• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini merupakan penutup tulisan yang berisi kesimpulan dan saran mengenai analisa yang telah dilakukan sehingga dapat memberikan suatu rekomendasi sebagai masukan ataupun perbaikan bagi pihak perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB II

TINJ AUAN PUSTAKA

2.1 Kualitas

Menurut Montgomery (2002), ada dua segi umum tentang kualitas yaitu kualitas rancangan dan kualitas kecocokan. Semua barang dan jasa dihasilkan dalam berbagai tingkat kualitas. Kualitas rancangan adalah istilah teknik terkait dengan perbedaan dalam variasi tingkat kualitas yang memang disengaja meliputi jenis bahan,daya tahan, keandalan, misalnya semua mobil mempunyai tujuan dasar memberikan angkutan yang aman bagi konsumen, tetapi mobil–mobil berbeda dalam ukuran, penentuan, rupa, dan penampilan.Perbedaan–perbedaan ini adalah hasil perbedaan rancangan yang disengaja antara jenis–jenis mobil itu, jenis bahan yang digunakan dalam pembuatan, daya tahan dalam proses pembuatan, keandalan yang diperoleh melalui pengembangan teknik mesin dan bagian–bagian penggerak, dan perlengkapan atau alat-alat yang lain.

Kualitas kecocokan menurut Montgomery (2002) adalah seberapa baik produk yang sesuai dengan spesifikasi dan kelonggaran yang diisyaratkan oleh rancangan. Kualitas kecocokan dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk pemilihan proses pembuatan, latihan dan pengawasan angkatan kerja, jenis sistem jaminan kualitas (pengendalian proses, uji, aktivitas pemeriksaan) yang digunakan, seberapa jauh prosedur jaminan kualitas ini diikuti, dan motivasi angkatan kerja untuk mencapai kualitas.

Berikut ini akan diberikan definisi kualitas menurut beberapa sumber :

Menurut Kotler yang dialih bahasakan oleh Muhtosin Arif (2006:117), arti kata kualitas dalam The American Society for Quality Control diartikan sebagai totalitas fitur dan karakteristik produk atau jasa yang memiliki kemampuan untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan maupun implisit. Hal ini berarti fitur produk yang ditawarkan juga menentukan mutu yang akan mempengaruhi kepuasan konsumen. Produsen dikatakan telah menyampaikan mutu jika produk atau yang ditawarkannya sesuai atau melampaui ekspektasi pelanggan.

Pengertian kualitas produk menurut Juran (2004: 40), kualitas produk adalah kecocokan penggunaan produk (fitness for use) untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Kecocokan penggunaan itu didasarkan atas lima ciri utama, yaitu:

a. Teknologi, yaitu kekuatan atau daya tahan b. Psikologis, yaitu citra rasa atau status c. Waktu, yaitu kehandalan

d. Kontraktual, yaitu adanya jaminan

e. Etika, yaitu sopan santun, ramah dan jujur

Menurut Nasution (2004:40), Kecocokan dalam menggunakan suatu produk adalah apabila produk mempunyai daya tahan penggunaannya yang lama, produk yang digunakan akan meningkatkan citra atau status konsumen yang menggunakannya, produk tidak mudah rusak, adanya jaminan kualitas (quality assurance) dan sesuai etika bila digunakan.

Crosby, dalam M. Nasution (2004: 41), menyatakan bahwa kualitas adalah conformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang diisyaratkan atau di standarkan. Suatu produk memiliki kualitas apabila sesuai dengan standar kualitas yang telah ditentukan. Standar kualitas meliputi bahan baku, proses produksi, dan produk jadi.

Feigenbaum, dalam M. Nasution (2004: 41), menyatakan bahwa kualitas adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu produk berkualitas apabila dapat memberikan kepuasan sepenuhnya kepada konsumen, yaitu sesuai dengan apa yang diharapakan konsumen atas suatu produk.

Garvin dan Davis, dalam M. Nasution (2004:41), menyatakan bahwa kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen.

Dari beberapa definisi kualitas diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kualitas adalah kesesuaian antara produk yang dihasilkan oleh perusahaan dengan spesifikasi atau permintaan yang diinginkan oleh pelanggan.

2.2 Pengendalian Kualitas

Pengendalian kualitas menurut Feigebaum (2000) didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari pemeriksaan atau pengujian analisis dan tindakan-tindakan yang harus diambil dengan memanfaatkan kombinasi seluruh peralatan dan teknik-teknik, guna mengendalikan kualitas produk dengan ongkos minimal. Dalam istilah

di dunia industri melainkan kata itu berarti “terbaik dalam memuaskan kebutuhan pelanggan tertentu”.

Feigenbaum mengemukakan 2 hal penting dari kebutuhan konsumen yaitu fungsi dan harga produk, dua syarat ini tercemin dalam beberapa kondisi-kondisi produk, diantaranya :

1. Kondisi Spesifikasi dimensi dan karakteristik. 2. Umur produk dan keandalan.

3. Standar yang relevan.

4. Biaya rekayasa, pembuatan dan mutu. 5. Pembuatan (persyaratan produksi).

6. Fungsi, pemeliharaan dan pemasangan di lapangan. 7. Biaya-biaya operasi dan pemakaian konsumen.

Berdasarkan hal diatas jelaslah kualitas tidak hanya berkaitan dengan mutu teknis produk, tetapi juga nilai ekonomisnya, sehingga kualitas menjadi faktor dasar keputusan konsumen dalam produk dan jasa.

Sedangkan menurut Gasperz(2001), tentang pengendalian kualitas adalah:Salah satu ciri dari pengendalian kualitas modern adalah bahwa di dalamnya terdapat aktifitas yang berorientasi pada tindakan pencegahan kerusakan, dan bukan berfokus pada upaya untuk mendeteksi kerusakan saja. Kualitas melalui inspeksi saja tidak cukup dan hal itu terlalu mahal. Meskipun tetap menjadi persyaratan untuk melakukan beberapa inspeksi singkat atau audit terhadap produk akhir, tetapi usaha pengendalian kualitas dari perusahaan seharusnya lebih difokuskan pada tindakan pencegahan sebelum terjadinya kerusakan dengan jalan melakukan aktifitas secara

baik dan benar pada waktu pertama kali mulai melaksanakan suatu aktifitas. Dengan melaksanakan prinsip ini, usaha peningkatan kualitas akan mampu mengurangi ongkos produksi. Berkaitan dengan hal ini perlu dibangun suatu sistem pengendalian proses sebagai implementasi dari tindakan prefentif.

Tujuan pelaksanaan pengendalian kualitas adalah :

1. Pencapaian kebijaksanaan dan target perusahaan secara effesien 2. Perbaikan hubungan manusia

3. Peningkatan moral karyawan

4. Pengembangan kemampuan tenaga kerja

Dengan mengarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan diatas akan terjadi peningkatan produktivitas dan probabilitas usaha. Secara khusus dapat pula diungkapkan bahwa tujuan pengendalian kualitas adalah :

1. Memperbaiki kualitas produk yang dihasilkan 2. Penurunan ongkos kualitas secara keseluruhan

Kegiatan pengendalian kualitas pada dasarnya terdiri dari 4 langkah yaitu : 1. Menetapkan standar, yaitu standar kualitas biaya, standar kualitas prestasi kerja,

standar kualitas keamanan dan standar kualitas keandalan yang diperlukan untuk suatu produk

2. Menilai kesesuaian antara produk yang dibuat dengan standar

3. Mengambil tindakan bila diperlukan, yaitu mencari penyebab timbulnya masalah dan mencari pemecahan masalah

Kegiatan pengendalian kualitas yang menunjang tercapainya standar kualitas tertentu tersebut, melibatkan unsur–unsur manusia, mesin, peralatan, spesifikasi dan metode pengujian.

Dengan adanya pengendalian diharapkan penyimpangan-penyimpangan yang muncul dapat dikurangi dan proses dapat diarahkan pada tujuan yang dicapai. Oleh karena itu fungsi pengendalaian kualitas ini harus dilaksanakan sebelum maupun pada saat pekerjaan pembuatan dilakukan.

2.3. Six Sigma

Sigma (

σ

) adalah sebuah abjad yunani yang menotasikan standar deviasi atau simpangan baku suatu proses. Standar deviasi mengukur varisi atau jumlah persebaran suatu rata–rata proses. Tingkat kualitas Sigma biasanya juga dipakai untuk menggambarkan output dari suatu proses, semakin tinggi tingkat Sigma maka semakin kecil toleransi yang diberikan pada kecacatan, semakin tinggi kapabilitas proses oleh karena itu semakin baik.

Six Sigma Motorola merupakan suatu metode atau teknik pengendalian Peningkatan kualitas dramatik yang diterapkan oleh perusahaan motorola sejak tahun 1986, yang merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas. Banyak ahli manajemen kualitas menyatakan bahwa metode Six Sigma Motorola dikembangkan dan diterima secara luas oleh dunia industri, karena manajemen industri frustasi terhadap sistem manajemen kualitas yang ada, yang tidak mampu melakukan peningkatan kualitas secara dramatik menuju tingkat kegagalan (zero defect).

Defect adalah kegagalan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh pelanggan, dalam hal ini ada beberapa defect dalam konsep Six Sigma yaitu:

1. Defect Per Opportunity (DPO)

Ukuran kegagalan yang dihitung dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan persatu kesempatan, untuk menghitung menggunakan formula

DPO = Banyaknya cacat atau kegagalan yang ditemukan (Banyaknya unit yang diperiksa x banyaknya kegagalan)

Rumus Defect per opportunity (DPO)……….. (2.1) Contoh:

misalnya , dari 500 pesanan yang diterima diketahui bahwa terdapat 12 pesanan yang dikembalikan dan/ dikeluhkan karena 9 hal defect dengan nilai DPO = 12/ (500 x 9) = 0,002667

2. Defect Per Million Opportunities (DPMO)

Ukuran kegagalan dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang menunjukkan kegagalan persejuta kesempatan, untuk menghitung menggunakan formula

DPMO = DPO x 1.000.000

Rumus Defect Per Million Opportunities (DPMO)…… (2.2)

Selanjutnya jika ingin mengetahui tingkat kegagalan per satu juta kesempatan (DPMO), dalam Microsoft Excel menggunakan formula berikut :

Pemahaman terhadap DPMO ini sangat penting dalam pengukuran keberhasilan dalam pengukuran keberhasilan aplikasi penigkatan kualitas Six Sigma.

Sedangkan menurut Gaspersz(2002) Six Sigma merupakan suatu visi peningkatan kualitas menuju target 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) untuk setiap transaksi produk (barang dan jasa) upaya giat menuju kesempurnaan (zero defect).

Hasil–hasil dari peningkatan kualitas dramatik di atas , yang diukur berdasarkan persentase antara COPQ (cost of poor quality) terhadap penjualan ditunjukkan dalam Tabel 2.1

Tabel 2.1 Manfaat Dari Pencapaian Beberapa Tingkat Sigma COPQ ( Cost of Poor Quality )

Tingkat Pencapaian

Sigma

DPMO

(defect per million opportunities)

COPQ 1 – sigma 2 – sigma 3 – sigma 4 – sigma 5 – sigma 6 – sigma 691.462 308.538 66.807 6.210 233 3,4

(sangat tidak kompetitif) (rata–rata industri Indonesia ) (rata – rata industri USA)

(Industri kelas dunia)

Tidak dapat dihitung Tidak dapat dihitung 25-40% dari penjualan 15-25% dari penjualan 5-15% dari penjualan < 1% dari penjualan Setiap peningkatan atau pergeseran 1- sigma akan memberikan peningkatan keuntungan sekitar 10 % dari penjualan

Sumber :Gaspersz,2002.

Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila menerima nilai sebagaimana yang diharapkan. Apabila produk (barang / jasa) di proses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan persejuta kesempatan (DPMO) atau

mengharapkan bahwa 99,99% dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk ini. Dengan demikian six sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja

sistem industri akan semakin baik. Six Sigma juga dapat dianggap sebagai strategi terobosan yang memungkinkan

perusahaan melakukan peningkatan luar biasa (dramatic) di tingkat bawah. Six Sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui penekanan pada kemampuan proses (process capability).

Six Sigma tidak hanya sekedar metodologi perbaikan saja, melainkan sebuah sistem manajemen yang bertujuan mengadakan perbaikan yang menguntungkan bagi semua elemen konsumen, pemegang saham, dan elemen perusahaan itu sendiri, pengukuran tingkat kapabilitas proses, dan juga perbaikan untuk mencapai hasil yang mendekati sempurna.

Terdapat 6 aspek kunci yang perlu diperhatikan dalam aplikasi konsep Six Sigma yaitu :

1. Idetifikasi pelanggan 2. Identifikasi Produk

3. Identifikasi kebutuhan dalam memproduksi produk untuk pelanggan 4. Definisikan Proses

5. Hindari kesalahan dalam proses dan hilangkan semua pemborosan yang ada 6. Tingkatkan proses secara terus – menerus menuju target Six Sigma

Pendekatan pengendalian proses 6-sigma Motorola (Motorola’s Six Sigma process control) mengizinkan adanya pergeseran nilai rata-rata (mean) setiap CTQ individu dari proses industri terhadap nilai spesefikasi target (T) sebesar ± 1,5– sigma sehingga menghasilkan 3,4 DPMO (defect per million opportunities). Dengan demikian berdasarkan konsep Six Sigma Motorola, berlaku penyimpangan :(mean– Target ) =

(

µ−T

)

= ±1,5

σ

atau

µ

= T ±1,5

σ

. Disini µ(mu) merupakan nilai rata–rata (mean) dari proses, sedangkan

σ

(sigma) merupakan variasi proses.

Proses Six Sigma dengan distribusi normal yang mengizinkan nilai rata–rata (mean) proses bergeser 1,5–sigma dari nilai spesifikasi target kualitas (T)

yang diinginkan oleh pelanggan, ditunjukkan dalam Gambar 2.1

T

- 1 , 5 s i g m a + 1 , 5 s i g m a

m e a n

L S L U S L

- 6 s i g m a - 3 s i g m a - 2 s i g m a - 1 s i g m a + 1 s i g m a + 2 s i g m a + 3 s i g m a + 6 s i g m a Keterangan : sigma dalam bagan menunjukkan ukuran variasi dari proses yang stabil mengikuti distribusi normal

Gambar 2.1 Konsep Six sigma Motorola dengan Distribusi Normal bergeser 1,5–Sigma.

Sumber : Gaspersz,2002.

Konsep Six Sigma Motorola dengan pergeseran nilai rata – rata (mean) dari proses yang diizinkan sebesar 1,5 –sigma (1,5 x standard deviasi maksimum ) adalah berbeda dari konsep Six Sigma dalam distribusi normal yang umum dipahami selama

ini yang tidak mengizinkan pergeseran dalam nilai rata – rata (mean) dari proses. Perbedaan itu ditunjukkan dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Perbedaan True 6–Sigma dengan Motorola’s 6–Sigma

True 6 – Sigma Process (Normal Distribusi Centered)

Motorola’s 6 – Sigma Process (Normal Distribusi Shifted 1,5 – Sigma )

Batas spesifikasi (LSL - USL) Presentase yang memenuhi spessifikasi (LSL - USL) DPMO (kegaglan/ cacat per sejuta kesempatan Batas spesifikasi (LSL - USL) Presentase yang memenuhi spesifikasi (LSL-USL) DPMO (kegagalan/ cacat per sejuta kesempatan sigma − ±1 sigma − ±2 sigma − ±3 sigma − ±4 sigma − ±5 sigma − ±6 68,27% 95,45% 99,73% 99,9937% 99,999943% 99,99999998% 317.300 45.500 2.700 63 0,57 0,002 sigma − ±1 sigma − ±2 sigma − ±3 sigma − ±4 sigma − ±5 sigma − ±6 30,8538% 69,1462% 93,3193% 99,3790% 99,9767% 99,99966% 691.462 308.538 66.807 6.210 233 3,4 Sumber : Gasperz,2002

2.4 Penentuan Kapabilitas Proses

Kapabilitas proses adalah perangkat untuk mengukur variabilitas yang terdapat dalam proses manufaktur. Pengukuran kapabilitas meliputi:

Keberhasilan implementasi program peningkatan Six Sigma ditunjukan melalui peningkatan kapabilitas proses dalam menghasilkan produk menuju tingkat kegagalan nol (zero defect). Konsep perhitungan kapabilitas proses menjadi sangat penting untuk dipahami dalam implementasi program Six Sigma. Teknik penentuan

kapabilitas proses yang berhubungan dengan CTQ (critical to quality) untuk data variabel dan atribut.

Data adalah catatan tentang sesuatu, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang dipergunakan sebagai petunjuk untuk bertindak dan dalam konteks pengendalian proses statistika dikenal dua jenis data yaitu :

1. Data atribut ( Attributes Data) merupakan data kualitatif yang dihitung mengunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis. Contoh data atribut karakteristik kualitas adalah ketiadaan label pada kemasan produk,banyaknya jenis cacat pada produk.

2. Data Variabel (Variables Data) merupakan data kuantitatif yang diukur menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Contoh data variabel karakteristik kualitas adalah diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tinggi, diameter, volume merupakan data variabel.

Adapun pengukuran kapabilitas proses meliputi:

1) Stabilitas, yaitu keadaan di mana data hasil pengukuran dalam keadaan stabil, suatu kondisi di mana tidak terdapat data berada di luar kendali dan tidak terdapat sebab-sebab khusus dalam pola data. Jika sebaliknya, maka penyebab harus dihilangkan agar bisa dilakukan kapabilitas, atau langsung dihitung cacat per sejuta bagian dan diterjemahkan ke dalam nilai sigma.

2) Normalitas, apabila data diasumsikan berdistribusi normal maka harus dilakukan uji kenormalan data melalui plot probabilitas dan uji hipotesis.

1 Plot probabilitas, adalah memplot data ke dalam bentuk distribusi komulatif. Apabila data mengikuti distribusi normal maka ia akan mendekati bentuk garis linier

2 Uji hipotesis, yaitu pengujian anggapan bahwa data berdistribusi normal. Pengujian H0: µ = µ0 dan H1: µ ≠ µ0. Penghitungan menggunakan rumus

σ µ − =x

Z untuk mendapatkan nilai-P (P-value). Nilai-P adalah peluang untuk

mendapatkan adalah peluang untuk mendapatkan suatu nilai Z sebesar atau lebih besar daripada Zhitung bila memang µ = µ0. Bila nilai-P lebih besar daripada galat jenis I maka anggapan awal diterima.

3. Penghitungan nilai indeks kapabilitas, potensial dan aktual. Kapabilitas potensial adalah variabilitas pada suatu saat dan kapabilitas aktual adalah variabilitas setiap saat. Indeks kapabilitas:

• Potensial (Cp, Cpk, Cpm) • Aktual (Pp, Ppk)

Cp dan Pp adalah indeks kapabitas umum, Cpk dan Ppk dilakukan untuk mengetahui kecenderungan dan lokasi proses. Penghitungan Cpk merupakan nilai minimum antara indeks CPU dan CPL, yaitu penghitungan rentang salah satu batas spesifikasi dan rata-rata proses proses (µ) terhadap sebaran proses (σ).. Sedangkan Cpm menghitung penyimpangan rata-rata proses terhadap target. Jika nilai Cp = Cpk = Cpm, maka proses dikatakan berada pada target capable.

4. Menghitung nilai sigma yang dihasilkan. Dalam metode six sigma, setiap pengukuran diterjemahkan ke dalam nilai sigma sebagai ukuran performansi. 5. Menghitung jumlah peluang bagian yang berada di luar spesifikasi ke dalam

nilai bagian per sejuta (PPM = part per million).

Adanya peningkatan kapabilitas proses dalam mnghasilkan produk menuju tingkat kegagalan nol (zero) menunjukkan bahwa pelaksanaan program peningkatan kualitas six sigma telah berhasil. Oleh karena itu, konsep perhitungan kapabilitas proses menjadi sangat penting untuk dipahami dan implementasi program six sigma.

Data adalah catatan tentang sesuatu, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang dipergunakan sebagai petunjuk untuk bertindak. Berdasarkan data, kita mempelajari fakta-fakta yang ada dan mengambil tindakan yang tepat berdasarkan pada fakta itu. Dalam konteks pengendalian proses statistikal dikenal dua jenis data, yaitu data atribut dan data variabel.

1. Penentuan Kapabilitas Proses untuk Data Atribut

Data Atribut merupakan data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencacatan dan analisis. Data atribut bersifat diskrit. Jika suatu catatan hanya merupakan suatu ringkasan atau klasifikasi yang berkaitan dengan sekumpulan persyaratan yang telah ditetapkan. Contoh data atribut karakteristik kualitas adalah : ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan proses administrasi buku tabungan nasabah, banyaknya jenis cacat pada produk, banyaknya produk kayu lapis yang cacat karena corelap, dan lain-lain. Penentuan kapabilitas proses untuk data atribut adalah sebagai berikut :

Tabel 2.3: Cara Memperkirakan Kapabilitas Proses untuk Data Atribut Langkah Tindakan Persamaan Hasil Perhitungan

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Proses apa yang ingin anda ketahui?

Berapa unit transaksi yang

dikerjakan melalui proses?

Berapa banyak unit transaksi yang gagal?

Hitung tingkat cacat (kesalahan) berdasarkan pada langkah 3.

Tentukan banyaknya CTQ potensial yang dapat mengakibatkan cacat (kesalahan)

Hitung peluang tingkat cacat

(kesalahan) per karakteristik CTQ

Hitung kemungkinan cacat per satu juta kesempatan (DPMO)

Konversi DPMO (langkah 7) ke dalam nilai sigma (lihat tabel lampiran 5) Buat kesimpulan - - - = (langkah 3) / (langkah 2) =banyaknya karakteristik CTQ =(langkah4)/ (langkah 5) =(langkah6)x 1.000.000 -

Billing dan charging

1.283 145 0,113 24 0,004708 4.708 4,09 – 4.10 Kapabilitas sigma adalah 4,10 (rata – rata kinerja industri di Amerika Serikat)

Catatan : CTQ = critical-to-quality; DPMO = defect per million opportunities Sumber:Gaspersz,2002.

Contoh CTQ: kesalahan pengisian formulir, ketiadaan bukti-bukti keuangan, kesalahan pemasukan input ke dalam computer, keterlambatan pemrosesan,dll.

Sedangkan untuk mengukur kinerja sekarang pada tingkat proses, output atau outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja pada awal proyek six sigma.

Beberapa cara untuk meghitung dan mengekspresikan ukuran-ukuran berbasis peluang defect, yaitu :

a. Defect per Opportunity (DPO)

Menunjukkan proporsi defect atas jumlah total peluang dalam sebuah kelompok.

Total defect Formula : Tingkat defect =

Total produk

Tingkat defect

Peluang defect =

CTQ b. Defect per Million Opportunities (DPMO)

Mengindikasikan berapa banyak defect akan muncul jika ada 1 juta peluang. Formula : DPO x 106

c. Ukuran Sigma

Dengan menerjemahkan ukuran defect – biasanya DPMO – dengan menggunakan tabel konversi, namun jika nilai DPMO tidak terdapat pada tabel konversi maka dilakukan interpolasi

2. Penentuan Kapabilitas Proses untuk Data Variabel

Data variabel merupakan data kuantitatif yang dihitung menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Jika suatu catatan dibuatberdasarkan keadaan aktual, diukur secara langsung, maka karakteristik kualitas yang diukur itu disebut variable. Contoh data variabel karakteristik kualitas adalah : diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, konsentrasi elektrolit dalam

persen, dll. Ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tingi, diameter, volume merupakan variabel.

Teknik penentuan kapabilitas proses untuk data variabel adalah sebagai berikut a. Menentukan proses yang ingin diukur.

b. Menentukan nilai batas spesifikasi atas dan batas spesifikasi bawah. c. Menentukan nilai target yang ingin dicapai.

d. Menghitung nilai rata-rata dan standar deviasi dari proses.

e. Menghitung nilai DPMO, dengan menggunakan formula sebagai berikut : DPMO = [ P { Z ≥ ( USL – X-bar ) / S } x 1juta ] + [ P { Z ≤ ( LSL – X-bar ) / S } x 1juta ] (2.1)

Dimana , USL : Batas spesifikasi atas LSL : Batas spesifikasi bawah X-bar : Nilai rata-rata

S : Standart deviasi

f. Mengkonversikan nilai DPMO kedalam nilai sigma. g. Menghitung kemampuan proses didalam nilai sigma.

h. Menghitung kapabilitas proses didalam indeks kapabilitas proses, dengan formula sebagai berikut :

Cpm = (USL – LSL) / {6√X-bar – T)² + S²} (2.2) Dimana, Cpm : Indeks kapabilitas proses

Kriteria (rule of thumb) dari Cpm adalah :

1. Cpm ≥ 2,00; maka poses dianggap mampu dan kompetitif (perusahaan berkelas dunia)

2. Cpm antara 1,00-1,99; maka proses dianggap cukup mampu, namun perlu upaya-upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target perusahaan berkelas dunia yang memiliki tingkat kegagalan sangat kecil menuju nol (zero defect oriented). Persusahaan yang memiliki nilai Cpm yang berada diantara 1,00-1,99 memiliki kesempatan terbaiki dalam melakukan program peningkatan kualitas Six sigma. 3. Cpm < 1,00; maka proses dianggap tidak mampu dan tidak kompetitif untuk

bersaing dipasar global.

Beberapa keuntungan penggunaan indeks Cpm menurut Gasperz (2002) : a. Indeks Cpm dapat diterapkan pada suatu interval spesifikasi yang tidak simetris

(asymetrical spesification interval), dimana nilai spesifikasi target kualitas (T) tidak berada tepat ditengah nilai USL dan LSL.

b. Indeks Cpm dapat dihitung untuk type distribusi apa saja, tidak mensyaratkan data harus berdistribusi normal.

Bersamaan dengan penggunaan indeks Cpm, juga digunakan indeks Cpmk yang mengukur tingkat pada mana output proses itu berada dalam batas-batas toleransi (batas-batas spesifikasi atas dan bawah, USL dan LSL) yang diinginkan oleh pelanggan. Indeks Cpmk dapat dihitung dengan menggunakan formula :

Cpmk = Cpk / √1 + {(X-bar – T) / S}² (2.3)

Menurut Gasperz (2002) Kriteria (rule of thumb) dari indeks Cpmk :

1. Cpmk ≥ 2,00; maka proses dianggap mampu memenuhi batas-batas toleransi (batas spesifikasi bawah dan atas, LSL dan USL) dan kompetitif (perusahaan berkelas dunia)

2. Cpmk antara 1,00 dan 1,99; maka proses dianggap cukup mampu, namun perlu upaya-upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target perusahaan berkelas dunia yang memiliki tingkat kegagalan sangat kecil menuju nol (zero defect oriented). Dalam hal ini proses harus disesuaikan terus-menerus agar mendekat kenilai spesifikasi target kualitas (T). Perusahaan-perusahaan yang memiliki nilai Cpmk yang berada diantara 1,00-1,99 memiliki kesempatan terbaik dalam melakukan program peningkatan kualitas Six Sigma.

3. Cpmk < 1,00; maka proses dianggap tidak mampu memenuhi batas-batas toleransi (batas spesifikasi atas dan bawah, USL dan LSL) dan tidak kompetitif untuk bersaing dipasar global.

2.5 DMAIC(Define, Measure, Analyze, Improve ,Control)

DMAIC menurut Gasperz (2002) merupakan proses untuk peningkatan terus– menerus menuju target Six Sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta. Proses ini menghilangkan langkah–langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pengukuran–pengukuran baru, dan menetapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma.

(Sumber:Gaspersz,2002). 2.5.1 Define (Merumuskan)

Merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, yang paling penting untuk dilakukan adalah:

1. Kriteria Pemilihan Six Sigma

Pemilihan proyek Six Sigma adalah prioritas, artinya kita harus menetapkan prioritas utama tentang masalah–masalah dan / atau kesempatan–kesempatan peningkatan kualitas mana yang akan ditangani terlebih dahulu.

Dokumen terkait