• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 1 PENDAHULUAN

5. KESIMPULAN

Membahas mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan serta saran-saran yang bisa dimanfaatkan berdasarkan hasil penelitian.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

a. Sampel yang digunakan pada penelitian ini berasal dari daerah Pomala, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Sampel merupakan mineral nikel jenis saprolite. Sedangkan, batubara didapatkan dari penjual lokal.

b. Metode crushing dan sieving yang dilakukan dengan metode mekanik sederhana.

c. Kompaksi mengunakan mesin kompaksi di labotarium TPB, Departemen Metalurgi dan Material UI.

d. Reduksi dilakukan dengan metode roasting dengan suhu 1100oC menggunakan oven Carbolite di Labotarium Teknologi Pengubahan Bentuk, Departemen Metalurgi dan Material UI.

e. Pemeriksaan atau pengujian Karakterisasi dengan menggunakan alat uji EDAX Leo 420i di Departemen Metalurgi dan Material UI dan alat uji XRD shimadzu-7000 di Labotarium Terpadu, UIN Syarif Hidayatullah.

BAB II

TEORI PENUNJANG 2.1 BIJIH LATERIT

Bijih laterit merupakan tipe bijih yang biasa digunakan dalam praktik industri untuk produksi nikel. Penanganan bijih laterite masih dibatasi oleh faktor ekonomi, yaitu biaya energi yang mencapai hingga 2-3 kali dibandingkan dengan bijih sulfida. Di sisi lain, laterite dapat dieksploitasi dengan mudah menggunakan

open pit methods di mana bijih sulfida biasanya membutuhkan ekspolitasi bawah

tanah yang lebih mahal. Tren industri masa depan diperkirakan akan lebih melibatkan pengolahan laterite dengan teknologi proses yang lebih ekonomis.

Indonesia mengandung sekitar 16% cadangan nikel dunia dan cadangan tersebut memiliki profil yang dapat ditunjukan pada Gambar 2.1, sebagai berikut:

- Red Laterite (Hematite)

- Yellow Laterite (Limonite), biasanya mengandung goethite (FeO(OH)) dan bervariasi dalam kandungan air

- Saprolit, kaya akan magnesium (10-20% Mg), dengan terdapat kandungan besi yang mensubstitusi magnesium dalam serpentine (Mg3Si2O5(OH)4), serta hadir sebagai goethite (total 10-25% Fe)

Tabel berikut menunjukkan analisa kimia terhadap komposisi bijih laterit Indonesia selama kurun waktu beberapa tahun terakhir.

Tabel 2.1 Persentase rata-rata komposisi bijih laterit Indonesia selama tahun 2008, 2009, dan 2010[1]

Pengotor sampingan yang dibawa oleh bijih nikel, seperti tampak dalam tabel di atas, didominasi oleh oksida Fe, Mg, Si, Co, dan Cr. Bergantung pada jenis lapisan laterisasinya, kadar elemen pengotor ini bervariasi seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.1 .

Bijih laterit diklasifikasikan dalam tiga kelas berdasarkan konten Fe dan MgO mereka[4]: i) Kelas A-garnieritik jenis laterit (Fe <12% dan MgO >25%). ii) Kelas B-Limonit jenis laterit (tinggi kandungan Fe, 15-32% atau >32% dan MgO <10%) dan iii) Kelas C-menengah jenis laterit, yang terletak antara bijih tipe garnieritik dan Limonit (Fe 12-15% dan MgO 25-35% atau 10-25%).

2.2 REDUKSI OKSIDA

Pembelajaran tentang proses pengolahan besi merupakan hal yang penting untuk dipelajari, mengingat logam tersebut digunakan pada berbagai macam aplikasi. Teknik yang paling umum digunakan secara komersial yaitu dengan menggunakan blast furnace dan juga converter. Pada blast furnace reaksi yang terjadi yaitu sebagai berikut [5] :

8 3Fe2O3+C→ 2 Fe3O4+CO • Fe3O4+CO → 3FeO+CO2 Fe3O4+ C → 3FeO+CO • FeO+CO → Fe+CO2 FeO+C → Fe+CO

Dari persamaan reaksi diatas terlihat bahwa bijih besi dapat direduksi secara langsung dengan menggunakan karbon padat, namun reduksi dengan menggunakan gas CO mengindikasikan reaksi utama yang terjadi pada beberapa reduksi bijih besi.

Pemrosesan reduksi bijih besi dengan menggunakan blast furnace memiliki kelemahan utama, yaitu karena temperatur proses yang terlalu tinggi maka logam lain ( Si, Mn, dll.) akan banyak yang ikut melebur bersama dengan Fe sehingga akan sulit untuk dipisahkan. Oleh karena itu dikembangkan suatu metode baru untuk mengatasi hal tersebut dengan menggunakan proses reduksi langsung.

Proses reduksi langsung adalah proses pengurangan oksigen dari besi oksida dimana besi oksida tersebut tidak mengalami perubahan fasa, yaitu fasa padat. Proses reduksi langsung menggunakan zat pereduksi yang afinitas terhadap oksigen lebih besar daripada besi oksida. Proses ini dilakukan dengan menggunakan temperatur tinggi, namun lebih rendah dari temperatur yang digunakan pada pemrosesan dengan menggunakan blast furnace.

Banyak studi yang dilakukan untuk mempelajari proses reduksi langsung, Usui et al. mempelajari tentang proses prereduksi pada besi oksida dengan menggunakan batu bara dan juga gas dengan reaksi utama yang terjadi antara besi oksida dan hidrogen [6]. Ishikawa et al. secara sukses mempelajari tentang reduksi pada wustit (Fe1)xO dengan menggunakan karbon padat [7] .

2.2.1 Prinsip Dasar Proses Reduksi

Proses reduksi langsung merupakan reduksi bijih besi dengan menghindari fasa cair. Proses ini dilakukan dengan menggunakan pereduktor seperti karbon (coal), minyak bumi dan juga gas metana (CH4). Prinsip dasar proses ini adalah

mengurangi kadar oksigen dengan menggunakan unsur yang afinitas terhadap O (oksigen) lebih besar daripada Fe (besi). Proses ini dilakukan tanpa mengubah fasa, yaitu fasa padat. Hasil akhir proses ini menghasilkan bijih besi yang didalamnya masih terdapat oksida. Proses reduksi langsung digunakan dengan beberapa alasan sebagai berikut :

a. Menggunakan batu bara/ gas bumi sebagai pengganti kokas b. Produk berkualitas tinggi

c. Kapasitas produksi bisa rendah, sesuai dengan permintaan pasar d. Emisi CO2 rendah sehingga lebih ramah terhadap lingkungan

2.2.1.1 Termokimia

Reaksi kimia selalu melibatkan pelepasan maupun penyerapan energi. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap material memiliki energi. Energi dilepaskan apabila dalam suatu reaksi produk memiliki energi yang lebih rendah daripada pereaktan, sedangkan suatu reaksi dikatakan menyerap energi apabila produk memiliki energi yang lebih tinggi daripada pereaktan [8].

Panas merupakan bentuk energi yang umum pada suatu reaksi. Derajat panas juga dapat diukur dengan suhu. Panas yang dimiliki oleh suatu material merupakan entalpi dari material tersebut yang diberi lambang H.

Ketika suatu unsur bereaksi dengan unsur lain membentuk suatu senyawa, energi panas yang digunakan pada reaksi tersebut disebut sebagai energi panas pembentukan (entalpi pembentukan) yang diberi lambang ΔHf.

Ketika suatu senyawa bereaksi dengan senyawa lain membentuk suatu senyawa baru maka ΔHf berubah menjadi ΔH penguraian, oleh karena itu besar ΔHf harus dibalik. Contohnya sebagai berikut :

Fe3O4 + CO → 3FeO + CO2 ΔH = + 30664

Apabila ΔH reaksi bernilai positif maka reaksi merupakan reaksi endotermik (menyerap panas). Apabila ΔH bernilai negatif maka reaksi

10

2.2.1.2 Energi Bebas

Energi bebas merupakan selisih antara total energi pada sistem dengan energi ikatan, TS. Energi bebas reaksi kimia pada temperatur konstan dirumuskan pada Persamaan 2.1 [10] sebagai berikut:

(2.1)

Keterangan :

ΔF = Energi bebas cal/mol ΔH = Entalpi cal/mol T = Temperatur K ΔS = Perubahan entropi

Apabila ΔF bernilai negatif maka reaksi tersebut dapat berjalan secara spontan, namun apabila suatu reaksi ΔF bernilai positif maka reaksi tersebut tidak dapat berjalan secara spontan. Contoh energi bebas beberapa reaksi sebagai berikut [10] :

2Fe + O2→ 2FeO ΔFTo = -124.100 + 29.90T cal/molO2 (298 – 1642oK) 6FeO + O2→2Fe3O4 ΔFTo = -149.240 + 59.80T cal/molO2 (298 – 1642oK) 4Fe3O4 + O2→6Fe2O3 ΔFTo = -119.240 + 67.24T cal/molO2 (298 – 1460oK) 2C + O2→ 2CO ΔFTo = -53.400 - 42.0 T cal/molO2 (298 – 2500oK) C + O2→ CO2 ΔFTo = -94.200 - 0.2 T cal/molO2 (298 – 2000oK) 2CO + O2→2 CO2 ΔFTo = -135.000 + 41.6 T cal/molO2 (298 – 2000oK) C + CO2 →2CO ΔFTo = +40.800 + 41.8 T cal/molO2 (298 – 2000oK) 2H2 + O2→2H2O ΔFTo = -117.800 + 26.2 T cal/molO2 (298 – 2500oK)

Energi bebas suatu reaksi juga dapat ditentukan dengan menggunakan prinsip kesetimbangan kimia. Pada reaksi kimia :

A + B → C + D

Kecepatan reaksi pereaktan sama dengan kecepatan pereaksi produk (Vpereaktan = Vproduk). Energi bebas dapat ditentukan dengan Persamaan 2.2.

(2.2) Keterangan :

ΔFo

= Energi bebas cal/mol R = konstanta gas

T = Temperatur K a = aktivitas

Aktivitas pada gas sama dengan tekanan parsial yang dimiliki oleh gas tersebut. Untuk material padat dan cair, sama dengan konsentrasi yang dimiliki. Energi bebas yang dimiliki oleh suatu reaksi dapat diplot kedalam suatu grafik bersama dengan temperatur. Grafik yang memuat energi bebas versus temperatur disebut sebagai Diagram Ellingham seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2. Pada diagram Ellingham, logam yang aktif secara kimia memiliki energi bebas yang paling tinggi (negatif) dalam membentuk oksida terletak pada diagram dibagian paling bawah. Sedangkan untuk logam yang memiliki energi bebas terkecil (positif) dalam membentuk oksida terletak pada diagram dibagian paling atas. Nilai dari ΔFo untuk reaksi oksidasi merupakan ukuran afinitas kimia suatu logam terhadap oksigen. Semakin negatif nilai ΔFo suatu logam menunjukkan logam tersebut semakin stabil dalam bentuk oksida.

Dari diagram Ellingham pada Gambar 2.2, kita dapat mengetahui temperatur minimal yang dibutuhkan agar reaksi tersebut dapat terjadi. Hal tersebut dapat ditunjukkan oleh perpotongan antara kurva oksidasi dan reduksi. Termodinamika hanya dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu reaksi dapat berjalan spontan ataukah tidak pada temperatur tertentu berdasarkan energi bebas yang dimiliki. Namun tidak dapat digunakan untuk menentukan laju

reaksi. Perpotongan antara garis reaksi oksidasi dan reduksi secara termodinamika menunjukkan bahwa reaksi tersebut dapat berjalan pada temperatur tertentu. Selain menggunakan diagram Ellingham, kita juga dapat menentukan termodinamika suatu reaksi melalui perhitungan energi bebas ΔF dari reaksi

12

Hasil perhitungan energi bebas diatas menunjukkan bahwa ketiga reaksi tersebut dapat berjalan spontan. Secara termodinamika menunjukkan ketiga reaksi tersebut feasible untuk dilakukan.

2.2.1.3 Reaksi Boudouard

Proses reduksi langsung menggunakan kesetimbangan antara besi, hematite, magnetit, wustit, karbonmonoksida, karbondioksida, serta karbon padat pada tekanan 1 atm seperti ditunjukkan dalam diagram Bauer Glassner dan Boudouard pada Gambar 2.3. Kesetimbangan tersebut merupakan dasar dilakukannya proses reduksi langsung dengan menggunakan karbon padat.

14

Gambar 2.3. Diagram Bauer Glassner dan Boudouard [8]

Dalam diagram tersebut terdapat kesetimbangan besi oksida dengan campuran gas CO/ CO2, antara lain :

• Garis kesetimbangan Boudouard : CO2 + C = 2CO

• Garis kesetimbangan : 3Fe2O3 + CO = 2Fe3O4+ CO2 • Garis kesetimbangan : Fe3O4 + CO = 3FeO + CO2 • Garis kesetimbangan : FeO + CO = Fe + CO2

Dari garis kesetimbangan Boudouard, pada temperatur 10000C terdapat 100 % gas CO. Apabila temperatur diturunkan maka kesetimbangan tersebut tidak tercapai sehingga terjadi penguraian dari gas CO menjadi CO2 dan C. Sehingga jumlah gas CO (pereduktor) akan berkurang.

Pada daerah disebelah kiri garis kesetimbangan boudouard maka gas CO2 akan lebih stabil sehingga gas CO yang ada akan terurai menjadi CO2. Pada daerah disebelah kanan garis kesetimbangan boudouard gas CO lebih stabil sehingga gas CO2 akan mengalami reaksi boudouard membentuk gas CO.Hal tersebut merupakan contoh dari prinsip Le Chatelier, reaksi boudouard merupakan

reaksi yang endotermik sehingga membutuhkan temperatur tinggi untuk dapat berjalan.

Dari Diagram Bauer Glassner dan Boudouard pada Gambar 2.3 , senyawa yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh perbandingan antara CO/CO2 dan juga temperatur operasi. Misal pada temperatur 7000C dengan perbandingan CO/CO2

adalah 60:40, maka senyawa yang paling stabil adalah wustit. Magnetit akan tereduksi menjadi wustit, sedangkan Fe akan mengalami oksidasi menjadi wustit.

Hal penting yang dapat disimpulkan dari kesetimbangan Boudouard antara garis kesetimbangan wustit/Fe dan garis kesetimbangan boudouard berpotongan pada temperatur 7000C. Hal tersebut menunjukkan bahwa temperatur minimum yang dibutuhkan untuk mereduksi wustit menjadi Fe adalah 7000C. Antara garis kesetimbangan Magnetit/wustit dan garis kesetimbangan boudouard berpotongan pada temperatur 6500C. Hal tersebut menunjukkan bahwa temperatur minimum yang dibutuhkan untuk mereduksi magnetit menjadi wustit adalah 6500C.

Temperatur minimum diatas pada tekanam 1 atm. Sangat tidak mungkin reaksi dapat berjalan dibawah temperatur minimum karena karbonmonoksida terurai menjadi karbondioksida.

2.2.2 Mekanisme Reduksi Langsung

Mekanisme reduksi langsung besi oksida dengan karbon padat terdiri dari : 1. Pembentukan gas reduktor

2. Adsorbsi gas pada besi oksida 3. Proses difusi dalam besi oksida

2.2.2.1 Pembentukan Gas Reduktor

Bila karbon dengan adanya oksigen pada temperatur tertinggi akan terbentuk gas CO menurut reaksi :

C + O2 → CO2

CO2 + C → 2CO

Karbondioksida yang dibentuk dapat bereaksi kembali dengan karbon sehingga terbentuk karbonmonoksida sesuai dengan reaksi boudouard. Karbon

16

mereduksi besi oksida. Pada proses pembakaran karbon terjadi pembentukan lapisan film. Gas CO yang terbentuk konsentrasinya lebih rendah bila dibandingkan dengan konsentrasi gas CO pada fraksi padat. Selain gas CO sebagai reduktor yang terbentuk dari pembakaran tadi, dihasilkan juga abu yang mempengaruhi jumlah molekul gas reduktor tiap satuan volume. Gas-gas yang terjadi dipengaruhi oleh kecepatan molar transformasi karbon padat tiap satuan waktu dan satuan volume.

Proses pembentukan gas CO berjalan dengan seiring waktu, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4 . Semakin lama waktu reaksi maka semakin banyak karbon yang bereaksi dengan karbondioksida membentuk karbonmonoksida yang digunakan sebagai pereduktor.

Gambar 2.4 Gasifikasi Karbon

Keterangan :

Cag = konsentrasi gas reaktan pada fasa gas

Cas = konsentrasi gas reaktan pada permukaan partikel padat

Cac = konsentrasi gas reaktan pada permukaan padatan yang belum tereaksi Crc = konsentrasi gas produk pada permukaan padatan yang belum tereaksi

Crg = konsentrasi gas produk pada fasa gas R = jari-jari partikel padat

rc = jari-jari padatan yang belum tereaksi

Reaksi gasifikasi karbon dengan CO2 merupakan reaksi endotermik, oleh karena itu reaksi ini terjadi pada temperatur tinggi. Pada temperatur 10000C akan dihasilkan 100% CO pada tekanan 1 atm. Laju reaksi secara keseluruhan dikendalikan oleh laju gasifikasi karbon [5]. Laju gasifikasi karbon ditentukan oleh beberapa faktor yaitu reaktivitas karbon, temperatur dan juga ketersediaan panas yang digunakan untuk mempertahankan reaksi hingga mencapai temperatur operasi [8].

Reaktivitas yang dimiliki oleh material yang mengandung karbon (carbonaceous material) sangat bervariasi. Luas permukaan karbon yang memungkinkan terjadinya reaksi antara karbon dengan CO2 merupakan hal yang penting, yang ditentukan oleh ukuran partikel material dan juga porositas yang dimiliki oleh material. Charcoal, arang dan juga kokas memiliki porositas dan reaktivitas yang lebih tinggi daripada material karbon alami seperti kayu, karbon, dan grafit. Charcoal lebih reaktif daripada kokas pada temperatur rendah.Kokas yang dibuat dengan tipe karbon yang berbeda-beda (lignit, bituminous, anthracite) juga akan memberikan reaktivitas yang berbeda-beda.

Pada banyak kasus, laju reaksi serta produktivitas dari proses reduksi langsung ditentukan oleh beberapa faktor yang saling terhubung yaitu :

 Transfer panas (heat transfer)

 Reaktivitas karbon (carbon reactivity)

Reducibility besi oksida (iron oxide reducibility)

Ukuran partikel karbon, jumlah karbon yang tersedia, serta tipe karbon yang digunakan sangat berpengaruh terhadap laju gasifikasi. Ukuran partikel yang kecil dan ketersediaan dalam jumlah banyak akan meningkatkan luas permukaan yang mungkin untuk terjadi reaksi gasifikasi karbon sehingga dapat meningkatkan laju reaksi[10].

18

2.2.2.2 Adsorpsi Gas pada Besi Oksida

Proses bereaksinya molekul-molekul gas reduktor dengan permukaan besi oksida yang disebabkan oleh adanya kekuatan fisika dan kimia disebut sebagai reaksi adsorpsi.

Fisika adsorpsi merupakan pengikatan yang terjadi oleh bergeraknya masing-masing molekul gas. Proses adsopsi gas reduktor ke permukaan besi oksida secara fisika dipengaruhi oleh jumlah molekul gas reduktor yang menumbuk permukaan besi oksida dalam periode waktu tertentu.

Kimia adsopsi merupakan reaksi antara gas reduktor dengan padatan, di mana gas melingkupi dan berinteraksi dengan permukaan padatan. Proses adsopsi gas reduktor besi oksida ke permukaan besi oksida bergantung pada kemampuan dan kecenderungan antara gas dengan besi oksida dalam bertukar ion elektron atau memberi orbitnya.

Gambar 2.5 Skema arah pergerakan gas CO dan reduksi [5]

Dalam wustit (Fe1-yO), di mana y adalah bagian dari tempat kosong ion besi terhadap kisi-kisi besi atau mole fraksi dari tempat kosong ion besi. Dengan adanya gas CO akan terjadi pengurangan oksigen yang bersamaan terbentuknya ion bervalensi 2 dalam posisi kisi normal. Produk akhir dari reaksi ini adalah Fe yang berada pada daerah luar sampel. Pada permukaan besi oksida akan terjadi bentuk ikatan baru, dari wustit berupa ikatan kovalen menjadi besi metalik. Sedangkan di sisi lain, terjadi desorpsi di mana ion oksigen dari kisi oksida akan keluar dalam bentuk gas CO2. Pengurangan oksigen dalam besi oksida dapat ditunjukkan dengan adanya beda konsentrasi gas CO2 antara fasa gas dengan fasa kesetimbangan pada permukaan besi oksida.

2.2.2.3 Proses Difusi Dalam Besi Oksida

Difusi didefinisikan sebagai pergerakan atom didalam suatu material dengan fasa padat, cair ataupun gas. Fokus pada pembahasan disini adalah pada material denga fasa padat, yaitu besi oksida pada temperatur tinggi.

Pada temperatur tinggi tempat atom kosong akan bergerak semakin cepat dengan meningkatnya temperatur. Diperlukan energi untuk menggerakkan sebuah tempat atom kosong dari suatu keadaan setimbang ke keadaan setimbang yang lain. Selain itu juga diperlukan juga energi untuk membentuk tempat atom kosong. Sehingga difusi tidak hanya tergantung pada pergerakan tempat kosong termasuk pada pergerakan atom tetapi juga pada fraksi kedudukan tempat yang atomnya kosong. Konsekuensi dengan bertambahnya tempat atom kosong yaitu meningkatkan kecepatan difusi atau meningkatnya difusifitas dengan meningkatnya temperatur.

Reduciability dari besi oksida sangat dipengaruhi oleh porositas yang

dimiliki oleh besi oksida tersebut. Semakin tinggi porositas maka akan mempermudah difusi gas pereduktor CO pada besi oksida sehingga akan

meningkatkan laju reduksi. Pellet hasil aglomerisasi memiliki porositas yang jauh lebih tinggi daripada pellet yang disinter, sehingga reduciability pellet hasil aglomerisasi jauh lebih tinggi daripada pellet hasil sinter.

Ukuran partikel pereaksi seperti karbon juga sangat berpengaruh. Semakin kecil partikel karbon maka semakin luas permukaan yang memungkinkan terjadi reaksi, sehingga laju pembentukan CO semakin tinggi. Mekanisme reaksi reduksi langsung pada pellet berpori sangat tergantung dari difusi CO untuk menyentuh permukaan besi oksida dan bereaksi. Semakin banyak pori-pori, semakin mudah CO berdifusi kedalam pellet sehingga laju reaksi reduksi akan berjalan semakin cepat. Semakin sedikit pori-pori, semakin sulit CO untuk bereduksi sehingga laju reaksi reduksi akan berjalan semakin lambat. Mekanisme reduksi langsung seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5 .

20

Gambar 2.5 Mekanisme reduksi langsung pada pellet berporos [8]

Pada material yang bebas poros maka reaksi reduksi menggunakan mekanisme solid state difffusion of ferrous ion.

2.3 Efek Ukuran Partikel

Ukuran partikel merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses reduksi selain batubara, temperatur reduksi, jenis dan kadar reduktor, dan waktu reduksi. Menurut Standish et al, ukuran partikel juga sangat penting walaupun tidak selalu konsisten dalam faktor pemanasan material granular[9]..

Penelitian efek ukuran partikel pada material granular dengan pemanasan microwave yang dilakukan oleh Standish et al[9] dalam penelitian tersebut menunjukan adanya perbedaan pengaruh ukuran partikel antara partikel Fe3O4 dan Al2O3. Dalam proses pemanasan microwave butir alumina dan mangnetit, terlihat bahwa proses pemanasan Al2O3 halus lebih cepat dari pada yang kasar sedangkan Fe3O4 sebaliknya.

Penelitian lain yang dilakukan Bhyung-Su Kim et al [10], menyatahan bahwa derajat oksidatif roasting meningkat pada peningkatan temperatur reaksi dan kecepatan roasting meningkat pada penurunan ukuran partikel. Partikel molybdenite berukuran 53μm hanya membutuhkan 40 menit pada 1058o

C oksida roasting untuk mengkonversi menjadi molybdenum triokside.

mineral sulfat. Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa adanya pengaruh ukuran partikel pada suhu pengapian sulfida, dinilai dengan metode TG. Ukuran partikel yang lebih kecil maka temperatur pengapian semakin rendah. Semakin rendah suhu pengapian maka proses oksidasi roasting semakin cepat.

Dari penelitian standish, dapat disimpulkan bahwa semakin besar ukuran partikel maka kecepatan reduksi Fe semakin cepat. Kecepatan reduksi dapat mempengaruhi efektifitas reduksi sehingga akan ada peningkatan kadar Fe pada partikel yang besar.

2.4. Energy Dispersive X-Ray Alnalysis (EDAX)

Energy Dispersive X-Ray Analysis (EDAX) adalah sebuah teknik analisis

yang digunakan untuk karakterisasi kimia elemental dari sebuah sample padatan. EDAX merupakan salah satu varian dari X-Ray Fluorosense (XRF). Dinamakan spektroskopi karena investigasi sampel dilakukan berdasarkan interaksi radiasi elektromagnetik, membuat sinar x-ray teremitasi dan menumbuk partikel. Proses karakterisasi didasari oleh prinsip bahwa semua elemen memiliki struktur atom yang unik dan tersendiri.

Simulasi emisi dari karakterisasi x-ray dilakukan dengan ledakan berkekuatan tinggi (high energy beam) berisi muatan – muatan elektron dan proton Ledakan ini akan menyebabkan electron pada lingkar dalam tereksitasi, menuju lingkar yang lebih luar dan menciptakan lubang electron (electron hole) [13], Gambar 3.2. Perbedaan energi dari hasil emisi elektron tersebut kemudian diukur oleh energy dispersive spectrometer. Karena energi tiap elemen berbeda, maka pengujian dapat menghasilkan komposisi elemental dari sampel uji.

22

Hasil EDAX memiliki beberapa keterbatasan, salah satunya adalah detektor EDAX tidak mampu mendeteksi keberadaan elemen dengan nomor atom kurang dari 5, artinya EDAX tidak dapat mendeteksi H, HE, LI, ataupun Be. Selain itu, EDAX tidak mampu mendeteksi elemen dengan titik puncak yang terlampau besar energinya (overlapping peaks) misalnya Ti Kβ and V Kα, Mn Kβ and Fe Kα. Gambar 3.3 menunjukkan salah satu contoh hasil pengujian EDAX.

Gambar 2.7 Contoh Hasil Pengujian Energy Dispersive X-Ray Analysis (EDAX) [9]

2.5 X-Ray Diffraction (XRD)

XRD merupakan alat difraktometer yang menggunakan prinsip difraksi. XRD adalah suatu metode analisa nondestruktif yang didasarkan pada pengukuran radiasi sinar-X yang terdifraksi oleh bidang kristal ketika terjadi interaksi antara suatu materi dengan radiasi elektromagnetik sinar X. Suatu kristal memiliki kisi kristal tertentu dengan jarak antar bidang kristal (d) spesifik juga sehingga bidang kristal tersebut akan memantulkan radiasi sinar X dengan sudut-sudut tertentu.

Alat ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel.

Dengan alat ini kita melihat senyawa yang terbentuk. Dengan kata lain, kita dapat melihat transformasi fasa yang terjadi pada suatu sampel akibat suatu

proses atau treatment yang dilakukan. Tetapi dengan pemakaian alat XRD ini, kita tidak bisa mendapatkan kadar atau persentase dari unsur yang terdapat pada sampel mineral.

Bijih Saprolit Crushing Sizing/Sievieng Pencampuran (Mixing) Batubara Drying Kompaksi Drying

Dokumen terkait