commit to user
PEMBERITAAN MEDIA CETAK MENGENAI
KONGRES III PDIP DI BALI
(Studi Tentang Kecenderungan Narasi Pemberitaan Kongres III PDIP 2010 di Surat Kabar Nasional Kompas, Republika, dan Media Indonesia)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Menyelesaikan Program Studi S1 Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh : SIWARATRI ERAWATI
D1208617
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul :
PEMBERITAAN MEDIA CETAK MENGENAI
KONGRES III PDIP DI BALI
(Studi Tentang Kecenderungan Narasi Pemberitaan Kongres III PDIP 2010 di Surat Kabar Nasional Kompas, Republika, dan Media Indonesia)
Karya :
Nama : Siwaratri Erawati
NIM : D1208617
Konsentrasi : Ilmu Komunikasi
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi pada
jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
commit to user
PENGESAHAN
Skripsi ini telah disetujui dan disahkan oleh panitia penguji skripsi program Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Hari : Selasa
Tanggal : 29 Maret 2011
Tim penguji Skripsi :
Ketua : Drs. Mursito, SU
NIP. 19530727 198003 1 001 ( )
Sekretaris : Mahfud Anshori, S.Sos. M.Si
NIP. 19790908 200312 1 001 ( )
Penguji I : Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D
NIP. 19540805 198503 1 002 ( )
Penguji II : Drs. Surisno Satrijo Utomo, M.Si
NIP. 19500926 198503 1 001 ( )
Mengetahui,
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
commit to user
MOTTO
“La a Qa ula w a la a Quw w a ta illa bi lla h”
Tiada daya dan upaya melainkan atas kekuatan dar i Allah semata.
v
commit to user
PERSEMBAHAN
Penulisan Karya I lmiah ini kupersembahkan dan dedikasikan untuk;
Pengukir jiwa ragaku; I bu dan Bapak : M bak Aries, M bak Wahyu, Panji,
M as M arsudi & “Little Pr incess” SaQina
M y For mer Tr aveller s, Fahmi Affandi
commit to user
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan
berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat berkarya. Penyusunan skripsi ini
dilaksanakan guna melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Dilatarbelakangi penyajian berita politik yang terkadang memiliki
tendensi keberpihakan. Penelitian ini bermaksud untuk melihat bagaimana berita
politik disajikan dengan cara yang standar dan berimbang. Tujuannya adalah
untuk melihat obyektifitas media dalam menyajikan berita politik terkait dengan
kongres III PDIP yang merupakan sebuah kongres transisi yang mendapat sorotan
dari berbagai pihak. Skripsi dengan judul PEMBERITAAN MEDIA CETAK
MENGENAI KONGRES III PDIP DI BALI (Studi Tentang Kecenderungan
Narasi Pemberitaan Kongres III PDIP 2010 di Surat Kabar Nasional Kompas,
Republika dan Media Indonesia) dapat selesai dengan segala usaha dan bantuan
banyak pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Drs. H. Supriyadi, SU selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D. Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
3. Prof. Drs.H. Pawito Ph.D selaku Pembimbing I, dari beliau penulis
belajar bahwa “ Guru yang baik tidak akan melepaskan tangan
commit to user
4. Drs. Surisno Satrijo Utomo M.Si. Pembimbing II, terima kasih
sedalam-dalamnya atas awal dan akhir yang baik, & sangat membantu
penulis dalam menentukan arah skripsi.
5. Nora Nailul Amal M.MLED,Hons. Selaku Pembimbing Akademik.
6. Teman-teman angkatan 2008 Jurusan Ilmu Komunikasi Swadana
Transfer atas kebersamaannya selama ini.
Kekurangan datangnya dari manusia dan kesempurnaan milik Allah Swt.
Penulisan ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Saran dan kritik yang
membangun diharapkan untuk kemajuan dan kesempurnaan. Semoga karya
kecil ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca.
Surakarta, Maret 2011
Penulis
commit to user
U CAPAN TERI M A K ASI H
Tiada kata yang dapat Saya Ucapkan selain terima kasih yang sedalam-dalamnya untuk:
I bu dan Bapak atas doa, perhatian, kepercayaan dan kebebasannya,
hebatnya menjadi orang tua seperti kalian: M bak Aries, M ase, Kak Jujuk, Panji, Saqina Raffa sayang bahagiannya memiliki kalian. M as fahmi ‘andy’ Affandi as know s as Omimi; stay together ya love!. Semua Sahabatku khususnya teman-teman Komunikasi Swadana Transfer 2008 FI SI P UNS, Pupud:beb..beb…makasih sharingnya yah*, Arwan ’meong’, Abah Ronny,I cha bull-bull, Titi, I rin, Ezi, Teh Alit, Diky, I swan, Gunawan, Adit, Terima kasih untuk keceriaan selama ini. Semua penghuni kos Kinasih I I , especially mbak penok, mbak niken, Achie, Anne, Rina, Winda, thanks for all, mate!: Kos KM 3 Dear Nanche & Dhyna “pejah gesang ndherek mbak nanche he3x”: Juga beberapa sosok yang menginspirasi: terimakasih untuk Damar Sinuko (TRANSI 7): Juru kunci pintu gerbang memasuki dunia para “wartawan” & dinamikanya di kota Semarang, mengajari dengan kasih sayang yang ‘keras’ & darinya penulis belajar banyak hal bahwa; “Tidak perlu menunggu tua untuk menjadi senior !”. Terimakasih untuk Een Endang I stanti (M ETROTV): menjadi figur yang mengukuhkan idealisme ditengah kesimpangsiuran, mengajari dengan bersahabat, menjadi tempat menyandarkan lelah serta berbagi canda & tawa. Pak Teguh H adi Pr ayitno (Liputan6 SCTV): sosok yang cerdas, mumpuni & humoris, mengajari bagaimana berfikir ‘Out Of Bor der ’, dan pribadi yang kaya akan solusi. Last but nOt least….M atur sembah nuwun kagem sedoy0 J !!
commit to user
BAB II DESKRIPSI LOKASI ... 45
A. Kompas…..…… ... 45
B. Republika…… ... 54
C. Media Indonesia ... 60
BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA ... 67
A. Penyajian Data ... 68
B. Analisis Data ... 68
1. Surat Kabar Kompas ... 71
2. Surat Kabar Republika ... 109
3. Surat Kabar Media Indonesia ... 127
BAB IV PENUTUP ... 149
A. Kesimpulan ... 149
1. Kompas …………. ... 150
2. Republika……… ... 151
3. Media Indonesia….……. ... 152
B. Saran ... 153
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
ABSTRAK
Siwaratri Erawati. D1208617. Pemberitaan Mengenai Kongres III PDIP di Media Cetak. (Studi Tentang Kecenderungan Narasi Pemberitaan Kongres ke-III PDIP 2010 di Surat Kabar Kompas, Republika dan Media Indonesia).Ilmu Komunikasi FISIP UNS.
Berita politik memang selalu menarik dan hampir memenuhi ruang dalam surat kabar, pelaksanaan kongres III Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai sebuah peristiwa yang memiliki daya tarik bagi media massa untuk diberitakan. Berbagai hal yang disoroti ialah, tentang kongres itu sendiri, regenerasi partai, juga sikap politik PDIP yang selama ini menjadi oposan pemerintah. Penelitian ini bermaksud untuk melihat bagaimana berita politik disajikan dengan cara yang standar dan berimbang. Tujuannya adalah untuk melihat netralitas media dalam menyajikan berita politik terkait dengan kongres ke-III PDIP yang merupakan sebuah kongres transisi yang mendapat sorotan dari berbagai pihak.
Metode penelitian yang digunakan ialah studi dokumentasi (Document Study) dimana penelitian tersebut lebih difokuskan pada analisa data. Data primer diperoleh dari dokumentasi surat kabar Kompas, Republika dan Media Indonesia edisi 29 Maret sampai 10 April 2010. Sementara itu data sekunder diperoleh dari studi pustaka seperti teori yang terinspirasi dari buku New Directions in Political
Communications, News and Politic oleh Dennis. K Davis dimana dalam gaya
pemberitaan seringkali dipengaruhi oleh perspektif-perspektif, salah satunya yang sesuai dalam konteks ini peneliti menggunakan perspektif Narrative Theories Of News, dimana penyajian berita politik seharusnya sesuai dengan standard dan tidak menimbulkan bias serta terkesan menyerang dan memojokkan pihak tertentu. Peneliti mengambil aspek judul (Headline), Teras berita (Lead), Struktur piramida terbalik, dan substansi berita sebagai unit analisis.
commit to user
ABSTRACT
Siwaratri Erawati. D1208617. Coverage of The Third Congress of PDIP in The Print Media. (Study About Narrative Preaching Trend of Third Congress PDIP 2010 in the newspaper Kompas, Republika and Media Indonesia). Science Faculty of Social Communication. Sebelas Maret University.
Political news is always interesting and almost filled the room in the news paper. Implementation of the third congress of Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan as an event that has a fascination for the media to the news, in highlighting things is about the congress it self, the regeneration of the party's political stance also PDIP which has been the government's opposition. This study intends to look at how the political news served with a standard and balanced manner. The goal is to see the neutrality of the media in presenting political news, related. The third congress of the PDIP is a transition that gets congressional scrutiny of the various parties.
The research method used is document study in which research is more in focus on data analysis. Primary data obtained from National Newspaper Kompas , Republika, and Media Indonesia edition March 29, until 10 April 2010. accordance with the standards and are not triggered repostase biased and attacking party was impressed particular. Researcher author takes aspects of the title (headline), lead, Pyramid structure, and the substance of the news as the unit of analysis.
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada Awalnya adalah kata yang dicetak pada halaman kertas oleh mesin
ciptaan John Gutenberg. Inilah peristiwa yang kemudian mengubah Eropa pada
abad ke-15 dan melahirkan komunikasi massa melalui penyebaran informasi atau
apa yang kini disebut dengan “berita” (Kusumaningrat, 2006: 3). Ide surat kabar
sendiri sudah setua zaman romawi kuno dimana setiap harinya kejadian
sehari-hari diterbitkan dalam bentuk gulungan yang disebut dengan “Acra Diurna” yang
berarti kegiatan hari. Kemudian Setelah Gutenberg menemukan mesin cetak
tersebut maka surat kabar pun mulai diterbitkan.
Dalam perkembangannya, surat kabar berangkat sebagai alat propaganda
politik, lalu menjadi perusahaan perorangan yang disertai kebesaran nama
penerbitnya, perubahan ini memberikan dampak baru ketika iklan mulai
menggantikan sirkulasi sebagai sumber dana utama, maka minat para penerbit
justru cenderung pada masyarakat bisnis. Surat kabar memiliki posisi yang
strategis sebagai media yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan
informasi dengan karakteristiknya yang khas. Surat kabar merupakan jenis media
cetak dan memiliki kelebihan yaitu dapat melipatgandakan publikasi, berupa
informasi dan gambar yang dapat disimpan karena terbit dalam bentuk cetakan,
uraian beritannya pun lebih detail dan mengupas secara mendalam. Surat kabar
juga telah menjadi institusi budaya serta fungsi pengawasan sosial antar bagian
commit to user
dalam surat kabar mempunyai karakteristik yaitu berupa peristiwa yang memiliki
news value (nilai berita) yang merupakan hal aktual atau terbaru, karena publik
menyukai berita-berita yang baru, sehingga karena ingin menyajikan hal yang
aktual sampai ada beberapa perusahaan surat kabar yang terbit sampai dua kali
dalam sehari.
Surat kabar menyampaikan informasi menyoroti segala kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah dan dapat dijadikan sebagai alat kontrol sosial dari
masyarakat kepada pemerintah. Surat kabar harus mempunyai daya tarik sebagai
identitas mereka agar dapat menarik khalayak, dan yang tidak kalah pentingnya
surat kabar harus memiliki kredibilitas dalam menyajikan berita dari
sumber-sumber yang ada. Pada bidang politik, media massa juga berfungsi sebagai bahan
rujukan bagi pemahaman (interpretasi) terhadap peristiwa-peristiwa yang penting.
Informasi media kemudian membentuk pendapat dan akhirnya mempengaruhi
tindakan publik. Dengan kata lain publik menggantungkan pemenuhan kebutuhan
informasi politik pada media massa. Ketergantungan ini akan semakin meningkat
ketika situasi politik berkembang menjadi semakin memanas misalnya ketika
diselenggarakannya pemilihan umum (Pawito, 2009:92).
Pada kenyataannya perihal pemilu bukan hanya menjadi satu-satunya
pemicu suhu politik, ada unsur kegiatan lain berkaitan dengan kepartaian yang
cukup disoroti dalam hal ini seperti kongres, musyawarah nasional (Munas),
maupun mukhtamar dan beberapa agenda besar partai politik yang juga menjadi
commit to user
Mencermati fenomena politik yang terjadi selama ini, tampaknya sejarah
politik Indonesia dari dulu hingga sekarang pada hakekatnya adalah sejarah
konflik, baik konflik antar partai maupun intra partai. Ironisnya semua itu terjadi
bukan karena perjuangan elit partai politik untuk menegakkan ideologi partai dan
usaha melakukan pembelaan terhadap rakyat, tetapi karena perebutan jabatan dan
kekayaan. Sebagai suatu wadah dan bentuk partisipasi warga negara yaitu partai
politik, oleh Miriam Budiardjo secara umum dikatakan bahwa partai politik
adalah suatu kelompok yang terorganisai yang anggota-anggotannya mempunyai
orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk
memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara
konstitusionil untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka
(Prasetyo, 1992: 33).
Surbakti juga mengungkapkan terdapat beberapa kelemahan partai politik,
yaitu seperti ideologi partai yang tidak operasional sehingga sulit mengidentifikasi
antara pola dan arah kebijakan publik yang diperjuangkan seperti seragamnya
tekad partai politik dalam kampanye untuk memberantas KKN, mengentaskan
kemiskinan, mengurangi pengangguran dan menciptakan lapangan kerja.
Sehingga masyarakat sulit membedakan antara program dan platform yang
menjadi perhatian antara partai islam dan nasionalis, karena semua mengajukan
platform dan program aksi yang hampir sama, yaitu bersifat umum dan normatif.
Organisasi partai politik pun dirasa kurang dikelola secara profesional dan
demokratis, akibatnya partai lebih berperan sebagai organisasi pengurus yang elit
commit to user
Bahkan tidak jarang partai menjadi representasi dari sang ketua umum dan hal ini
terjadi justru di partai-partai besar seperti Golkar, PDIP, PPP, PAN dan PKB.
Selain itu para elit partai sering menganggap bahwa perbedaan pendapat di dalam
tubuh partai sebagai sesuatu yang masih tabu sehingga sanksi keras seperti
pemecatan menjadi hal yang sudah biasa. Tampaknya siapapun yang memimpin
partai memiliki kecenderungan untuk bersikap otoriter dan sentralis (Rinakit &
Swantoro, 2005: 609).
Media banyak disebut sebagai salah satu dari empat pilar dalam
demokrasi, karena media memiliki kekuatan yang sangat berpengaruh terhadap
proses sejarah perkembangan politik di Indonesia, seperti agenda politik yang
saat ini baru saja diselenggarakan yaitu Kongres III PDIP yang diselenggarakan di
Bali pada tanggal 6-9 April 2010 lalu, dan merupakan salah satu agenda politik
yang cukup disoroti oleh media massa, baik televisi, radio, maupun surat kabar.
Kongres tersebut diselenggarakan dengan tujuan untuk melakukan pemilihan
ketua umum PDIP yang ketiga kalinya, ketua umum yang menjabat dua kali
periode sebelumnya adalah putri dari Bapak proklamator Indonesia yaitu
Megawati Soekarno Putri yang sekaligus pelopor partai banteng tersebut.
Penyelenggaraan Kongres itu sendiri merupakan acara yang biasa
diadakan oleh partai besar sekelas PDIP untuk melaksanakan pemilihan ketua
umum dan pergantian kepengurusan, namun ternyata antusiasme publik dan
media tertuju pada regenerasi di tubuh PDIP itu sendiri, disaat partai lain seperti
Partai Demokrat yang juga akan mengadakan Kongres dengan bursa kandidat
commit to user
pimpinan partainya, Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya terpilih menduduki
kursi RI 1, juga partai Golkar yang memilih Aburizal Bakrie sebagai ketua umum
menggantikan Jusuf Kalla (Mantan Wakil Presiden RI), namun tidak demikian
halnya dengan PDIP yang ternyata Megawati Soekarno Putri akhirnya terpilih
kembali menjadi Ketua Umum PDIP secara aklamasi. Pada saat itu semua media
massa cukup terkonsentrasi pada kongres tersebut dan munculah respon yang
beranekaragam mengenai hasil kongres, karena akhirnya Megawati Soekarno
Putri kembali terpilih sebagai Ketua Umum untuk yang ketiga kalinya serta
pengukuhan konsistensi PDIP sebagai partai oposisi pemerintah.
Haris (2005) mengungkapkan sesungguhnya telah sekian lama terdapat
dilema dalam tubuh PDIP yaitu tuntutan pembaruan yang dilontarkan para elit
politik muda hanya berhenti sebagai wacana saat mereka berhadapan langsung
dengan sosok Megawati sang Ketua Umum, atau sekedar menjadi manuver untuk
masuk gerbong Dewan Pimpinan Pusat. Pada akhirnya hanya segelintir kecil
tokoh partai yang benar-benar berani untuk mengungkapkan penolakannya
terhadap Mega. Mereka yang segelintir itu pun sebagian akhirnya memilih untuk
meninggalkan PDIP dan mendirikan partai baru. Secara umum mereka menantang
untuk menjadi partai oposisi ketika Megawati sempat menjabat kursi Presiden
menggantikan Gus Dur. Belajar dari semua itu seharusnya segenap elit partai,
termasuk Megawati dan seluruh jajaran DPP membuka diri untuk melakukan
pembenahan internal, mengembangkan sikap kepemimpinan yang tidak egois dan
commit to user
tersebut tidak segera dilakukan maka bisa jadi partai tersebut akan kehilangan
para simpatisanya (Rinakit & Swantoro, 2005: 612).
Uraian tersebut diatas merupakan berbagai bahasan yang mewarnai
pemberitaan kongres III PDIP di Bali dan hal inilah yang menjadi ketertarikan
peneliti untuk meneliti tentang pemberitaan seputar Kongres III PDIP di tiga surat
kabar yang berskala nasional yaitu harian umum Kompas, Republika, dan Media
Indonesia. Organisasi media saat ini secara mandiri menjadi pengendali informasi
yang hendak dipublikasikan atau tidak. Hal ini terjadi karena sedari awal berita
hakikatnya adalah proses negosiasi antara editor, jurnalis dan narasumber. Pada
kegiatan operasional pemberitaan, akhirnya editor dan jurnalislah yang
memainkan peran dominan dalam menafsirkan informasi yang dikemukakan oleh
narasumber. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji tentang pemberitaan Kongres
III PDIP di media cetak nasional Kompas, Republika, dan Media Indonesia, yang
sengaja dipilih oleh peneliti karena ketiganya dianggap cukup mewakili ideologi
satu sama lain, hal lain yang menjadi acuan utama ialah dipilihnya adalah
perpektif teori narasi guna mengamati berita di ketiga surat kabar tersebut dalam
memberitakan satu peristiwa yang sama.
Menyampaikan kebenaran kepada pembaca berarti secara konsisten selalu
mengutamakan pembaca saat menulis berita. Tetapi itu bukan berarti berita hanya
untuk memuaskan opini pembaca. Jika koran dipublikasikan oleh komunitas
tertentu itu bukan berarti koran tersebut hanya mempublikasikan berita yang pro
terhadap kelompok tertentu untuk menarik banyak pembaca. Bertindak konsisten
commit to user
Berita yang obyektif dan tidak memihak selalu penting dalam masyarakat yang
bebas. Jurnalisme bukan sekedar mengemukakan fakta, jurnalisme lebih dari
sekedar pemberian informasi namun berita itu sendiri harus menarik, menantang,
dan membuat pembaca lebih nyaman dan paham. Fokus dalam penelitian ini
adalah studi tentang berita yang merujuk dari salah satu perspektif yakni
Narrative Theories of News, dimana dengan perspektif tersebut dapat
diidentifikasi ada atau tidaknya bias reportase baik struktural maupun politik
dalam berita, sehingga berita disajikan berimbang tanpa menimbulkan efek yang
commit to user B. RUMUSAN MASALAH
Mengacu pada latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan dari penelitian ini adalah; Bagaimana
kecenderungan-kecenderungan yang ada pada pemberitaan mengenai kongres III PDIP di Bali
2010 oleh surat kabar Kompas, Republika, dan Media Indonesia terutama
berkenaan dengan aspek judul, lead, struktur, dan substansi berita ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengemukakan gambaran tentang
bagaimana kecenderungan narasi pemberitaan Kongres III PDIP di Bali 2010 di
Harian Umum Nasional Kompas, Republika, dan Media Indonesia dengan
menitikberatkan pada judul, lead, struktur, dan substansi yang terdapat pada
pemberitaan tersebut dan berguna sebagai sebuah pemahaman terhadap sosialisasi
commit to user D. MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Dalam ilmu pengetahuan, manfaat penelitian adalah, data dan informasi
yang diperoleh dari penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada bidang yang
berkaitan.
2. Membantu untuk melihat sebuah peristiwa melalui teropong mata media
yang berbeda-beda, agar masyarakat dapat melihat sajian sebuah peristiwa
khususnya di media cetak secara holistic (menyeluruh) dan berimbang,
bukan hanya parsial.
3. Sebagai tambahan bahan perbandingan baik secara teori maupun perihal
penelitian berita surat kabar di beberapa media yang sudah ada
commit to user E. TELAAH PUSTAKA
1. Surat Kabar
Pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam arti sempit dan pers
dalam arti luas. Pers dalam arti sempit adalah media massa cetak, seperti surat
kabar. Sedangkan pers dalam arti luas meliputi media cetak dan elektronik,
sebagai media yang menyiarkan karya jurnalistik (Effendi, 2003:90). Sejalan
dengan pernyataan diatas, Kusumaningrat mengatakan bahwa media pers lebih
dikenal dengan media persuratkabaran atau koran dan bentuk-bentuk media cetak
lainnya. Media pers lebih tepat disebut media cetak, sebab pesan dikomunikasikan
melalui bentuk tulisan atau cetakan dan komunikan menerima dengan cara
membacanya. Sedangkan pers dalam arti yang lebih luas adalah yang menyangkut
kegiatan komunikasi media cetak maupun media lain seperti elektronik yakni
melalui radio, televisi maupun internet (Kusumaningrat, 2006:17).
Media cetak terdiri dari berbagai macam jenis yakni, surat kabar, majalah,
tabloid, dan sebagainya. Lebih jelasnya surat kabar menurut Djuroto, adalah
kumpulan berita atau artikel, cerita, iklan yang dicetak dalam lembaran kertas
ukuran plano, terbit secara teratur, bisa setiap hari atau seminggu sekali. Surat
kabar merupakan media massa yang memiliki karakteristik yang khas, serta dilihat
dari isinya surat kabar selalu menyajikan informasi yang terbaru dan berusaha
menyampaikan fakta-fakta kepada masyarakat (Djuroto, 2004:11).
Pada saat ini meskipun sudah ada media massa modern seperti media
commit to user
tergantikan oleh munculnya media elektronik tersebut. Hal ini terjadi karena surat
kabar memiliki keunggulan, yaitu (Pratikno,1982: 253) :
1. Pembaca dapat mempelajari isi berita secara berulang-ulang agar dapat
memperoleh pengertian yang lebih baik dari isi media tersebut.
2. Informasi yang disampaikan dapat didokumentasikan dan disimpan dan
sewaktu-waktu dapat dibaca kembali.
3. Khalayak tidak terikat oleh waktu.
Dalam pelaksanaanya, pers dinilai memiliki peranan yang besar dalam
pemerintahan, sebagaimana yang dikatakan oleh Onong Uchjana Effendy, yakni
tentang ciri idealisme pers yang tampak dalam pelaksanaan fungsinya. Bahwa
pers bukan sekedar alat untuk menyebarkan informasi (to inform), mendidik (to
educate), dan menghibur (to entertain), melainkan juga berperan dalam
melaksanakan fungsi mempengaruhi (to influence) dan pengawasan masyarakat
(social control). Kedua fungsi terakhir inilah yang menyebabkan pers mendapat
julukan the fourth estate atau ”kekuasaan keempat” (Effendy, 1986: 109).
Masih berkaitan dengan fungsi pers, selanjutnya Curran dalam Pawito
mengidentifikasi enam fungsi yang dapat diperankan oleh pers dalam
pengembangan Demokrasi (Pawito, 2003: 51):
a) Menyediakan diri sebagai forum untuk debat publik.
b) Mengartikulasi pendapat umum.
c) Memaksa pemerintah untuk apa-apa yang di pikirkan oleh rakyat.
d) Mendidik warga Negara untuk dapat memiliki informasi yang
commit to user
e) Memberikan kepada publik saluran-saluran komunikasi politik di
antara berbagai kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan
yang berbeda-beda.
f) Membela individu penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh
kalangan eksekutif.
Dari keenam fungsi tersebut Curran kemudian menambahkan dengan
menekankan adanya tiga fungsi pokok yang dapat diperankan oleh pers dalam
upaya pengembangan demokrasi, fungsi tersebut : adalah (a) fungsi informasi (b)
fungsi representasi (c) fungsi membantu mencapai tujuan bersama masyarakat.
Fungsi informasi menunjuk pada tugas pers untuk tidak bertindak sebagai
“penonton” atau pelapor peristiwa-peristiwa yang terjadi tetapi juga dituntut untuk
dapat menumbuhkan kemajemukan pemahaman dan perspektif mengenai
peristiwa atau isu-isu yang berkembang. Sedangkan fungsi representasi,
berkenaan dengan tuntutan pers agar dapat membantu menciptakan kondisi
dimana pandangan dan perspektif yang bersifat alternatif dapat berkembang dan
dapat diperhitungkan sepenuhnya oleh masyarakat kendatipun berasal dari
kalangan minoritas.
Fungsi ini menjadi penting dalam demokrasi karena demokrasi sangat
menjunjung tinggi kesederajatan. Kemudian yang terakhir tidak sekedar sebagai
watchdog, pers dituntut untuk dapat membantu mewujudkan “ the common
objective of society through agreement or compromise between opposite groups”
(tujuan bersama masyarakat melalui kesepakatan atau kompromi-kompromi
commit to user
secara ekstensif mempromosikan dan memfasilitasi prosedur-prosedur demokratik
terutama dalam mengatasi konflik-konflik dan mendefinisikan tujuan bersama.
Kaitannya disini adalah media sebagai pembelajaran demokrasi dan politik
bagi masyarakat sebagai bagian dari sebuah bangsa, selain itu juga sebagai
pendukung eksistensi partai politik di Indonesia yang tidak lepas dari agendanya
untuk mempengaruhi khalayak dengan penyampaian visi, misi, maupun kegiatan
mengusung platform partai politik tersebut ke hadapan masyarakat melalui media
agar masyarakat setidaknya mengetahui, dan pada tahap tertentu terkena dampak
konatif atau behavioural yakni hingga sampai pada tahap memilih partai politik
yang tersebut. Sebaliknya, melalui media pula masyarakat dapat melakukan
pengawasan terhadap kinerja pemerintahan incumbent maupun perkembangan
politik yang ada didalamnya termasuk aktivitas politisi, dan agenda politik yang
sedang berlangsung melalui sorotan media. Karena begitu berartinya peran pers
hingga julukan pers sebagai kekuasaan keempat dirasa pantas disandang. Selain
itu secara lugas kembali diungkapkan oleh Onong Uchjana bahwasanya:
“Pers adalah lembaga kemasyarakatan (Social institusion) yang merupakan subsistem dari sistem kemasyarakatan tempat dia beroperasi, bersama-sama dengan subsistem lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup secara mandiri, tetapi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya (Effendy, 1986:91).
Kutipan diatas menunjukkan bahwa pers adalah institusi yang tidak dapat
menopang keberadaannya sendiri melainkan terkait dengan kehidupan masyarakat
sekitarnya, pers itu sendiri ada karena tuntutan masyarakat akan adanya informasi
dan pemberitaan serta kebutuhan untuk mempublikasikan kepentingan kelompok
commit to user
memang layak untuk diberitakan. Sejalan dengan posisi pers sebagai institusi,
berikut kutipan mengenai kaitan antara pers dan aktivitas politik, oleh Manuel
Castells dalam jurnalnya yaitu “mass communications and dan politic media” .
“ Politics is based on socialized communication, on the capacity to influence people's minds. The main channel of communication between the political system and citizens is the mass media system. Until recently, and even nowadays to a large extent, the media constitute an articulated system, in which, usually, the print press produces original information, TV diffuses to a mass audience, and radio customizes the interaction. In our society, politics is primarily media politics. The workings of the political system are staged for the media so as to obtain the support, or at least the lesser hostility, of citizens who become the consumers in the political market” (Castells, 2007:240).
Politik menurut sosialisasi komunikasi, pada kapasitasnya ialah untuk
mempengaruhi pikiran khalayak. Saluran komunikasi yang utama antara sistem
politik dan masyarakat adalah sistem media massa. Sampai pada saat ini, bahkan
ke ranah yang lebih luas, media menciptakan sistem yang mampu diingat, di mana
pada umumnya, media cetak menghasilkan informasi asli, televisi mewacanakan
informasi bagi pemirsanya, dan radio menyesuaikan interaksi. Dalam masyarakat
kita, politik ialah semata politik media. Bekerjanya sistem politik dijadwalkan
untuk media agar supaya memperoleh dukungan, atau sedikitnya meminimalisir
permusuhan, dari masyarakat yang menjadi konsumen di dalam ranah politik.
Dalam pemberitaan peristiwa yang menyangkut lembaga atau tokoh
tertentu, disadari atau tidak akan membentuk sebuah opini dan akhirnya menjadi
citra yang bakal disandang, baik itu negatif maupun positif. Sejalan dengan itu,
Aceng Abdullah mengatakan, citra positif muncul karena isi pesan yang positif,
commit to user
dalam media massa dalam citra positif. Sedangkan citra negatif muncul karena isi
pesan yang diberitakan adalaha negatif, dan tentu saja setiap orang orang enggan
untuk diberitakan secara negatif (Abdullah, 2004:5). Terlebih bagi sebuah partai
politik, pembentukan citra positif pada lembaganya tentu diupayakan secara terus
menerus agar dapat meraih simpati masyarakat, karena hal tersebut merupakan
pendukung eksistensi sebuah partai disamping tanpa mengabaikan sistem internal
masing-masing partai yang juga harus kokoh, dinamis dan memenuhi tuntutan
para simpatisannya. Sebagai contoh dalam penelitian ini peristiwa yang diolah
oleh ketiga surat kabar nasional, yaitu Kompas, Republika dan Media Indonesia
adalah satu peristiwa yg sama yakni Kongres PDIP III yang diselenggarakan di
Bali 6-9 April 2010. Namun pada prosesnya dari tahap mengumpulkan informasi
hingga ke meja redaksional dan akhirnya dibaca oleh khalayak, tentunya tidak
akan sama persis baik dari judul, penggunaan kata, bahasa, sudut pandang juga
gambar pendukung di masing-masing surat kabar. Tentunya semua itu tergantung
atau disesuaikan pada kebijakan redaksional surat kabar masing-masing.
Pengaruh politik terhadap kehidupan dan perkembangan pers dapat terlihat
dari citra pers, yaitu gambaran tentang realitas pers berdasar kepentingan yang
dilayani. Pers dapat melayani kepentingan politik, memperoleh citra sebagai pers
politik. Menurut A. Muis dalam Redi Panudju, pers politik dapat dibagi paling
sedikit dua tipe yaitu pers sebagai organ partai yang menyuarakan ideologi politik
tertentu (Party directed press). Tipe pertama, adalah pers yang tunduk
commit to user
adalah pers yang tidak didominasi oleh partai melainkan hanya mendukung secara
bebas suatu cita-cita politik (Panudju, 2005:20).
Maka dari itu tinggal ditelaah bagaimanakah kecenderungan
masing-masing surat kabar tersebut, apakah termasuk jenis yang pertama atau kedua,
Idealnya sebuah surat kabar haruslah memberitakan peristiwa yang faktual dan
berpihak kepada publik, atau khalayak sebagai pembacanya, apalah gunanya
sebuah surat kabar apabila hanya menyuarakan kepentingan penguasa, media
harus menunjukkan keberpihakannya pada khalayak agar senantiasa mendapat
kepercayaan, kendatipun secara praktek tentu tidaklah mudah karena media
dipegang oleh sekelompok golongan yang memiliki kekuatan modal yang
tentunya besar, walau tidak mungkin bisa melihat fakta secara obyektif tetapi
paling tidak dapat memenuhi harapan masyarakat untuk menyuarakan kebenaran
sampai pada batas tertentu. Seharusnya jenis pers yang kedualah yang dipilih
yaitu pers tidak didominasi oleh partai melainkan hanya mendukung secara bebas
suatu cita-cita politik.
Sekali lagi, media hanya dimiliki dan dikuasai oleh kelompok dominan
tertentu di masyarakat. Akhirnya realitas yang sebenarnya dibentuk untuk
menciptakan kesadaran yang merepresentasikan keberpihakan kelompok
penguasa media. Setiap surat kabar mempunyai perbedaan kebijakan dalam
menyampaikan informasi, hal tersebut tercipta karena harus menyesuaikan dengan
berbagai kepentingan, terutama kepentingan publik sebagai khalayaknya, media
secara moral bertanggungjawab atas opini yang terbentuk dalam masyarakat,
commit to user
yang berdasarkan fakta. Kemudian menurut Coleman, Morrison dan Svennevig
dalam jurnal berjudul “ New Media & Political Efficacy”, menyatakan yakni:
“ However, any political intervention in the public space requires presence in the media space. And since the media space is largely shaped by business and governments that set the political parameters in terms of the formal political system, albeit in its plurality, the rise of insurgent politics cannot be separated from the emergence of media space: the space created around the process of mass self communication” .
Bagaimanapun, intervensi politik di ruang publik memerlukan kehadiran
media dan sejak media sebagian besar dipenuhi oleh kepentingan bisnis dan
pemerintahan yang menetapkan parameter pada sistem politik yang formal,
sekalipun dalam keanekaragaman, munculnya pemberontakan politik tidak bisa
dipisahkan dari kemunculan media: dimana ruang tersebut diciptakan pada proses
komunikasi massa itu sendiri. (Coleman, Morrison & Svennevig, 2008: 790).
Kemudian, Menurut Onong Uchjana agaknya istilah “Ich Kenne mein
Volk” yang berarti aku kenal rakyatku dan “ Know your audience” yang berarti
kenalilah pembacamu, amat penting untuk diperhatikan oleh wartawan sebagai
ujung tombak dalam media massa karena sasaran tersebut menunjukkan tolok
ukur berhasil tidaknya jurnalistik. Ciri dan sifat media yang melakukan perannya
dalam kegiatan jurnalistik. Juga sangat berpengaruh pada komponen-komponen
commit to user
Berikut ini surat kabar memiliki ciri-ciri (Effendy, 2001: 154-155):
1. Publisitas, adalah bahwa surat kabar dipergunakan secara umum
dengan demikian muatannya harus menyangkut kepentingan umum.
2. Aktualitas, yang dimaksud adalah kecepatan menyampaikan laporan
mengenai kejadian di masyarakat kepada khalayak.
3. Universalitas, merupakan ciri yang menunjukkan bahwa surat kabar
harus memuat aneka berita dari seluruh dunia dan tentang segala
aspek kehidupan manusia.
Dari ciri surat kabar yang dikemukakan diatas nampak bahwasanya surat
kabar telah mampu memenuhi kebutuhan informasi khalayak dengan segala
kelebihannya, walaupun pada aspek Aktualitas, memang tidak sebanding dengan
media elektronik, namun sekali lagi setiap jenis media massa pasti memiliki
kekurangan dan kelebihan. Kemudian Riyono Pratikno berpendapat, bahwa pada
dasarnya, pekerjaan atau proses di perusahaan surat kabar tidak pernah berubah
walau ratusan tahun lamanya. Sejak dahulu pekerjaan surat kabar adalah mencari
dan mengumpulkan informasi kemudian mengolahnya menjadi berita dan
mencetaknya diatas lembaran kertas. Kalaupun kemudian ada perubahan biasanya
lebih banyak dititikberatkan pada sistem penyampaian informasi dari reporter ke
redaksi,dan hal-hal yang bersifat teknis seperti; tata letak, pengaturan halaman dan
commit to user 2. Berita
2.a. Pengertian Berita
Banyak definisi berita atau news yang dapat diketahui dari berbagai
literatur, pada jaman dahulu dikalangan wartawan ada yang mengartikan news
sebagai singkatan dari: North, East, West, South. Berkaitan dengan singkatan
tersebut mereka mengartikan berita sebagai laporan dari keempat penjuru mata
angin dan laporan dari berbagai tempat di dunia ini.
Pendapat itu tidaklah salah, akan tetapi hanya merupakan salah satu aspek
dari keseluruhan arti berita yang sebenarnya (Effendy, 1986:97). Masih berkaitan
dengan dengan singkatan news diatas, Direktur Institut Jurnalistik di London,
Tom Clarke mengatakan walaupun tidak dapat dibuktikan kebenarannya namun
paling tidak definisi tersebut sudah menunjukkan maksudnya, yaitu bahwa berita
ialah ”untuk memuaskan nafsu ingin tahu” pada manusia dengan memberikan
kabar-kabar “dari segala penjuru” (Kusumaningrat, 2009:39). Sejalan dengan itu,
definisi berita menurut Carnley dalam Wonohito 1977, adalah laporan yang
hangat, padat, cermat mengenai suatu kejadian, bukan kejadian itu sendiri.
Dengan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kejadian tidak sama dengan
berita. Berita adalah laporan tentang kejadian, bukan kejadian itu sendiri.
Kejadian baik besar maupun kecil, tidak akan disebut berita kalau kejadian itu
tidak dilaporkan atau disiarkan pers (Mursito,1999: 37).
Kemudian Direktur kantor berita Uni Soviet, TASS. N.G Palgunov,1956
menyatakan bahwa berita harus tidak boleh hanya memperhatikan pelaporan fakta
commit to user
tidak boleh hanya melaporkan fakta dan peristiwa saja, melainkan berita harus
bersifat didaktik dan mendidik (Kusumaningrat, 2009:32).
Dalam prosesnya terdapat 3 aspek penting dalam tahap-tahap penulisan
berita, yakni fakta itu sendiri, news value, dan fit to print. News value adalah
berita yang memiliki nilai berita, yakni berita-berita yang banyak diminati para
pembaca. Jadi yang menentukan bernilainya suatu berita adalah pembaca. Namun
ternyata berita yang news value belum tentu fit to print. News value hanya
berkaitan dengan menarik tidaknya sebuah berita, tetapi fit to print berkaitan
dengan kelayakan informasi yang disiarkan lewat pers (Mursito,1996:29).
Berdasar aspek penting tersebut, berita mengenai Kongres ke-III PDIP di
Bali selain memenuhi news value juga memenuhi unsur fit to print, hal tersebut
karena pemberitaanya banyak diminati masyarakat dan bermanfaat dalam
memberi informasi tentang perkembangan partai politik yakni PDIP, serta
polemik yang menyertainya, pembelajaran juga dapat diambil dari kongres
tersebut yakni, tentang ideologi partai, yang kemudian menyusun platform,
program dan isu yang ditawarkan yang bertujuan untuk memperoleh dukungan
agar suaranya bertambah banyak dan memenangkan pemilu. Proses seperti yang
disampaikan diatas, selain mengandung unsur pendidikan politik, juga sekaligus
membantu terjadinya komunikasi politik yang bermuara pada proses selanjutnya
yaitu partai politik yang kemudian menempatkan para wakilnya dilembaga
legislatif dengan tugas utama yaitu mendengarkan, menampung dan
commit to user
Dikarenakan berita dikonsumsi oleh massa maka berita yang ditayangkan
haruslah memiliki nilai berita, maka berita mempunyai kriteria atau unsur-unsur
nilai berita. Secara umum, kejadian yang dianggap memenuhi nilai berita adalah
yang mempunyai satu atau beberapa unsur di bawah ini (LP3Y, 1990 dalam
Mursito, 1999:39):
a. Significance(penting),yaitu kejadian yang berkemungkinan mempengaruhi
kehidupan orang banyak atau kejadian yang mempunyai akibat terhadap
kehidupan pembaca.
b. Magnitude (besar), yaitu kejadian yang menyangkut angka-angka yang
berarti bagi orang banyak atau kejadian yang bila dijumlahkan dalam
angka dapat menarik bagi pembaca.
c. Timeless (waktu), yaitu kejadian yang dekat bagi pembaca. Kedekatan ini
bersifat geografis maupun emosional.
d. Prominence (tenar), yaitu menyangkut hal-hal yang terkenal atau sangat
dikenal oleh pembaca seperti orang, benda atau tempat.
e. Human Interest (manusiawi), yaitu kejadian yang memberi sentuhan
perasaan bagi pembaca, kejadian yang menyangkut orang biasa dalam
situasi luar biasa, atau orang besar dalam situasi biasa.
Bertolak dari nilai berita yang dikemukakan diatas, berita mengenai
kongres III PDIP dipandang memenuhi kelima unsur tersebut, diantaranya adalah
unsur Significance (penting) dan Magnitude (besar) yaitu kongres tersebut
penting dan berpengaruh dalam dunia perpolitikan, baik bagi para elit politik
commit to user
dikatakan menyangkut banyak orang. Lalu unsur Timeless (waktu) juga dapat
dikaitkan, kemudian unsur Prominence (tenar), ialah menyangkut dengan
popularitas baik itu partai, para pengurus partai bahkan ketua umumnya, tidak
dapat dipungkiri PDIP dan sosok Megawati adalah bentuk kepopuleran partai dan
ketua umumnya. Berdasar pada unsur penting, besar, waktu dan ketenaran
tersebut kiranya unsur yang terakhir Human Interest (manusiawi), akan dapat
terbentuk dengan sendirinya, karena pemberitaan mengenai Kongres tersebut
mampu memberi dampak besar bagi khalayak, sesuai dengan kejadian yang
menyangkut orang biasa dalam situasi luar biasa maupun orang besar dalam
situasi biasa yang tentunya tetap penting untuk diberitakan.
Selain beberapa unsur yang dikemukakan diatas, berita harus mampu
menjawab 6 (enam) unsur pertanyaan ; apa, siapa, mengapa, di mana, bilamana,
dan bagaimana. Keenam unsur pertanyaan tersebut biasa di sebut: 5 W + 1 H
(What, Who, Why, Where, When, dan How).
Pertama, ‘apa yang terjadi’ (what) merupakan pertanyaan yang harus dapat
menjawab hal-hal yang dilakukan oleh pelaku maupun korban dalam suatu
peristiwa. Dalam hal ini tindakan tersebut dapat berupa penyebab ataupun dapat
berupa akibat dari suatu kejadian. Kedua, ‘siapa yang terlibat dalam kejadian itu’
(who), dimaksudkan untuk memberikan keterangan fakta yang berkaitan dengan
setiap orang yang terlibat dalam suatu peristiwa. Ketiga, mengapa (apa yang
menyebabkan) kejadian itu timbul’ (why), merupakan jawaban dari latar belakang
suatu tindakan ataupun penyebab suatu kejadian yang telah diketahui. Keempat,
commit to user
peristiwa. Kelima, ‘bilamana kejadiannya’ (when), hal ini bersangkutan dengan
waktu kejadian atau kemungkinan-kemungkinan waktu yang berkaitan dengan
kejadian atau peristiwa tersebut. Keenam, ‘bagaimana kejadiannya’ (how),
merupakan unsur yang memberikan fakta yang yang berkaitan dengan proses
kejadian yang diberitakan (Mursito, 1999:57-60).
Berita juga terdiri dari dua bentuk sesuai dengan sifat pemberitaan, seperti
yang terdapat dalam buku “Catatan-catatan jurnalisme dasar” kategori news
terbagi dalam 2 bentuk, antara lain (Ishwara,2005:58-59):
a. Hard News (Berita Lugas) Berita yang padat berisi informasi fakta
yang disusun berdasarkan urutan yang paling penting, disebut berita
lugas, hard news. Jadi pada awal berita berisikan sari atau inti dari
kejadian yang ingin disampaikan dengan elaborasi detail kemudian.
b. Soft News (Berita Halus) Daniel R Williamson, merumuskan bahwa
reoportase dalam bentuk berita halus, seperti feature, sebagai
penulisan cerita yang kreatif, subyektif yang dirancang untuk
menyampaikan informasi dan hiburan kepada pembaca. Penekanan
pada kata-kata kreatif, subyektif, informasi dan hiburan adalah untuk
membedakannya dengan berita yang disampaikan secara langsung
pada berita lugas.
Berita mengenai politik, termasuk dalam berita lugas maka Hard news
oleh Dennis K. Davis disebut dengan berita obyektif memiliki satu kelemahan
yaitu cenderung membosankan, dan yang paling buruk berita tersebut hanyalah
commit to user
mengembangkan strategi untuk mendramatisasinya. Akhirnya diterapkanlah
skenario dramatis pada peristiwa yang ambigu atau melebih-lebihkan hal yang
mungkin tersirat dalam suatu kejadian. Sebagai contoh yaitu banyak dari
pemberitaan tentang pemerintahan nasional yang berfokus pada konflik antara
kongres dan presiden. Meskipun bukan distorsi yang jelas dari fakta-fakta untuk
memaksakan skenario seperti itu, hal tersebut dapat menimbulkan kesan bahwa
pemerintah nasional tak berdaya dengan masalah perselisihan partisan. Wartawan
menceritakan kembali peristiwa dengan menyorot elemen konflik, tragedi atau
komedi yang secara selektif dapat ditemukan pada fakta yang belum jelas
(Davis,1990:169).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemberitaan tentang kongres
adalah sebuah berita yang berskala nasional namun dapat dipastikan bahwa
apabila berita kongres hanya disuguhkan secara seremonial, maka akan menjadi
berita yang membosankan karena tidak menarik untuk disimak, wartawan
kemudian mencari celah dan analisa yang lebih beraneka ragam dalam melihat
fakta yang ada, dalam beberapa berita yang diperoleh dari proses klipping surat
kabar baik Kompas, Republika maupun Media Indonesia, wacana konflik yang
dikembangkan media pun beraneka ragam, yaitu seperti adanya keputusan dari
partai untuk tidak mengundang presiden RI dalam pembukaan kongres III PDIP di
Bali, kemudian wartawan mengkaitkannya dengan sikap PDIP yang oposan
terhadap pemerintah juga masalah konflik personal Ketua umun PDIP Megawati
commit to user
Dugaan-dugaan semacam itulah yang disampaikan dan diuraikan agar
berita kongres menjadi tidak membosankan dan memiliki daya tarik, Terdapat
dramatisasi didalamnya seolah publik disuguhi cerita drama bersambung antara
pemerintahan dengan parta politik oposisi seperti PDIP. Setelah dikaitkan dengan
pemerintah, hal lain yang tak kalah menarik adalah dihembuskannya dugaan
persaingan pencalonan wakil ketua umum PDIP antara kedua anak Megawati
Soekarno Putri yaitu Puan Maharani dan Prananda Prabowo, walaupun hal
tersebut sudah dibantah oleh Taufik Kiemas, yaitu Suami dari Ketua umum PDIP
tersebut, namun wartawan tetap mengkaitkan hal tersebut dengan latar belakang
bahwa mereka lahir dari ayah yang berbeda sehingga ada kesan terjadinya
persaingan menduduki posisi “putra mahkota” dinasti trah Soekarno di tubuh
PDIP.
Dalam berita mengenai Kongres III PDIP di Bali 6-9April 2010 pada
ketiga surat kabar nasional yakni Kompas, Republika dan Media Indonesia,
periode 29 Maret –10 April 2010 ini bahasa tidak hanya mampu mencerminkan
realitas tetapi juga mampu menciptakan realitas. Pilihan kata dan cara penyajian
menentukan realitas yang terbentuk dan makna yang ditimbulkannya. Berita
mengenai kongres III PDIP di Bali 6-9April 2010 tentu bukan peristiwa yang
biasa saja mengingat PDI Perjuangan bukan partai kecil, dan sikapnya yang selalu
oposisi terhadap pemerintah menjadi magnet tersendiri untuk diberitakan di media
commit to user 2.b. Struktur Berita
Gaya penulisan piramida terbalik ialah bentuk yang paling dasar dari
penulisan berita lugas, hal tersebut muncul karena adanya keterbatasan ruang.
Jika berita terlalu panjang dan tidak sesuai dengan spot yang disediakan dalam
satu halaman maka ia harus segera dipotong, biasanya dari bawah keatas. Jadi
penting bagi wartawan untuk menulis berita berdasarkan arti pentingnya, agar
editor bisa memotong bagian yang paling tidak penting dari bawah. Dalam bentuk
piramida terbalik, berita pada bagian atas ditampilkan lebih penting dibandingkan
dengan bagian bawahnya. Headline merupakan berita yang dijadikan topik utama
oleh media, sedangkan Lead atau paragraf pembuka dari sebuah berita yang
biasanya mengandung unsur kepentingan yang tinggi.
Berita mengikuti urutan tertentu berdasarkan arti pentingnya, yang paling
penting terdapat pada awal berita, dan yang kurang penting diletakkan di belakang
(Passante, 2008:35). Seperti dapat dilihat pada bagan dibawah ini;
Piramida Terbalik
Berita dimulai dengan teras berita yang sangat bagus
Nutgraf (Ringkasan berita dan sedikit konteks)
Hal-hal penting diletakkan disini
Hal yang kurang penting
Tak penting sama sekali
Bisa untuk dibuang
Sering dibuang
commit to user
Selain berdasarkan pada tingkat kepentingan informasi, maka gaya
penulisan piramida terbalik ini juga terdiri dari unsur yang membentuknya yaitu,
adanya judul, lead, body dan penutup. Berikut visualisasi bagan yang dikutip dari
buku “Penulisan Jurnalistik” (Mursito, 1999: 63).
Model Piramida Terbalik
Sejalan dengan bagan diatas menurut DJa’far H. Assegaff, untuk lebih
dapat memahami gaya penulisan berita yang disebut “bentuk piramida terbalik”,
penting sekali dikenali anatomi berita, yakni bagian-bagian yang membentuk
sebuah berita. Bagian pertama yang dijumpai ialah judul berita (headline), baris
tanggal (dateline), teras berita (lead atau intro) dan kemudian barulah tubuh
berita. Judul berita (Headline) berfungsi menolong pembaca untuk cepat
mengenal kejadian-kejadian yang diberitakan. Fungsi lainnya adalah dengan
teknik grafika yaitu tipe-tipe huruf, judul berita, untuk menonjolkan berita tadi,
untuk dapat lebih menarik orang untuk membacanya (Assegaff, 1982:50).
Pada berita lugas, wartawan ingin menyampaikan informasi penting. Maka
lead ditempatkan pada awal berita, yang isinya berupa fokus peristiwa atau
ringkasan apa yang terjadi karena itu disebut pembuka ringkasan (Summary
Lead). Pembukaan ini harus didukung oleh penjelasan yang isinya memperkuat
JUDUL
LEAD
BODY
commit to user
informasi dalam pembuka, misalnya pernyatan-pernyataan atau kutipan yang
menjelaskan masalah utamanya dan keterangan-keterangan lain yang berhasil
digali wartawan (Ishwara, 2007: 117). Sejalan dengan pemahaman yang
dikemukakan diatas, Mursito mengungkapkan bahwasanya kegiatan menulis lead
merupakan pekerjaan yang tersulit. Lead adalah bagian terpenting dan paling
menonjol, serta merupakan inti dari keseluruhan berita. lead menonjolkan
bagian-bagian penting secara ringkas, dan ia bertugas “merayu” pembaca agar membaca
berita tersebut. Ia menjadi “etalase”, wajah depan dari sebuah berita.
Kadang-kadang lead memuat keseluruhan unsur 5W+1H yakni apa, siapa, dimana,
bilamana, mengapa, dan bagaimana, jenis lead semacam ini berusaha merangkum
intisari seluruh berita (Mursito, 1999: 63).
Selain gaya penulisan berita piramida terbalik, dilatarbelakangi proses
benturan antara media cetak (terutama surat kabar) dan media elektronik yang
mengakibatkan surat kabar harus berupaya keras untuk tetap dapat menyajikan
berita dengan cara yang menarik. Saat ini karena kalah cepat dengan media
elektronik maka fokus berita di surat kabar telah bergeser dari ‘apa’ (what news)
ke ‘mengapa’ (why news) dan agar menarik, berita kemudian disajikan dengan
gaya penulisan feature. Status feature mengalami transformasi pada tahun
1960-an ketika para editor sadar bahwa feature menawarkan jalan bagi surat kabar
untuk bisa memberikan berita kedalaman dan konteks yang sering tidak dijumpai
pada jurnalisme elektronik. Setelah sebelumnya hanya menjadi selingan, lambat
laun feature dalam surat kabar mengalami kematangan yakni ditempatkan
commit to user
bentuk penulisan berita yang diberi kedalaman, arti, dan perspektif. feature
menganalisis, menginterpretasi, dan menyajikan latar belakang dari suatu isu
penting menjadi prosedur standar dari banyak surat kabar. Struktur feature bersifat
organik, ada permulaan cerita, pertengahan, serta penutup, dan semua bagian erat
saling berhubungan. F eature memiliki standar kontinyuitas yang tinggi dan
merupakan proses organik dimana topik-topik yang berhubungan dipersatukan
dan menjadikannya sesuatu yang koheren. Kontinyuitas yang demikian
mengharuskan penulis menaruh perhatian seksama pada detail yaitu pada
ketrampilan dan transisi yang halus, ritme pada kutipan Tidak ada peralihan
mendadak seperti yang banyak ditemui dalam penulisan berita, langsung.
Kemudian perbedaaan antara feature dengan berita piramida terbalik ialah pada
bagian penutup. Berita, dapat dipotong dari bawah keatas sesuai dengan tingkat
kepentingannya, dan feature tidak dapat dipotong (Ishwara, 2007: 137-141).
Bentuk dari feature terdiri dari berbagai macam, salah satunya narasi yang
menurut ahli bahasa Gorys Keraf, narasi merupakan suatu bentuk wacana yang
berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca tentang suatu
peristiwa yang telah terjadi dengan menonjolkan unsur perbuatan atau tindakan
yang dirangkai dalam urutan waktu serta berusaha menjawab pertanyaan,
commit to user
Susunan berita yang benar adalah penting, tetapi masih ada lagi yang tidak
kalah penting dan sering ditemukan dalam penulisan berita yakni; kutipan,
transisi, sumber alternatif, dan ending (penutup).
a. Kutipan adalah cara yang bagus untuk mendukung data atau menambah
warna berita tanpa harus merekayasa yang jelas melanggar etika. Hal
tersebut dengan kata lain wartawan mendapatkan opini dari luar yang
merupakan sisi lain berita yang mendukung apa yang ditulis wartawan
dalam berita, namun tidak boleh mengulang-ulang informasi yang dengan
menggunakan kutipan. Kutipan bisa dipakai untuk memberi penegasan dan
elaborasi (Passante, 2008:38).
b. Transisi, memudahkan pembaca berpindah dari satu poin ke poin yang
lain, tanpa perubahan mendadak dalam perpindahan informasi atau
pemikiran. Setiap kali wartawan membuat poin baru atau menyebutkan
fakta baru, hendaknya diawali dengan transisi atau kata penghubung,
hindari transisi mendadak yang kasar dan tidak memiliki hubungan dalam
informasinya. (Passante, 2008:39).
c. Ending, pada poin tertentu berita harus diakhiri meskipun memang berita
harus diakhiri saat tidak ada lagi hal yang perlu untuk ditulis, wartawan
yang baik akan mengakhiri tulisannya dengan sebuah poin penting
commit to user 2.c. Kajian Perspektif Berita
Dalam melihat sebuah peristiwa, pandangan setiap orang tentu tidaklah
sama, apalagi dengan media yang memiliki latar belakang kepentingan yang
berbeda, cara pandang terhadap suatu peristiwa pun pastilah berbeda. Obyek yang
dilihat sama namun tetap saja perspektifnya dapat meraneka ragam. Seperti cerita
menarik tentang seorang Pendeta, ahli Geologi, dan seorang Koboi, yang tentu
memiliki latar belakang yang jauh berbeda dan pada saat yang sama mereka
berdiri di Grand Canyon. Pendeta tersebut berkata “ Suatu Keajaiban dari
Tuhan” , lalu sang ahli Geologi mengatakan; “ Suatu keajaiban dari ilmu
pengetahuan” sedangkan sang Koboi berkata; “ Suatu tempat yang cocok untuk
menggembalakan sapi” (Ishwara, 2007: 42).
Cerita tersebut menarik untuk dijadikan contoh, mereka berdiri di waktu
dan tempat yang sama, namun mereka mengungkapkan kalimat yang berlainan
walaupun pada akhirnya dapat disimpulkan hal yang sama yaitu kekaguman
mereka terhadap Grand Canyon, bertolak dari analogi yang dikemukakan, hal
tersebut tidak jauh berbeda dengan pemberitaan Kongres III PDIP yang soroti
oleh ketiga media yang bebeda latar belakang baik ideologi, dan kebijakan. Hal
tersebut tentu saja akan menghasilkan berita yang berbeda, baik dari segi grafis,
penggunaan bahasa, diksi (pilihan kata) dalam penyusunan naskah serta
pengarahan isu walaupun bersumber pada tema yang seragam. Dari keberagaman
latar belakang itulah, maka terciptalah keanekaragaman pesan yang kemudian
disampaikan oleh media massa dalam hal ini surat kabar dapat dipersepsikan
commit to user
media massa menimbulkan berbagai macam perspektif dan menunjukkan
obyektivitas tiap media dalam pemberitaan.
Dalam masalah obyektivitas, pendekatan perspektif berita merupakan
kajian yang layak untuk dijadikan pendekatan dalam mengamati berita kongres
sebuah partai yang merupakan berita politik. Seperti beberapa perspektif yang
dikemukakan oleh Dennis K. Davis dalam bukunya New Directions In Political
Communications, dalam buku tersebut Davis mengemukakan 5 perspektif berita
yang muncul dalam dua dekade terakhir ini. Perspektif berita tersebut adalah
sebagai berikut (Davis, 1989: 157-172):
1. The British Cultural Studies Perspective
Perspektif ini dikembangkan di Universitas Birmingham pada 1960 dan
1970-an. Pendekatan dari perspektif ini adalah pada paham Neo-Marxist
yang menunjukkan hubungan antar media massa dan politik. Media
dianggap sebagai Consciousnes Industry yang memberikan dukungan pada
politik status quo dengan memberikan perhatian kepada publik dan
akhirnya mampu mempengaruhi opini publik.
2. The Social Construction Of Reality Perspective
Perspektif yang memiliki pengaruh penting yang kedua dalam penelitian
berita secara modern. Teori ini menunjukkan adanya makna ambigu pada
pemberitaan yang pada akhirnya mempengaruhi opini publik. Dalam
perspektif ini terdapat dua teori terkemuka dalam pendekatan konstruksi
realitas yaitu agenda setting theory dan spiral of silence. Teori agenda
isu-commit to user
isu tertentu berpengaruh secara langsung terhadap pemberian prioritas
oleh khalayak mengenai isu-isu yang berkembang. Dengan kata lain,
agenda media berpengaruh terhadap agenda khalayak (McCombs dan
Shaw (1972, 1977). Pendekatan ini merupakan revitalisasi dari pandangan
Mazhab Chicago yang banyak menggunakan konsep-konsep dari
tokoh-tokoh seperti Mead dan Blumer. Pengembang teori konstruksi realitas
sosial seperti Berger dan Luckman, memberikan kontribusi mengenai
konsep pengkonversian dan pelembagaan nilai. Goffman merintis
penggunaan istilah framing yang kemudian menjadi titik awal
berkembangnya tehnik analisis framing.
3. Research On News Organizations
Disini dikemukakan teori bahwa semua berita adalah komoditas komersial
yang dikemas untuk dipasarkan kepada kemungkinan terluas khalayak.
Berita sudah dikembangkan seperti produk komoditas media dan disusun
sesuai dengan standarisasi yang spesifik, diproduksi oleh pekerja praktek
secara rutin dan dipasarkan sesuai target khalayak.
4. Narrative Theories Of News
Teori narasi berita yang berpandangan tentang pembelajaran struktur
berita yang standar. Hal ini diperlukan untuk menjamin obyektivitas berita
yang disajikan. Teori ini menyimpulkan bahwa ada kerangka kerja untuk
membuat laporan dari sebuah kejadian yang mungkin akan menjadi bias
commit to user
5. Agenda Building: Narrative and Preceived Reality
Pespektif Agenda Building menggabungkan dua paham teori narasi dan
konstruksi realitas sosial. Pendekatan ini disebut dengan Agenda Building
yang menggabungkan struktur narasi berita untuk mengubah opini publik.
Dari kelima perspektif tersebut, penelitian ini menggunakan perspektif
Narrative Theories of News yang merupakan pendekatan teoritik narasi berita
yang mencermati struktur berita yang standar yang diperlukan untuk untuk
menjamin obyektivitas berita yang disajikan. Teori tersebut mengatakan bahwa
laporan dari sebuah peristiwa mungkin dapat menimbulkan makna dengan
kecenderungan tertentu, sehingga dapat menimbulkan efek yang tidak sengaja
berlainan pada pemahaman berita politik yang disajikan oleh media massa.
Perspektif narasi dalam studi tentang berita belum banyak dipergunakan
dalam penelitian kendati memang sudah ada beberapa misalnya penelitian oleh
Wahyuriyanti (2006), berjudul: “ Studi tentang Penulisan Berita Terorisme
Harian Kompas” penelitian ini mencermati pemberitaan mengenai terorisme di
Kompas selama periode 1-30 November 2005, dengan menitikberatkan pada
aspek-aspek judul, lead dan struktur penulisan berita. Penelitian ini sampai pada
kesimpulannya bahwa koran Kompas dalam menyajikan berita terorisme masih
sesuai dengan prinsip perspektif teori narasi. Selain itu juga penelitian oleh Prof.
Pawito Ph.D (2010) yang berjudul “ Pemilihan Umum, Media Massa,
Pembangunan Demokrasi: Studi tentang Indonesia Periode Pemilihan Umum
Legislatif 2009”, yang mencermati pemberitaan kampanye Pemilihan Umum di
commit to user
Penelitian tersebut sampai pada kesimpulan yaitu media massa di Indonesia
selama periode kampanye pemilihan umum legislatif 2009, ditemukan bias yang
bersifat struktural atau bias karena keterbatasan ruang media, namun sampai pada
tingkat tertentu menunjukkan upaya masih berpegang teguh pada prinsip tersebut.
Berpijak pada penelitian yang dikemukakan diatas, maka peneliti ingin
mengembangkan kajian teori narasi dalam pemberitaan politik namun diterapkan
pada tiga surat kabar Nasional yaitu Kompas, Republika, dan Media Indonesia.
3. Teori Narasi Berita (Narrative Theories of News)
Dalam praktek jurnalistik seringkali terjadi hal yang mengecewakan jika
dilihat dari kepentingan publik, yaitu terjadinya bias reportase. Bias itu sendiri
terwujud dalam dua jenis yaitu bias struktural dan bias politik, bias struktural
merupakan bias pemberitaan terkait dengan kecenderungan yang disebabkan oleh
keterbatasan media (media contraint) atau karena pertimbangan jurnalistik
tertentu bahwa persoalan tertentu diyakini lebih diminati khalayak ketimbang
peristiwa lainnya sehingga laporan-laporan pemberitaan lebih banyak tertuju pada
peristiwa atau persoalan yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan
bias politik ialah bias keberpihakan dalam pada itu lebih menunjuk karakter
keberpihakan media terhadap ideologi, kelompok, partai politik, dan
kepentingan-kepentingan serta gagasan-gagasan politik tertentu (Pawito, 2009:125).
Sejalan dengan itu Christoper Passante mengatakan, bias merupakan
kecenderungan berita berdasarkan opini seseorang, keyakinan atau perasaan
commit to user
menimbulkan emosi harus ditangani dengan hati-hati (Passante 2008:28). Bias
dapat terjadi karena berbagai faktor termasuk adanya keterbatasan ruang, waktu,
keterbatasan sumber daya terutama reporter dan editor, serta kemungkinan
keberpihakan media melalui orang-orang media yang bersangkutan dan telah
membuka peluang bagi wartawan maupun media itu sendiri untuk di kritisi.
Seperti yang diungkapkan (Paul Johnson dalam Pawito 3009:131),
Mengatakan bahwa ada 7 kesalahan yang olehnya disebut sebagai 7 dosa yang
fatal (seven deadly sins) yang sering dilakukan oleh media, yakni sebagai berikut:
a. Melakukan Distorsi. Media massa sengaja atau tidak telah banyak
melakukan distorsi terhadap realitas, dan kebenaran seringkali
terkalahkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang menyebabkan
distorsi terjadi.
b. Memberikan kesan keliru. Media seringkali terhanyut dalam
memberikan kesan keliru kepada khalayak dalam pemberitaan yang
mengarah kepada penciptaan dan pengukuhan stereotype. Media
selayaknya bekerja seperti kaca bening dimana khalayak dapat melihat
kebenaran.
c. Mencuri Privasi. Ikut mencampuri urusan pribadi merupakan
kesalahan paling buruk yang dilakukan oleh media massa pada saat ini
dan tampaknya masih akan terus berkembang. Pada dasarnya setiap
manusia memiliki privasi. Tapi media kadang mengabaikan hal itu
seperti adanya tindakan merekam pembicaraan telepon, memotret