• Tidak ada hasil yang ditemukan

A.Kesimpulan

Dendang di desa Gunung Ayu kota Manna Bengkulu Selatan memiliki nilai-nilai yang disepakati oleh adat, tata nilai adat digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat atas alasan menjaga lingkungan bersama yang harmonis. Proses yang membudaya dalam pantun Dendang, ada karena telah melalui proses kehidupan yang panjang di masyarakatnya. Keseluruhan hasil analisis terhadap tafsir nilai-nilai melalui pantun Dendang suku Serawai kota Manna Bengkulu Selatan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, dalam upacara perkawinan suku Serawai di desa Gunung Ayu kota Manna Bengkulu Selatan, mempunyai tahap-tahap sebelum upacara perkawinan dilaksanakan. Adapun tahapan-tahapan dalam upacara perkawinan suku Serawai adalah sebagai berikut; (1) peminangan, (2) memedu rasan, (3) uang antaran, (4) duduak betunangan, dan dilanjutkan pada acara perkawinan suku Serawai sebagai berikut; (1) akad nikah, (2) memecah nasi, (3) malam inai curi, (4) mengangkat bimbang, (5) acara becampur/duduak besanding.

Kedua, kata “pantun” berakar pada suku kata “tun”. Suku kata ini bisa digunakan untuk kata “tuntun”, sehingga “pantun” dapat berarti “yang memberi tuntunan” sehingga hidup menjadi “santun”. Orang yang beradab, yang sopan santun tentu mematuhi normatif masyarakatnya. Ada juga kata “santun” yang berarti dibimbing. Jadi pantun berarti nilai itu sendiri, terutama nilai

ideal-Perbrian Tarmizi, 2012

Tafsir Nilai-Nilai Melalui Pantun Dendang Suku Serawai Di Kota Manna Bengkulu Selatan

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 126

rasional, sehingga mengandung pandangan hidup masyarakat suku Serawai kota Manna Bengkulu Selatan. Jenis pantun pada masyarakat suku Serawai berdasarkan isinya dapat dikelompokkan sebagai berikut; (1) pantun nasihat, (2) pantun muda-mudi / berkasih-kasih, (3) pantun beriba hati dan (4) pantun jenaka.

Ketiga, bentuk pantun yang ada di suku Serawai terdiri dari empat baris, yang tiap baris berisi delapan atau sembilan suku kata. Dua baris pertama adalah, yaitu baris pertama dan baris kedua, berisi gambaran alam. Sedangkan baris ketiga dan keempat gambaran manusia. Sumardjo (2010:322) menyatakan alam adalah makrokosmos dan sedangkan manusia adalah mikrokosmos. Pada pandangan perimodial Indonesia, mikrokosmos adalah makrokosmos, makrokosmos adalah mikrokosmos. Gambaran alam adalah manusia, gambaran manusia adalah gambaran alam ini. Jadi, dua baris pertama adalah menggambarkan peristiwa alam, sedangkan dua baris kedua adalah menggambarkan peristiwa manusia. Peristiwa alam dan peristiwa manusia saling melengkapi karena merupakan pasangan. Berikut ini adalah contoh analisis pantunnya:

Lalamau nidau kesawa Batang padi dililit kangkung Lalamau nidau bejumpa Patah ati pengarang jantung Artinya:

Sudah lama tidak ke sawah Batang padi dililit kangkung Sudah lama tidak berjumpa Patah hati berulam jantung

Perhatikan pada baris pertama dan kedua, keduanya merupakan gambaran alam yang disebut dengan dunia makrokosmos. Baris ketiga dan

Perbrian Tarmizi, 2012

Tafsir Nilai-Nilai Melalui Pantun Dendang Suku Serawai Di Kota Manna Bengkulu Selatan

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 127

keempat merupakan gambaran kehidupan manusia. Makrokosmos atau alam itu adalah gambaran mikrokosmos juga, sehingga muncullah pepatah: alam terkembang menjadi guru. Alam adalah guru manusia karena alam itu sendiri juga hidup seperti manusia. Begitu alam begitu manusia. Pertanyaan “sudah lama tidak

ke sawah” langsung dijawab dengan “batang padi dililit kangkung”. Di sini

“sampiran” justru memegang kunci arti pantun, jadi bukan sekedar “sampiran”

untuk membangun efek bunyi pada baris-baris “isi”.

Sawah adalah tempat yang melambangkan kehidupan cinta. Cinta itu disimbolkan pada sawah. Jika padi (perasaan hati) tidak mendapat perhatian atau tidak dikunjungi, akan timbul keraguan kehidupan padi (perasaan hati) itu yang digambarkan pada baris kedua ibarat padi dililit kangkung atau padi (perasaan hati) bisa mati karena tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Arti simbol alam ini adalah tempat atau lambang kehidupan cinta yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang.

Bila dihubungkan antara baris pertama dan baris ketiga, yakni prinsip makrokosmos dan mikrokosmos. Kedua pasangan baris ini mengandung pertanyaan: sudah lama tidak ke sawah, sudah lama tidak berjumpa? Di sini jelas bahwa sudah lama tidak ke sawah (tempat atau lambang kehidupan cinta). Lambang kehidupan cinta disimbolkan pada sawah. Apabila hal ini dilengkapi dengan pasangan baris kedua dan keempat yang merupakan jawaban, maka

“batang padi” adalah perasaan hati, dan “dililit kangkung” adalah berulam jantung

Perbrian Tarmizi, 2012

Tafsir Nilai-Nilai Melalui Pantun Dendang Suku Serawai Di Kota Manna Bengkulu Selatan

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 128

Arti lengkap pada pantun suku Serawai pada pertunjukan Dendang ini adalah perasaan hati seseorang yang gelisah karena tidak diperhatikan dan tidak mendapat kasih sayang yang digambarkan “batang padi dililit kangkung” atau

bagaikan “patah hati berulam jantung” yang artinya putus harapannya pada

seseorang yang dicintainya, timbul keraguan akan kehidupan cinta yang sedang dijalaninya.

Dengan analisis seperti ini jelaslah bahwa arti pantun itu samasekali tersembunyi dalam “pola empat” masyarakat suku Serawai kota Manna Bengkulu Selatan. Arti umum yang biasa kita jumpai adalah “cinta akan tumbuh dengan perhatian dan kasih sayang” atau sebaliknya “cinta akan runtuh karna tidak ada perhatian dan kasih sayang”. Inilah ciri khas tradisi lama suku Serawai yang saat ini masih hidup pada penyajian Dendang. Pada pantun ini jelas ada hubungan

antara “sampiran” dan “isi” hubungan itu adalah makrokosmos dan mikrokosmos

atau gambaran alam dan manusia, ada gunung dan ada laut, ada luar dan ada dalam, ada kiri dan ada kanan, ada laki-laki dan ada perempuan.

Keempat, tafsir nilai-nilai pada pantun Dendang suku Serawai pada upacara perkawinan adalah sebagai berikut: (1) nilai pendidikan, (2) nilai moralitas, (3) nilai estetis, dan (4) nilai sosial.

Perbrian Tarmizi, 2012

Tafsir Nilai-Nilai Melalui Pantun Dendang Suku Serawai Di Kota Manna Bengkulu Selatan

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 129

B.Rekomendasi

Sesuai dengan tujuan yang dirumuskan dalam penelitian ini, maka rekomendasi yang dianggap penting dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Pertama, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bengkulu Selatan. Kesenian Dendang adalah salah satu kesenian tradisional yang mempunyai nilai-nilai kearifan lokal yang tinggi dalam upacara adat perkawinan suku Serawai, dimana pantun-pantun dalam Dendang mempunyai pesan nilai-nilai yang baik untuk masyarakat suku Serawai yang patut dikembangkan dan dilestarikan. Untuk itu pemerintah Kabupaten Bengkulu Selatan diharapkan lebih memperhatikan keberadaannya. Memasukkan materi kesenian ini terhadap kurikulum adalah salah satu alternatif agar nilai-nilai budaya yang terdapat pada Dendang dapat diwariskan kepada generasi muda.

Kedua, kepada pelaku seni, seniman, pemuka adat, ketua adat dan seluruh masyarakat suku Serawai, agar lebih mencintai seni tradisinya sendiri dengan cara melestarikan dan bekerja sama dengan pihak pemerintahan di berbagai lapisan dan khususnya bidang pendidikan. Untuk masyarakat suku Serawai dalam melaksanakan upacara perkawinan hendaknya memakai Dendang sebagai alternatif hiburan dan Pemerintah Bengkulu Selatan dalam memperingati hari jadi kabupatennya agar dapat mempopulerkan Dendang dengan cara suatu perlombaan dalam acara pertunjukan seni di masyarakat suku Serawai Bengkulu Selatan.

Ketiga, diharapkan kepada peneliti-peneliti lainnya mengenali dan meneliti kesenian tradisional yang sudah mulai ditinggalkan masyarakat

Perbrian Tarmizi, 2012

Tafsir Nilai-Nilai Melalui Pantun Dendang Suku Serawai Di Kota Manna Bengkulu Selatan

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 130

pendukungnya. Dengan demikian akan bisa memperkaya khasanah kebudayaan Bengkulu Selatan khususnya dan Indonesia pada umumnya. Semoga penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti lain, untuk mengadakan penelitian-penelitian selanjutnya.

Perbrian Tarmizi, 2012

Tafsir Nilai-Nilai Melalui Pantun Dendang Suku Serawai Di Kota Manna Bengkulu Selatan

Perbrian Tarmizi, 2012

Tafsir Nilai-Nilai Melalui Pantun Dendang Suku Serawai Di Kota Manna Bengkulu Selatan

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A Chaedar. 2009. Pokoknya Kualitatif. Dasar-Dasar merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

_________________. 2009. Etnopedagogi. Landasan Praktek Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta: Gramedia.

Betti, Emilio dkk. 2003. Hermeneutika Transendental. Yogyakarta: Ircisod.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1997/1998. Adat-istiadat Daerah Bengkulu. Bengkulu.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Bengkulu Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Bengkulu. 1995/1996. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Bengkulu. Bengkulu.

Djahiri, A.K. 1996. Menelusuri Dunia Afektif Pendidikan Nilai Moral. Bandung: LAB. Pengajaran PMP IKIP Bandung.

Gie, Liang. 1976. Garis Besar Estetika (filsafat keindahan). Yogyakarta: Karya Yogyakarta.

Geertz, Clifford. 2003. Pengetahuan Lokal. Yogyakarta: Merapi.

Hasan, Abu. Dongeng dan Refleksi Sosio-Culture Masyarakat: Tinjauan Relevansi Nilai Moral Dongeng dengan Kehidupan Masa Kini. Google: diacces Senin, 24 Oktober 2010.

_________. Sastra Lisan Sastra Tradisional yang Dipertahankan. Google: diacces Kamis, 24 Oktober 2010.

Husien, Kiagues. 1938. Koempoelan Oendang-Oendang Adat Lembaga Benkoelen. Bengkulu.

Ihromi, TO. 2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Perbrian Tarmizi, 2012

Tafsir Nilai-Nilai Melalui Pantun Dendang Suku Serawai Di Kota Manna Bengkulu Selatan

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Kadir, M. 1990. Dendang Darek Sebagai Salah Satu Jenis Dendang di Minangkabau. Sumatra Barat.

Kasmahidayat, Yuliawan. 2010. Agama dalam Transformasi Budaya Nusantara. Bandung: Bintang Warli Artika.

Kayam, Umar. 1981. Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta: PT. Sinar Harapan. Kodijat, Latifah. 1989. Istilah-istilah Musik. Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat. 1973. Metodologi Penelitian Masyarakat. Jakarta: LIPI.

___________. 1982. Kebudayaan, Mentalitas dan pengembangan. Jakarta Gramedia. ___________. 1987. Sejarah Teori Antropologi Satu. Jakarta: Universitas Indonesia. ___________. 2005. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Marzam, 2000. Dalam Humanus. Fakultas Bahasa Sastra dan Seni. Universitas Negri Padang.

Merrian, Allan P. 1964. The Anthropology Of Music. Chicago: Northwestern. University Perss.

Moleong, Lexy j. 1986. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta PT. Remaja Rusada. Mulyana, R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Palmer, Richard E. 1969. Hermeneutika. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Pujileksono, Sugeng. 2006. Pengantar Antropologi. Malang: UMM PRES. Rizali, Nanang. 2000. Perwujudan Tekstil Tradisional di Indonesia. Disertasi

pada Program Studi Desain ITB Bandung: Tidak diterbitkan.

Royce, Anya Peterson. 1977. The Antropology Of Dance. Bloomington and London. Indiana University Press.

Rudianto. Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Serat Cemporet Karya Ng. Ranggawarsita. Google: diacces, Sabtu 30 Oktober 2010.

Setiyanto, Agus. 2002. Elite Pribumi Bengkulu, Perspektif Sejarah Abad XIX. Jakarta: Balai Pustaka.

Perbrian Tarmizi, 2012

Tafsir Nilai-Nilai Melalui Pantun Dendang Suku Serawai Di Kota Manna Bengkulu Selatan

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Siddik, Abdullah. 1980. Hukum Adat Rejang. Jakarta: Balai Pustaka.

_____________. 1996. Sejarah Bengkulu 1500-1990. Jakarta: Balai Pustaka. Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB.

____________. 2010.Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press ____________. 2003.Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda. Bandung: Kelir Sumaryono, E. 1999. Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:

Kanisius.

Sutrisno, Mudji. 2008. Filsafat Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sukanta, Kiki. 2010. “Model Pengembangan Kecerdasan Sosial Anak Usia Dini Melalui Drama”. Disertasi pada Program Studi Pendidikan Umum/Nilai. UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.

Tarmizi, Pebrian. 2006. “Fungsi Kesenian Dendang Dalam Upacara Adat

Perkawinan di Desa Gunung Ayu Kota Manna Bengkulu Selatan”. Skripsi

pada Program Studi Pendidikan Sendratasik. UNP Padang: Tidak Diterbitkan.

Tilaar. H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995 Kamus Besar

Dokumen terkait