• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Persepsi atau pandangan masyarakat Using Desa Aliyan terhadap lingkungan alam di sekitarnya merupakan suatu hal yang penting. Bagi mereka lingkungan alam khusunya sawah dan tanah perbukitan merupakan sumber penghidupan masyarakat Using Aliyan. Dalam mengelola lingkungan alamnya tersebut berpedoman pada pengetahuan yang ia peroleh secara empirik. Dari sini ia mendapat pengetahuan bahwa supaya lahan garapan tidak tandus siklus menanamnya harus diselingi dengan tanaman palawija. Berdasarkan pengalaman empiriknya ini petani Using Aliyan juga mengetahui jenis-jenis tanah yang subur dan tidak subur. Misalnya tanah yang subur warnanya kecoklatan, abu-abu kehitaman, gembur, hitam legam, lembut mawur yang disebut lemah cepeng. Supaya tanah terpelihara kesuburannya, mengolahnya dengan disingkal, dipacul, dipupuk kotoran kambing dan dikombinasi dengan pupuk kimia sedikit.

Dalam mengelola kekayaan lingkungannya, lahan sawah ditanami tanaman pangan padi, yang menjadi andalan utama dan merupakan penyangga kehidupan yang sangat penting bagi manusia. Sawah Desa Aliyan seratus persen sangat tergantung pada air irigasi. Tanaman padi yang sangat dipengaruhi oleh air, varietas padi, hama, pupuk, menjadi faktor risiko terjadi gagal panen yang harus dihadapi petani. Oleh karenanya petani juga belajar dari pengalaman yang diberikan oleh nenek moyangnya yaitu bahwa padi ada dewi pelindungnya yang disebut Dewi Sri sebagai danyang persawahan. Petani Aliyan juga mengetahui bahwa kehidupan alam semesta harus dijaga keseimbangannya yang

disebut mikrokosmos (jagad cilik) dan makrokosmos tempat alam semesta (jagad gedhe). hubungan antara jagat alus (supranatural) dan jagat kasar (manusia) ini diekspresikan dalam bentuk ritual-ritual, diantaranya ritual keboan. Dalam sistem religi mereka, Desa Aliyan dimiliki dan dilindungi oleh tokoh magis yang sangat dihormati yaitu Buyut Wongso Kenongo dan Buyut Wadung. Mereka juga percaya bahwa di sekelilingnya, di tempat-tempat tertentu bersemayam ’roh goib’. Ritual keboan antara lain untuk menjembatani hubungan ma-nusia dengan danyang supaya mereka ikut menjaganya dan tidak mengganggu kehidupan warga Desa Aliyan.

Ritual keboan dilaksanakan di antaranya adalah untuk menjaga keseimbangan hubungan dunia atas dan dunia bawah. Sehubungan dengan itu manusia memanfaatkan alam (dunia atas) untuk menunjang kehidupannya, salah satunya memanfaatkan lahan sawah. Lahan sawah sangat tergantung pada keberadaan air. Air merupakan sumberdaya yang penting bagi mahkluk hidup, khususnya dalam siklus kehidupan manusia. Untuk menunjang keberadaan air khususnya kebutuhan persawahan, masyarakat Aliyan tidak hanya lewat lembaga pembagian air yang diketuai jaga tirta (hIPPA), tetapi juga melalui ritual rebo wekasan, dan ritual keboan. Kedua ritual ini diadakan salah satunya berpengharapan supaya air tetap mengalir melimpah untuk kebutuhan warga Desa Aliyan.

Upacara keboan merupakan simbolisasi relasi petani – leluhur – kerbau – Dewi Sri. Upacara keboan memaknai penghormatan ma-syarakat Using Aliyan terhadap tokoh mistis Buyut Wongso Kenongo dan Buyut Wadung yang dianggap sebagai pelindung Desa Aliyan. Upacara keboan juga memaknai bahwa warga masyarakat Desa Aliyan tidak lupa kepada leluhurnya. Sebagai petani yang hidupnya tergantung

pada lahan sawah disamping secara fisik mengelola dengan baik, juga

mereka harus menjaga ekosistem yang bersifat magis yang ada di dalamnya yaitu melakukan ritus-ritus yang ditujukan kepada Dewi Sri, dewi kesuburan yang penjaga sawah mereka. Masalah kesuburan juga tidak bisa lepas dari peran kerbau dalam menjaga kesuburan lahan sawahnya.

Pelaksanaan tradisi ritual keboan sudah sejak lama mendapat perhatian dari para ulama Banyuwangi tak terkecuali di Desa Aliyan. Dua unsur budaya dalam prosesi ritual keboan Desa Aliyan yaitu ritual

gelar sanga dan ritual ke makam ditentang keras karena bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Islam. Sementara itu tafsir masyarakat adat Using Aliyan, kedua ritual tersebut merupakan inti dari ritual

keboan selain ngurit. Sampai sekarang wacana dua tafsir yang berbeda dari dua unsur budaya tersebut masih berlangsung.

Pelaksanaan ritual keboan yang matisuri beberapa waktu di samping faktor intern (Islam Vs adat), juga karena faktor ekstern (masalah politik, intervensi Negara). Ketidak berdayaan masyarakat Using yang tidak bisa melakukan tradisi ritual keboan dapat dimaknai bahwa hak adat mereka untuk melakukan tradisinya telah terciderai.

Pada era kebangkitan adat sekitar tahun 1998, runtuhnya orde baru kala itu menjadi momentum penting bagi komunitas-komunitas adat di Indonesia, mereka bangkit dari ketidakberdayaannya karena intervensi negara atau faktor politik, tanpa kecuali komunitas adat Using Banyuwangi. Tradisi ritual keboan dibekukan dalam waktu lama dan pada era kebangkitan adat, tradisi ritual keboan muncul kembali. Fenomena ini memberikan arti adanya penguatan keberadaan komunitas adat Using sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

Kelompok penggiat tradisi ritual keboan, maupun para pendukung budaya ini adalah pemeluk agama Islam yang sebagian besar melak-sanakan kewajiban agamanya. hal ini menjadi poin tersendiri bagi kelompok yang tidak mendukung ritual tersebut, khususnya ulama yang dalam misinya digunakan sebagai langkah penyadaran yang sifat-nya menekankan untuk menggunakan agama Islam sebagai tuntunan dalam melaksanakan tradisi ritual keboan.

Dilain pihak dilibatkannya ulama dalam lembaga adat ini men-jadi jalan bagi ulama untuk bisa lebih menyampaikan misinya meng-intervensi dua kegiatan dalam prosesi ritual keboan untuk dihilangkan atau diganti dengan kegiatan yang bernafaskan Islami. Terjadinya pro-kontra dalam pelaksanaan ritual keboan di Aliyan, dan tindakan-tindakan di kedua belah pihak mengisyaratkan adanya dialog yang

menuju ke kompromi-kompromi untuk kelestarian budaya adat masyarakat setempat.

Dampak dari dihentikannya ritual keboan menyebabkan hasil sawah atau hasil panen tidak bagus, banyak yang gabug. Tanaman padi sering diganggu oleh hama ulat, tikus, wereng dan kekeringan. Masyarakat Desa Aliyan menyikapi peristiwa ini dengan mengaitkan tidak dilakukannya ritual adat keboan.

Pasca terjadinya penghentian ritual tersebut, pelaksanaan ritual

keboan setelah vacum 8 tahun ada sedikit perubahan yang sifatnya penambahan dan ada pula penghilangan. Ritual keboan atau kebo-keboan dari waktu ke waktu, dari pelaksanaan ritual sederhana, kemudian semakin meningkat, ada tetabuhan dan tambahan sana-sini yang pada intinya untuk kemeriahan upacara keboan (bersifat profan).

Dokumen terkait