• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

1. Pengaturan mengenai Justice Collaborator merupakan hal yang masih baru dalam hukum Indonesia, namun telah banyak upaya yang dilakukan Pemerintah dalam menciptakan keseimbangan dan keharmonisan dari peraturan tersebut. Namun ada beberapa hal yang masih harus diperhatikan mengenai Justice Collaborator tersebut yaitu perlunya diatur secara lebih tegas mengenai eksistensi Justice Collaborator dalam suatu pasal tersendiri.

2. Seperti telah disebutkan di dalam skripsi ini, dalam hal pemberian perlindungan masih banyak sekali hal-hal yang harus diperhatikan,

misalnya besaran pengurangan hukuman, seperti apa syarat seseorang dapat disebut sebagai pelaku utama, atau bahkan seperti apa tolak ukur seseorang dapat dikatakan telah membantu aparat penegak hukum dengan kesaksian yang diberikannya, dimana kesemuanya itu masih belum terlalu jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait Perlindungan Saksi dan Korban tersebut, karena itu penulis memberikan saran perlunya dilakukan keseragaman dalam pengaturan tentang Justice Collaborator

oleh Aparat Penegak Hukum.

3. Penerapan Justice Collaborator terhadap terdakwa tindak pidana korupsi dalam putusan ini menurut penulis sudah tepat, namun sebagaimana dalam kasus ini cukup banyak yang menjadi Justice Collaborator penulis berharap hal-hal seperti ini dapat juga diberikan kepada orang-orang dengan status yang sama, sehingga para pelaku yang bekerjasama mau mengambil bagian untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum karena adanya reward yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. sehingga kasus korupsi yang sudah merajalela dapat segera dibongkar dan diselesaikan.

A. Sejarah Justice Collaborator

Pada dasarnya, lahirnya Undang-Undang yang memfasilitasi kerja sama saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) dengan penegak hukum pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Fasilitasi tersebut tak lain untuk menghadapi para mafia, yang sejak lama telah menerapkan

omerta (sumpah tutup mulut sekaligus merupakan hukum tertua dalam dunia Mafioso Sisilia).38 Dalam United Nations Office on Drugs and Crime, Howard Abadinsky menyebutkan bahwa salah satu dari daftar aturan Mafia Amerika adalah setiap anggota harus menjaga mulutnya untuk tetap diam, apa yang dilihat dan didengar biarlah tetap terjaga di kepalanya, jangan pernah dibicarakan. Jika ada yang melanggar “sumpah diam” tersebut dan bekerjasama dengan polisi, maka keselamatan dirinya dan keluarganya akan terancam karena organisasi yang mereka khianati tidak akan segan untuk membunuh mereka. Dengan begitu, negara menjadi kesulitan untuk membujuk saksi-saksi penting untuk memberi kesaksian melawan bos mereka. Hal inilah yang membuat Departemen Kehakiman Amerika Serikat meyakini bahwa program perlindungan saksi harus dijadikan suatu lembaga.39

Di Indonesia sendiri, perkembangan ide Justice Collaborator sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 37 ayat (2) United Nations Convention Against

38

Lilik Mulyadi, op. cit , Hal. 3-5 39

Maria Yudithia Bayu Hapsari, Konsep dan Ketentuan mengenai Justice Collaborator dalam Sistem Peradian Pidana di Iindonesia, Skripsi, Program Sarjana Universitas Indonesia,

Corruption (UNCAC) Tahun 2003 diadopsi oleh Sidang ke-58 Majelis Umum melalui Resolusi Nomor 58/4 tanggal 31 Oktober 2003 dan juga telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) yang berlaku efektif sejak 18 April 2006 dimana ditegaskan bahwa, “setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberi kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, memberi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini”.

Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan bahwa, “setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.” Selain UNCAC, Indonesia juga telah meratifikasi United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisir (United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime/UNCATOC). Kedua Konvensi PBB ini, yang telah diratifikasi oleh Indonesia, merupakan dasar hukum yang melatarbelakangi lahirnya ide tentang Justice Collaborator dalam peradilan pidana

Selain dari ketentuan Konvensi di atas, ada hal-hal lain yang melatarbelakangi lahirnya Justice Collaborator di Indonesia yaitu karena kesulitan para penegak hukum untuk mengumpulkan saksi kunci untuk membuktikan suatu perkara pidana. Hal ini dilatarbelakangi karena kurangnya perlindungan yang diberikan kepada saksi dalam proses beracara mulai dari penyelidikan sampai di pengadilan, sehingga banyak yang enggan untuk menjadi saksi. Sebagaimana diketahui alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selau bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.40

Tetapi di dalam praktek peradilan, aparat penegak hukum seringkali menemukan berbagai kendala yuridis dan nonyuridis untuk mengungkap tuntas dan menemukan kejelasan suatu tindak pidana, terutama menghadirkan saksi-saksi kunci dalam proses hukum sejak penyidikan sampai proses di pengadilan.41

Kesulitan untuk menghadirkan saksi dalam proses hukum tentu bukan tanpa suatu alasan. Dalam banyak kasus seringkali seorang saksi enggan untuk mengungkapkan apa yang diketahuinya maupun yang dialaminya karena mereka

40

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika Offset, 2013, Hal. 286

enggan berurusan lebih lanjut dengan aparat penegak hukum. Mereka juga takut diancam ataupun diintimidasi oleh pelaku kejahatan.42

Oleh karena itu lahirlah komitmen untuk menjamin perlindungan saksi dan korban dalam sebuah undang-undang yang berawal dari gagasan reformasi sistem politik dan hukum yang digulirkan sejak 1998. Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sejatinya adalah demi menciptakan iklim yang kondusif dengan menumbuhkan partisipasi masyarakat melalui pemenuhan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.43

Sebelum istilah Justice Collaborator, ada istilah lain yang lebih dikenal dalam hukum acara pidana di Indonesia yaitu saksi mahkota. Berikut beberapa definisi mengenai saksi mahkota yang diberikan para ahli:

Upaya untuk menumbuhkan partisipasi publik itulah yang pada akhirnya melatarbelakangi lahirnya Justice Collaborator.

44

1. R. Soesilo

“Saksi mahkota dalah saksi yang ditampilkan dari beberapa terdakwa/ salah seorang terdakwa guna membuktikan kesalahan terdakwa yang dituntut. Saksi mahkota dapat dibebaskan dari penuntutan pidana atau kemudian akan

42

Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, 2015, hal. 18

43

Ibid, hal. 19

44

Dwinanto Agung Wibowo, Peranan Saksi Mahkota dalam Peradilan Pidana di Indonesia, Tesis, Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, Hal. 67-68

dituntut pidana secara tersendiri, tergantung dari kebijaksanaan penuntut umum yang bersangkutan.”

2. Andi Hamzah

“Saksi mahkota adalah salah seorang terdakwa dijadikan (dilantik) menjadi saksi, jadi diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa lagi atau lebih mudahnya bahwa saki mahkota adalah seorang terdakwa menjadi saksi bagi terdakwa lainnya yang kedudukannya sebagai saksi dilepaskan.

Biasanya saksi mahkota adalah terdakwa yang paling ringan hukumannya. Pengubahan status terdakwa menjadi saksi itulah yang dipandang sebagai pemberian mahkota “saksi” (seperti dinobatkan menjadi saksi). Biasanya Jaksa memilih terdakwa yang paling ringan kesalahannya atau yang paling “kurang dosanya” sebagai saksi.”

3. Loebby Loeqman

“Saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.”

4. Mardjono Reksodiputro

“Saksi mahkota adalah saksi kunci yang diajukan oleh Jaksa penuntut umum dimana tanpa saksi itu jaksa penuntut umum tidak mempunyai bukti. Jadi jatuh bangunnya dakwaan jaksa penuntut umum sangat tergantung dari

saksi mahkota. Disebut saksi mahkota yang merupakan penerjemahan langsung dari kroon artinya mahkota dan getuige artinya saksi.”

Dari seluruh pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa saksi mahkota adalah saksi yang diajukan oleh terdakwa, dimana yang menjadi saksi ini adalah terdakwa yang paling kecil peranannya. Dikatakan saksi mahkota karena saksi ini berbeda dari saksi yang lain, dimana berdasarkan kesaksiannya dia diberikan mahkota bisa berupa pengurangan hukuman bahkan dibebaskan dari penuntutan pidana tergantung dari kebijaksanaan penuntut umum, dan saksi mahkota ini hanya ada dalam perkara pidana yang merupakan delik penyertaan.

Pengaturan mengenai ’saksi mahkota’ ini pada awalnya diatur di dalam pasal 168 KUHAP, yang prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Kemudian dalam perkembangannya, maka tinjauan pemahaman (rekoqnisi) tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990. Dalam Yurisprudensi tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung RI tidak melarang apabila Jaksa/Penuntut Umum mengajukan saksi mahkota dengan sarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Dan dalam Yurisprudensi tersebut juga ditekankan definisi saksi mahkota adalah, ”teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkaranya dipisah karena kurangnya alat bukti”.

Jadi disini penggunaan saksi mahkota ”dibenarkan’ didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu, 1) dalam perkara delik penyertaan ; 2). terdapat kekurangan alat bukti ; dan 3). Diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing); adapun dalam perkembangannya terbaru Mahkamah Agung RI memperbaiki kekeliruannya dengan mengeluarkan pendapat terbaru tentang penggunaan ’saksi mahkota’ dalam suatu perkara pidana, dalam hal mana Mahkamah Agung RI kembali menjelaskan bahwa ”penggunaan saksi mahkota adalah bertentangan dengan KUHAP yang menjunjung tinggi HAM” (lihat : Yurisprudensi : MARI, No. 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 ; MARI, No.1952 K/Pid/1994, tanggal 29 April 1995 ; MARI, No. 1950 K/Pid/1995, tanggal 3 Mei 1995 ; dan MARI, No. 1592 K/Pid/1995, tanggal 3 Mei 1995.

Adanya penggunaan saksi mahkota yang terus berlangsung sampai sekarang ini harus segera dihentikan, karena pasti menimbulkan permasalahan yuridis. Adanya alasan klasik yang dikemukakan Penuntut Umum, bahwa untuk memenuhi dan mencapai rasa keadilan publik sebagai dasar argumentasi diajukannya saksi mahkota bukan merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Secara normatif penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran kaidah HAM secara universal sebagaimana yang diatur dalam KUHAP itu sendiri, khususnya hak ingkar yang dimiliki terdakwa terdakwa dan hak terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian (vide pasal 66 KUHAP), di samping itu juga penggunaan ’saksi mahkota’ juga melanggar

instrumen hak asasi manusia secara internasional (International Covenant on Civil and Political Right).45 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan saksi mahkota dilihat sebagai pilihan terakhir jika alat bukti sangat minim sehingga menghambat jalannya acara pembuktian dan agar keterangan saksi mahkota tidak hanya menjadi satu-satunya alat bukti dalam suatu persidangan.46

Selain saksi mahkota, ada juga istilah lain yang dikenal dalam hukum Indonesia yaitu Whistleblower. Quentin Dempster berpendapat Whistleblower adalah orang yang mengungkap fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya mal praktik, atau korupsi. Sedangkan Prof. Mardjono Reksodiputro menngartikan whistleblower sebagai pembocor rahasia atau pengadu. Ibarat sempritan wasit (peniup peluit), Prof. Mardjono berharap kejahatan dan pelanggaran hukum yang terjadi dapat berhenti apabila dilakukan dengan mengundang perhatian publik. Sementara informasi yang dibocorkan oleh seorang peniup peluit berupa informasi yang bersifat rahasia di kalangan lingkungan informasi itu berada. Baik tempat, informasi yang diberikan, maupun informann bermacam-macam.47

Whitleblower (peniup peluit) merupakan istilah yang dikenal di Amerika Serikat bagi mereka yang melaporkan terjadinya tindak pidana. Adakah perbedaan

whistle blower ini dengan saksi mahkota? Keduanya memang sama-sama

47

Prof. Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia/ Whistle Blowers dan Penyadapan (Wiretapping, Electronic Interception) dalam Menanggulangi Kejahatan di Indonesia, (dalam) Firman Wijaya, op. cit, Hal. 7

mengungkap suatu tindak pidana, namun bedanya adalah whistle blower bukan tersangka. Sementara saksi mahkota adalah tersangka yang bersedia membantu penyidik mengungkap seluruh jaringan kejahatan dan membeberkan semua pelaku yang terlibat. Untuk itu, dia dikeluarkan dari tersangka dan dijadikan saksi (mahkota), dan harus dilindungi dari balas dendam teman-temannya sebagaimana

whistle blower.48

Saksi mahkota sendiri hampir memiliki persamaan dengan Justice Collaborator, dimana saksi mahkota dan Justice Collaborator sama-sama merupakan salah satu tersangka dari kasus yang ia terlibat di dalamnya dan akan dibongkarnya. Namun tetap ada perbedaan antara saksi mahkota dan Justice Collaborator yaitu dimana berdasarkan pendapat para ahli diatas, saksi mahkota dapat dibebaskan dari tuntutan pidana yang diberikan kepadanya, namun untuk

Justice Collaborator (saksi pelaku yang bekerjasama) seseorang tersebut tidak dapat dibebaskan namun reward yang ia dapatkan yaitu berupa keringanan penjatuhan pidana serta pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana, hal ini tercantum dalam Pasal 10 A ayat (3). Selain perbedaan tersebut, ada perbedaan lainnya yaitu, peran saksi mahkota diberikan oleh inisiatif jaksa, sedangkan peran Justice Collaborator diberikan karena ada inisiatif sendiri dari terdakwa yang mengakui kesalahannya dan membantu aparat penegak hukum untuk membongkar kasus yang ia terlibat di dalamnya tersebut.

48

Lahirnya peran Justice Collaborator di Indonesia tentu saja masih menimbulkan pro dan kontra. Salah satunya adalah yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono di Jakarta dimana ia mengatakan penetapan Justice Collaborator (JC) terhadap tersangka dan terdakwa yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam membongkar tidak pidana di pengadilan belum memiliki kesamaan pandangan dalam penegakan hukum. Padahal, sejak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diberlakukan, setidaknya praktik berlangsung sepuluh tahun masih ditemukan permasalahan krusial dalam pemberian reward terhadap Justice Collaborator di pengadilan. Cara pandang hakim, jaksa, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atas pelaku bekerjsama yang berbeda-beda mengakibatkan reward atas pelaku yang bekerjasama sulit di dapatkan, ini juga akibat kurang harmonisnya peraturan soal pelaku yang bekerjasama. Selain perbendaan pandangan soal penetapan stasus tersangka menjadi Justice Collaborator, frasa “pelaku utama” dalam regulasi dinilai kurang tepat. Sebab dimungkinkan bakal menimbulkan banyak penafsiran yang berbeda. Oleh karena itu ia merekomendasikan agar seluruh institusi penegakan hukum untuk kembali duduk bersama untuk menyamakan pandangan terkait frasa ”pelaku utama” sebagai salah satu syarat dalam penetapan Justice Collaborator. Karena bila perbedaan pandangan penetapan Justice Collaborator

dalam membongkar perkara bakal surut. Boleh jadi, tersangka maupun terdakwa bakal berpikir ulang bekerjasama dengan penyidik dan penuntut umum di pengadilan. Dan hal ini akan mempersulit tugas Jaksa dalam mengungkap kasus-kasus khusus.49

B. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Namun sekalipun banyak pro dan kontra terhadap peran Justice Collaborator, peran Justice Collaborator sebenarnya efektif untuk digunakan, hanya saja pengaturan hukum mengenai Justice Collaborator inilah yang perlu lebih disempurnakan lagi.

Tahapan korupsi yang telah berkembang di Indonesia ditunjukkan mulai dari terbentuknya negara pasca kolonial (post colonial state), periode demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, Orde Baru, sampai setelah berakhirnya rezim Soeharto.

Perkembangan tindak pidana korupsi dari setiap periodenya akan dijabarkan di bawah ini:

1. Kekuasaan negara Republik Indonesia –wewenang dan pelaksanaan kebijakan maupun programnya—terselenggara berkat sokongan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penyimpangan atas pendapatan dan anggaran rutin menjadi sumber korupsi bagi para pejabat dan pegawainya. pada 18 Juli 2016

2. Nasionalisasi perusahaan asing tahun 1957 menjadi sumber keuangan bagi negara. Pengelolaan perusahaan-perusahaan ini telah menjadi rebutan bagi para pejabat yang mengelola perusahaan tersebut, terutama dari kalangan perwira Angkatan Darat (AD), perusahaan negara yang penting pun mereka kuasai. Korupsi besar-besaran terjadi di tubuh Pertamina, Bulog, Bank-Bank Pemerintah, Perhutani, serta Telkom dan PLN.

3. Para birokrat, baik sipil maupun militer, telah terlibat kolusi dalam bisnis yang mengandalkan patron politik (political patron) baik melalui pemberian lisensi, proyek dan kredit, maupun monopoli dan proteksi sampai privatisasi BUMN. Dimulai dari program ekonomi Benteng, ekonomi Terpimpin, dan ekonomi Orde Baru sampai masa pemulihan ekonomi saat ini, patronasi bisnis (business patronage) tumbuh, berkembang, mencapai puncaknya, dan kini masih bertahan.

4. Berbagai lembaga militer dan kepolisian mengembangkan jaringan bisnisnya melalui operasi sejumlah yayasan kendati sebagian besar ordernya bersumber dari negara. Di samping menjadi “mesin uang” bagi pemupukan kekayaan pribadi pada sejumlah perwira, kekayaan yayasan juga digunakan bagi berbagai operasi militer dengan alasan minimnya anggaran militer. 5. Perluasan korupsi telah berkembang melalui praktik pembiaran bagi

tumbuhnya orang kaya baru (OKB) dalam tubuh birokrasi seiring dengan meningkatnya jumlah APBN. Lapisan birokrat dan pegawai menjadi OKB adalah konsumen penting bagi barang-barang mewah, seperti produk

otomotif dan elektronik yang pasarnya dikuasai oleh sejumlah konglomerat Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM)

6. Dunia peradilan dengan pasti telah mengikuti jejak perilaku birokrat dan para pegawainya yang korup. Suap-menyuap, “jual beli perkara”, dan pemerasan adalah potret mengenai julukan prestasinya yang disebut sebagai “mafia peradilan” yang terus berlangsung hingga kini. Aparat penegak hukum dan lembaga peradilan semakin kehilangan kepercayaan dari masyarakat.

7. Birokrasi tidak hanya menghabiskan anggaran rutin dan membocorkan dana pembangunan, tetapi juga mengembangkan dirinya secara komersial dalam melayani kebutuhan administrasi warga negara, terlebih lagi administrasi yang dibutuhkan para pelaku ekonomi setelah tumbuhnya sektor industri manufaktur ringan. Perkembangan ini disebut sebagai tahapan “birokrasi pungutan” (collect money bureaucracy)

8. Berbagai kelompok yang tumbuh dan menikmati sistem yang korup menemukan jalan untuk mengembangkan dirinya ke dalam kegiatan bisnis illegal, seperti penebangan hutan secara liar, pencurian kayu, penambangan pasir laut, perdagangan senjata api dan narkoba, serta proteksi atas sejumlah pengelolaan bisnis hiburan dan perjudian.

9. Setelah berkurangnya pendapatan negara dari sektor migas sejak dasawarsa 1980an dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dikuasai segelintir orang serta kesenjangan pusat dan daerah telah menimbulkan pergolakan daerah dan terorisme. Selainmasalah timor timur, juga terjadi pergolakan bersenjata

(armed conflict) di Aceh dan Papua. Belakangan dilengkapi dengan konflik komunal di Sambas, Sampit, Poso, dan Maluku. Berbagai aksi teror bom juga telah meningkatkan peredaran dan perdagangan bahan peledak dan senjata api.

10. Pemilihan umum (Pemilu) 1999 telah menjadi ajang perebutan kursi kekuasaan politik. Partai-partai politik yang bertahan dan mampu meraih hasil secara formal sebagai kekuatan yang besar –dengan merebut kursi DPR dan DPRD- telah menikmati hasil tersebut berkat sokongan dana yang populer disebut “politik uang” (money politics) dengan membagi-bagikannya kepada calon pemilh

11. Selain tumbuh sebagai bagian dari patronasi politik dalam kegiatan bisnis, para politisi (birokrat) di parlemen (DPR) –dengan menguatnya kedudukan mereka- telah pula timbul dugaan diantara mereka dalam menikmati permainan “politik daging sapi” baik dalam menghadapi lawan dan membentuk koalisi maupun menseleksi calon pejabat tertentu, Hakim Agung, dan anggota lembaga lainnya yang diajukan kepada parlemen. Selain itu, politik ini juga berguna untuk melindungi orang-orang yang diduga terlibat korupsi dengan mengorbankan satu-dua orang yang terlibat atau lawan politiknya.

12. Sejak paruh 1997, ekonomi Indonesia dilanda krisis sehingga terjadi peningkatan angka pengangguran dan kemskinan melalui penyaluran dana sosial. Program pemereintah dijalankan berupa menyalurkan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) serta dana kompensasi BBM. Seiring dengan

timbulnya pengungsi akibat konflik di berbagai daerah, pemerintah pun terpaksa menyediakan bantuan bagi para pengungsi. Pengelolaan dana sosial ini juga telah membuka dugaan terjadinya penyimpangan.

13. Reformasi tidak hanya membuka jalan bagi terbentuknya pemerintahan sipil dan lapisan politisi sipil, tetapi juga timbulnya peluang bagi pengelolaan ekonomi daerah yang lebih besar. Selain ditunjukkan oleh peningkatan jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), daerah-daerah yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Seperti Aceh, Riau, Papua, dan Kalimantan Timur juga telah menjadi incaran bagi praktik penyimpangan dalam pengelolaan anggaran dan SDA tersebut.

C. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Korupsi adalah salah satu dari sekian banyak tantangan besar yang kita hadapi di zaman kita ini. Korupsi telah mewabah dan ada dimana-mana. Darimana dan bagaimana memulai pemberantasan korupsi, ketika penyimpangan kekuasaan itu sudah sistemik merasuk ke semua sektor di berbagai tingkatan, dalam lingkungan politik dan birokrasi yang tidak mendukung.

Korupsi merupakan masalah yang telah sejak lama mewarnai berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Selama beberapa dasawarsa,

Dokumen terkait