• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Tinjauan Kepustakaan

2. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi

Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa Latin

corruptio atau corruptus (Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari kata Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti

Inggris, yaitu Corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu

corruptie (korruptie). Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi” yang memiliki arti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.21

Dalam Black’s Law Dictionary, disebutkan bahwa: Corruption an act is done with an intention to give someone advantage inconsistent with official duty and the rights of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the rights of others. (Korupsi merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas dan hak orang lain. Perbuatan seorang pejabat atau seorang pemegang kepercayaan yang secara bertentangan dengan hukum, secara keliru menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bertentangan dengan tugas dan hak orang lain)22

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) korupsi bermakna penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.23

Pendapat dari beberapa pakar mengenai korupsi juga dapat dijelaskan sebagai berikut seperti Juniadi Suwartojo (1997) yang dikutip Yogi Suwarno

21

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, Hal. 4-5 22

Juni Sjafrien Jahja, Say No To Korupsi, Visimedia, Jakarta, 2012, Hal. 8-9 23

menyatakan bahwa korupsi ialah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat. Sementara Brooks memberikan pengertian korupsi yaitu: “Dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.” Selanjutnya Alfiler menyatakan bahwa korupsi adalah: “Purposive behavior which may be deviation from an expected norm but is undertake nevertheless with a view to attain materials or other rewards.”24

Korupsi itu merusak, dan alasannya sederhana saja, yakni, karena keputusan-keputusan penting yang diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pribadi, tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya bagi publik. Jika tidak dapat dikendalikan, korupsi dapat mengancam lembaga-lembaga demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam lingkungan yang korup, sumber daya akan disalurkan ke bidang-bidang tidak produktif -kelompok penindas- karena kelompok elite

24

akan selalu berusaha melindungi diri mereka, kedudukan dan harta kekayaan mereka.25

Untuk mengetahui adanya tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam hal-hal sebagai berikut:26

a. Unsur/ elemen yang terdapat dalam rumusan pasal-pasal dari Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Unsur-unsur tersebut meliputi: 1) Perbuatan melawan hukum

yakni tindakan atau perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan peraturan perundangan, peraturan pelaksana undang-undang, melanggar keputusan presiden, peraturan menteri, atau peraturan direksi bagi suatu BUMN (Badan Usaha Milik Negara) 2) Menyalahgunakan wewenang, kedudukan, dan sarana

Dalam implementasinya di lapangan, sering terjadi berbagai penyimpangan antara lain:

a) Penyimpangan yang dimulai dari tingkat perencanaan suatu proyek yang disebut korupsi berencana, yakni kedekatan atau adanya hubungan khusus antara rekanan pemborong dengan pejabat-pejabat di daerah dan pejabat-pejabat di kementrian maupun di lembaga DPR di tingkat daerah dan pusat. Konspirasi ini meliputi harga yang di mark up maupun proses disetujuinya proyek itu oleh pihak pengambil keputusan di daerah dan pusat.

25

Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, Hal.9

26

b) Menyimpan uang negara pada rekening pribadi. Perbuatan ini dilakukan dengan memindahkan uang negar di bawah tanggung jawabnyadari rekening instansi yang secara struktural di bawah kendali pejabat tersebut ke rekening pribadinya, sehingga bunganya dapat dengan leluasa dipakainya.

3) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi

Konstruksi yuridis dalam undang-undang pemberantasan korupsi yang dianut di Indonesia sangat meluaskan jangkauannya. Walalupun pelaku tindak pidana tidak mendapat sesuatu keuntungan sama sekali tetapi harus mempertanggungjawabkan kerugian keuangan negara yang timbul karenanya. Beberapa negara selalu mengaitkan dengan adanya suap yang diterima oleh si pelaku.

4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Besarnya jumlah kerugian negara harus ditentukan oleh hasil audit yang dilakukan oleh instansi yang berwenang dalam hal ini adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

b. Modus operandi korupsi

Dari berbagai kasus yang ditandatangani kejaksaan dan instansi penegak hukum lainnya, ditemukan bentuk-bentuk cara melakukan korupsi menggunakan modus:

1) Pemalsuan dokumen dilakukan dengan cara membuat surat palsu, dokumen palsu atau berita acara palsu. Hal ini sering tejadi dalam

pembangunan proyek fisik, sepeeti gedung, lahan, jalan, reboisasi, pengerukan sungai, dan berbagai pekerjaan yang memerlukan adanya berita acara pada saat pencairan dana proyek.

2) Pemalsuan kuitansi, biasanya terjadi pada tanda terima sejumlah uang yang diisikan berbeda dengan besar jumlah fisik dana yang sebenarnya.

3) Menggelapkan uang/ barang milik negara atau kekayaan negara. 4) Penyogokan atau penyuapan biasanya terjadi antara seseorang yang

memberikan hadiah kepada seorang pegawai negeri dengan maksud agar pegawai negeri tersebut berbuat atau menalpakan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.

5) Gratifikasi, setiap pemberian dalam arti luas yang nilainya Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah).

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, fasilitas lainnya baik yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik)27

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

27

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk sebagai berikut:28 a. Tindak Pidana Korupsi yang dikaitkan dengan Merugikan Keuangan Negara

atau Perekonomian negara

1) Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yaitu melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

2) Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunkan kewenangan, kesempatan atau saranna yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

b. Tindak Pidana Korupsi Terkait Suap-menyuap

1) Pasal 5 Ayat (1) huruf a: menyuap pegawai negeri dengan memberikan janji-janji karena jabatannya;

2) Pasal 5 Ayat (1) huruf b: menyuap pegawai negeri dengan memberikan hadiah karena jabatannya;

3) Pasal 5 Ayat (2): pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji;

4) Pasal 6 Ayat (1) huruf a: memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim;

5) Pasal 6 Ayat (1) huruf b: memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Advokat;

28

Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi (Mengetahui Untuk Mencegah), Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hal. 17-30

6) Pasal 6 Ayat (2): bagi Hakim dan Advokat yang menerima hadiah atau janji.

c. Tindak Pidana Korupsi yang Beraitan dengan Pembangunan, Leveransir, dan Rekanan

1) Pasal 7 Ayat (1) huruf a: pemborong, ahli bangunan yang melakukan perbuatan curang;

2) Pasal 7 Ayat (1) huruf b: setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bangunan yang membiarkan perbuatab curang;

3) Pasal 7 Ayat (1) huruf c: seorang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI dan/atau Kepolisian RI melakukan perbuatan curang;

4) Pasal 7 Ayat (1) huruf d: setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan barang keperluan TNI dan/atau Kepolisian RI membiarkan perbuatan curang;

5) Pasal 7 Ayat (2): orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan TNI dan/atau Kepolisian RI membiarkan perbuatan curang.

d. Tindak Pidana Korupsi Penggelapan

1) Pasal 8: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan;

2) Pasal 9: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu memalsukan buku-buku atau daftar-daftar administrasi;

3) Pasal 10 huruf a: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang bukti;

4) Pasal 10 huruf b: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang bukti;

5) Pasal 10 huruf c: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang bukti;

6) Pasal 11: pegawai negeri tau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan jabatannya;

7) Pasal 12 huruf a: pegawai negeri tau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji yang untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan jabatannya;

8) Pasal 12 huruf b: pegawai negeri tau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji karena telah melakukan sesuatu perbuatan dalam jabatannya;

9) Pasal 12 huruf c: hakim yang menerima hadiah atau janji; 10) Pasal 12 huruf d: advokat menerima hadiah atau janji. e. Tindak Pidana Korupsi Kerakusan (Knevelarij)

1) Pasal 12 huruf e: pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri menyalahgunakan kewenangannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

2) Pasal 12 huruf f: pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima, meminta, atau memotong pembayaran ;

3) Pasal 12 huruf g: pegawai negeri atau penyelenggara negara meminta, menerima pekerjaan, atau penyerahan barang;

4) Pasal 12 huruf h: pegawai negeri atau penyelenggara negara menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, telah merugikan orang yang berkah;

5) Pasal 12 huruf i: pegawai negeri atau penyelenggara negara turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan.

f. Tindak Pidana Korupsi tentang Gratifikasi29

1) Pasal 12B: gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;

29

Yang dimaksud dengan Gratifikasi menurut penjelasan didalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah “pemberian secara luas”, yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang dilakuka dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

2) Pasal 12C: penerima wajib melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK.

g. Tindak Pidana Korupsi Pemberian Hadiah

Pasal 13: setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri.

Dokumen terkait