasil, menentukan dan mengembangkan intervensi keperawatan yang tepat sesuai kebutuhan pasien.

Untuk penelitian selanjutnya diharapkan untuk mengembangkan penelitian pemeriksaan status fungsi motorik pasien pasca stroke dengan metode yang berbeda, misalnya Action Research Arm Test (ARAT).

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stroke 2.1.1. Pengertian

Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit). Gejala-gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian (Ginsberg, 2008). Stroke merupakan trauma neurologik akut yang terjadi sebagai hasil dari proses patologik dan bermanifestasi sebagai perdarahan atau infark otak. Sekitar 80 persen stroke akibat perdarahan otak (Harison, 2000).

Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDDO) merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yanng disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2008).

2.1.2. Patologi Stroke

Penyakit serebrovaskuler disebabkan oleh satu dari beberapa proses patologik yang mengenai pembuluh darah otak. Proses mungkin intrinsik terhadap pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, lipohialinosis, inflamasi, deposisi amiloid, diseksi arterial, malformasi perkembangan, dilatasi aneurisma atau trombosis vena, mula-mula seedikit dan terjadi bila embolus dari jantung atau sirkulasi

ekstrakranial tersangkut dalam pembuluh darah intrakranial, diakibatkan oleh penurunan tekanan perfusi atau peningkatan viskositas darah dengan aliran darah serebral tak kuat atau diakibatkan oleh ruptur pembuluh darah pada ruang subaraknoid atau jaringan intraserebral.

Stroke merupakan traumaneurologik akut yang terjadi sebagai hasil dari proses patologik ini dan bermanisfestasi sebagai perdarahan atau infark otak. Sekitar 80 persen stroke akibat infark serebral iskemik dan 20 persen akibat perdarahan otak. Faktor resiko primer untuk stroke adalah hipertensi, hiperkolesterolemia dan merokok. Dan paling penting untuk penyakit serebrovaskuler arteriosklerotik, fiblirasi atrial atau infark mutakhir untuk embolisme kardiogenik dan hipertensi untuk perdarahan intraserebral primer. hipertensi juga menyebabkan lipohialinosis, lesi patologik primer stroke lakunar (Harison, 2000).

2.1.3. Klasifikasi Stroke

Harison (2000), penyakit serebrovaskular iskemik dibagi menjadi dua kategori luas, trombotik dan embolik. Stroke embolik serebral biasanya terjadi mendadak tetapi dapat timbul dengan gejala yang berfluktuasi. Stroke trombotik terjadi pada 50 sampai 75 persen pasien dengan gejala transien, serangan iskemik transien (TIA) atau stroke minor yang menyebabkan peristiwa lebih menghancurkan. TIA dibagi menjadi tiga tipe, yaitu (1) TIA aliran rendah pembuluh besar, (2) TIA embolik dan (3) TIA pembuluh darah yang melakukan penetrasi kecil atau lakunar.

TIA aliran rendah bersifat singkat (beberapa menit sampai beberapa jam), rekuren dan stereotipe. TIA sering dihubungkan dengan lesi aterosklerotik stenotik ketat pada asal arteri karotis internal atau pada bagian intrakranial arteri karotis internal (sifon) bila aliran kolateral dari sirkulus Willis ke tengah ipsilateral atau arteri serebral anterior terganggu. Penyebab penting lain termasuk lesi stenotik aterosklerotik di arteri serebralis sentralis atau pada sambungan arteri basilaris dan vertebralis.

TIA embolik ditandai khas oleh episode gejala neurologik fokal yang memanjang (berjam-jam), biasanya tunggal dan diskret. Embolis berasal dari proses patologik dalam arteri, biasanya ekstrakranial atau dari jantung. Jika gejala atau tanda menetap lebih dari 24 jam, stroke iskemik dengan infark terjadi. Namun gejala yang berlangsung kurang dari 24 jam juga dapat dihubungkan dengan infark iskemik. Jika proses patologik primer dianggap merupakan embolik, pencarian cermat untuk sumbernya perlu sebelum terapi untuk mencegah stroke selanjutnya mulai timbul.

TIA pembuluh darah penetrasi atau lakunar kadang-kadang terjadi akibat iskemia serebral transien dari stenosis salah satu pembuluh darah penetrasi intraserebral yang timbul dari batang arteri serebral sentral, arteri vertebralis atau basilaris atau sirkulus Willis. Penyumbatan pembuluh darah penetrasi intraserebral kecil ini biasanya akibat lipohialinosis dari hipertensi, tetapi juga dapat timbul dari penyakit ateromatosa pada asalnya. Kadang-kadang stereotipe rekuren terjadi.

Muttaqin (2008), merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subaraknoid atau ke dalam jaringan otak sendiri. Perdarahan yang terjadi disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada area otak tertentu.

Perdarahan pada rongga paling sering terjadi akibat ruptur aneurisma, yaitu kelemahan kongenital yang terjadi umumnya pada percabangan sirkulus Willis dan malformasi arteriovenosa (angioma), pembuluh darah yang malformasi juga kongenital yang membesar dan terjadi saat dewasa. Penyebab yang lebih jarang adalah trauma, kelemahan pembuluh darah akibat infeksi, misalnya emboli septik dari endokarditis infektif (aneurisma mikotik) dan koagulopati. Perdarahan intraserebral spontan pada otak disebabkan oleh hipertensi dengan pembentukan mikroaneurisma (aneurisma Charcot-Bouchard), perdarahan tumor, trauma, kelainan darah, gangguan pembuluh darah dengan malformasi arteriovenosa, vaskulitis, amiloidosis (Ginsberg, 2008).

2.1.4. Tanda dan gejala stroke

Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder dan aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya (Smeltzer & Bare, 2002).

Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Karena neuron motor atas melintas, gangguan kontrol motorik volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan

kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motor yang paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.

Di awal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya adalah paralisis dan hilang atau menurunnya refleks tendon dalam. Apabila refleks tendon dalam ini muncul kembali (biasanya dalam 48 jam), peningkatan tonus disertai dengan spastisitas (peningkatan tonus otot abnormal) pada ekstremitas yang terkena dapat dilihat.

Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut: disartria (kesulitan berbicara), disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya).

Stroke juga dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan visual-spasial dan kehilangan sensori. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer diantara mata dan korteks visual. Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang pandang) dapat terjadi karena stroke dan mungkin sementara atau permanen. Pada keadaan ini, pasien tidak mampu melihat makanan pada setengah nampan dan hanya setengah ruangan yang terlihat.

Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada pasien dengan hemiplegia kiri. Pasien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk

mencocokkan pakaian ke bagian tubuh. Kehilangan sensori karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil dan auditorius.

Bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi yang menyebabkan pasien ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat oleh respons alamiah pasien terhadap penyakit karastrofik ini. Masalah psikologik lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan, frustasi, dendam dan kurang kerja sama.

Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara karena konfusi, ketikdakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal//bedpan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang setelah stroke kandung kemih menjadi atonik dengan kerusakan sensasi dalam respon terhadap pengisian kandung kemih. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarus eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Karena indra kesadaran pasien kabur, inkontinensia urinarus menetap atau retensi urinarius menetap atau retensi urinarius mungkin simtomatik karena kerusakan otak bilateral. Inkontinensia ani dan urin yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologik luas (Smeltzer & Bare, 2002).

2.1.5. Rehabilitasi pada stroke

Wirawan (2009), secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam beberapa fase. Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan untuk menentukan tujuan (goal) dan jenis intervensi rehabillitasi yang akan diberikan, yaitu: stroke fase akut ( 2 minggu pertama pasca serangan stroke), stroke fase subakut (antara 2 minggu – 6 bulan pasca stroke) dan stroke fase kronis (diatas 6 bulan pasca stroke).

Pada rehabilitasi stroke fase akut, kondisi hemodinamik pasien belum stabil, umumnya dalam peerawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat biasa ataupun di unit stroke. Dibandingkan dengan perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang dirawat di unit stroke memberikan outcome yang lebih baik. Pasien menjadi lebih mandiri, lebih mudah kembai dalam kehidupan sosialnya di masyarakat dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik. Pada fase ini memerlukan penanganan spesialistik di rumah sakit.

Pada rehabilitasi stroke fase subakut, kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah stabil dan diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang memerlukan penanganan rehabilitasi yang intensif. Sebagian kecil (sekitar 10 %) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat ringan dan sebagian kecil lainnya (sekitar 10 %) pasien pulang dengan gejala yang sangat berat dan memerlukan perawatan orang lain sepenuhnya. Namun sekitar 80% pasien pulang dengan gejala sisa yang bervariasi beratnya dan sangat memerlukan intervensi rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang optimal. Pada fase subakut pasien

diharapkan mulai kembali untuk belajar melakukan aktivitas dasar merawat diri dan berjalan. Dengan atau tanpa rehabilitasi, sistem saraf otak akan melakukan reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras otak yang paling sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui rehabilitasi, reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar mencapai kemampuan fungsional optimal yang dapat dicapai oleh pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan gerak yang lebih terarah dengan menggunakan energi/tenaga se-efisien mungkin. Hal tersebut dapat tercapai melalui terapi latihan yang terstruktur, dengan pengulangan secara kontinyu serta mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak. Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:

1. Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila anggota gerak sisi yang terkena terlalu lemah untuk mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk bergerak/ beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun sedapat mungkin juga mengikutsertakan sisi yang sakit. Pasien dan keluarga seringkali beranggapan salah, mengharapkan sirkuit baru di otak akan terbentuk dengan sendirinya dan pasien secara otomatis bisa bergerak kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila ada “kebutuhan” akan gerak tersebut. Bila ekstremitas yang sakit tidak pernah digerakkan sama sekali, presentasinya di otak akan mengecil dan terlupakan.

2. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak fungsional daripada gerak tanpa ada tujuan tertentu. Gerak fungsional misalnya gerakan meraih, memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak fungsional mengikutsertakan

dan mengaktifkan bagian– bagian dari otak, baik area lesi maupun area otak normal lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan. Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan (fleksiekstensi) siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi saja. Apabila akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak begitu saja bisa digunakan untuk gerak fungsional, namun tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk sirkuit yang baru.

3. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan gerak fungsional yang normal, jangan biarkan menggunakan gerak abnormal. Gerak normal artinya sama dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang terkena masih terlalu lemah, berikan bantuan “tenaga” secukupnya dimana pasien masih menggunakan ototnya secara “aktif”. Bantuan yang berlebihan membuat pasien tidak menggunakan otot yang akan dilatih (otot bergerak pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien mengerahkan tenaga secara berlebihan dan mengikutsertakan otot-otot lain. Ini akan memperkuat gerakan ikutan ataupun pola sinergis yang memang sudah ada dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan “tenaga” yang diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan pemulihan pasien.

4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam stabilitas duduk statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak bersandar tanpa berpegangan dalam kurun waktu tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi. Stabilitas duduk

dinamik tercapai apabila pasien dapat mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan dan atau dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik. Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan aktivitas dalam posisi berdiri. Kemampuan fungsional optimal dicapai apabila pasien juga mampu melakukan aktivitas sambil berjalan.

5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan terapi latihan. Gerak fungsional yang dilatih akan memberikan hasil maksimal apabila pasien siap secara fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri pada pergerakan. Secara mental pasien mempunyai motivasi dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan dicapai dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga menjadi salah satu pertimbangan. Tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina pasien. Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan yang tidak sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya sekitar 45-60 menit) namun dengan pengulangan sesering mungkin.

6. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang utuh. Rehabilitasi fisik dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisah-pisahkan.

Mengembalikan kemampuan fisik seseorang harus melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi pada prinsipnya adalah suatu proses belajar, yaitu belajar untuk mampu kembali melakukan suatu aktivitas fungsional dengan segala keterbatasan yang ada.

Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan untuk: mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring, menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan fungsional yang paling optimal, mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari, mengembalikan kebugaran fisik dan mental.

Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya dimotivasi untuk mengerjakan semampunya aktivitas perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi kanan yang terkena, pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan kirinya untuk semua aktivitas. Pastikan juga tangan yang sakit diikutsertakan dalam semua kegiatan. Semakin cepat dibiarkan melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien menjadi mandiri. Hanya aktivitas yang dapat menimbulkan risiko jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang perlu ditolong oleh keluarga (Wirawan, 2009).

Perawatan penderita selepas dari rumah sakit perlu dipersiapkan sejak menjelang pulang ke rumah. Sebelum pasien pulang, perawat atau dokter bersama keuarga sebaiknya mendiskusikan dan mengusahakan tenaga penjaga orang sakit yang telah terlatih yang akan mendampingi atau merawat pasien selama 24 jam di rumah. Contoh-contoh gerakan rehabilitasi pasca stroke di rumah (Rumahorbo, et al, 2014):

1. Posisi berbaring telentang. Tempat tidur datar, kepala dan kedua bahu ditaruh di atas bantal dan pastikan leher pasien tidak tertekuk. Lengan, siku dan pergelangan yang lumpuh dalam posisi lurus diganjal dengan bantal. Telapak tangan yang lumpuh diberi alas bantal. Cegah foot-drop dengan meletakkan gulungan handuk di telapak kaki klien. Untuk menghindari luka tekan (dekubitus) dan mencegah pemendekan otot, lakukan pengaturan atau penggantian posisi tidur setiap 3 jam. Beri pijatan dengan menggunakan minyak kelapa daerah-daerah yang tertekan, seperti punggung, panggul, tulang ekor, mata kaki dan tumit.

2. Posisi berbaring pada sisi yang sehat. Tempat tidur datar, kepala diatur senyaman mungkin. Badan dimiringkan ke posisi yang sehat. Lengan yang lumpuh diposisikan dengan sudut rentang 1000 dari badan dan diberi alas bantal. Siku lengan yang lumpuh diatur dalam posisi tidak tertekuk dan telapak tangan yang lumpuh dalam posisi tengkurap. Pangkal paha dan lutut yang lumpuh ditekuk dan diganjal dengan bantal.

3. Posisi miring ke sisi yang normal. Penolong bediri di samping pasien di sisi tubuh yang sehat. Tekuk lutut yang lumpuh. Kedua tangan pasien diatur dalam posisi saling menggenggam, yaitu posisi jempol tangan yang lumpuh. Bantu pasien untuk miring dengan posisi tangan penolong berada pada bahu dan pinggul yang lumpuh.

4. Posisi miring ke sisi yang lumpuh. Penolong berdiri di samping pasien di sisi tubuh yang lumpuh. Bantu pasien untuk miring dengan posisi tangan kanan

menahan lutut sementara tangan kiri penolong menjepit lengan yang lumpuh. Anjurkan pasien untuk memiringkan sisi yang sehat ke arah sisi yang lumpuh. 5. Posisi angkat bokong. Penolong membantu pasien menekuk lutut yang lumpuh.

Satu tangan penolong membantu menopang kaki yang lumpuh dengan menahan punggung kaki yang lumpuh di atas tempat tidur sementara tangan yang lain menyusuri pinggang klien bagian bawah. Anjurkan pasien untuk mengangkat dan meletakkan bokongnya.

6. Posisi berbaring ke arah duduk. Penolong berdiri di samping pasien di sisi tubuh yang lumpuh. Miringkan pasien ke arah sisi tubuh yang lumpuh. Miringkan pasien ke arah sisi tubuh yang lumpuh dengan menekuk kedua lututnya. Kemudian tangan kanan penolong menggeser bagian belakang lutut pasien ke tepi tempat tidur sementara tangan kiri penolong menggeser berada di ketiak yang lumpuh. Pada saat yang bersamaan pasien menyangga tubuhnya dengan tangan yang sehat di tepi tempat tidur. Posisi duduk di ranjang. Naikkan kepala tempat tidur 900, letakkan sebuah bantal di antara punggung dan tempat tidur pasien. Posisikan klien duduk 900 dengan kepala tidak bersandar pada tempat tidur. Posisikan lengan di atas meja setinggi perut pasien yang diberi alas bantal. Bila perlu dukung bagian yang lumpuh dengan bantal.

7. Posisi duduk di kursi. Bokong dan panggul tidak miring. Badan dalam keadaan bersandar. Bahu lurus dengan panggul. Telapak kaki menapak di lantai, lengan disangga.

8. Posisi duduk ke arah berdiri Penolong berdiri disamping tubuh klien yang lumpuh. Letakkan kursi tanpa sandaran atau meja setinggi tempat duduk pasien di depannya. Kedua tangan pasien diatur dalam posisi saling menggenggam, yaitu posisi jempol dan telunjuk tangan yang lumpuh. Letakkan kedua tangan pasien dalam posisi lurus ke depan di atas kursi atau meja sambil menganjurkan pasien untuk membungkukkan tubuh dan mengangkat pantat. Penolong membantu pasien dengan posisi satu tangan menahan pinggang yang sehat dan tangan penolong yang lain menahan bagian tubuh yang lumpuh.

9. Posisi berjalan 1. Penolong berdiri di hadapan pasien. Letakkan lengan pasien yang lumpuh pada bahu penolong, sementara tangan penolong yang lain membantu pasien untuk berjalan dengan menitikberatkan tubuh pasien pada pinggul yang sehat.

10. Posisi berjalan 2. Penolong berdiri di samping pasien. Tangan kanan penolong menggenggam tangan pasien yang lumpuh. Lengan penolong yang lain berada pada ketiak pasien yang lumpuh dan mengarah ke dadanya.

11. Latihan gerak sendi. Latihan gerak sendi secara aktif oleh penderita bertujuan untuk memelihara setiap persendian agar tidak timbul nyeri, kaku sendi, dan pengecilan otot. Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan selama latihan: letakkan barang-barang (kacamata, sisir, gelas minuman) dalam jangkauan dan pada sisi yang sehat. Posisikan area penderita yang sehat dekat dengan pusat ruangan. Orientasikan realitas dengan menempatkan kalender dan jam di area yang mudah dilihat. Dampingi penderita selama latihan. Latih anggota gerak

yang sehat untuk meningkatkan pergerakan dan kekuatannya. Dukung pasien untuk melakukan latihan pergerakan pada sisi yang sakit.

12. Latihan aktif anggota anggota gerak atas (dilakukan klien sendiri). Kedua tangan klien diatur dalam posisi saling menggenggam, yaitu posisi jempol tangan yang sehat berada di sela jari jempol dan telunjuk tangan yang lumpuh. Anjurkan pasien untuk mengangkat kedua tangannya dan menggerakkan ke arah atas kepala. Kemudian turunkan kembali ke posisi semula. Anjurkan pasien untuk mengangkat kedua tangannya dan menggerakkannya melewati dada ke arah sisi tubuh yang sehat, kemudian kembali lagi keposisi semula. Tangan yang sehat memegang lengan bawah yang lumpuh. Anjurkan pasien untuk mengangkat dan meletakkan kedua tangannya di atas perutnya. Kemudian lakukan gerakan memutar pergelangan tang ke arah dalam dan ke luar. Anjurkan pasien untuk menekuk dan meluruskan jari-jari tangan. Lakukan gerakan di atas sebanyak 8 kali.

13. Latihan aktif anggota gerak bawah (Dilakukan klien sendiri). Anjurkan klien meletakkan kaki yang sehat di bawah lutut yang lumpuh lalu turun sampai punggung kaki yang sehat berada di bawah pergelangan kaki yang lumpuh. Angkat kedua kaki ke atas dengan bantuan kaki yang sehat, kemudian turunkan perlahan-lahan. Anjurkan klien mengangkat kedua kaki dan mengayunkan kedua

Dokumen terkait