• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

BAB II

PERSAMAAN DIFERENSIAL

Dalam bab ini akan dibahas mengenai dasar teori dari skripsi ini. Dasar teori dari skripsi ini meliputi integral, klasifikasi persamaan diferensial, nilai eigen dan vektor eigen, matriks tridiagonal, klasifikasi persamaan diferensial parsial orde dua, dan penurunan numeris.

A. Integral

Pada bagian ini akan dibahas mengenai integral yang meliputi definisi dan contoh dari integral tentu dan teorema fundamental kalkulus.

Definisi 2.1

Suatu fungsi disebut anti turunan dari pada interval �, jika =

untuk setiap dalam interval �.

Contoh 2.1

Carilah suatu anti turunan dari = .

Penyelesaian:

Fungsi = bukanlah anti turunannya, karena turunan dari adalah . Akan tetapi hal ini menyarankan = , yang memenuhi = =

Anti turunan dinotasikan dengan ∫ … . Notasi tersebut menunjukkan anti turunan terhadap . Anti turunan biasanya disebut integral tak tentu.

1. Integral Tentu

Perhatikan Gambar 2.1 berikut ini:

Gambar 2.1. Ilustrasi fungsi satu variabel. = ( )

Untuk menghitung luas di bawah kurva = , dapat dilakukan dengan aproksimasi, yaitu dengan membagi interval [ , ] oleh partisi = { , , … , }

ke dalam n subinterval yaitu [ , ], [ , ], …[ , ]. Panjang subinterval ke- ditulis dengan ∆ = − . Selanjutnya dipilih sebarang dari [ , ],

[ , ], …[ , ] dengan = , , … , . Total luas di bawah kurva dapat dihitung dengan ∆ + ∆ + ⋯ + ∆ = ∑= ∆ yang disebut jumlahan Riemann fungsi pada interval [ , ], sebagai pendekatan luas daerah di bawah kurva = dan diatas sumbu .

Semakin banyak subinterval seragam yang digunakan artinya ∆ → , maka semakin baik pula aproksimasi luasan tersebut dan semakin dekat dengan luasan yang sebenarnya. Dengan demikian, luas daerah = lim

�→= ∆ .

Definisi 2.2

Misalkan suatu fungsi yang didefinisikan pada selang tertutup [ , ]. Jika

lim

=

ada, maka nilai limit tersebut dinamakan integral tentu dari ke dan ditulis sebagai ∫ = lim

2. Teorema Fundamental Kalkulus

Pada bagian ini hanya akan diberikan teorema fundamental kalkulus, tidak dibahas mengenai pembuktiannya.

Teorema 2.1 (Teorema Nilai Rata-Rata)

Jika fungsi kontinu pada [ , ], maka terdapat ∈ [ , ], sehingga berlaku

= − ∫ .

Teorema 2.2 (Teorema Fundamental Kalkulus I)

Jika fungsi kontinu pada [ , ], maka = ∫ kontinu pada

[ , ] dan terdiferensial pada , dan berlaku

= ∫ = .

Teorema 2.3 (Teorema Fundamental Kalkulus II)

Jika fungsi kontinu pada setiap titik dalam [ , ] dan adalah antiturunan dari pada [ , ], maka

Bukti dari ketiga teorema yang disebut di atas dapat dilihat pada buku karangan Thomas (2010).

B. Klasifikasi Persamaan Diferensial

Berikut ini akan dibahas mengenai klasifikasi persamaan diferensial. Klasifikasi tersebut meliputi definisi dan contoh persamaan diferensial, persamaan diferensial biasa, persamaan diferensial parsial, dan orde persamaan diferensial.

Definisi 2.3

Persamaan diferensial adalah persamaan yang melibatkan variabel tak bebas dari fungsi yang tidak diketahui dan turunan terhadap variabel-variabel bebas dari fungsi tersebut.

Contoh 2.3

Persamaan-persamaan di bawah ini merupakan contoh persamaan diferensial: = − , (2.1) + = , (2.2) � � = � � + � � , (2.3) � � + � � + � � = . (2.4)

Definisi 2.4

Persamaan diferensial biasa adalah persamaan diferensial yang melibatkan turunan biasa atas satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas.

Contoh 2.4

Persamaan (2.1) dan (2.2) adalah contoh persamaan diferensial biasa. Pada persamaan (2.1) variabel adalah variabel terikat atau tak bebas dan variabel adalah variabel bebas. Pada persamaan (2.2) variabel adalah varabel tak bebas dan variabel adalah variabel bebas.

Definisi 2.5

Persamaan diferensial parsial adalah persamaan diferensial yang melibatkan turunan parsial atas satu atau lebih variabel tak bebas terhadapvariabel bebas, dengan catatan bahwa banyaknya variabel bebas dalam persamaan tersebut adalah lebih dari satu.

Contoh 2.5

Persamaan (2.3) dan (2.4) merupakan contoh persamaan diferensial parsial. Pada persamaan (2.3) variabel , , dan merupakan variabel bebas dan variabel merupakan variabel tak bebas. Pada persamaan (2.4) variabel , , dan

Definisi 2.6

Orde persamaan diferensial adalah tingkat tertinggi dari turunan yang muncul dalam persamaan diferensial tersebut.

Contoh 2.6

Persamaan (2.1) adalah persamaan diferensial biasa orde pertama karena tingkat tertinggi yang muncul adalah tingkat satu. Persamaan (2.2) adalah contoh persamaan diferensial biasa orde dua karena tingkat turunan yang muncul adalah tingkat dua. Persamaan (2.3) dan (2.4) adalah persamaan diferensial parsial orde dua karena tingkat tertinggi dari turunanparsial yang muncul adalah tingkat dua.

C. Nilai Eigen dan Vektor Eigen

Berikut akan dibahas mengenai nilai eigen dan vektor eigen beserta dengan contohnya.

Definisi 2.8

Misalkan adalah suatu matriks × . Skalar disebut sebagai suatu nilai eigen atau nilai karakteristik dari jika terdapat suatu vektor taknol ̅, sehingga ̅ = ̅. Vektor ̅ disebut vektor eigen atau vektor karakteristik yang bersesuaian dengan nilai eigen λ dari .

Contoh 2.8

̅ = = = = ̅

maka dari persamaan ini dapat dilihat bahwa = adalah nilai eigen dari dan

̅ = merupakan vektor eigen yang bersesuaian dengan = tersebut, seperti yang dijelaskan oleh Leon (2001).

Secara geometris, perkalian matriks dengan vektor ̅ memiliki kelipatan 3 terhadap vektor ̅. Ilustrasi secara geometris ditunjukkan dalam Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Ilustrasi geometri vektor eigen.

D. Klasifikasi Persamaan Diferensial Parsial Orde Dua

Pada bagian ini akan dibahas tentang menentukan jenis suatu persamaan

2 1 6 3 ̅ 3 ̅

Persamaan diferensial parsial orde dua, yang linear homogen, dan memiliki koefisien konstan berbentuk

+ + + + + =

dengan = , dan , , , , , adalah konstanta. Tiga suku pertama bentuk persamaan diferensial parsial linear homogen orde dua di atas disebut bagian utama persamaan diferensial parsial dan digunakan untuk menentukan jenis persamaan diferensial parsial.

Dipandang bagian utama persamaan diferensial parsial:

+ + = � + � � + = ( � ) ( � � � � ) .

Matriks koefisien merupakan matriks simetri yang mempunyai nilai eigen berupa bilangan real,

det − = det = − − −

= − + + −

(2.9)

Jika dan adalah nilai eigen dari matriks = maka persamaan karakteristiknya adalah

↔ − + + =

dari (2.9) dan (2.10) didapat:

a. + = + = trace

b. = − = det

Persamaan diferensial parsial disebut parabolik jika − = ,yang artinya = ; dengan kata lain, salah satu nilai eigennya bernilai 0. Persamaan diferensial parsial disebut eliptik apabila − > ,yang artinya > ; dengan kata lain, kedua nilai eigennya positif atau kedua nilai eigennya negatif. Persamaan diferensial parsial disebut hiperbolik jika − < ,yang artinya < ; dengan kata lain, salah satu nilai eigennya positif dan salah satu nilai eigennya negatif.

E. Penurunan Numeris

Pada bagian ini akan dibahas mengenai penurunan numeris dan contohnya, serta penjelasan tentang tiga pendekatan dalam menghitung turunan numeris yaitu pendekatan beda maju, beda pusat dan beda mundur.

Definisi 2.9

Bila fungsi diberikan secara eksplisit, maka kita dapat menentukan fungsi turunannya, ′ , ′′ , …, + , lalu menggunakannya untuk menghitung

nilai turunan fungsi di = .

Namun demikian, seringkali fungsi tidak diketahui secara eksplisit, tetapi hanya memiliki beberapa titik data saja. Pada kasus seperti ini, nilai turunan fungsi secara analitis susah untuk dicari. Seringkali diketahui secara eksplisit, namun karena bentuk yang sulit maka untuk mencari hasil turunan fungsinya juga sulit, misalnya pada fungsi-fungsi berikut:

(a). = √ci + − / c+ a

(b). = + ln

Perhitungan nilai turunan pada fungsi (a) dan (b) dapat dikerjakan secara numeris. Nilai turunan yang diperoleh merupakan nilai hampiran dan diharapkan menghasilkan nilai galat yang kecil.

1. Tiga Pendekatan dalam Menghitung Turunan Numeris

Turunan adalah limit dari hasil bagi selisih: yaitu pengurangan dua buah nilai yang besar + ℎ − dan membaginya dengan bilangan yang kecil

ℎ . Misal diberikan nilai-nilai di − ℎ, , dan + ℎ, serta nilai fungsi untuk nilai-nilai tersebut. Titik-titik yang diperoleh adalah , , , , dan , , yang dalam hal ini = − ℎ dan = + ℎ. Terdapat tiga pendekatan dalam menghitung ′ :

a. Hampiran Beda Maju

Diketahui fungsi = . Akan ditunjukkan ′ dengan hampiran beda maju

= limℎ→ + ℎ −

+ ℎ −

=

b. Hampiran Beda Mundur

Diketahui fungsi = . Akan ditunjukkan ′ dengan hampiran beda mundur

= limℎ→ − ℎ

− ℎ

=

c. Hampiran Beda Pusat

= limℎ→ + ℎ − − ℎ

+ ℎ − − ℎ

=

Tafsiran geometris dari ketiga pendekatan di atas diperlihatkan pada Gambar 2.3.

(a) (b)

(c)

Gambar 2.3. (a) Hampiran beda maju. (b) Hampiran beda mundur. (c) Hampiran

beda pusat. 0 −1 −1 0 1 = ( ) 0 −1 −1 0 1 = ( ) 0 −1 0 1 = ( ) 1

2. Penurunan Rumus Turunan dengan Deret Taylor

Misal diberikan titik-titik , dengan = , , , … , , yang dalam hal ini

= + ℎ

dan

= .

Selanjutnya akan dihitung ′ , yang dalam hal ini = + ℎ, ∈ ℝ dengan ketiga pendekatan sebelumnya (beda maju, beda mundur, beda pusat).

a. Hampiran Beda Maju

Uraikan + di sekitar : + = + + ! + + ! ′′ + ⋯ + = + ℎ + ℎ ⁄ ′′ + ⋯ (2.11) ℎ ′ = + − − ℎ ⁄ ′′ − ⋯ ′ = + − ℎ⁄ ′′ − ⋯ ′ = + − ℎ ′′

= +

+ � ℎ

yang dalam hal ini, � ℎ = − ℎ⁄ ′′ , untuk suatu dengan < < + .

Untuk nilai-nilai di dan rumusnya menjadi:

= + � ℎ (2.12)

yang dalam hal ini � ℎ = − ℎ⁄ ′′ , untuk suatu dengan < < .

b. Hampiran Beda Mundur

Uraikan di sekitar : = + ! + ! ′′ + ⋯ = − ℎ + ℎ ⁄ ′′ + ⋯ (2.13) ℎ ′ = − + ℎ ⁄ ′′ + ⋯ = + ℎ⁄ ′′ + ⋯ ′ = + ℎ ′′= + � ℎ

Untuk nilai-nilai di dan persamaan rumusnya menjadi:

= + � ℎ (2.14)

yang dalam hal ini � ℎ = ℎ⁄ ′′ , untuk suatu dengan < < .

c. Hampiran Beda Pusat

Kurangkan persamaan (2.13) dari persamaan (2.11):

+ = ℎ + ℎ ⁄ ′′′+ ⋯ ℎ = + − ℎ ⁄ ′′′− ⋯ ′ = + − ℎ ′′′− ⋯= + + � ℎ

yang dalam hal ini, � ℎ = −ℎ ⁄ ′′′ , untuk suatu dengan < <

+ .

Untuk nilai-nilai di dan persamaan rumusnya menjadi:

= ℎ + � ℎ (2.12)

F. Matriks Tridiagonal

Pada bagian ini akan dibahas mengenai definisi matriks tridiagonal dan contohnya.

Definisi 2.10

Misalkan . Matriks � = ∈ ℝ × disebut matriks tridiagonal

jika elemen-elemen yang berada pada selain diagonal utama dan dua diagonal berdekatan bernilai nol, yaitu

= jika | − | > , , ∈ { , , … , }

matriks tersebut juga sering disebut tiga diagonal. Untuk penjelasan lebih jelasnya dapat dilihat pada buku karangan Süli dan Mayers (2007).

Contoh 2.9

Berikut ditunjukan beberapa matriks

= ( ), = ( ), = ( ).

Dari ketiga matriks di atas, matriks tridiagonal ditunjukan oleh matriks dan . Matriks bukan matriks tridiagonal karena ≠ dan ≠ . Matriks adalah matriks identitas. Matriks memenuhi definisi matriks tridiagonal karena =

BAB III

MODEL PERGERAKAN LAPISAN FLUIDA

Pada bab ini akan dibahas tentang pemodelan pergerakan lapisan fluida, penurunan gerak fluida satu dimensi, serta metode volume hingga dan metode beda hingga untuk model pergerakan lapisan fluida.

A. Penurunan Persamaan Gerak Lapisan Fluida

Persamaan gerak fluida pada kasus ini dideskripsikan dengan persamaan panas seperti yang dijelaskan oleh Caldwell dan Ng Douglas (2004). Hal ini dikarenakan gerakan fluida seperti menjalar dari sumber gerakan. Plat atas yang ditarik secara konstan adalah sumber gerakan awal, kecepatan fluida yang bersentuhan langsung dengan plat sama dengan kecepatan plat yang ditarik secara konstan tersebut, sedangkan kecepatan fluida yang berada jauh dari plat atas tersebut memiliki kecepatan yang lebih kecil dari pada kecepatan fluida yang bersentuhan langsung dengan plat yang ditarik.

Persamaan panas dapat juga disebut sebagai persamaan difusi. Persamaan panas dapat diformulasikan dengan merumuskan persamaan aliran panas (Haberman, 2004). Misalkan kawat penampang berorientasi terhadap arah seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3.1. Jumlah energi panas per satuan volume sebagai variabel yang tidak diketahui disebut kepadatan energi panas.

Gambar 3.1 Kawat satu dimensi dengan energi panas yang mengalir masuk

dan keluar.

Di sini, adalah luas penampang kawat, dan ∅ , adalah energi panas yang lewat di penampang kawat pada posisi dan waktu .

Asumsikan pada setiap waktu , suhu di dalam kawat pada posisi seragam yaitu , , tetapi berbeda bila dibandingkan suhu penampang kawat posisi yang lain. Akan dicari distribusi suhu penampang kawat pada setiap posisi dan pada setiap waktu , yaitu , , ∀ , .

Misalkan konstanta yang menyatakan berapa banyak energi yang dibutuhkan oleh satu unit massa suatu benda untuk menaikkan suhu sebesar 1 derajat. Segmen kawat dari ke + ∆ mempunyai massa:

� = �,

= � ∗ � = � ∗ ∗ ∆ ,

dengan � adalah kepadatan kawat, adalah massa, dan � merupakan volume kawat. Sehingga untuk menaikan suhu segmen kawat sebesar 1 derajat dibutuhkan energi sebanyak � ∗ ∗ ∗ ∆ . Apabila suhunya naik dari 0 ke , maka energi yang dibutuhkan sebesar � ∗ ∗ ∗ ∆ ∗ , . Jadi, total energi panas pada segmen tersebut untuk > adalah

= lim∆ →∞∑ � ∗ ∗ ∗ ∆ ∗ , , atau ∅( +∆ , ) , = +∆ = 0

= ∫ � ∗ ∗ ∗ ,

+∆

.

Fluks Panas

Fluks panas adalah laju perubahan energi panas yang melewati suatu penampang. Fluks dapat dihitung dengan cara:

Fluks =� =� ∫ � ∗ ∗ ∗ ,

+∆

= ∫ � ∗ ∗ ∗ ,

+∆ (3.1)

atau dengan cara:

Fluks = ∅ , − ∅ + ∆ , = − [∅ + ∆ , − ∅ , ]. (3.2) Karena panas menjalar dari benda bersuhu tinggi ke rendah dan banyak energi berbanding dengan perbedaan suhu di antara 2 titik (Hukum Newton Pendinginan) maka:

∅ , = − , . (3.3) Substitusi persamaan (3.3) ke persamaan (3.2) didapat

Fluks = − − + ∆ , + ,

= + ∆ , ,

Dari persamaan (3.1) dan (3.4) didapat ∫ � ∗ ∗ ∗ , +∆ = ∫ +∆ ( , ) ∫ +∆ � ∗ ∗� − ∗ = � ∗ ∗� − ∗ = atau � � = � � � � � = � � (3.5)

dengan = �⁄ adalah koefisien difusi.

Pada persamaan gerak fluida, koefisien difusi diganti dengan yang berarti kekentalan fluida. Pada kasus pergerakan lapisan fluida, persamaan (3.5) diberikan subskrip minyak dan air guna membedakan antara persamaan gerak untuk minyak dan persamaan gerak untuk air, seperti pada persamaan (1) dan persamaan (2).

Persamaan (3.5) merupakan persamaan diferensial parsial parabolik. Hal ini dikarenakan bagian utama persamaan diferensialnya berbentuk:

� = ,

sehingga det = atau dengan kata lain salah satu nilai eigen dari persamaan tersebut bernilai 0. Di sini,

= =

seperti yang dijelaskan pada subbab “D. Klasifikasi Persamaan Diferensial Parsial Orde Dua”.

B.Masalah Pergerakan Fluida

Diketahui persamaan gerak dari lapisan fluida untuk air, yaitu:

ai

� = aiai

(3.6)

dan untuk minyak yaitu:

i yak

= i yak

i yak

(3.7)

dengan x adalah variabel ruang, t adalah variabel waktu, ai adalah kecepatan air, i yak adalah kecepatan minyak, ai adalah kekentalan air dan i yak adalah

kekentalan minyak. Hubungan di titik perbatasan antara minyak dan air ditunjukkan dengan: i yak= ai (3.8) dan i yaki yak= aiai � . (3.9)

Persamaan (3.9) merupakan definisi dari tegangan gesek yaitu:

� =

dengan merupakan viskositas, � merupakan kecepatan fluida, merepresentasikan jarak dua plat rata yang disusun secara horisontal, dan

merepresentasikan gradien dari kecepatan fluida. Pada kasus dalam skripsi ini, jarak dua plat rata horisontal direpresentasikan dengan , dan viskositas diberikan subscrip minyak dan air sebagai pembeda koefisien viskositas untuk minyak dan air. Dalam skripsi ini tidak akan dibahas lebih lanjut tentang bagaimana mendapatkan definisi tegangan gesek. Materi tentang vikositas dan tegangan gesek dapat dilihat pada buku-buku atau jurnal tentang mekanika fluida seperti yang ditulis oleh Crowe. C. T., Elger D. F., Williams B. C., dan Roberson. J. A. pada buku berjudul Engineering Fluid Mechanics (2010).

Akan disimulasikan pergerakan lapisan fluida dalam kasus ini adalah antara minyak dan air yang berada diantara dua plat rata dengan jarak 10 cm menggunakan metode volume hingga Lax-Friedrichs, dan metode beda hingga dengan menggunakan MATLAB. Pada kasus ini plat atas ditarik sehingga mempunyai kecepatan konstan sebesar 7cm/s seperti pada Gambar 1.1. Pada kasus ini, terdapat dua masalah nilai awal yang melibatkan kecepatan dua fluida, sebagai berikut:

{ � ai � = aiai, < < ai , = ai , = ai , = i yak , i yaki yak| = = aiai � | = (3.10) { � i yak= i yaki yak, < < i yak , = i yak , = i yak , = ai , i yaki yak| = = aiai � | = (3.11)

dengan ai , adalah kecepatan air, i yak , adalah kecepatan minyak,

ai sebagai kekentalan air, and i yak kekentalan minyak.

Untuk model pergerakan lapisan fluida, dibuat beberapa asumsi sebagai berikut:

1. Pada plat atas tidak terdapat kekentalan. 2. Plat atas bergerak secara konstan yaitu 7 cm/s.

3. Kekentalan fluida minyak dan air diberikan oleh Caldwel dan Ng Douglas, K. S. (2004).

4. Kekentalan fluida minyak dan air diasumsikan tetap, tidak berubah terhadap suhu.

5. Aliran fluida hanya dalamsatu arah, yaitu arah yang tegak lurus sumbu x. 6. Aliran fluidanya bersifat laminer.

C. Solusi Analitis Masalah Pergerakan Lapisan Fluida

Masalah pergerakan lapisan fluida sangat sulit diselesaikan secara analitis untuk kasus aliran tak tunak. Akan tetapi, penyelesaian numeris dapat dibandingkan dengan solusi analitis untuk kasus aliran tunak. Aliran tak tunak adalah kondisi dimana komponen aliran berubah terhadap waktu, dan aliran tunak adalah kondisi dimana komponen aliran tidak berubah terhadap waktu. Untuk kasus aliran tunak, solusi analitis tidak bergantung terhadap waktu. Dengan demikian, untuk kasus aliran tunak, solusi analitis ai , = ai dan

i yak , = i yak .

Dalam kasus aliran tunak persamaan (3.10) menjadi

ai

= , < < , (3.12)

ai = . (3.13)

Persamaan (3.12) memiliki penyelesaian ai = + .Karena ai =

maka = , sehingga penyelesaian untuk persamaan (3.12) adalah

ai = , . (3.14)

ai

� =

Persamaan (3.11) untuk kasus aliran tunak dapat ditulis menjadi

i yak

= , , (3.15)

i yak = , (3.16)

i yaki yak| = = aiai � | = . (3.18) Persamaan (3.15) menghasilkanpenyelesaian: i yak = + , , (3.19) � i yak=

dan pada titik batas yakni persamaan (3.16) dan (3.17) ditulis menjadi

+ = (3.20)

dan

+ = . (3.21)

Selanjutnya karena ai = dan i yak = maka persamaan (3.18) berlaku

i yak = ai . (3.22)

Eliminasi persamaan (3.20) dan (3.21) sehingga mendapat

= . (3.23)

Substitusi persamaan (3.23) ke persamaan (3.22) akan menghasilkan

= ai

i yak+ ai , (3.24)

substitusikan pula persamaan (3.24) ke persamaan (3.22) sehingga didapat

= i yak

i yak+ ai , (3.25)

substitusikan persamaan (3.24) dan (3.25) ke persamaan (3.21) didapat

Berikut adalah solusi aliran tunak yang dihasilkan dengan mensubstitusikan persamaan (3.24), (3.25), dan (3.26) ke persamaan (3.14) dan (3.19):

ai = i yak i yak+ ai , , (3.27) i yak = ai i yak+ ai + i yakai i yak+ ai , , (3.28)

dengan ai adalah kecepatan air, i yak adalah kecepatan minyak, ai

menyatakan kekentalan air dan i yak menyatakan kekentalan minyak.

Solusi di atas akan digunakan dalam perhitungan simulasi numeris dengan MATLAB.

D.Metode Volume Hingga Lax-Friedrichs

Pada bagian ini dibahas mengenai skema metode volume hingga, perhitungan flux secara numeris dalam metode volume hingga dan solusi numeris metode volume hingga Lax-Friedrichs.

1. Skema Metode Volume Hingga

Persamaan diferensial parsial hukum kekekalan berbentuk

+ = atau ditulis � � , + � � ( , ) = .

Skema metode volume hingga berdasar pada pendiskretan domain pada ruang ke dalam interval, seperti ditunjukkan dalam Gambar 3.2.

Gambar 3.2.Ilustrasi diskretisasi domain ruang.

Di sini ∆ = − atau ∆ = + . Domain waktu didiskretkan menjadi

= ∙ ∆

dengan = , , , , …. Misalkan � adalah nilai pendekatan rata-rata volume kuantitas , dalam interval ke-i pada waktu , yaitu:

� ≈�+ ,

�−

.

Misalkan pula

adalah pendekatan dari rata-rata fluks(debit material)

( , ) di titik , yaitu

≈ ∆ ∫ ( , )

�+

�� .

Bentuk integral dari hukum kekekalan diberikan oleh:

���+ ,

�− = − [ ( + , ) − ( , ) ], dengan nilai-nilai pendekatan diperoleh untuk + = , yaitu

−1 +1

+ − � ∆ = −

+

atau dapat ditulis menjadi

+ = � −∆�( + ).

Persamaan di atas merupakan skema volume hingga bagi + = . Skema metode volume hingga tersebut konsisten dengan skema metode beda hingga karena

+ − � ∆ = −

+

dapat ditulis menjadi

+ − �

+

+

=

yang merupakan suatu bentuk diskret dari + = .

2. Perhitungan FluksSecara Numeris dalam Metode Volume Hingga

Diberikan persamaan diferensial parsial dengan bentuk hukum kekekalan

+ = .

Misal � ≈ , dan

≈ ( , ) , seperti telah dijelaskan pada bagian Skema Metode Volume Hingga di muka.Skema metode volume hingga untuk persamaan di atas adalah

+ = � −∆ ( + ).

Diketahui � merupakan nilai kuantitas numeris di titik dan pada waktu

≈ ( , ) ≈ � .

Metode Stabil dan Tidak Stabil

Metode numeris dikatakan stabil apabila galat atau error yang muncul disetiap iterasi tidak membesar terlalu cepat pada iterasi-iterasi berikutnya. Jika galat yang muncul pada suatu iterasi membesar menuju tak hingga maka metode tersebut dikatakan tidak stabil. Teori tentang kestabilan tidak akan dibahas pada skripsi ini. Teori kestabilan dapat dilihat dalam buku-buku referensi misalnya LeVeque (1992,2002).

1. Flukstak stabil

Akan didefinisikan rata-rata fluks pada titik berdasarkan pada

dan � , sebagai berikut:

= � , � = [ � + � ]. Dengan demikian, skema metode volume hingga menjadi

+ = � −∆ ( + )

menjadi

Akan tetapi, skema metode volume hingga ini tidak stabil. 2. Fluks Lax-Friedrichs

Skema Lax-Friedrichs adalah skema yang memodifikasi skema metode volume hingga di atas, dengan

� = �+ + �

sehingga skema Lax-Friedrichsmenjadi

+ = �+ + �∆� [ �+ − � ] . Skema Lax-Friedrichs ini stabil untuk ∆ yang cukup kecil.

3. Solusi Numeris Metode Volume Hingga Lax-Friedrichs

Masalah pergerakan lapisan fluida dapat diselesaikan dengan menggunakan metode volume hingga Lax-Friedrichs. Diberikan persamaan lapisan fluida (3.10) dan (3.11) yaitu

ai

� = aiai

,

atau dapat ditulis

ai �+ − ai ai = (3.29) dan � i yak= i yaki yak, atau

i yak�+ − i yak i yak = . (3.30)

+ = � −∆�( + ).

Jadi, jika diketahui persamaan (3.29) maka didapat = ai dan = − ai ai.Sekarang akan dicari fluks

+ dan dari persamaan (3.29), yaitu: + = [ �+ + � ] − ∆ �+ − � = [ − ai ai + + − ai ai ] − ai +ai = − ai [( ai )+ + ( ai ) ] − ai +ai , = [ � + � ] − ∆ �+ − � = [ − ai ai + − ai ai ] − aiai = − ai [( ai ) + ( ai ) ] − aiai .

Persamaan (3.30) juga mempunyai skema metode volume hingga

+ = � −∆�( + ).

Jadi, jika diketahui persamaan (3.30) maka didapat = i yak dan = − i yak i yak.Sekarang akan dicari fluks + dan dari persamaan (3.30),

yaitu:

= [ − i yak i yak + + − i yak i yak ]

∆ ( i yak)+ − ( i yak)

= (− i yak) [( i yak)+ + ( i yak) ]

∆ ( i yak)+ − ( i yak) ,

= [ � + � ] − ∆ �+ − �

= [ − i yak i yak + − i yak i yak ]

∆ ( i yak) − ( i yak)

= (− i yak) [( i yak) + ( i yak) ]

∆ ( i yak) − ( i yak) .

Hasil simulasi penyelesaian masalah pergerakan lapisan fluida dengan metode volume hingga Lax-Friedrichs dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB ditunjukkan oleh Gambar 3.3. Pada hasil simulasi pergerakan lapisan fluida diberikan nilai ai = dan i yak = , program dijalankan dengan ∆ =

Gambar 3.3. Hasil simulasi penyelesaian masalah pergerakan lapisan fluida

dengan metode volume hingga saat = .

Terlihat pada gambar bahwa terjadi patahan pada saat = . Hal ini terjadi karena diketahui hubungan di titik perbatasan antara minyak dan air yang sudah dijelaskan sebelumnya.

E. Metode Beda Hingga untuk Model Pergerakan Lapisan Fluida

Pada bagian ini dibahas mengenai skema metode beda hingga untuk model pergerakan lapisan fluida, dan solusi numeris metode beda hingga untuk model pergerakan lapisan fluida.

1. Skema Metode Beda Hingga untuk Model Pergerakan Lapisan Fluida

Persamaan (3.10) dan (3.11) tidak dapat diselesaikan secara terpisah, karena terdapat beberapa kondisi yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dengan menggunakan skema implisit, persamaan gerak fluida untuk air pada persamaan (3.10) dan persamaan gerak fluida untuk minyak pada persamaan (3.11) dapat ditulis menjadi:

ai +ai= ai ai + +ai + + ai −+ , untuk = , , , … , , (3.31) i yak +i yak

= i yak i yak ++i yak + + i yak −+

,

untuk = , + , + , … , − ,

(3.32)

Persamaan (3.31) dan (3.32) dapat ditulis ulang menjadi:

( ai ) ai −+ − ( ai + ∆ ) ai + + ( ai ) ai ++

= − ∆ ai ,

untuk = , , , … , ,

(3.33)

( i yak) i yak −+ − ( i yak+ ∆ ) i yak+

+ ( i yak) i yak ++

= − ∆ i yak ,

untuk = , + , + , … , − .

Untuk posisi di = dan syarat awal ai , = ai + = , persamaan (3.33) dapat ditulis menjadi:

− ( ai + ∆ ) ai + + ( ai ) ai +

= − ∆ ai (3.35)

Pada posisi batas antara minyak dan air ( = dan = ), persamaan (3.33) dan (3.34) menjadi

( ai ) ai + − ( ai + ∆ ) ai + + ( ai ) ai ++

= − ∆ ai ,

(3.36)

( i yak) i yak −+ − ( i yak+ ∆ ) i yak+

+ ( i yak) i yak ++

= − ∆ i yak .

(3.37)

Kondisi pada posisi batas dapat dijabarkan menjadi:

i yaki yak| = = aiai � | = , (3.38) ai ai + +ai += μ i yak i yak + +i yak −+. (3.39)

Persamaan (3.38) dapat ditulis sebagai:

ai ++ = i yak

ai i yak ++i yak −+ + ai + . (3.40)

Substitusi persamaan (3.40) ke persamaan (3.36), didapat:

( ai

) ai + − ( ai

∆ + ∆ ) ai +

Jumlahkan persamaan (3.37) dengan persamaan (3.41) sehingga didapat:

( ai ) vai + − ( ai + ∆ ) ai + − ( i yak+ ∆ ) i yak +

+ ( i yak) i yak ++

= − ∆ ai − ∆ i yak .

(3.42)

Karena ai + = i yak + , maka persamaan (3.42) dapat ditulis menjadi:

( ai ) ai + − ( ai + i yak+ ∆ ) i yak +

+ ( i yak) i yak ++

= − ∆ ai − ∆ i yak .

(3.43)

Saat = + persamaan (3.34) menjadi:

( i yak) i yak + − ( i yak+ ∆ ) i yak ++

+ ( i yak) i yak ++

= − ∆ i yak + .

(3.44)

Pada plat atas ( = − ), persamaan (3.34) dapat ditulis menjadi:

( i yak) i yak −+ − ( i yak+ ∆ ) i yak −+

= − ∆ i yak + − ( i yak) i yak+ .

(3.45)

Karena i yak , = i yak + = , maka:

( i yak) i yak −+ − ( i yak+ ∆ ) i yak −+

= − ∆ i yak + − ( i yak).

Persamaan (3.33), (3.34), (3.35), (3.43), (3.44) dan (3.46) adalah persamaan yang mewakili semua titik diantara 0 sampai 10. Keenam persamaan merupakan sistem tridiagonal yang dapat diselesaikan dengan menggunakan perintah \ pada MATLAB. Misalkan:

b = ( ai ) , c = ( ai + ∆ ), d = ( ∆i yak) ,

e = ( i yak+ ∆ ), dan f = ( ai + i yak+ ∆ )

contoh membentuk sistem tridiagonal dengan ∆ = adalah sebagai berikut:

= [ − − − − − − ] , ̅ = [ ai ai ai i yak i yak i yak ] , ̅ = [ − ∆ ai − ∆ ai − ∆ ai − ∆ ai − ∆ i yak − ∆ i yak − ∆ i yak ] .

Sistem tridiagonal di atas merupakan penyelesaian pada metode beda hingga. Dengan variasi ∆ yang berbeda akan terbentuk sistem tridiagonal yang besarnya

Sistem tridiagonal akan diselesaikan dengan menggunakan perintah \ pada

Dokumen terkait