• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari semua pemaparan yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya. Kesimpulan yang diperoleh merupakan jawaban atas rumusan masalah yang telah dikemukakan pada bab pertama.

BAB II

KEADAAN UMUM CIREBON

A.Keadaan Umum Cirebon Pasca Proklamasi Kemerdekaan 1. Keadaan Umum Kota Cirebon

Kota Cirebon adalah salah satu kota yang berada di Provinsi Jawa Barat, Indonesia.29 Kota ini berada di pesisir utara Pulau Jawa atau yang dikenal dengan jalur pantura yang menghubungkan Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya. Pada awalnya Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang kemudian diberi nama Caruban (carub dalam bahasa Cirebon artinya bersatu padu).30 Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa diantaranya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya bangsa Arab), agama, bahasa, dan adat istiadat. Kemudian pelafalan kata caruban berubah lagi menjadi carbon dan kemudian cerbon.31

Selain karena faktor penamaan tempat penyebutan kata cirebon juga dikarenakan sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi atau yang dalam bahasa Cirebon disebut

29

Lihat lampiran 1, hlm. 101.

30

Arya Carbon, Purwaka Caruban Nagari: Asal mula berdirinya negara Cerbon, (Cirebon: Penyalur Tunggal Pustaka Nasional Sudiam, 1978), hlm. 3.

31

(belendrang) yang terbuat dari sisa pengolahan udang rebon inilah berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian menjadi Cirebon.32

Kota Cirebon secara geografis terletak di tepian pantai utara Jawa, yang dilengkapi dengan sungai-sungai yang sangat penting peranannya sebagai jalur transportasi pedalaman yang letaknya di sekitar pelabuhan Cirebon yaitu, sungai Cimanuk, Pekik, Kesunean, dan Cilosari. Kondisi alam yang demikian sebenarnya berpotensi untuk menjadi pusat berkembangnya peradaban, karena dengan keadaanya yang strategis. Cirebon yang dahulunya dikenal dengan nama Caruban Nagari, menampilkan diri sebagai pelabuhan yang mulai dikenal orang, ketika pengaruh Islam secara perlahan memasuki daerah-daerah pantai utara Jawa.33

Kota-kota pesisir yang mengalami perkembangan pesat pada zamannya adalah Cirebon.34 Kota Cirebon pernah menjadi pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarbangsa. Lokasimya terletak di antara bibir pantai di antara Jawa Tengah dan Jawa Barat membuatnya berperan penting sebagai jembatan antar kebudayaan Jawa Tengah dan Sunda sehingga tercipta

32

Hariwijaya, M, Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2007), hlm. 21.

33

Lihat lampiran 2, hlm. 102.

34

Cirebon mengalami perkembangan yang pesat (sebagai contoh) karena manusia dalam melakukan perjalanan manusia memiliki kecenderungan untuk mengikuti alur lalulintas (laut) yang sudah lazim digunakan oleh orang lain. Cabang yang memiliki kesempatan untuk berkembangmenjadi pusat konsentrasi adalah yang jumlah pelalu lintasnya cukup besar (termasuk barang) dan tempat ini digunakan untuk tempat transit. Pelalu lintas merasa perlu untuk beristirahat, menginap, atau tinggal beberapa hari di tempat tersebut. Itulah sebabnya mengapa sebagian kota-kota besar di Indonesia berada di dekat Pantai. Lihat, Robinson Tarigan, Perencanaan Pembangunan Wilayah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 12.

kebudayaan yang khas. Disamping itu Cirebon sarat dengan peninggalan- peninggalan purbakala, kesenian, maupun warisan non fisik yang merupakan bukti masuknya aneka ragam kebudayaan dari berbagai penjuru dunia: Arab, India, Cina, Eropa, sehingga wajar Cirebon mendapat sebutan sebagai bagian Bandar Jalur Sutra.35

Pemerintahan Kota Cirebon dibentuk 1 April 1906. Daerah-daerah yang didiami penduduknya antara lain, Lemawungkuk, Panjunan, Pekiringan, Kali Sukalila, Kali Sipadu, dan Kali Kesunean. Dengan luas 225 hektar dan banyak tanah yang masih kosong dan di penuhi alang-alang. Sistem Pemerintahan pada jajahan Belanda mempunyai corak otokratis 36 suatu pemerintahan yang sentralistis yang resminya dilaksanakan sejak 1854. Menurut garis-garis yang berada dalam Regirings Reglement 1854.37 Cirebon berdasarkan undang-undang lama, setiap distrik dan desa memiliki bagian tanahnya sendiri. Berdeda dengan

35 Kata “Sutra” diambil sebagai metafora dari kelembutan dan kehalusan

jalinan-jalinan hubungan antara manusia dan antar budaya yang membawa serta melalui rute-rute perdagangan yang bersejarah. Sutra memang merupakan salah satu komuditi terpenting selain rempah-rempah dari Timur yang memaju pedagang Eropa untu mencarinya. Lihat, A.B. Lapian dan Edi Sedyawati, Kajian Cirebon dan Kajian Jalur Sutra dalam “ Cirebon Sebagai Bandar jalur Sutra” (Jakarta: Departemen P&K, 1995), hlm. 1.

36

Otakratis adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan kekuatan jabatan dan kekuasaan pribadi secara otoriter, melakukan sendiri semua perencanaan tujuan dan pembuatan keputusan serta memotifasi bawahan dengan cara paksaan, sanjungan, kesalahan dan penghargaan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Lihat, Nurdin M. Noer, dkk, Sekilas Sejarah Pemerintahan Kota Cirebon, (Cirebon: Badan Perpustakaan dan Kearsipan Dearah Kota Cirebon, 2011), hlm. 2.

37

Nurdin M. Noer, dkk, Sekilas Sejarah Pemerintahan Kota Cirebon, (Cirebon: Badan Perpustakaan dan Kearsipan Dearah Kota Cirebon, 2011), hlm. 19.

Kabupaten tanah menjadi milik desa/perorangan. Provinsi sendiri desa dan tanah menjadi milik penguasa/ keluarga dan kepercayaan Sultan, kecuali sebagian kecil diperuntukan bagi masyarakat.

Pada 8 maret 1942, Gubernur Jendral Belanda Tjarda Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Militer Ter Poorten atas nama pemerintah Belanda menandatangani Kapitulasi di Kalijati Subang Jawa Barat yang menyatakan kekalahan tanpa syarat kepada Jepang. Pihak Jepang sendiri semula menduga akan memerlukan waktu dua sampai tiga bulan untuk menaklukkan Belanda, mengingat wilayah itu di pertahankan oleh KNIL ditambah kesatuan-kesatuan sekutu lainya. Berbagai aturan dikeluarkan, diantaranya Osamu Seirei no 27 tahun 1942 yang mengatur susunan pemerintahan daerah dan Osamu Seirei no 28 tahun 1942 yang menetapkan peraturan pemerintah Karisidenan atau Shyu.38

Pemerintahan di luar daerah Cirebon terjadi perebutan kekuasaan dari tangan Jepang yang berlangsung dengan tentram, hanya disana-sini banyak pembunuhan terhadap Komandan kesatuan Jepang dari daerah Cirebon yang bermarkas di Kedungbunder beserta beberapa orang perwiranya yang sedang mengendarai mobil di desa Weru jurusan Cirebon- Palimanan. Penghadangan dan pembunuhan tersebut dilakukan oleh rakyat dengan bambu runcing, golok, dan batu. Dengan cara tersebut maka rakyat dapat memperoleh senjata Jepang.39

38

Ibid., hlm. 20.

39

2. Keadaan Sosial Masyarakat Cirebon

Keadaan sosial masyarakat Cirebon setelah proklamasi kemerdekaan RI tidak jauh berbeda dengan keadaan sosial pada saat masih dijajah oleh Jepang. Hal ini dapat terlihat dari jenis pakaian yang dikenakan dan tingkat status sosial di masyarakat. Pada umumnya jenis pakaian yang dikenakan adalah pakaian yang terbuat dari kain lena. Mutu kainnya masih rendah. Untuk para pekerja kasar yang tergolong masyarakat ekonomi rendah mereka terpaksa memakai celana karung dan sarung karena tidak bisa membeli pakaian kain.40

Suasana menjelang proklamasi disambut dengan gembira oleh masyarakat Cirebon. Dr . Soedarsono, sendiri adalah tokoh gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir di Cirebon. Proklamasi yang dibacakan dr. Soedarsono pada 15 Agustus 1945, pristiwa ini disaksikan oleh 50 orang. Soedarsono melakukan hal itu setelah menerima berita dari Sjahril, bahwa Radio BBC (London) memberitakan Jepang telah menyarah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945.41 Proklamasi yang dilaksanakan di Cirebon tidak diakui secara luas oleh masyarakat, hanya sebagian masyarakat yang mengakui, kurang lebihnya sekitar 50 orang. Kekalahan Jepang dari Sekutu menjadi motivasi kuat untuk dilaksanakannya proklamasi sesegera mungkin.

Angkatan muda yang menjadi penggerak dilaksanakannya proklamasi tersebut, dikarenakan angkatan muda tersebut telah menyusun kekuatan sejak

40

Sulendraningrat. P.S, Sejarah Cerbon, (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), hlm. 32.

41

M. Halwi Dahlan, dkk, Cirebon Dalam Kajian Sejarah dan Budaya, (Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2005), hlm. 192.

setahun sebelumnya ditandai dengan dilaksanakannya rapat umum di Gedung Rex di kawasan Cangkol.

Dalam rapat tersebut hadir sebagai pembicara Dr. Mohamad Toha yang menyerukan merdeka sekarang juga. Dalam perjuangan sebelum proklamasi angkatan muda terus menerus menjalin hubungan dangan Jakarta, diantaranya Soedarsono dan Suroto yang menjadi penghubung informasi. Menjelang pecahnya proklamasi atau setelah adanya berita positif kekalahan Jepang, maka secara spontan pemuda dan rakyat Cirebon melakukan penyerbuan ke kantor-kantor pemerintahan Jepang untuk merebut dan menyerahkan kekuasaan Jepang kepada RI dengan aparat pemerintah Jepang saat itu menandatangani penyerahan tidak bersyarat kepada RI. Berita proklamasi di Jakarta pada 17 Agustus 1945 baru di terima oleh masyarakat Cirebon pada 18 Agustus malam hari. Setelah diterimanya informasi tersebut diadakan rapat umum di Alun-alun Kejaksan dan diteruskan dengan pawai keliling kota dan malam harinya langsung dibentuk Karisidenan Cirebon yang bertempat di Perguruan Tinggi Taman Siswa yang dimulai pukul 20.00 dan baru berakhir pukul 05.00.42

3. Keadaan Ekonomi Cirebon

Pada umumnya bahwa ekonomi pedesaan di Indonesia, khususnya di Jawa, didasarkan atas usaha pertanian. Termasuk rakyat Cirebon sendiri yang bermata pencaharian sebagai petani, selain bertani mata pencaharian dari sektor lain, yaitu sebagai pengrajin dan nelayan. namun dari segi kepemilikan tanah,

42

jumlah rumah tangga tanpa tanah sawah milik desa-desa cukup besar. Keadaan desa-desa di Cirebon sangat memprihatinkan, pemerintahan Sultan-sultan yang buruk dengan memberikan penyewaan atas tanah-tanah kepada Belanda dan Saudagar Cina menikmati kedudukan yang menentukan di pedesaan merebut kegiatan monopoli masyarakat Cirebon.

Petani banyak yang kehilangan lahan sawah sekaligus garapan untuk menopang kehidupannya. Sementara di sisi lain lapangan kerja non pertanian belum banyak digarap dan diberdayakan oleh dua pemerintahan ini. Akhirnya yang muncul adalah pemberontakan-pemberontakan yang terus berlangsung. Perlawanan yang lazim dilakukan para petani menghadapi kenyataan ini adalah dengan meninggalkan desa mereka untuk sementara dan tidak akan pulang kembali sebelum musim tanam padi tiba. Imigrasi sementara merupakan cara untuk menghindari cacah jiwa setempat. Selain itu, petani dengan diam-diam membuat semua peraturan pemerintah tidak berjalan.43

Struktur sosial penduduk Cirebon tersusun secara Herarki Vertikal,44 pelapisan sosial berdasarkan kedudukan atau peran seseorang atau sekelompok orang di dalam masyarakat. Bila dilihat dari segi ini, penduduk Cirebon dapat

43 Zaenal Musduqi,”

Cirebon: Dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial, (Cirebon: Nurjati Press, 2011), hlm. 100.

44

Herarki Vertikal adalah suatu garis kekuasaan yang menunjukan tingkatan dari paling atas ke paling bawah. Lihat, M. Halwi Dahlan, dkk, Cirebon Dalam Kajian Sejarah dan Budaya, (Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2005), hlm. 154.

dikelompokan ke dalam tiga lapisan sosial, yaitu: golongan atas, golongan menengah dan golongan bawah.45

Golongan pertama, yaitu kaum bangsawan tingkat atas, elit birokrasi (tradisional) juga sekaligus merupakan elit agama. Golongan ini terdiri atas sultan atau raja beserta keluarganya dan para pejabat tinggi kerajaan. Kedudukan sultan atau raja menempati posisi tertinggi dalam status sosialnya, karena penguasa tertinggi daripada lapisan masyarakat lainya. Raja secara langsung atau tidak langsung menentukan nasib kehidupan ekonomi dan perdagangan melalui segala peraturan yang dikeluarkannya.

Golongan kedua, yaitu kaum golongan menengah seperti birokrat pemerintah, kalangan pengusaha/ pedagang biasanya dari mereka kebanyakan (Cina) yang telah mengalami keberhasilan dalam usahanya, dan petani yang memiliki lahan/tanahnya sendiri, sehingga secara ekonomi mereka menempati posisi menengah. Golongan ketiga, yaitu kaum golongan bawah yang mana di tempatkan pada penduduk/masyarakat kelas kecil dalam artian mereka yang bekerja pada seseorang untuk menghidupi kehidupannya sehari-hari, yaitu seperti halnya, buruh tani dan nelayan.46

Sementara di sisi lain lapangan pekerjaan non pertanian belum banyak yang dapat di lakukan di karenakan adanya campur tangan Belanda. Akibatnya muncul perlawanan dari para Petani dan rakyat untuk melawan Belanda,

45

Adeng, dkk, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1998), hlm. 40.

46

perlawanan yang dilakukan oleh para petani dengan meninggalkan desa mereka untuk sementara dan tidak akan pulang kembali sebelum musim tanam padi tiba. Imigrasi sementara yang dilakukan petani dan rakyat ini untuk menghindari sakit hati dari para petani, petani dengan diam-diam membuat semua peraturan pemerintah tidak bisa berjalan.47

B. Keadaan Umum Cirebon Pasca Perang Kemerdekaan II 1. Keadaan Pemerintahan Cirebon

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Otonomi yang tadinya hilang, di gunakan kembali dan Komite-Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah dengan badan-badan eksekutifnya dijelmakan.48 Undang-undang Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah merupakan Undang- undang pertama dalam suasana kemerdekaan mengenai pemerintahan daerah. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi lebih kecil lagi dengan daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah (BPD) oleh karena itu di daerah pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.49

47

Ibid., hlm. 49 .

48

Udin Koswara, Sejarah pemerintahan Karesidenan Cirebon, (Cirebon: Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kota Cirebon, 2000), hlm. 27.

49

Adapun tugas dari KNID adalah:

a) Menyatakan kehendak rakyat Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

b) Mempersatukan barbagai lapisan masyarakat Indonesia sehingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.

c) Membantu keselamatan dan ketentraman rakyat.

d) Membantu pimpinan dalam meyelenggarakan cita-cita bangsa Indonesia dan kesejahteraan umum.50

Dalam hal ini KND menjadi badan legeslatif dengan dipimpin oleh Kepala Daerah. Sebagai kelanjutan dari undang-undang ini ditetapkan pembagian daerah dalam pemerintahan daerah tingkat lebih rendah yaitu: Karesidenan, Kota dan Kabupaten. Provinsi Jawa Barat terbagi dalam lima Karesidenan, yaitu Karesidenan Banten, Karesidenan Jakarta, Karesidenan Priangan, dan Karesidenan Cirebon. Kota dan Kabupaten yang termasuk dalam Karesidenan Cirebon adalah Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan kota Cirebon.51

Pada awal bulan Juli 1947 disusunlah Pemerintahan RI dari pusat sampai desa-desa. Pusat Pemerintahan karisidenan Cirebon, berada di Ciwaru, Kabupaten Kuningan, sedangkan Pemerintahan Kabupaten Cirebon sampai ke desa-desa selalu berpindah-pindah tempat yang dianggap aman dari sasaran Militer Belanda.

50

M. Halwi Dahlan,Op.cit.,196.

51

Ekadjati, Dr. Edi S, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Jawa Barat, (Jakarta: Depdikbud, 1981), hlm. 85.

Dengan disusunannya roda Pemerintahan Cirebon sampai ke desa-desa yang para pejabatnya diambil dari daerah sekitar.

Roda pemerintahan dijalankan secara sembunyi-sembunyi, meskipun sembunyi-sembunyi pemerintahan kota Cirebon dapat berjalan dengan baik, uang pajak bumi bisa dipungut dan diatur oleh pemerintahan, jika pemerintah belanda menanyakan, Kepala Desa menjawab bahwa mereka tidak berani memungut pajak, takut menjadi korban tindakan kaum gerilya. Sawah Titisara52 Desa bisa dilelangkan sebagai biasa dan uangnya digunakan oleh Desa, jika ditanyakan Pemerintahan Belanda, mereka tidak berani melelangkan. Uang pajak dan hasil Titisara pada umumnya digunakan untuk perbekalan para pejuang.

2. Masuknya Tentara Belanda ke Kota Cirebon

Pemerintah Belanda berniat untuk menjajah kembali Indonesia pada 1943 saat perang di Pasifik Jepang dan Jerman sudah mulai terdesak oleh pasukan Sekutu. Pemerintah Belanda yang sudah kembali ke negerinya mengadakan wajib militer dan memanggil sukarelawan guna membentuk pasukan untuk keperluan pertahanan Eropa, pertahanan Jerman, dan mengirim pasukan ke Australia untuk ikut melawan Jepang. Tentara tersebut dilatih di Inggris. Amerika Serikat pun ikut membantu dengan perlengkapannya.

Keengganan pemerintah Partai Buruh Australia untuk melatih tentara Belanda dalam jumlah banyak, ditambah dengan menyerahnya Jepang pada

52

Titisara adalah Tanah desa yang hasilnya untuk membiayai keperluan desa, atau disebut dengan istilah tanah Bengkok.

tanggal 15 Agustus 1945 kemudian disusul dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, mengacaukan rencana Belanda untuk kembali ke Indonesia dengan tentaranya sendiri sebagai pihak yang menang. Tentara yang tersedia baru 2 batalyon KNIL pada awal Oktober 1945. Batalyon pertama dibentuk di Australia dari sekitar 1000 anggota eks-KNIL yang dulu menyingkir ke Australia bersama dengan pembesar-pembesar Belanda setelah pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang.

Batalyon ini ikut tentara Australia menggempur Jepang di Balikpapan dan Tarakan. Kemudian mereka datang ke Jakarta sebagai kesatuan Sekutu. Batalyon lainnya terdiri dari kesatuan yang dulu dikirim ke Australia dari Inggris, sukarelawan Suriname dan bekas KNIL. Kemudian di tahun-tahun berikutnya kekuatan tentara Belanda berangsur-angsur bertambah setelah kesatuan-kesatuan wajib militer dan sukarelawan di bawah komando Jenderal Spoor datang ke Indonesia.53

Pemerintah Belanda berniat untuk berkuasa kembali mendekati kenyataan setelah tentaranya mengambil alih kota-kota dan daerah yang dikuasai tentara Sekutu. Selanjutnya proses perundingan dan pertempuran berlangsung antara Belanda dan Indonesia untuk menentukan nasib bangsa Indonesia. Sepanjang waktu tersebut tidak ada satu hari pun berlalu tanpa adanya tembak-menembak antara kedua belah pihak atau korban yang mati meskipun dalam periode gencatan senjata.

53

Nugroho Notosusanto, Ichtisar Sedjarah Republik Indonesia (1945- sekarang) (Djakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sedjarah ABRI,1971), hlm. 123.

Cara menyelesaikan pertikaian melalui perundingan pemerintah Belanda dan Indonesia mendasarkannya pada dua pola pemikiran yang bertolak belakang. Apabila kesepakatan perundingan tidak tercapai sesuai dengan ajaran politik, maka pihak yang merasa kuat cenderung memaksakan kehendaknya terhadap yang lemah. Belanda merasa mempunyai tentara yang kuat, selain itu keadaan keuangan yang saat itu hampir kosong sehingga Belanda merasa perlu menduduki daerah Indonesia yang kaya akan perkebunan di Jawa dan ladang minyak di Sumatera untuk memperoleh devisa.54

Perang Kemerdekaan Indonesia I Belanda dimulai pada Minggu 20 Juli 1947 dengan menangkap pembesar-pembesar RI di Jakarta dan pengambilalihan kantor-kantor serta gedung-gedung penting RI oleh pasukan-pasukan Belanda. Sebelum tanggal 21 Juli 1947 kegiatan tentara Belanda disemua sektor pertempuran meningkat dengan tajam. Pada hari Minggu semua unsur pasukan Belanda sudah siap di pintu-pintu keluar di seluruh garis demarkasi, dan paginya tanggal 21 Juli 1947 semua pasukan Belanda melintasi garis demarkasi menyerbu masuk ke daerah-daerah RI.

Serangan tentara Belanda ke Desa Mandala Kabupaten Cirebon, untuk pertama kalinya dilakukan pada 29 Juli 1947, dengan korban dan pasukan Seksi Karnadi, dua orang sersan muda gugur, yaitu Sersan Haroen dan Sersan Rasioen. Kedua jenazah pahlawan bangsa yang gugur dalam usia yang masih muda belia tersebut dimakamkan di Blok Bubulak Malem, tempat mereka gugur. Dengan rasa

54

duka yang amat mendalam, upaya pemakaman sederhana tetapi penuh khikmat tanpa dihadiri oleh anggota keluarganya.55

Pasukan Belanda menyerbu dengan peralatan yang lebih modern. Setelah pesawat tempur menghujani kubu-kubu pasukan-pasukan RI dengan tembakan- tembakan, Batalyon pelopor lalu menyerbu ke depan. Seluruh gerakan tersebut dilindungi oleh pesawat-pesawat udara. Penerobosan Brigade V pimpinan Kolonel Meijer di Bandung Timur diawali dengan tembakan yang gencar terhadap garis pertahanan Divisi II Gunungjati. Tanpa banyak korban mereka mencapai Tanjungsari pada hari itu juga, dan hari berikutnya Sumedang jatuh ke tangan mereka.56

Tentara Indonesia yang telah terusir dari kota-kota, menyusun tenaga dan kekuatan kembali kepedalaman desa-desa, kampung-kampung, dibukit-bukit, dan di pegunungan. Kesatuan tentara dibawah para opsir dapat diatur kembali, lengkap dengan persenjataannya, kelompok-kelompok tentara yang sudah tersusun kembali itu dengan dibantu oleh rakyat mengedakan serangan secara terus menerus terhadap kedudukan Belanda di kota-kota. pembakaran tempat- tempat kediaman tentara Belanda berjalan secara teratur. Pada malam hari tentara dan rakyat melakukan penyerangan dan pembakaran, dan pagi harinya mereka kembali ke induk pasukannya . 57

55 Ike Pustakaningrat,Cirebon di Masa Revolusi: Dari Linggarjati Hingga Masa Pengakuan Kedaulatan, Skripsi, (Fakultas Sastra, Jakarta: UI, 1987), hlm. 68.

56

Nugroho Notosusanto,op.cit., hlm. 124.

57

Strategi lainnya yang digunakan pemerintahan Belanda adalah dengan jalan kekerasan yaitu agresi militer. Dengan dalih menjaga keamanan dari kaum pengacau atau adanya tuduhan pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati bersama, pasukan Belanda melakukan serangan terhadap wilayah yang masih di kuasai oleh pemerintah RI. Akan tetapi, berbagai upaya dan taktik Belanda tersebut mengalami kegagalan, karena rakyat RI tetap bersatu padu mempertahankan keutuhan negara kesatuan RI.

Brigade V Belanda yang bergerak dari Bandung dalam dua hari telah mencapai Sumedang, kemudian pada hari ketiga telah sampai Cirebon. Perlawanan kesatuan-kesatuan RI, ranjau-ranjau darat, rintangan jalan, dan taktik bumi hangus tidak banyak menghambat gerak maju pasukan Belanda. Setiap jembatan yang hancur dengan segera dapat mereka ganti dengan jembatan darurat. Ada juga jembatan-jembatan penting yang tidak sempat dibumihanguskan karena kedatangan pasukan Belanda secara mendadak.58

Masyarakat di daerah pendudukan baik yang berada di perkotaan maupun pedesaan khususnya laki-laki yang sudah cukup dewasa setiap saat merasa gelisah karena sering melihat orang yang ditangkap, disiksa, bahkan dibunuh oleh tentara Belanda. Situasi mencekam ini biasanya terjadi setelah Belanda merasa terganggu oleh adanya gerilya dari para pejuang.

Dalam operasi penggeledahan ke daerah-daerah perdesaan, setiap laki-laki yang dijumpai pasti ditangkap untuk dikumpulkan di suatu tempat guna pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan dengan cara melihat telapak tangan dan

58

kaki. Jika tangan dan kakinya halus, tidak kasar ataupun pecah-pecah maka diidentifikasi sebagai TNI atau pejuang. Tetapi jika tangan dan kakinya kasar maka diidentifikasi sebagai petani. Orang-orang yang teridentifikasi sebagai

Dokumen terkait