• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

bersifat struktural atau bias karena keterbatasan ruang media, namun sampai pada tingkat tertentu menunjukkan upaya masih berpegang teguh pada prinsip tersebut. Berpijak pada penelitian yang dikemukakan diatas, maka peneliti ingin mengembangkan kajian teori narasi dalam pemberitaan politik namun diterapkan pada tiga surat kabar Nasional yaitu Kompas, Republika, dan Media Indonesia.

3. Teori Narasi Berita (Narrative Theories of News)

Dalam praktek jurnalistik seringkali terjadi hal yang mengecewakan jika dilihat dari kepentingan publik, yaitu terjadinya bias reportase. Bias itu sendiri terwujud dalam dua jenis yaitu bias struktural dan bias politik, bias struktural merupakan bias pemberitaan terkait dengan kecenderungan yang disebabkan oleh keterbatasan media (media contraint) atau karena pertimbangan jurnalistik tertentu bahwa persoalan tertentu diyakini lebih diminati khalayak ketimbang peristiwa lainnya sehingga laporan-laporan pemberitaan lebih banyak tertuju pada peristiwa atau persoalan yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan bias politik ialah bias keberpihakan dalam pada itu lebih menunjuk karakter keberpihakan media terhadap ideologi, kelompok, partai politik, dan kepentingan-kepentingan serta gagasan-gagasan politik tertentu (Pawito, 2009:125).

Sejalan dengan itu Christoper Passante mengatakan, bias merupakan kecenderungan berita berdasarkan opini seseorang, keyakinan atau perasaan seseorang. Koran yang baik tidak boleh bersikap bias, bahkan sesuatu yang

commit to user

menimbulkan emosi harus ditangani dengan hati-hati (Passante 2008:28). Bias dapat terjadi karena berbagai faktor termasuk adanya keterbatasan ruang, waktu, keterbatasan sumber daya terutama reporter dan editor, serta kemungkinan keberpihakan media melalui orang-orang media yang bersangkutan dan telah membuka peluang bagi wartawan maupun media itu sendiri untuk di kritisi.

Seperti yang diungkapkan (Paul Johnson dalam Pawito 3009:131), Mengatakan bahwa ada 7 kesalahan yang olehnya disebut sebagai 7 dosa yang fatal (seven deadly sins) yang sering dilakukan oleh media, yakni sebagai berikut:

a. Melakukan Distorsi. Media massa sengaja atau tidak telah banyak

melakukan distorsi terhadap realitas, dan kebenaran seringkali terkalahkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang menyebabkan distorsi terjadi.

b. Memberikan kesan keliru. Media seringkali terhanyut dalam

memberikan kesan keliru kepada khalayak dalam pemberitaan yang mengarah kepada penciptaan dan pengukuhan stereotype. Media selayaknya bekerja seperti kaca bening dimana khalayak dapat melihat kebenaran.

c. Mencuri Privasi. Ikut mencampuri urusan pribadi merupakan

kesalahan paling buruk yang dilakukan oleh media massa pada saat ini dan tampaknya masih akan terus berkembang. Pada dasarnya setiap manusia memiliki privasi. Tapi media kadang mengabaikan hal itu seperti adanya tindakan merekam pembicaraan telepon, memotret diam-diam hal-hal pribadi, menyebutkan identitas pribadi secara

commit to user

terang-terangan untuk suatu pemberitaan yang sensitif atau sangat pribadi dan tidak menggunakan prinsip impersonasi.

d. Pembunuhan Karakter. Media massa melalui pemberitaan, karikatur

maupun talkshow sering digunakan untuk menghancurkan karir dan citra seseorang atau mungkin kelompok.

e. Eksploitasi seks. Demi meningkatkan tiras atau rating, media massa

seringkali memberikan kesan kuat mengeksploitasi seks. Untuk Kepentingan ini, media mengemas erotisme dan seksualitas kedalam paket pesan gosip para selebritis, “seni”, dan mode.

f. Meracuni pikiran anak-anak. Media seringkali menyuguhkan acara

yang tidak mendidik. Hal ini dapat dicermati melalui berbagai tayangan yang kental bernuansa konflik dan kekerasan.

g. Penyalahgunaan Kekuasaan. Editor seringkali berfikir bahwa mereka

memiliki kewenangan untuk melakukan “eksekusi” terhadap kasus-kasus yang berkembang melalui pemberitaan terhadap kasus-kasus-kasus-kasus bersangkutan yang kemudian dapat membawa dampak pada bekerjanya sistem pemerintahan dan sistem politik seperti tindakan wartawan yang kurang profesional seperti menyalahgunakan kekuasaan dengan meminta imbalan (uang amplop) atas reportase yang mereka lakukan.

Seperti yang kita ketahui bahwasanya dewasa ini, laju pemberitaan media terkadang sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Banyak sekali terjadi pelanggaran hak terhadap subyek yang diberitakan, terutama dalam hal pelanggaran privasi

commit to user

dan mendiskreditkan pihak tertentu tanpa adanya keputusan yang legal seperti pengadilan hukum dan sebagainya. Media terkadang menghakimi atau menaikkan pamor pihak lainnya dengan unsur persuasifnya. Hal demikian seringkali menimbulkan ketidakpuasan bagi kalangan tertentu dalam masyarakat yang menjadi subyek pemberitaan, terutama ketika karakter pemberitaan cenderung tidak memenuhi standar professional pemberitaan yang meliputi tiga hal pokok yaitu (Pawito, 2009:130):

a) Kejujuran, yaitu tidak membohongi publik, dalam praktek jurnalistik hal tersebut dapat diupayakan dengan mengutamakan objektivitas pemberitaan, yaitu tidak ada manipulasi dan tidak ada pencampur adukan antara fakta dan opini.

b) Keakuratan, yaitu menunjuk pada sifat benar dan memadai, mulai dari data yang disajikan, penulisan (angka dan ejaan), sajian kutipan pemberitaan baik itu langsung maupun tidak langsung.

c) Keseimbangan, memiliki arti tidak ada tendensi berpihak, yang karena itu berita diharapkan ditulis secara adil, misalnya cenderung memberikan ruang atau waktu bagi pihak yang saling berbeda kepentingan atau berselisih paham.

Pendekatan teori narasi berita ini sengaja dipilih karena teori ini berpandangan bahwa sosialisasi praktek-praktek jurnalisme melibatkan pembelajaran mengenai struktur berita yang standar yang dapat diterapkan sebagai perangkat informasi yang faktual. Hal ini diperlukan untuk menjaga obyektivitas pemberitaan sekaligus melakukan seruan kepada khalayak yang beranekaragam

commit to user

guna menghindari pemberitaan yang bersifat memojokan dan menyerang. Dengan kata lain perspektif narasi berita memberikan kontribusi bagi pemberitaan dan lebih menekankan pada struktur-struktur berita yang profesional dan etis sehingga dapat mendorong media untuk pemberitaan yang lebih obyektif dan berdasarkan fakta. Berbagai persoalan termasuk struktur pemberitaan hard news seperti misalnya dalam hal etika pemberitaan, dramatisasi berita, personalisasi berita, obyektivitas berita menjadi sub bagian dalam perpektif teori narasi ini (Davis, 1989: 167). Masih mengenai narasi, Bennet & Edelman 1985 mengungkapkan bahwa teori narasi merupakan proses sosialisasi dalam praktik jurnalistik yang melibatkan pembelajaran pada muatan yang standar dalam struktur sebuah cerita yang dapat digunakan untuk mengatur tentang informasi yang faktual (Davis, 1990:167). Pada intinya, hal yang terpenting ialah peran media sebagai pihak yang bertugas memberikan informasi yang akurat dan berimbang sehingga khalayak dapat mengambil keputusan berdasar pada kesimpulan yang mereka ambil setelah membaca berita yang obyektif.

commit to user F. METODOLOGI PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Dilihat dari jenisnya, penelitian ini tergolong penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif biasanya tidak dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan (explanation), mengkontrol gejala-gejala komunikasi, mengemukakan prediksi-prediksi, atau untuk menguji teori apapun; tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran, pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi (Pawito, 2008: 35).

Dengan kata lain pijakan analisis dan penarikan kesimpulan dalam penelitian komunikasi kualitatif menurut Pawito adalah kategori-kategori substansif dari makna-makna, atau lebih tepatnya adalah interpretasi-interpretasi terhadap gejala-gejala yang diteliti yang pada umumnya memang tidak dapat diukur pada bilangan, dari sisi ini maka dapat dikatakan bersifat (interpretative) dan setidaknya sampai pada tingkat tertentu dapat bersifat subyektif (Pawito, 2008:38). Kemudian analisis data dalam penelitian kualitatif dikembangkan dengan maksud hendak memberikan makna (making sense of) terhadap data, menafsirkan (Interpreting), atau mentransformasikan (Transforming) data ke dalam bentuk narasi yang kemudian mengarah pada temuan yang bernuansa proposisi ilmiah yang akhirnya sampai pada kesimpulan final (Pawito, 2007: 101).

Dalam penelitian kualitatif kesimpulan yang dihasilkan pada umumnya tidak dimaksudkan sebagai generalisasi, tetapi sebagai gambaran interpretif tentang realitas atau gejala yang diteliti secara holistik atau menyeluruh dalam

commit to user

dalam seting tertentu. Terkandung arti bahwa temuan apapun yang dihasilkan pada dasarnya bersifat terbatas pada kasus yang diamati. Oleh karena itu prinsip berpikir induktif lebih menonjol dalam penarikan kesimpulan (Pawito, 2007:102).

2. Obyek Penelitian

Obyek penelitian merupakan seluruh data yang diperoleh sebagai data penelitian. Obyek dalam penelitian ini yaitu seluruh berita tentang Kongres III PDIP di Bali yang diselenggarakan pada tanggal 6-9 April 2010 di tiga surat kabar nasional yaitu Kompas, Republika dan Media Indonesia. Rentang waktu yang digunakan adalah pada tanggal 29 Maret s/d 10 April 2010, sesuai dengan dimuatnya pemberitaan tentang kongres tersebut di ketiga surat kabar.

3. Metode Penelitian

Studi dokumen yang sering disebut sebagai analisis dokumen (Document Analysis) yang dipahami sebagai upaya sistematis untuk mengumpulkan data dari sumber-sumber tertentu yang dapat dinilai sebagai dokumen baik dalam bentuk cetakan (suratkabar, majalah, surat-surat, atau arsip dan buku-buku) maupun hasil rekaman suara dan gambar seperti film dan siaran televisi atau radio serta dokumen-dokumen lain seperti peraturan perundangan dan catatan-catatan atau memoir yang kemudian data tersebut dianalisis untuk dapat dibuatkan interpretasi serta kesimpulan-kesimpulan terhadapnya. (Bowen 2009:1 dalam Pawito 2010: 3) mengatakan mengenai studi dokumen sebagai berikut:

commit to user

“ Document Analysis is a systematic procedure for reviewing or evaluating documents both printed and electronic (computer-based and Internet Transmitted) material. Like other analyctical methods in qualitative research, document analysis requires that data be examined and interp[reted in order to elicit

meaning, gain understanding, and develop empirical

knowledge…..Documents contain text (words) and images that have been recorded without a researcher’s invention” .

Bertolak dari pemahaman seperti yang dikemukakan diatas maka dalam penelitian ini, studi dokumen yang terutama bertujuan sebagai pemanfaatan sumber-sumber berupa arsip surat kabar sebagai sumber data yang kemudian diambil yang relevan dalam kaitannya dengan Kongres III PDIP di Bali tahun 2010 untuk kemudian dianalisis. Bahan-bahan dokumen yang dimaksud adalah suratkabar Kompas, Republika dan Media Indonesia pada kurun waktu dimuatnya berita Kongres yaitu 29 maret s/d 10 april 2010. Tujuan dari penggunaan metode studi dokumen ini adalah untuk menemukan dan mengumpulkan data yang dapat membantu upaya menyajikan gambaran serta pemahaman mengenai kongres III PDIP serta kecenderungan penyampaian berita pada media massa.

Metode studi dokumen agak berbeda dengan metode analisis isi (content analysis), terutama dalam pengertian analisis isi secara konvensional yang biasanya lebih berkonsentrasi pada isi media (media content) bahkan biasanya menekankan pada isi pesan yang bersifat nyata (manifest content of the media) sebagaimana dikemukakan oleh Berrelson (Stempel III, 1981:119-131 & Kripendorff, 1980:21 dalam Pawito 2009). Studi dokumen sebagai suatu metode ilmiah yang bukan hanya mengkaji kandungan isi pesan tetapi juga cara-cara yang digunakan media dalam menyampaikan isi pesan. Studi dokumen dapat dikatakan lebih bersifat interpretif sementara analisis isi (Content analysis) lebih bersifat

commit to user

obyektif. Definisi mengenai analisis isi dari Bernard Berrelson yang kerap kali dikutip oleh para peneliti bahkan menjelaskan data obyektif ini dengan rumusan bahwa analisis isi sebagai metode lacakan ilmiah, merupakan “ a research technique for the objective, systematic, and quantitative description of the

manifest content of communication” (Stempel III, 1981:120 dalam Pawito 2009).

Studi dokumen pada dasarnya memiliki karakter yang fleksibel dalam mengumpulkan dan menganalisis data, bersifat interpretatif dalam mencermati kandungan isi dan sekaligus juga cara penyajian pesan. Studi dokumen dapat digunakan untuk mencermati segala sesuatu yang dapat dinilai sebagai bahan dokumen apapun bentuknya tidak hanya terbatas pada media massa saja. Secara ringkas proses analisis data penelitian ini dapat dijelaskan dengan menggunakan jabaran langkah sebagai berikut:

1) Mengumpulkan data yang dibutuhkan berupa koran yang memuat berita Kongres III PDIP 2010 di Bali (29 Maret s/d 10 April 2010) 2) Dengan Document Analysis, kemudian menganalisa dengan

melakukan interpretasi tiap berita pada unit analisis yang telah ditentukan yakni pada aspek judul, lead, struktur dan substansi. 3) Membuat Kesimpulan

Kesimpulan umum dalam penelitian ini akan ditarik dari hasil analisis data yang telah disebutkan diatas.

commit to user 4. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu berupa data primer dan data sekunder.

a) Data primer adalah data yang didapat langsung dari sumber informasi

dalam hal ini adalah surat kabar bersangkutan, yaitu rekap kliping berita Kongres III PDIP di Kompas, Republika dan Media Indonesia Edisi 29 Maret s/d 10 April 2010.

b) Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan menggunakan

buku-buku pendukung teori serta dokumen yang masih linear dengan topik bahasan, dalam bentuk seperti; buku, artikel, jurnal, internet dsb.

5. Validitas Data

Penelitian selalu bertujuan agar data yang dikumpulkan bersifat valid. Triangulasi data merujuk pada upaya peneliti untuk mengakses pada sumber-sumber yang lebih bervariasi guna memperoleh data berkenaan dengan persoalan yang sama. Triangulasi merupakan hal yang krusial dalam pengumpulan data. Langkah triangulasi lebih merupakan upaya untuk menunjukan bukti empirik dalam meningkatkan pemahaman terhadap realitas atau gejala yang diteliti. Terkadang ditemukan bahwa data dalam penelitian kualitatif itu bersifat sejalan

(consistent), tidak sejalan (inconsistent), atau bahkan bertolak belakang

(contradictory) ketika diuji dengan data lain. Dengan cara seperti ini peneliti

kemudian dapat mengungkapkan gambaran yang lebih memadai (beragam perspektif) mengenai gejala yang diteliti (Pawito, 2007: 96-99).

commit to user BAB II

DESKRIPSI LOKASI

A. KOMPAS

1. Sejarah dan Perkembangan

Kompas terbit untuk pertama kali pada tanggal 28 Juni 1965 dengan pendiri sekaligus perintisnya adalah PK Ojong dan Jacob Oetama dan dibantu beberapa wartawan lain seperti Theodorus Purba, Eduard Linggar, Roestam Affandi, dan Tinon Prabawa. Saat itu Kompas banyak mendapat dukungan dari masyarakat Katolik, termasuk partai Katolik dan Pemuda Katolik. Namun dalam perjalanannya Kompas mulai mengambil sikap sosial politiknya dengan berpihak pada perjuangan sosialisme demokrat golongan profesional dan secara perlahan-lahan meninggalkan pengaruh politik dari partai Katolik. PK Ojong dan Jacob Oetama lebih cenderung mendukung kelompok teknokrat dan sayap Partai Sosialis Indonesia.

Pada awal terbit, Kompas belum memiliki kantor sendiri, melainkan masih menumpang dikantor redaksi Intisari yang berkantor di percetakan PT. Kinta, Jl. Pintu besar 86-88, jakarta. Kompas saat itu dicetak di percetakan PN. Eka Grafika yang beralamat di Jl. Kramat Raya, Jakarta. Namun, dalam perkembanganya, manajemen Kompas memutuskan untuk pindah tempat percetakan dengan tujuan memperbaiki kualitas cetakannya. Kemudian dipilih Masa Merdeka yang dianggap memiliki kualitas cetakan yang lebih baik. Melalui cetakan Masa Merdeka, ada peningkatan kualitas cetakan yang juga berpengaruh terhadap peningkatan tiras Kompas dua kali lipat, dari 4.800 eksemplar menjadi

commit to user

8.003 eksemplar. Namun kondisi tersebut tidak berlangsung lama, karena kondisi politik yang sedang mengalami pergolakan dengan terjadinya peristiwa G 30S PKI, tahun 1965. Peristiwa ini menyebabkan dibekukannya beberapa media massa cetak, termasuk Kompas. Saat itu hanya tiga harian yang surat kabar yang diijinkan terbit, yaitu Berita Yudha, Pemberitaan Angkatan Bersenjata (PAB), dan LKBN Antara. Baru pada tanggal 6 Oktober 1965, Kompas diijinkan terbit kembali. Setelah pembredelan, oplah Kompas mengalami kenaikan, yaitu menjadi 26.268 eksemplar, hal ini karena Kompas berpindah cetakan ke PT. Kinta, salah satu percetakan terbaik pada waktu itu.

Seiring dengan perkembanganya yang terus mengalami peningkatan, memicu keinginan untuk memiliki mesin cetak sendiri. Adanya mesin cetak milik sendiri akan memudahkan dan memperlancar pelayanan terhadap konsumen dalam hal pemberian informasi. Oleh karenanya, Kompas mengajukan permohonan kredit ke Bank Pemerintah untuk menambah modal. Pada tahun 1972, permohonan kredit dikabulkan oleh Bank. Tepatnya tanggal 25 November 1972, berdirilah Percetakan Gramedia yang beralamat di Jl. Palmerah Selatan, Jakarta. Secara bertahap kegiatan redaksional Kompas mulai bisa disatukan di kompleks Palmerah, Jakarta Pusat, walaupun kegiatan administrasinya masih dilakukan di gedung Perintis, Jakarta Barat.

Dalam rangka peningkatan kepercayaan pada relasi, pemasang iklan, pembaca, dan pelanggan, Kompas melakukan pendataan, yang diaudit oleh akuntan public Drs. Utomo dan Mulia. Tujuan menyewa akuntan public adalah untuk menggaet pasar iklan, dan juga dipakai untuk mengembangkan sirkulasi

commit to user

dan isinya. Selain itu, strategi pemasaran akan dapat ditangani dengan lebih matang, efektif, dan efisien. Kemudian pada tahun 1978, Kompas resmi menjadi anggota Audit Beaureas of Circulation, di Sidney, Australia. Lembaga internasional ini dibentuk bersama oleh penerbit, pemasang iklan dan biro iklan untuk menyiarkan angka sirkulasi anggotanya sesuai fakta di lapangan. Sampai sekarang Kompas adalah harian satu-satunya di Indonesia yang menjadi anggota lembaga tersebut. Hal ini memberikan kebanggaan tersendiri bagi Kompas di mata dunia persuratkabaran nasional dan internasional.

Pada pertengahan tahun 1978, Kompas sempat mengalami pelarangan terbit bersama 5 koran ibukota lainnya sebagai sanksi atas pelanggaran rambu-rambu pemerintah. Setelah beberapa bulan tidak terbit, pada bulan September 1978 Kompas diperbolehkan terbit lagi. Kompas terbit dengan format baru, yaitu terbit 7 kali seminggu, dengan diterbitkannya Kompas edisi Minggu. Pada saat itu surat kabar pada umumnya terbit 6 kali seminggu, hari Minggu libur.

Pada tanggal 31 Mei 1980, PK Ojong salah satu pendiri Kompas meninggal dunia. Kepemimpinan Kompas kemudian dipegang oleh Jakob Oetama, sebagai pemimpin umum hingga sekarang.

Dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Pers 1982, dan diberlakukanya Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUP), semua penerbitan pers di Indonesia diwajibkan berbadan hukum. Hal ini semakin memperkuat Kompas, yang kemudian penerbitannya segera dialihkan dari Yayasan Bentara Rakyat ke PT. Kompas Media Nusantara.

commit to user

Oplah Kompas selalu meningkat dari tahun ke tahun, dan dapat dikatakan semakin berkembang pesat. Tiras dan sirkulasi Kompas setiap tahun juga selalu mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan Kompas telah memiliki sistem percetakan yang canggih sehingga dapat menjangkau setiap daerah. Pada edisi perdana, Kompas hanya menerbitkan 4.800 eksemplar dan pada tahun 1990, kwartal pertama oplah Kompas sudah mencapai 526.611 eksemplar perhari. Menurut The Audit Bureau of Circulation, distribusi Kompas terbanyak berada di DKI Jakarta dan sekitarnya (Jabotabek), yaitu sekitar 249.004 eksemplar, kemudian wilayah Sumatera sebanyak 64.852 eksemplar, Jawa Barat sebanyak 61.272 eksemplar, Jawa Tengah sebanyak 48.584 eksemplar, Indonesia Timur sebanyak 36.880 eksemplar, Kalimanatan sebanyak 17.910 eksemplar, Jawa Timur sebanyak 16.518 eksemplar, dan eceran di luar Jakarta sebanyak 31.591 eksemplar.

2. Visi & Misi

Setiap media memiliki pandangan atau visi mengenai permasalahan yang sedang berkembang dalam masyarakat. Visi inilah yang akan membedakan tentang isi, susunan, dan bentuk pemberitaan, antara satu media dengan media lainnya. Visi merupakan seuntai nilai dasar sekaligus diperkaya dan disajikan oleh wartawan melalui pemberitaannya dan pergulatannya dengan realitas, serta pemikiran yang mereka olah menjadi bahan berita, laporan, maupun komentar.

Saat pertama kali terbit, sesuai dengan ketentuan perundangan pada waktu itu yang mengharuskan surat kabar berafiliasi ke salah satu organisasi politik, Kompas berafiliasi pada partai Katolik. Hal inilah yang kemudian menjadi

commit to user

anggapan dari media massa pro komunis, yang menuduh Kompas sebagai corong umat Katolik, dengan mengatakan Kompas sebagai kependekan dari kata “Komando Pastur”. Namun sejak semula, terutama perintis surat kabar ini berpendapat, visi kemasyarakatan Koran haruslah terbuka. Visi dan sikap itu selain sesuai dengan keyakinan pemimpin, sesuai juga dengan fungsi pers di Indonesia, yaitu ikut mengembangkan saling pengertian dalam masyarakat yang majemuk. Hal tersebut sesuai dengan paham Pancasila.

Visi Kompas adalah manusia dan kemanusiaan dengan segala kompleksitasnya, cobaan dan permasalahannya, aspirasi dan hasratnya, keagungan dan kehinaannya, adalah faktor yang ingin ditempatkan secara sentral dalam visi kompas. Oleh karena itu, manusia dan kemanusiaan senantiasa diusahakan menjadi nafas pemberitaan dan komentarnya. Disamping itu, Kompas juga berusaha senantiasa peka akan nasib manusia dan semestinya berpegang juga pada ungkapan klasik dalam jurnalistik menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan.

Setiap media memiliki misi tersendiri dalam nafas pemberitaannya, selain memberikan informasi kepada masyarakat. Pemberitaan di Kompas memiliki integritas, bukan lagi sekedar mengalirkan informasi, namun lebih merupakan dialog dengan pembaca, di mana informasi tersebut padat berisi, diulas luas, menghormati hati nurani, penuh dengan wawasan dan membuat cerdas. Misi Kompas sendiri adalah mengasah nurani, membuat cerdas. Misi ini juga tersirat dalam slogan Kompas yang dapat kita lihat di halaman pertama, yaitu “Amanat Hati Nurani Rakyat”.

commit to user

3. Kebijakan Redaksional

Kebijakan redaksional merupakan hasil penjabaran dari beberapa kaidah filosofis, serta visi dan misi surat kabar yang bersangkutan. Kebijakan redaksional juga menjadi pedoman dan ukuran dalam menentukan kejadian macam apa yang oleh surat kabar tersebut patut diangkat serta dipilih untuk menjadi bahan berita maupun bahan komentar. Kebijakan redaksional juga menjadi suatu bentuk tanggung jawab surat kabar dalam pemberitaan-pemberitaannya. Satu ungkapan dalam dunia jurnalistik yang melukiskan tanggung jawab pers adalah: liput dua belah pihak, dengarkan suara masing-masing pihak, jangan-jangan masih ada kemungkinan lain. Lebih jelasnya, kebijakan redaksional Kompas terangkum dalam beberapa pernyataan berikut:

a. Tdak berpihak pada satu golongan, partai, maupuin agama tertentu. b. Tidak dibenarkan mengkritik orang mengenai hal-hal yang bersifat

pribadi.

c. Tidak dibenarkan wartawan mencari keuntungan pribadi.

d. Mengutamakan sistem check and recheck dalam proses pemberitaannya

e. Menghargai hal-hal yang bersifat off the record.

f. Menghormati hak jawab, baik dalam bentuk berita maupun surat pembaca.

g. Tidak memuat hal-hal yang mengandung unsur SARA.

h. Tidak ada kebijaksanaan prosentase volume atau isi yang akan dimuat baik politik, ekonomi, dan berita lain. Kompas akan memuat berita

commit to user

atau komentar dengan pertimbangan mana yang dirasa aktual, dapat dijadikan proses pemikiran dan pemahaman pembaca seperti yang dirasakan serta dicoba untuk dikembangkan oleh wartawan.

Dokumen terkait