• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini merupakan penutup tulisan yang berisi kesimpulan dan saran mengenai analisa yang telah dilakukan sehingga dapat memberikan suatu rekomendasi sebagai masukan ataupun perbaikan bagi pihak perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

2.1. Pengendalian Kualitas

Ada dua segi umum tentang kualitas yaitu kualitas rancangan dan kualitas kecocokan. Semua barang dan jasa dihasilkan dalam berbagai tingkat kualitas. Kualitas rancangan adalah istilah teknik terkait dengan perbedaan dalam variasi tingkat kualitas yang memang disengaja meliputi jenis bahan,daya tahan, keandalan, misalnya semua mobil mempunyai tujuan dasar memberikan angkutan yang aman bagi konsumen, tetapi mobil–mobil berbeda dalam ukuran, penentuan, rupa, dan penampilan.Perbedaan–perbedaan ini adalah hasil perbedaan rancangan yang disengaja antara jenis–jenis mobil itu, jenis bahan yang digunakan dalam pembuatan, daya tahan dalam proses pembuatan, keandalan yang diperoleh melalui pengembangan teknik mesin dan bagian–bagian penggerak, dan perlengkapan atau alat-alat yang lain. (Montgomery, 1998).

Kualitas kecocokan adalah seberapa baik produk yang sesuai dengan spesifikasi dan kelonggaran yang diisyaratkan oleh rancangan. Kualitas kecocokan dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk pemilihan proses pembuatan, latihan dan pengawasan angkatan kerja, jenis sistem jaminan kualitas (pengendalian proses, uji, aktivitas pemeriksaan) yang digunakan, seberapa jauh prosedur jaminan kualitas ini diikuti, dan motivasi angkatan kerja untuk mencapai kualitas. (Montgomery, 1998).

Pengendalian kualitas didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari pemeriksaan atau pengujian analisis dan tindakan-tindakan yang harus diambil dengan memanfaatkan kombinasi seluruh peralatan dan teknik-teknik, guna mengendalikan kualitas produk dengan ongkos minimal (Montgomery, 1998). Dalam istilah “Kendali Kualitas”, mengandung pengertian bahwa “Kualitas” bukan berarti terbaik di dunia industri kata itu berarti “terbaik dalam memuaskan kebutuhan pelanggan tertentu” (Montgomery, 1998).

Montgomery mengemukakan 2 hal penting dari kebutuhan konsumen yaitu fungsi dan harga produk, dua syarat ini tercemin dalam beberapa

kondisi-kondisi produk, diantaranya :

1. Kondisi Spesifikasi dimensi dan karakteristik 2. Umur produk dan keandalan

3. Standar yang relevan

4. Biaya rekayasa, pembuatan dan mutu 5. Pembuatan (persyaratan produksi)

6. Fungsi, pemeliharaan dan pemasangan di lapangan 7. Biaya-biaya operasi dan pemakaian konsumen

Berdasarkan hal diatas jelaslah kualitas tidak hanya berkaitan dengan mutu teknis produk, tetapi juga nilai ekonomisnya, sehingga kualitas menjadi faktor dasar keputusan konsumen dalam produk dan jasa

Tujuan pelaksanaan pengendalian kualitas adalah :

1. Pencapaian kebijaksanaan dan target perusahaan secara effesien 2. Perbaikan hubungan manusia

3. Peningkatan moral karyawan

4. Pengembangan kemampuan tenaga kerja

Dengan mengarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan diatas akan terjadi peningkatan produktivitas dan probabilitas usaha. Secara khusus dapat pula diungkapkan bahwa tujuan pengendalian kualitas adalah :

1. Memperbaiki kualitas produk yang dihasilkan

2. Penurunan ongkos kualitas secara keseluruhan (Lindsay, 2007)

Kegiatan pengendalian kualitas pada dasarnya terdiri dari 4 langkah yaitu : 1. Menetapkan standar, yaitu standar kualitas biaya, standar kualitas prestasi

kerja, standar kualitas keamanan dan standar kualitas keandalan yang diperlukan untuk suatu produk

2. Menilai kesesuaian antara produk yang dibuat dengan standar

3. Mengambil tindakan bila diperlukan, yaitu mencari penyebab timbulnya masalah dan mencari pemecahan masalah

4. Perencanaan peningkatan, berupa pengembangan usaha-usaha yang

continue untuk memperbaiki standar-standar biaya, prestasi keamanan dan keandalan.

Kegiatan pengendalian kualitas yang menunjang tercapainya standar kualitas tertentu tersebut, melibatkan unsur–unsur manusia, mesin, peralatan, spesifikasi dan metode pengujian.

Dengan adanya pengendalian diharapkan penyimpangan-penyimpangan yang muncul dapat dikurangi dan proses dapat diarahkan pada tujuan yang dicapai. Oleh karena itu fungsi pengendalaian kualitas ini harus

dilaksanakan sebelum maupun pada saat pekerjaan pembuatan dilakukan (Purnama, 2006).

2.2 Six Sigma

Six Sigma, pertama kali dikembangkan oleh Bill Smith, Vice President Motorola Inc.. (Harry, Mikel J., 1988). Six Sigma, yang dikenal luas sebagai teknik yang memungkinkan suatu perusahaan mencapai kesempurnaan dalam mutu produk yang dihasilkan, pertama kali dikembangkan sebagai desain praktis untuk peningkatan proses manufaktur dan mengeliminasi kerusakan (defect), namun akhirnya diaplikasikan secara luas dalam berbagai tipe perusahaan. Dalam Six Sigma, defect diartikan sebagai segala keluaran dari proses yang tidak memenuhi spesifikasi pelanggan atau segala hal yang dapat mengakibatkan keluaran (produk) yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan.

Doktrin utama dari Six Sigma, adalah :

Usaha yang terus-menerus untuk mencapai hasil proses yang secara stabil dan terprediksi (yaitu pengurangan variasi dalam proses) merupakan hal terpenting dalam kesuksesan bisnis

Manufaktur (proses produksi) dan proses bisnis harus memiliki

karakteristik yang dapat diukur, dianalisis, ditingkatkan dan dikontrol

Pencapaian peningkatan kualitas yang berkelanjutan membutuhkan

komitmen dari seluruh organisasi, utamanya dari Top Manajemen.

Dalam Six Sigma dikenal istilah DPMO (Defect Per Million Opportunities), yaitu besarnya kemungkinan terjadinya kerusakan (defect) dalam setiap sejuta kesempatan. Jadi, misalnya suatu perusahaan, seperti Motorola Inc., telah

mencapai level 3,4 DPMO maka dalam setiap 1 juta proses/produk kemungkinan terjadi 3,4 proses/produk yang cacat. Sehingga jika dibuat rejection rate-nya sebesar 0,00034% (bandingkan dengan rejection rate industri farmasi rata-rata 5 – 10%). Motorola Inc., mengklaim bahwa dengan melaksakan jurus ini, mereka bisa menghemat lebih dari US$ 17 juta (About Motorola University. http://motorola.com/content).

Six Sigma , terbagi menjadi 2 metode, yaitu DMAIC dan DMADV. DMAIC digunakan untuk proyek-proyek yang ditujukan untuk peningkatan pada perusahaan yang telah exist, dan DMADV digunakan untuk produk baru atau proses desain.

DMAIC merupakan singkatan dari :

Define, yaitu penetapan masalah yang juga bisa merupakan keluhan dari

pelanggan, tujuan dari suatu proyek, atau spesifikasi yang diinginkan

Measure, yaitu pengukuran aspek-aspek kunci dari proses yang ada saat

ini dan proses pengumpulan data-data yang relevan

Analysis, yaitu melakukan analisa terhadap data-data yang telah

dikumpulkan untuk dilakukan penyelidikan dan memverifikasi hubungan sebab-akibat (akar permasalahan).

Improve, yaitu perbaikan atau optimalisasi dari proses yang ada saat ini

berdasarkan analisis data menggunakan teknik-teknik misalnya design experiment, poka yoke atau pembuktian kesalahan yang selanjutnya menciptakan atau menetapkan standar baru

Control, yaitu pengendalian atau pemantauan terhadap proses atau standar baru yang telah ditetapkan untuk memastikan bahwa setiap penyimpangan harus telah dikoreksi sebelum terjadi defect (kerusakan).

Sedangkan DMADV (juga dikenal dengan nama DFSS – Define For Six Sigma) adalah singkatan dari:

Define, yaitu pemastian bahwa hasil akhir dari desain akan konsisten

dengan keinginan/kebutuhan pelanggan dan strategi perusahaan

Measure, yaitu ukur dan identifikasi hal-hal kritis yang berpengaruh

terhadap kualitas, kapabilitas produk, kapabilitas proses produksi dan resiko

Analysis, yaitu Analisis untuk pengembangan dan desain alternatif,

ciptakan desain dengan level yang tinggi dan evaluasi kapabilitas desain untuk mendapatkan desain yang terbaik

Design, yaitu detail dari desain, optimasi dan rencanakan verifikasi dari

desain.

Verify, yaitu pemastian desain, set-up, implementasi dari proses produksi

dan sampaikan rancangan tersebut kepada pemilik proses.( Pande, 02)

2.3 DMAIC (Define, measure, analyze, improve, control)

DMAIC merupakan proses untuk peningkatan terus–menerus menuju target Six Sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta. Proses ini menghilangkan langkah–langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pengukuran–pengukuran baru, dan menetapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma. ( Gaspersz, 2002).

2.3.1. Define

Define merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, yang paling penting untuk dilakukan adalah identifikasi produk dan/atau proses yang akan diperbaiki. Kita harus menetapkan prioritas utama tentang masalah-masalah dan/atau kesempatan peningkatan kualitas mana yang akan ditangani terlebih dahulu. Pemilihan proyek terbaik adalah berdasarkan pada identifikasi proyek yang sesuai dengan kebutuhan, kapabilitas dan tujuan organisasi. Langkah kedua yaitu pernyataan tujuan proyek harus ditetapkan untuk setiap proyek Six Sigma yang terpilih. Pernyataan tujuan yang benar adalah apabila mengikuti prinsip SMART sebagai berikut :

Specific Tujuan proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus bersifat

spesifik yang dinyatakan dengan tegas. Tim peningkatan kualitas Six Sigma harus menghindari pernyataan-pernyataan tujuan yang bersifat umum dan tidak spesifik. Pernyataan tujuan seyogianya menggunakan kata kerja, seperti : menaikkan, menurunkan, menghilangkan, dll.

Measurable Tujuan proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus dapat

diukur menggunakan indikator pengukuran yang tepat guna mengevaluasi keberhasilan, peninjauan-ulang, dan tindakan perbaikan diwaktu mendatang. Pengukuran harus mampu memunculkan fakta-fakta yang di-nyatakan secara kuantitatif menggunakan angka-angka.

Achievable Tujuan program peningkatan kualitas Six Sigma harus dapat

dicapai melalui usaha-usaha yang menantang (challenging effort).

Result-oriented Tujuan program peningkatan kualitas Six Sigma harus berfokus pada hasil-hasil berupa pencapaian target-target kualitas yang ditetapkan, yang ditunjukkan melalui penurunan DPMO (defect per million opportunities), peningkatan kapabilitas proses (cpm;cpmk), dll.

Time-bound Tujuan program peningkatan kualitas Six Sigma harus menetapkan batas waktu pencapaian tujuan itu dan harus dicapai secara tepat waktu. (Pande,2002)

2.3.2 Measure

Tahap ini merupakan langkah operasional kedua dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Terdapat 3 hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap Measure, yaitu :

1. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas (CTQ) kunci yang berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan.

2. Melakukan pengumpulan data melalui pengukuran yang dapat

dilakukan pada tingkat proses, output dan outcome.

Sebelum melakukan pengukuran, terlebih dahulu kita harus membedakan apakah data yang diukur itu merupakan data variabel atau data atribut. Data variabel merupakan data kuantitatif yang diukur menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan

analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Contoh data variabel karakteristik kualitas adalah : diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, konsentrasi elektrolit dalam persen, dll. Ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tinggi, diameter, volume. Data atribut merupakan data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data atribut bersifat diskrit. Contoh data atribut karakteristik kualitas adalah : ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan proses administrasi buku tabungan nasabah, banyaknya jenis cacat pada produk, banyaknya produk kayu lapis yang cacat karena corelap, dan lain-lain.

3. Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses, output, dan outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja (performance baseline) pada awal proyek Six Sigma. Baseline kinerja dalam proyek Six Sigma biasanya diterapkan menggunakan satuan pengukuran DPMO dan tingkat kapabilitas sigma (sigma level). Sesuai dengan konsep pengukuran yang biasanya diterapkan pada tingkat proses, output dan outcome, maka baseline kinerja juga dapat ditetapkan pada tingkat proses, output dan outcome. Pengukuran biasanya dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana output dari proses dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. (Pzydek, 2002)

2.3.3 Analyze

Tahap ini merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah beberapa hal sebagai berikut :

1. Menentukan kapabilitas/kemampuan dari proses.

Process capability merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.

Keberhasilan implementasi program peningkatan kualitas Six Sigma ditunjukkan melalui peningkatan kapabilitas proses dalam menghasilkan produk menuju tingkat kegagalan nol. Kemampuan proses didefinisikan sebagai “ukuran statistik dari variansi yang inheren pada suatu peristiwa tertentu dalam proses yang stabil.”

Cpm =

 

2 2 6 x T s LSL USL   

Dimana : Cpm = indeks kapabilitas proses (Process Capability Indeks) USL = batas spesifikasi atas (Upper Specification Limit) LSL = batas spesifikasi bawah (Lower Specification Limit) T = target

s = standart deviasi x = arithmetic mean

Kriteria penilaian indeks kapabilitas proses sebagai berikut : Cpm > 2,00 : maka proses dianggap mampu (capable)

Cpm = 1,00 – 1,99 : maka proses dianggap mampu namun perlu upaya upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target perusahaan berkelas dunia.

Cpm < 1,00 : maka proses dianggap tidak mampu (not capable) Semakin tinggi Cpm menunjukkan bahwa output proses itu semakin mendekati nilai spesifikasi target kualitas yang diinginkan pelanggan.

Menurut (Gasperz, 2002) bahwa analisis kapabilitas proses Cpm dan Cpk tidak dapat diterapkan pada data atribut karena data tersebut mengikuti pola distribusi binomium. Data atribut sering berbentuk kategori atau klasifikasi seperti : baik/buruk, sukses/gagal.

2. Mengidentifikasi sumber–sumber dan akar penyebab kecacatan atau

kegagalan. Untuk mengidentifikasi sumber-sumber penyebab kegagalan, dapat menggunakan Fishbone diagram (cause and effect diagram). Dengan analisa cause and effect, manajemen dapat memulai dengan akibat sebuah masalah, atau dalam beberapa kasus, merupakan akibat atau hasil yang diinginkan dan membuat daftar terstruktur dari penyebab potensial.

Setelah akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan, dimasukkan ke dalam cause and effect diagram yang telah mengkategorikan sumber-sumber penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu :

1) Manpower ( tenaga kerja ). 2) Machines ( mesin-mesin ). 3) Methods ( metode kerja ).

4) Material ( bahan baku dan bahan penolong ). 5) Media (surat kabar).

6) Motivation ( motivasi ). 7) Money ( keuangan ). ( Pzydek, 2002 )

2.3.4 Improve

Tahap Improve merupakan langkah operasional keempat dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Langkah ini dilakukan setelah sumber–sumber dan akar penyebab dari masalah kualitas teridentifikasi. Pada tahap ini ditetapkan suatu rencana tindakan (action Plan) untuk melaksanakan peningkatan kualitas Six Sigma. Tool yang digunakan untuk tahap improve ini adalah FMEA (Failure Mode and Effect Analysis).

Pada tahap ini tim peningkatan kualitas Six Sigma harus memutuskan apa yang harus dicapai serta alasan kegunaan rencana tindakan itu harus dilakukan, dimana rencana tindakan itu akan dilakukan, bilamana rencana tindakan itu akan dilakukan, siapa yang akan menjadi penanggung jawab dari rencana tindakan itu, bagaimana melaksanakan, dan berapa besar biaya untuk melaksanakan serta manfaat positif yang diterima dari implementasi rencana tindakan itu.(Gasper, 2002)

2.3.5 Control

Tahap ini merupakan langkah operasional kelima dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini hasil–hasil peningkatan kualitas di dokumentasikan dan disebarluaskan, praktek–praktek terbaik yang sukses dalam

peningkatan proses standardisasikan dan disebarluaskan, prosedur–prosedur didokumentasikan dan dijadikan pedoman kerja standard, serta kepemilikan atau tanggung jawab ditransfer dari tim Six Sigma kepada pemilik atau penanggung jawab, yang berarti proyek Six Sigma berakhir pada tahap ini.

Tujuan dari standardisasi adalah menstandardisasikan sistem kualitas Six Sigma yang telah terbukti menjadi terbaik dalam bisnis kelas dunia. Hasil–hasil yang memuaskan dari proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus

distandardisasikan, dan selanjutnya dilakukan peningkatan terus–menerus pada jenis masalah yang lain melalui proyek–proyek Six Sigma yang lain mengikuti konsep DMAIC. (Gaspersz, 2002).

2.4 CTQ (critical to quality)

CTQ merupakan karakteristik kualitas yang mempengaruhi kepuasan pelanggan terhadap suatu produk. CTQ dapat diklasifikasi kedalam tiga kategori, seperti yang disarankan oleh professor dari jepang, Noriaki Kano:

1. Penyebab ketidak puasan : sesuatu yang diharapkan didalam suatu produk atau jasa. Pada sebuah mobil, radio, pemanas, dan fitur-fitur keselamatan yang penting merupakan beberapa contoh yang tidak diminta langsung oleh pelanggan tetapi diharapkan ada di dalam ptoduk tersebut. Jika fitur-fitur ini tidak ada, maka pelanggan akan merasa tidak puas.

2. Penyebab kepuasan : sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan. Banyak

pembeli mobil menginginkan atap mobil, jendela otomatis, atau rem antikunci. Meskipun kebutuhan-kebutuhan ini tidak diminta oleh pelanggan. Memenuhi kebutuhan ini akan menciptakan kepuasan.

3. Pembuat senang : fitur baru atau otomatis yang tidak diharapkan pelanggan. Adanya fitur yang tidak diharapkan, seperti tombol prkiraan cuaca di radio atau kontrol audio khusus di kursi belakang yang terpisah yang member kesempatan pada anak-anak untuk mendengarkan music yang berbeda dari orang tua mereka, menghasilkan persepsi kualitas yang lebih tinggi. (Pzydek, 2002).

2.5 DPMO (Defects per million opportunities)

Defect adalah kegagalan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh pelanggan. Sedangkan Defects per Opportunity (DPO) merupakan ukuran kegagalan yang dihitung dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan per satu kesempatan. Dihitung menggunakan formula DPO = banyaknya cacat atau kegagalan yang ditemukan dibagi dengan (banyaknya unit yang diperiksa dikalikan banyaknya CTQ potensial yang menyebabkan cacat atau kegagalan itu). Besaran DPO ini, apabila dikalikan dengan konstanta 1.000.000, akan menjadi ukuran Defect Per Million Opportunities (DPMO).

Defects Per Million Opportunities (DPMO) merupakan ukuran kegagalan dalam program peningkatan Six Sigma , yang menunjukkan kegagalan per satu juta kesempatan. Target dari pengendalian kualitas Six Sigma Motorola, sebesar 3,4 DPMO seharusnya tidak diinterpretasikan sebagai 3,4 unit output yang cacat dari sejuta unit output yang diproduksi, tetapi diinterpretasikan sebagai dalam satu unit produk tunggal terdapat rata–rata kesempatan untuk gagal dari suatu karakteristik CTQ adalah hanya 3,4 kegagalan per satu juta kesempatan.

Saat ini pihak Motorola telah membuat gambaran kapabilitas sebuah proses dalam perbandingan antara sigma dan DPMO yang ditunjukkan di tabel 2.1

Tabel 2.1 Tabel konversi Sigma Motorola

Presentase yang

memenuhi spesifikasi DPMO Sigma

30,9 % 69,2 % 93,3 % 99,4 % 99,98 % 99,9997 % 690.000 308.000 66.800 6.210 320 3,4 1 2 3 4 5 6 (Gasperz, V., 2002) Keterangan :

- Pada nilai DPMO sebesar 690.000 unit maka level sigmanya dikategorikan berada pada 1 sigma dengan prosentase sebesar 30,9 %

- Pada nilai DPMO sebesar 308.000 unit maka level sigmanya dikategorikan berada pada 2 sigma dengan prosentase sebesar 69,2 %

- Pada nilai DPMO sebesar 66.800 unit maka level sigmanya dikategorikan berada pada 3 sigma dengan prosentase sebesar 93,3 %

- Pada nilai DPMO sebesar 6.210 unit maka level sigmanya dikategorikan berada pada 4 sigma dengan prosentase sebesar 99,4 %

- Pada nilai DPMO sebesar 320 unit maka level sigmanya dikategorikan berada pada 5 sigma dengan prosentase sebesar 99,98 %

- Pada nilai DPMO sebesar 3,4 unit maka level sigmanya dikategorikan berada pada 6 sigma dengan prosentase sebesar 99,9997 %

2.6 Kapabilitas Proses (Process Capability)

Kapabilitas proses adalah kemampuan proses untuk memproduksi atau menyerahkan output sesuai dengan ekspektasi dan kebutuhan pelanggan. Perlu

dipahami bahwa indeks Cpm yang digunakan mengacu pada CTQ (Critical-To-Quality) tunggal atau item karakteristik kualitas individual. Indeks Cpm mengukur kapabilitas potensial atau melekat dari suatu proses yang diasumsikan stabil, dan biasanya didefinisikan sebagai :

Cpm = 2 2 ) ( 6 ) (     T LSL USL

USL = Upper Specification Limit (batas spesifikasi atas) LSL = Lower Specification Limit (batas spesifikasi bawah)

T = Nilai target (nilai terbaik untuk karakteristik kualitas yang diharapkan Pelanggan) dari produk.

Ketiga nilai USL, LSL, dan T ditentukan berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi rasional dari pelanggan.

μ

= Nilai rata-rata (mean) proses aktual

σ

2 = Nilai varian (variance) dari proses yang merupakan ukuran variasi proses Kapabilitas proses hanya diukur untuk proses yang stabil, sehingga apabila proses itu dianggap tidak stabil, maka proses itu harus distabilkan terlebih dahulu. Dengan demikian nilai standar deviasi yang digunakan dalam pengukuran kapabilitas proses (Cpm) harus berasal dari proses yang stabil, sehingga merupakan variasi yang melekat pada proses yang stabil itu (common-cause variation).

Keberhasilan implementasi program peningkatan kualitas Six Sigma ditunjukkan melalui peningkatan kapabilitas proses dalam menghasilkan produk menuju tingkat kegagalan nol (zero defect). Oleh karena itu, konsep perhitungan kapabilitas proses menjadi sangat penting untuk dipahami dalam implementasi program Six Sigma.

Dalam konteks pengendalian proses statistikal dikenal dua jenis data, yaitu :

- Data Attribut (Attributes Data) merupakan data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data attribut bersifat diskrit. Contoh data attribut karakteristik kualitas adalah : ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan proses administrasi buku tabungan nasabah, banyaknya jenis cacat karena corelap, dana lain-lain. Data attribut biasanya diperoleh dalam bentuk unit-unit nonkonformans/ketidaksesuaian atau cacat/kegagalan terhadap spesifikasi kualitas yang ditetapkan.

- Data Variabel (Variables Data) merupakan data kuantitatif yang diukur menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Contoh data variabel karakteristik kualitas adalah ; diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, konsentrasi elektrolit dalam persen, dll. Ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tinggi, diameter, volume merupakan data variabel. (Pzydek, 2002).

2.6.1 Penentuan Kapabilitas Proses Untuk Data Attribut

Berikut ini akan dibahas tentang teknik memperkirakan kapabilitas proses dalam ukuran pencapaian target Sigma untuk data atribut (data yang diperoleh melalui perhitungan-bukan pengukuran langsung). Pada umumnya data atribut hanya memiliki dua nilai yang berkaitan dengan YA atau TIDAK.

Menurut (Gaspersz, 2002) Langkah-langkahnya : 1. Proses apa yang ingin anda tahu ?

2. Berapa banyak unit yang dikerjakan melalui proses? 3. Berapa banyak unit transaksi yang gagal

4. Hitung tingkat cacat berdasarkan langkah 3 (langkah 3) / (langkah 2)

5. Tentukan banyaknya CTQ potensial yang dapat mengakibatkan cacat Banyaknya karakteristik CTQ

6. Hitung peluang tingkat cacat per karakteristik CTQ (langkah 4) / (langkah 5)

7. Hitung kemungkinan cacat per satu juta kesempatan (DPMO) (langkah 6) x 1.000.000

8. Konversi DPMO (langkah 7) ke dalam nilai sigma

9. Buat kesimpulan

DPO = Banyaknya cacat atau kegagalan yang ditemukan

(Banyaknya unit yang diperiksa x banyaknya kegagalan)

DPMO = DPO x 1.000.000

2.6.2 Penentuan Kapabilitas Proses Untuk Data Variabel

Data variabel merupakan data kuantitatif yang dihitung menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Jika suatu catatan dibuatberdasarkan keadaan aktual, diukur secara langsung, maka karakteristik kualitas yang diukur itu disebut variable. Contoh data variabel karakteristik kualitas adalah : diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, konsentrasi elektrolit dalam

persen, dll. Ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tingi, diameter, volume merupakan variabel.

Teknik penentuan kapabilitas proses untuk data variabel adalah sebagai berikut :

a. Menentukan proses yang ingin diukur.

b. Menentukan nilai batas spesifikasi atas dan batas spesifikasi bawah. c. Menentukan nilai target yang ingin dicapai.

d. Menghitung nilai rata-rata dan standar deviasi dari proses.

e. Menghitung nilai DPMO, dengan menggunakan formula sebagai berikut :

DPMO = [ P { Z ≥ ( USL – X-bar ) / S } x 1juta ] + [ P { Z ≤ ( LSL – X-bar ) / S } x 1juta ]

Dimana , USL : Batas spesifikasi atas LSL : Batas spesifikasi bawah X-bar : Nilai rata-rata

Dokumen terkait