• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian distribusi maloklusi pada siswa SMAN 4 Medan dapat disimpulkan bahwa:

1. Hubungan molar dengan persentase tertinggi adalah hubungan molar Klas I Angle yaitu 62% (62 orang).

2. Hubungan molar Klas III Angle dengan persentase 37% (37 orang) adalah hubungan molar dengan persentase tertinggi kedua.

3. Hubungan molar yang paling rendah persentasenya adalah hubungan molar Klas II Angle yaitu 1% (1 orang).

4. Distribusi maloklusi berdasarkan bentuk-bentuk umum yang paling tinggi total persentasenya adalah crowding anterior 76% (76 orang) yang lebih banyak dijumpai pada perempuan 71,1% (37 orang). Total persentase spacing

16% (16 orang) yang lebih banyak dijumpai spacing anterior pada laki-laki 20,8% (10 orang). Sedangkan persentase crossbite 10% (10 orang) lebih banyak dijumpai crossbite anterior pada laki-laki 12,5% (6 orang). Persentase

deep bite 8% (8 orang) lebih banyak dijumpai pada laki-laki 12,5% (6 orang).

Open bite 3% (3 orang) yang lebih banyak dijumpai pada laki-laki 4,2% (2 orang) dan persentase protrusi 2% (2 orang) yang hanya dijumpai pada laki-laki.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan subjek penelitian yang lebih banyak untuk mendapatkan validitas yang lebih tinggi.

2. Perlu dilakukan penelitian menggunakan populasi siswa SMA Kota Medan agar dapat diketahui distribusi maloklusi pada siswa SMA Kota Medan.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Maloklusi

Maloklusi sebenarnya bukan suatu penyakit tetapi bila tidak dirawat dapat menimbulkan gangguan pada fungsi pengunyahan, penelanan, bicara, dan keserasian wajah yang berakibat pada gangguan fisik maupun mental.1,4,5 Maloklusi adalah penyimpangan letak gigi dan atau malrelasi antara rahang atas dan rahang bawah.7,9 Maloklusi memiliki dampak yang besar terhadap individu dan lingkungan sosial dalam hal kenyamanan, kualitas hidup, keterbatasan sosial dan fungsi.12

2.1.1 Klasifikasi

Klasifikasi ini dibagi berdasarkan persamaan yang dimiliki berbagai macam maloklusi sehingga bisa digabungkan kedalam satu kelompok.13 Klasifikasi maloklusi ini memiliki beberapa keuntungan, diantaranya:14

a. Membantu dalam hal diagnosis dan rencana perawatan yang tepat.

b. Membantu dalam visualisasi dan pengertian masalah yang berhubungan dengan maloklusi.

c. Membantu dalam mengkomunikasikan masalah. d. Mudah membandingkan berbagai macam maloklusi.

Berbagai macam klasifikasi maloklusi diperoleh dari banyak penelti berdasarkan penelitian yang dilakukan dan penemuan yang relevan.13 Secara terminologi, maloklusi dibagi kedalam 3 macam, yaitu:13,14

a. Maloklusi intra-lengkung atau malposisi individual gigi yang satu dengan gigi yang lain dalam lengkung yang sama.

b. Maloklusi inter-lengkung malrelasi sekelompok gigi antara satu lengkung dengan lengkung lainnya.

c. Hubungan abnormal skeletal yang disebabkan karena kerusakan permanen struktur skeletal. Kerusakan bentuk dan posisi kedua rahang.

Pada tahun 1899, Edward Angle (cit. Singh) mengklasifikasikan maloklusi berdasarkan mesio-distal gigi, lengkung gigi dan rahang. Menurut Angle, molar satu permanen adalah kunci oklusi sehingga molar atas dan molar bawah memiliki relasi yang mana cusp mesiobukal molar atas kontak dengan groove bukal molar bawah.13,14,26 Angle membagi kedalam tiga kategori, yaitu:

1. Maloklusi Klas I

Rahang bawah terletak pada relasi mesiodistal yang normal terhadap rahang atas. Posisi cusp mesiobukal molar satu rahang atas beroklusi dengan groove bukal molar satu permanen rahang bawah dan cusp mesiolingual molar satu permanen rahang atas beroklusi dengan fossa oklusal molar satu permanen rahang bawah ketika rahang dalam posisi istirahat dan gigi dalam keadaan oklusi sentrik (Gambar 1).10,13,14,27-29 Maloklusi Klas I menggambarkan hubungan skeletal yang normal dan fungsi otot yang normal.14 Walaupun maloklusi Klas I Angle memiliki hubungan molar yang normal tetapi garis oklusinya kurang tepat dikarenakan malposisi gigi, rotasi gigi, proklinasi, gigitan terbuka anterior, crowding, spacing dan lain sebagainya.8,9,14,26,28,29

Gambar 1. Maloklusi Klas I Angle26

2. Maloklusi Klas II

Cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas beroklusi lebih ke mesial dari

groove mesiobukal molar satu permanen rahang bawah atau sebaliknya groove bukal molar satu permanen rahang bawah beroklusi lebih ke distal terhadap cusp

mesiobukal molar satu permanen rahang atas (Gambar 2).10,26,28,30 Banyak juga yang menyebutkan maloklusi ini ketika molar satu permanen rahang bawah posisinya lebih ke posterior daripada molar satu permanen rahang atas.29

Gambar 2. Maloklusi Klas IIAngle26

Angle membagi maloklusi Klas II menjadi dua divisi berdasarkan sudut labiolingual gigi insisivus rahang atas. Pembagiannya yaitu sebagai berikut:10,13,14,27-29

a. Klas II divisi 1

Hubungan molar Klas II tetapi gigi insisivus rahang atas labioversi.10,13,27 Maloklusi ini memiliki karakteristik proklinasi insisivus rahang atas yang proklinasi sehingga memperbesar overjet (Gambar 3).27,29 Pada maloklusi ini juga menunjukkan adanya aktivitas otot yang abnormal.9,14,28 Bibir atas biasanya hipotonik, pendek dan inkompeten dan bibir bawah berkontak dengan bagian palatal gigi rahang atas merupakan salah satu gambaran Klas II divisi 1 yang disebut sebagai “lip trap”.9,14

Gambar 3. Maloklusi Klas II divisi 1 Angle13

b. Klas II divisi 2

Maloklusi Klas II divisi 2 memiliki hubungan molar Klas II dengan karakteristik maloklusi ini adalah adanya inklinasi lingual atau linguoversi gigi insisivus sentralis rahang atas dan insisivus lateral rahang atas yang lebih ke labial ataupun mesial (Gambar 4).9,13,14,27,28 Pasien akanmenunjukkan overbite anterior yang berlebih (deep overbite).14 Bibir biasanya kompeten dengan garis bibir biasanya lebih tinggi

daripada normal (high lip line), bibir bawah menutupi insisivus atas lebih dari setengah insisivus atas.9

Gambar 4. Maloklusi Klas II divisi 2 Angle13

3. Maloklusi Klas III

Cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas beroklusi lebih ke distal terhadap groove mesiobukal molar satu permanen rahang bawah atau sebaliknya

groove bukal molar satu permanen rahang bawah beroklusi lebih ke mesial terhadap

cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas (Gambar 5).10,13,26,28,30 Selain itu, jika molar satu permanen rahang bawah memiliki posisi lebih ke anterior daripada molar satu permanen rahang atas juga disebut sebagai maloklusi Klas III.29 Maloklusi ini dapat disebabkan adanya maksila yang kecil dan sempit sedangkan mandibula dalam batas normal.9

Maloklusi Klas III dapat diklasifikasikan dalam true Class III dan pseudo Class III13 a. True Class III

Maloklusi Klas III skeletal yang berasal dari genetik dapat terjadi akibat beberapa hal berikut:14

1. Ukuran mandibula yang berlebih.

2. Maksila yang lebih kecil dari ukuran normal. 3. Kombinasi penyebab-penyebab di atas.

Insisivus rahang bawah memiliki inklinasi lebih ke lingual. Pasien dengan maloklusi ini dapat menunjukkan overjet normal, relasi insisivus edge to edge

ataupun crossbite anterior.14 b. Pseudo Class III

Maloklusi ini dihasilkan dari pergerakan ke depan mandibula ketika penutupan rahang sehingga disebut juga maloklusi Klas III ‘postural’ atau ‘habitual’.14 Mandibula pada maloklusi ini bergerak pada anterior fossa glenoid akibat kontak prematur dari gigi.13 Maloklusi ini merupakan maloklusi Klas III tetapi dengan relasi skeletal Klas I dan bukan merupakan maloklusi Klas III sesungguhnya. Kelainan gigitan silang anterior yang ada merupakan kelainan dental.9

Pada tahun 1915, Dewey memodifikasi klasifikasi Angle. Dewey memodifikasi Klas I klasifikasi Angle ke dalam 5 tipe dan Klas III klasifikasi Angle kedalam 3 tipe. Modifikasinya adalah sebagai berikut:13,14,28

a. Modifikasi Klas I oleh Dewey

Tipe 1: Maloklusi Klas I dengan gigi anterior rahang atas berjejal (crowded). Tipe 2: Klas I dengan insisivus maksila yang protrusi (labioversi).

Tipe 3: Maloklusi Klas I dengan crossbite anterior. Tipe 4: Relasi molar Klas I dengan crossbite posterior.

Tipe 5: Molar permanen mengalami drifting mesial akibat ekstraksi dini molar dua desidui atau premolar dua.

b. Modifikasi Klas III oleh Dewey

Tipe 1: Ketika rahang atas dan bawah dilihat secara terpisah menunjukkan susunan yang normal, tetapi ketika rahang dioklusikan, pasien menunjukkan adanya gigitan edge to edge pada insisivus.

Tipe 2: Insisivus rahang bawah berjejal dan menunjukkan relasi lingual terhadap insisivus rahang atas.

Tipe 3: Insisivus rahang atas berjejal dan menunjukkan crossbite dengan anterior rahang bawah.

Pada 1933, Lischer melakukan modifikasi terhadap klasifikasi Angle dengan mengganti nama Klas I, II dan III Angle dengan neutro-oklusi, disto-oklusi dan mesio-oklusi. Selain itu, Lischer juga mengklasifikasikan maloklusi gigi individual.13,14

1. Neutro-oklusi : istilah sinonim maloklusi Klas I Angle 2. Disto-oklusi : istilah sinonim maloklusi Klas II Angle 3. Mesio-oklusi : istilah sinonim maloklusi Klas III Angle

Nomenklatur Lischer pada malposisi individual gigi adalah dengan akhiran ‘versi’ pada kata yang diindikasikan penyimpangan dari posisi normal.

1. Mesioversi : lebih ke mesial dari posisi normal 2. Distoversi : lebih ke distal dari posisi normal 3. Linguoversi : lebih ke lingual dari posisi normal 4. Labioversi : lebih ke labial dari posisi normal

5. Infraversi : lebih ke inferior atau menjauh dari garis oklusi 6. Supraversi : lebih ke superior atau melewati garis oklusi 7. Aksiversi : inklinasi aksial abnormal, tipping

8. Torsiversi : rotasi gigi pada aksis panjangnya

9. Transversi : perubahan pada urutan posisi atau transposisi dua gigi

2.1.2 Etiologi

Maloklusi memiliki penyebab yang multifaktorial dan hampir tidak pernah memiliki satu penyebab yang spesifik.11,12 Moyer memiliki klasifikasi sendiri dalam

etiologi maloklusi ini. Menurut Moyer banyak macam faktor yang bisa menyebabkan maloklusi, tetapi hal-hal dibawah ini adalah faktor-faktor yang sering terjadi pada sekelompok orang daripada individual, yaitu:13,14

1. Herediter.

Anak pasti memiliki materi gen yang sama dengan orang tuanya. Faktor herediter ini memiliki pengaruh terhadap sistem neuromuskular, tulang, gigi dan jaringan lunak.14 Pengaruh herediter dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu:9

a. Disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema multiple meskipun yang terakhir ini jarang dijumpai.

b. Disproporsi ukuran, posisi dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis.

2. Gangguan pada masa perkembangan yang tidak diketahui penyebabnya. 3. Trauma (prenatal trauma dan postnatal trauma).

4. Agen fisis (ekstraksi dini pada gigi desidui dan sumber makanan).13,14 Gigi desidui yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi permanen. Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal prematur gigi desidui semakin besar akibatnya pada gigi permanen.9

5. Kebiasaan buruk. Banyak kebiasaan buruk yang bisa mempengaruhi, diantaranya adalah menghisap ibu jari, menjulurkan lidah, menghisap atau mengigit bibir, mengigit-gigit kuku, dan lain sebagainya.13,14 Suatu kebiasaan buruk yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi cukup tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan maloklusi. Durasi atau lama kebiasaan buruk berlangsung merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam menyebabkan maloklusi.9

6. Penyakit (penyakit sistemik, kelainan hormon endokrin ataupun penyakit lokal lainnya, misalnya: tumor, periodontitis, gingivitis, karies).

7. Malnutrisi.

Defisiensi nutrisi selama masa pertumbuhan bisa menyebabkan pertumbuhan yang abnormal contohnya maloklusi. Hal ini sering terjadi di negara berkembang.11

2.1.3 Prevalensi

Penelitian tentang prevalensi maloklusi memiliki hasil yang sangat beragam. Hal ini juga disebabkan karena perbedaan sampel, tahun dan negara dilaksanakannya penelitian. Oktavia dalam penelitiannya mengatakan bahwa prevalensi maloklusi pada remaja SMA di Kota Medan tahun 2007 sebesar 60,5%.2 Hasil penelitian Baral tahun 2013 menunjukkan 61,3% ras Arya dan 64% ras Mongoloid memiliki maloklusi Klas I. Untuk maloklusi Klas II divisi 1 yaitu 25,2% pada ras Arya dan 17,9% pada ras Mongoloid sedangkan maloklusi Klas II divisi 2 memiliki prevalensi yang lebih rendah yaitu 5,3% pada ras Arya dan 2,5% pada ras Mongoloid. Maloklusi Klas III terdapat pada 8,2% ras Arya dan 15,6% ras Mongoloid.25 Durgesh melakukan penelitian terhadap pasien yang memakai pesawat ortodonti di Mauritian tahun 2012 melaporkan maloklusi pada perempuan 65,7% dan laki-laki 34,3%. Laki-laki dan perempuan Asia memiliki angka terbesar dalam penyebaran maloklusi Klas I yaitu 87,9%. Untuk penyebaran maloklusi Klas I dan II lebih banyak pada usia 11-15 tahun sedangkan untuk Klas III lebih banyak pada usia 16-20 tahun.31

2.1.4 Bentuk Umum Maloklusi 2.1.4.1 Crowding

Crowding atau gigi berjejal dapat didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara ukuran gigi dan panjang lengkung (Gambar 6).10,14

Etiologi terjadinya crowding diantaranya adalah:14

a. Diskrepansi panjang lengkung dan ukuran gigi akibat kurang panjangnya lengkung atau ukuran gigi yang berlebih.

b. Adanya gigi supernumerary sehingga susunan gigi menjadi berjejal.

c. Retensi gigi desidui yang berkepanjangan menyebabkan erupsi gigi pengganti tidak di tempat yang seharusnya.

d. Abnormalitas ukuran dan bentuk gigi.

e. Tanggal prematur gigi desidui sehingga gigi tetangga drifting ke ruang kosong.

Gambar 6. Crowding26

2.1.4.2 Spacing

Spacing atau sering disebut diastema adalah celah atau ruangan yang terdapat antara gigi geligi yang dapat terjadi pada gigi geligi atas dan bawah (Gambar 7).10,26

Beberapa etiologi dari spacing adalah sebagai berikut:14

a. Spacing yang terjadi secara umum (generalized spacing) biasanya terjadi karena ketidakseimbangan panjang lengkung dan ukuran gigi. Kondisi oligodonsia dan mikrodonsia dapat menyebabkan spacing.

b. Morfologi gigi yang tidak normal, seperti gigi insisivus lateral yang peg shaped.

c. Kebiasaan buruk seperti menghisap ibu jari (thumb-sucking) dan tongue thrusting dapat menyebabkan spacing pada regio anterior.

d. Ukuran lidah yang tidak normal yaitu makroglosia dapat menunjang terjadinya spacing.

e. Gigi supernumerary yang tidak erupsi ataupun adanya patologi seperti lesi kistik diantara gigi.

Gambar 7. Spacing28

2.1.4.3 Crossbite

Graber mendefinisikan crossbite sebagai suatu kondisi dimana satu atau lebih gigi berada pada posisi abnormal yaitu lebih ke bukal atau palatal maupun labial dari gigi antagonisnya. Istilah ini juga digunakan pada overjet terbalik pada satu atau lebih gigi anterior.14

Berdasarkan lokasinya, crossbite dibagi atas anterior crossbite dan posterior

crossbite. Anterior crossbite adalah keadaan gigi insisivus atas terdapat sebelah palatal gigi insisivus bawah (Gambar 8A)13,26 sedangkan posterior crossbite adalah relasi transversal abnormal antara gigi posterior atas dan bawah dengan keadaan gigi posterior atas terletak sebelah palatal dari gigi posterior bawah (Gambar 8B).14

Gambar 8. A. Anterior crossbite, B. Posterior crossbite13

2.1.4.4 Deep bite

Deep bite adalah jarak vertikal yang berlebih dari normal antara tepi insisal insisivus sentralis atas ke tepi insisal insisivus sentralis bawah ketika rahang dalam

B A

hubungan sentrik (Gambar 9).13,26 Dalam keadaan normal, insisal gigi insisivus bawah berkontak dengan permukaan palatal dan insisivus atas tepat pada singulum atau di atas singulum. Ukuran normal over bite adalah 1-2 mm.26

Gambar 9. Deep bite13

2.1.4.5 Open Bite

Open bite adalah tidak adanya jarak overlap vertikal antara gigi pada rahang atas dan bawah ketika rahang dalam hubungan sentrik (Gambar 10).13,26 Open bite

bisa terdapat pada bagian anterior atau posterior.10,13

Gambar 10. Open bite13

2.1.4.6 Protrusi

Protrusi adalah keadaan dimana terdapat overjet yang melebihi normal (Gambar 11). Overjet adalah jarak horizontal antara insisivus sentralis atas dan

insisivus sentralis bawah.10,26 Dalam keadaan normal, insisivus sentralis atas terletak di depan insisivus sentralis bawah dengan jarak sekitar 2-3 mm. 26

2.2 Kerangka Teori

Maloklusi

Definisi Klasifikasi Bentuk umum

maloklusi

Angle Dewey Lischer

Klas II

Klas I Klas III

Divisi 1 Divisi 2 Etiologi Prevalensi Crowding Spacing Crossbite Deep bite Open bite Protrusi

2.3 Kerangka Konsep

Siswa SMAN 4 Medan

1. Distribusi maloklusi berdasarkan Klas I Angle 2. Distribusi maloklusi

berdasarkan Klas II Angle 3. Distribusi maloklusi

berdasarkan Klas III Angle

Distribusi maloklusi berdasarkan bentuk-bentuk umum

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gigi dan mulut merupakan investasi bagi kesehatan sepanjang hidup dalam kehidupan manusia.1,2 Gigi berperan pada proses pengunyahan, berbicara dan penampilan atau estetika.1-3 Berbagai penyakit maupun kelainan gigi dan mulut dapat mempengaruhi berbagai fungsi rongga mulut.1-4 Salah satunya adalah kelainan susunan gigi atau disebut maloklusi.1,2,4

Maloklusi sebenarnya bukan suatu penyakit tetapi bila tidak dirawat dapat menimbulkan gangguan pada fungsi pengunyahan, penelanan, bicara dan keserasian wajah yang berakibat pada gangguan fisik maupun mental.1,4,5Maloklusi adalah suatu bentuk oklusi yang menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk normal atau malrelasi lengkung rahang atas dan bawah yang tidak normal.1,2,4-9 Oklusi dikatakan normal jika susunan gigi dalam lengkung teratur dan baik serta terdapat hubungan yang harmonis antara gigi atas dan gigi bawah, hubungan seimbang antara gigi, tulang rahang terhadap tulang tengkorak dan otot sekitarnya yang dapat memberikan keseimbangan fungsional sehingga memberikan estetika yang baik.1,2,5,10 Penyimpangan tersebut berupa ciri-ciri maloklusi yang jumlah dan macamnya sangat bervariasi baik dari tiap individu maupun populasi, diantaranya adalah gigi berjejal (crowded), gingsul (caninus ectopic), gigi tonggos (disto oklusi),

gigi cakil (mesio oklusi), gigitan menyilang (crossbite),gigi jarang (diastema).2

Maloklusi memiliki penyebab yang multifaktorial dan hampir tidak pernah memiliki satu penyebab yang spesifik.11,12 Faktor penyebab maloklusi terbagi dua, yakni faktor umum dan faktor lokal. Faktor umum misalnya seperti genetik atau herediter, defisiensi nutrisi dan kebiasaan abnormal, sedangkan untuk faktor lokal berasal dari lengkung rahang misalnya gigi supernumerary, karies gigi dan kehilangan gigi desidui sebelum waktunya.11 Beberapa klasifikasi etiologi maloklusi sudah dikenalkan, salah satunya adalah klasifikasi etiologi maloklusi menurut Moyer.

Etiologi maloklusi menurut klasifikasi Moyer adalah herediter, trauma (prenatal trauma dan postnatal trauma), ekstraksi prematur gigi desidui, malnutrisi, kebiasaan buruk, penyakit sistemik, kelainan endokrin, dan penyakit lokal diantaranya adalah penyakit gingiva dan periodontal, karies, gangguan fungsi saluran pernafasan.13,14

Berdasarkan laporan dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2013, sebanyak 14 provinsi mengalami masalah gigi dan mulut yaitu 25,9%.1 Prevalensi maloklusi di Indonesia masih sangat tinggi sekitar 80% dari jumlah penduduk, dan merupakan salah satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang cukup besar.1,15 Maloklusi berada di urutan ketiga setelah karies dan penyakit periodontal dalam kategori masalah kesehatan gigi dan mulut.2,5,10,11,16,17 Beberapa peneliti di bidang ortodonti mengatakan bahwa maloklusi pada remaja Indonesia usia sekolah menunjukkan angka yang tinggi. Prevalensi maloklusi pada remaja di Indonesia mulai tahun 1983 sebesar 90% dan pada tahun 2006 sebesar 89%.2 Di Kota Medan, prevalensi maloklusi pada 4 Sekolah Menengah Umum bahkan telah mencapai 83% (Marpaung, 2006).2

Remaja masa kini sering dijumpai maloklusi tetapi tidak dilakukan perawatan. Mereka tidak merasa mengalami maloklusi atau tidak tahu bahwa dirinya membutuhkan perawatan ortodonti. Beberapa remaja lain menjadi rendah diri karena penampilan yang kurang menarik atau kurang sempurna fungsi bicara sebagai akibat dari maloklusi. Tidak sedikit pula, remaja banyak melakukan perawatan ortodonti. Tujuan mereka diantaranya adalah memperbaiki susunan gigi-geligi, memperbaiki penampilan wajah, meningkatkan fungsi bicara dan banyak yang bertujuan untuk gaya.18

Banyaknya minat remaja akan perawatan ortodonti atau kawat gigi dikarenakan kesadaran tentang penampilan fisik meningkat pada anak-anak yang usianya mendekati remaja.5,19 Masa remaja lebih mementingkan daya tarik fisik dan proses sosialisasi.2,16 Semakin dewasa seseorang kesadarannya terhadap kesehatan dan penampilan saat bersosialisasi akan bertambah oleh karena itu remaja khususnya remaja SMA lebih mementingkan estetik dalam kehidupan sosialnya dengan sesama teman sebaya dalam proses mencari identitas.2,5,20 Selain itu, faktor pendorong remaja

untuk mencari perawatan ortodonti sangat kompleks. Estetika, terutama susunan gigi anterior yang salah sering menjadi alasan utama untuk melakukan perawatan ortodonti dan memperbaiki susunan gigi-geligi adalah tujuan penting perawatan.21,22 Menurut WHO, usia yang dikatakan remaja ada pada usia 10-19 tahun.23,24 Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 25 tahun 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun dan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah. Jumlah kelompok usia 10-19 tahun di Indonesia menurut sensus penduduk 2010 sebanyak 43,5 juta atau sekitar 18% dari jumlah penduduk Indonesia. Di dunia, diperkirakan kelompok remaja berjumlah 1,2 milyar atau 18% dari jumlah penduduk dunia (WHO,2014).24

Beberapa penelitian tentang prevalensi maloklusi khususnya pada remaja sudah dilakukan di berbagai negara di dunia. Penelitian Oktavia melaporkan bahwa prevalensi maloklusi pada remaja SMA di Kota Medan tahun 2007 sebesar 60,5%.2 Artenio pada tahun 2010 melaporkan hasil penelitian prevalensi maloklusi Klas I, II dan III berdasarkan klasifikasi Angle pada anak usia 12 tahun di Brazil secara berturut-turut adalah 55,92%, 42,86% dan 1,22%.16 Penelitian Astuti mengenai prevalensi maloklusi pada siswa SMP di Kecamatan Malalayang tahun 2011 mendapatkan hasil sebesar 60,2%.1

Hasil penelitian Baral tahun 2013 menunjukkan 61,3% ras Arya dan 64% ras Mongoloid memiliki maloklusi Klas I. Untuk maloklusi Klas II divisi 1 yaitu 25,2% pada ras Arya dan 17,9% pada ras Mongoloid sedangkan maloklusi Klas II divisi 2 memiliki prevalensi yang lebih rendah yaitu 5,3% pada ras Arya dan 2,5% pada ras Mongoloid. Maloklusi Klas III terdapat pada 8,2% ras Arya dan 15,6% ras Mongoloid.25

Pada tahun 2014, Rosihan melaporkan bahwa maloklusi lebih banyak terjadi pada anak usia 13-14 tahun. Kemudian, remaja laki-laki lebih sering mengalami maloklusi berat 72% sedangkan remaja perempuan sebagian besar mengalami maloklusi ringan 56%. Hal ini dikarenakan remaja perempuan lebih memperhatikan penampilan mereka saat bersosialisasi dengan teman sebaya dan remaja laki-laki

bersifat acuh tak acuh atau kurang memperhatikan penampilan. Selain itu juga bisa disebabkan faktor orang tua.5

Tingginya angka maloklusi di Indonesia khususnya remaja membuat peneliti ingin melakukan penelitian tentang distribusi maloklusi tersebut. Maka dari itu, peneliti ingin melakukan penelitian di SMAN 4 Medan untuk mengetahui distribusi maloklusi tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

Bagaimanakah distribusi maloklusi pada siswa SMAN 4 di Kota Medan.

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui distribusi maloklusi pada siswa SMAN 4 di Kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan bagi ilmu kedokteran gigi khususnya dalam bidang Ortodonti.

b. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai langkah awal untuk dikembangkan pada penelitian selanjutnya.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak sekolah mengenai distribusi maloklusi.

Abstrak Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ortodonsia Tahun 2016

Maria Ulfah

Distribusi Maloklusi pada Siswa SMAN 4 Medan Tahun 2016.

Dokumen terkait