KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan
1. Periode pelukaan dengan metode bor dan pemberian stimulansia ETRAT memberikan pengaruh nyata terhadap produktivitas getah pinus. Produktivitas penyadapan getah pinus dengan ETRAT terbesar yaitu pada periode pelukaan 3 hari sebesar 20,93 gram/bor/hari dan produktivitas penyadapan getah pinus terkecil dengan ETRAT yaitu pada periode pelukaan 7 hari sebesar 16,12 gram/bor/hari sedangkan untuk produktivitas getah pinus paling rendah yaitu pada periode 3 hari tanpa ETRAT sebesar 12,31 gram/bor/hari
2. Semakin lama periode pelukaan yang dilakukan maka produktivitas getah pinus semakin menurun
6.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jumlah maksimal pelukaan dengan metode bor dalam satu pohon
2. Perlu dilakukan pengamatan mengenai waktu penutupan luka dengan metode bor
3. Perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut mengenai waktu maksimal penyadapan getah dengan metode bor
4. Dalam menerapkan penyadapan getah pinus dengan metode bor di Hutan Pendidikan Gunung Walat maka perlu adanya penggunaan alat atau mesin bor mekanis agar lebih efisien dalam pengerjaannya
DAFTAR PUSTAKA
Adhi YA. 2008. Pengaruh Jumlah Sadapan Terhadap Produksi Getah Pinus (Pinus merkusii) dengan Metode Koakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kabupaten Sukabumi Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Darmastuti IN. 2011. Pengaruh Penggunaan Stimulansia Organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) Terhadap Produktivitas Penyadapan Getah Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Fakultas Kehutanan IPB. 1989. Penyempurnaan Cara Penyadapan getah Pinus untuk Peningkatan Produksi Getah. Laporan Penelitian Fakultas Kehutanan IPB dan Perum Perhutani.
Fakultas Kehutanan IPB. 2010. Kondisi Umum Hutan Pendidikan Gunung Walat. http://fahutan.ipb.ac.id/id/kondisi-umum [14 Nov 2012]
Fakultas Kehutanan IPB 2012. Profil Hutan Pendidikan Gunung Walat. http://www.gunungwalat.net/id/content/profil [14 Nov 2012]
Harahap RMS. 1995. Keragaman Sifat dan Uji Asal Benih Pinus merkusii di Sumatera. Buletin Penelitian Kehutanan. Pematang Siantar. 11(3):295-307. Haqiqi N. 2011. Pengaruh Periode Pembaharuan Luka Terhadap Produktivitas
dan Kualitas Penyadapan Kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Hidayat J dan Hansen CP. 2001. Informasi Singkat Benih. Direktorat Perbenihan
Tanaman Hutan.
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/IFSP/Pinus_merkusii.pdf [6 Nov 2006]
Litbang Kehutanan. 1996. Kajian Teknis Ekonomis Pengolahan Gondorukem Dalam Rangka Peningkatan Nilai Tambah Studi Kasus PGT Paninggaran dan PGT Cimanggu. Laporan Akhir Penelitian. Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan dan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Tidak diterbitkan.
Natalia LH. 2010. Penentuan Waktu Standar Penyadapan Getah Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Nurkhairani. 2008. Pengaruh Pemberian Berbagai Jenis Stimulansia Terhadap Produksi Getah Pinus (Pinus merkusii Jung et de Vriese) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Putri IOA. 2011. Pengaruh Cara Pemberian ETRAT 1240 Terhadap Produktivitas Penyadapan Kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor
Santosa G. 2006. Pengembangan Metode Penyadapan Kopal Melalui Penerapan Teknik Sayatan [disertasi]. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB.
Santosa G. 2011. Pengaruh Pemberian ETRAT terhadap peningkatan Produktivitas Penyadapan Getah Pinus (Studi Kasus di KPH Sukabumi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten). Laporan Penelitian. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Soetomo. 1971. Pemungutan dan Pengolahan Getah Pinus. KPH Pekalongan Timur.
Steenis CGGJ van. 2003. Flora : untuk Sekolah di Indonesia. Pradnya Paramita. Jakarta. Hlm. 102.
Sudrajat R, Setyawan D, Sumadiwangsa S. 2002. Pengaruh Diameter Pohon, Umur dan Kadar Stimulan Terhadap Produktivitas Getah Tusam (Pinus merkusii Jungh et. de. Vries). Buletin Penelitian Hasil Hutan Vol. 20 No.2 Th. 2002: 143-158.
Sumadiwangsa S, Lestari NH, Bratamiharja S. 1999. Pengaruh Kadar Stimulan dan Penutupan Luka Sadap pada Penyadapan Pinus (Pinus merkusii). Duta Rimba September 1999. Hlm: 35−38.
Sumadiwangsa ES. 2000. Pemanfaatan Resin Untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Sekitar Hutan. di dalam : Peningkatan Efisiensi Pemanfaatan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu; Bogor, 7 Des 2000. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Hlm: 123−124.
Sumantri I dan Endom W. 1989. Penyadapan Getah Pinus merkusii dengan Menggunakan Beberapa Pola Sadap dan Tingkat Konsentrasi Zat Perangsang.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 6, No.3 (1989) pp.: 152−159.
Wibowo P. 2006. Produktifitas Penyadapan Getah Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese dengan Sistem Koakan (QUARRE SYSTEM) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Wdidhi S. Oktober 2012. Perhutani Menuju Era Getah Bersih. Bina:2. http://www.petakhutan.wordpress.com [2 Nov 2012]
Yusnita E dan Setyawan D. 2000. Modifikasi Teknik Penyadapan Tusam (Pinus merkusii Jungh et.de.Vriese) untuk Meningkatkan Produksi Getah. di dalam :
Peningkatan Efisiensi Pemanfaatan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu;
Bogor, 7 Des 2000. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Hlm: 387-395.
Lampiran 1 Produktivitas rata-rata penyadapan getah pinus pada 4 perlakuan (gram/bor/hari)
Pohon Perlakuan (gram/bor/hari)
Contoh ke- A B C D 1 8,94 8,58 8,94 19,66 2 6,36 18,58 9,03 12,74 3 11,18 36,79 10,46 14,89 4 11,12 11,52 16,69 14,60 5 17,88 25,94 11,49 28,43 6 13,91 11,42 18,91 29,03 7 10,73 32,91 9,14 10,54 8 11,33 36,94 16,80 14,97 9 27,61 17,42 14,43 21,51 10 13,55 16,52 12,57 9,54 11 10,12 21,12 20,26 14,94 12 16,67 21,42 28,77 7,29 13 10,06 20,58 32,86 13,20 14 17,61 14,82 8,51 13,80 15 8,55 22,55 20,20 13,69 16 7,55 16,09 17,49 15,03 17 3,52 28,70 27,69 12,69 18 5,58 7,55 19,29 22,23 19 12,36 18,73 21,09 12,06 20 21,70 30,52 23,46 21,60 Total 246,30 418,67 348,06 322,43 Rata-rata 12,31 20,93 17,40 16,12
Lampiran 2 Hasil Analisis ANOVA dan Uji Duncan
1. ANOVA
The ANOVA Procedure
Dependent Variable: data
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value
Model 3 759.597414 253.199138 5.24 Error 76 3670.023755 48.289786
Corrected Total 79 4429.621169
2. Uji Duncan
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlk
A 20.935 20 B A B A 17.404 20 C B B C 16.122 20 D C C 12.317 20 A
Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Penomoran Pohon Proses Pengeboran
Pemasangan Pipa dan wadah plastik Pemanenan Getah
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu sumber kekayaan negara dan bangsa, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang sumber penghidupannya masih bergantung pada hutan, oleh karena itu kelangsungan dan kelestarian hutan sangat bergantung pada tindakan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya hutan tersebut.
Pemanfaatan sumber daya hutan baik Hasil Hutan Kayu maupun Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) harus dikelola sebaik-baiknya agar mendapatkan hasil yang maksimal. Getah Pinus merupakan salah satu HHBK yang memiliki permintaan dan nilai jual yang cukup tinggi. Hasil olahan getah pinus terdiri dari gondorukem dan terpentin. Gondorukem memiliki banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembuat sabun, bahan pelapis, tinta printer, batik dan cat sedangkan terpentin dapat digunakan sebagai bahan pengencer cat, vernis dan pembersih lantai.
Produksi gondorukem yang dihasilkan di Indonesia pada tahun 2011 adalah 90.000 ton. Produksi ini akan terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk hal ini didukung oleh target produksi gondorukem pada tahun 2013 sebesar 102.000 ton (Wdidhi 2012). Pemenuhan target ini diikuti dengan meningkatnya permintaan getah pinus. Oleh karena itu, dibutuhkan cara untuk meningkatkan produktivitas getah pinus antara lain adalah dengan penyempurnaan teknik sadapan. Teknik penyadapan yang selama ini dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) adalah penyadapan getah pinus dengan metode koakan (quarre). Metode koakan masih memiliki banyak kekurangan baik dilihat dari segi produktivitas getah, kelestarian pohon pinus dan kualitas getah terutama jika dilihat dari kadar kotorannya maka diperlukan penyempurnaan metode sadapan dengan metode bor.
Penggunaan metode bor pada sadapan pinus ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan industri pengguna getah pinus dan dapat menjaga kelestarian pohon pinus karena menurut Soetomo (1971) kualitas getah yang dihasilkan lebih baik daripada sistem koakan demikian juga dengan kuantitasnya, sistem bor
menghasilkan 20 gram/lubang/hari, interval sadapan lebih panjang dari sistem koakan, tidak rentan penyakit karena luka yang dibuat lebih kecil, selain itu penambahan stimulansia ETRAT pada luka sadap yang selama ini digunakan di HPGW juga sangat diperlukan karena stimulansia ini berfungsi untuk merangsang dan memperlancar keluarnya getah.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu:
1. Mengetahui produktivitas penyadapan getah pinus menggunakan metode bor dengan pemberian stimulansia ETRAT
2. Mengetahui pengaruh periode pelukaan terhadap produktivitas penyadapan getah pinus dengan metode bor
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif suatu teknik penyadapan getah pinus untuk menjaga kelestarian produksi getah dan pohon pinus selain itu diharapkan dapat memberi solusi kepada penyadap pinus agar pendapatan dari hasil sadapan pinus dapat meningkat karena kuantitas dan kualitas getah yang didapat lebih tinggi. Bagi pengelola Hutan Pendidikan Gunung Walat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi bahan masukan dalam pemilihan metode penyadapan getah pinus dan pemilihan periode pelukaan yang tepat. Bagi peneliti penelitian ini diharapkan berguna sebagai informasi dan sebagai bahan acuan dalam mengambil suatu keputusan untuk suatu kasus nyata yang terkait atau lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Pohon Pinus merkusii
Pinus merkusii termasuk dalam famili Pinaceae dengan nama lainnya Pinus sumatrana Jungh. Pinus memiliki nama lokal yang berbeda-beda diantaranya tusam (Indonesia), uyam (Aceh), son son bai (Thailand), mindero pine (Philipina) dan tenasserim pine (Inggris) (Hidayat dan Hansen 2001).
Pinus merkusii Jung et de Vriese pertama kali ditemukan dengan nama tusam di daerah Sipirok, Tapanuli Selatan oleh seorang ahli botani Jerman–Dr. F. R. Junghuhn–pada tahun 1841. Jenis ini tergolong jenis cepat tumbuh dan tidak membutuhkan persyaratan khusus. Keistimewaan jenis ini antara lain merupakan satu-satunya jenis pinus yang menyebar secara alami ke selatan khatulistiwa sampai melewati 2 ° LS (Harahap 1995).
Tinggi Pinus merkusii Jungh et de Vriese dapat mencapai 20-40 meter. Daunnya dalam berkas dua dan berkas jarum (sebetulnya adalah tunas yang sangat pendek yang tidak pernah tumbuh) pada pangkalnya dikelilingi oleh suatu sarung dari sisik yang berupa selaput tipis panjangnya sekitar 0,5 cm. Bunga jantan panjangnya sekitar 2 cm, pada pangkal tunas yang muda, bertumpuk seperti bulir. Bunga betina berkumpul dalam jumlah kecil pada ujung tunas muda, silindris dan sedikit berbangun telur, kerapkali bengkok. Sisik kerucut buah dengan perisai ujung berbentuk jajaran genjang, akhirnya merenggang, kerucut
buah panjangnya 7−10 cm. Biji pipih berbentuk bulat telur, panjangnya 6−7 mm, pada tepi luar dengan sayap besar, mudah lepas (Steenis 2003).
Jenis Pinus merkusii memiliki bentuk batang bulat, lurus dengan kulit berwarna coklat tua, kasar dan beralur dalam serta memiliki tekstur halus dan licin saat diraba, memiliki permukaan mengkilap berwarna coklat kuning muda dan memiliki serat lurus dan memiliki tinggi rata-rata 25−35 m dengan tajuk bundar. Berdasarkan karakteristik tempat tumbuhnya, Pinus merkusii dapat tumbuh pada ketinggian bervariasi antara 200−2000 mdpl dan dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian diatas 400 mdpl dengan rata-rata curah hujan 1500−4000 mm/th. Jenis
panas atau dingin dan dapat tumbuh secara optimal pada daerah yang memiliki curah hujan sepanjang tahun (Siregar 2000, diacu dalam Natalia 2010).
2.2 Pinus sebagai Penghasil Getah
Getah pinus adalah semacam oleoresin yaitu campuran senyawa komplek resin dan terpentin berupa cairan kental dan lengket, bening atau buram. Oleoresin ini larut dalam alkohol, benzene, eter dan banyak pelarut lainnya, tetapi tidak larut dalam air (Sumadiwangsa et al. 1999).
Menurut Wibowo (2006) getah pinus merupakan campuran asam-asam resin yang larut dalam pelarut netral atau pelarut organik non polar seperti eter dan heksan. Getah pinus terdapat pada saluran resin (interseluler). Pada kayu daun jarum terdapat dua macam saluran resin, yaitu saluran resin normal dan saluran resin traumatis yang terbentuk akibat pelukaan dalam kayu. Getah pinus terdapat pada saluran resin atau celah-celah antar sel. Saluran tersebut sering disebut saluran interseluler. Saluran ini terbentuk baik ke arah memanjang batang diantara sel-sel trakeida maupun ke arah melintang dalam jaringan jari-jari kayu.
Fakultas kehutanan IPB (1989) menyatakan bahwa getah atau resin terbentuk sebagai akibat proses metabolisme sekunder dalam pohon. Getah berfungsi untuk melindungi sel-sel yang sedang tumbuh, memacu aktivitas pertumbuhan untuk penutupan luka mekanis jika terjadi serangan hama serta penyakit.
Getah pinus mampu menghasilkan manfaat berupa gondorukem dan terpentin. Kegunaan dari gondorukem adalah sebagai bahan vernis, bahan pembuat sabun, bahan pembuat batik, bahan solder, tinta printer, cat dan lain-lain. Terpentin bisa digunakan sebagai bahan pengencer cat dan vernis, bahan pelarut lilin dan bahan pembuatan kamper sintesis.
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Getah Pinus
Menurut Sumadiwangsa (2000), faktor yang mempengaruhi produktivitas getah pinus adalah:
a. Faktor dalam (genotip, umur, kondisi dan diameter pohon)
b. Faktor luar yaitu elevasi, bonita (kesuburan), iklim (curah hujan, suhu, kelembaban), kelerengan dan lingkungan jarak tanam
c. Faktor perlakuan seperti metode penyadapan, jumlah pembaharuan luka, pemakaian bahan stimulan (kadar dan dosis), keterampilan penyadap kebijaksanaan dan Sumber Daya Manusia.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ternyata bahwa pohon pinus umur 16 tahun dengan kadar stimulan 20% dapat meningkatkan produksi getah sebesar 33%, sedangkan untuk umur 26 tahun kadar stimulan 15% dapat meningkatkan produksi getah sebanyak 50% (Yusnita dan Setyawan 2000).
Produktivitas getah pinus dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor dari dalam pohon itu sendiri seperti jenis, diameter dan umur tegakan. Menurut Wibowo (2006) pengaruh getah pohon pinus berhubungan dengan diameter pohon. Dengan adanya pertumbuhan diameter pohon, maka volume kayu gubal semakin besar. Oleh karena itu semakin besar volume kayu gubal, maka saluran getah yang terkandung pada pohon pinus akan semakin banyak dan produksi getah pinus akan semakin meningkat. Produktivitas getah pinus juga dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh pohon dan perlakuan yang diberikan terhadap pohon seperti cara penyadapannya
Berdasarkan penelitian Litbang Kehutanan (1996), getah pinus sebagai hasil dari proses metabolisme pohon, produksinya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pohon itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Faktor Biologi Pohon a. Jenis pohon
Produksi getah berbeda menurut jenis, misalnya Pinus caribaea
menghasilkan getah yang lebih banyak dengan kerak yang menempel pada pohon lebih sedikit daripada Pinus palustris. Pinus khasya dapat memproduksi getah sebanyak 7 kg/pohon/tahun, sedangkan Pinus merkusii 6 kg/pohon/tahun.
b. Umur tegakan
Menurut Priyanto (1994) diacu dalam penelitian Litbang Kehutanan (1996), umur dan bonita tegakan mempunyai pengaruh nyata terhadap produksi getah pinus. Perum Perhutani juga baru melaksanakan penyadapan setelah pohon umur 10 tahun (kelas umur III) dan
dinyatakan bahwa produksi getah pada kelas umur V-VI telah mulai menurun.
c. Diameter dan tinggi pohon
Bidang dasar atau diameter pohon, tinggi pohon dan jarak antar pohon (populasi) berpengaruh nyata terhadap produksi getah Pinus merkusii. Dari ketiga peubah tersebut, diameter pohon mempunyai pengaruh paling besar.
2. Faktor Tempat Tumbuh
Proses fisiologis internal dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan silvikultur serta potensi keturunan pohon.
a. Ketinggian tempat
Tinggi tempat dari permukaan laut mempengaruhi produksi getah
Pinus merkusii. Tinggi tempat mempengaruhi suhu dan intensitas cahaya semakin tinggi tempatnya dari permukaan laut, suhu semakin rendah demikian juga intensitas cahaya. Rendahnya intensitas cahaya ini karena kelerengan dan adanya awan yang sering menutupi matahari. Hal yang demikian, akan mempengaruhi laju metabolisme dan asimilasi untuk selanjutnya akan mempengaruhi produksi getah. b. Iklim
Musim panas akan memberikan hasil yang lebih tinggi karena suhu dan intensitas cahaya lebih besar, tetapi karena panas yang terus menerus menyebabkan getah cepat kering dan aliran getah dapat berhenti. Cuaca yang dingin dapat memperlambat aliran getah, karena saluran getah dapat tersumbat oleh getah yang beku.
3. Faktor Perlakuan Terhadap Pohon
Produksi getah pinus dipengaruhi oleh perlakuan manusia terhadap pohon maupun tegakannya, seperti sistem penyadapan, arah sadap dan penggunaan larutan kimia sebagai perangsang dalam penyadapan. Perlakuan terhadap tegakan yang mempengaruhi produksi getah adalah penjarangan. a. Metode Sadapan
Penyadapan tanpa asam (stimulansia), lebih baik daripada dengan menggunakan asam sulfat dalam penyadapan sistem quarre.
Penggunaan asam hanya dapat mempengaruhi waktu pembaharuan koakan (quarre) dari tiga hari menjadi enam hari dan bukan untuk meningkatkan produksi. Kerusakan pada pemakaian asam dapat terlihat jelas dalam penyadapan bentuk koakan yaitu pada kayu yang mengering dan kulit yang merekah terpisah antara kayu dan kulitnya. b. Arah Sadapan
Koakan yang menghadap ke timur akan menghasilkan getah yang lebih banyak karena mendapatkan cahaya yang lebih cepat dan lebih lama. Karena suhu yang lebih tinggi dengan intensitas cahaya yang lebih banyak maka getah tidak cepat menggumpal.
c. Penjarangan Pohon
Penjarangan adalah perlakuan silvikultur terhadap tegakan hutan yang dibangun untuk menghasilkan kondisi pohon dalam pertumbuhan yang baik. Pada kondisi pohon yang baik akan menghasilkan kayu maupun getah pinus yang baik pula sehingga yang menjadi perhatian utama adalah tegakan dan bukan hasil produksi penjarangan.
Pohon yang ditebang saat penjarangan adalah pohon yang terserang hama atau penyakit, bentuknya jelek, tertekan, yang abnormal, jaraknya terlalu rapat dengan pohon lain dan tanaman selain pokok yang mengganggu tanaman pokok. Pada umumnya penjarangan dilakukan setiap 5 tahun sekali.
2.4 Sistem Penyadapan Getah Pada Pinus
Soetomo (1971) menyatakan ada tiga sistem penyadapan yang digunakan dalam menyadap getah pinus, yaitu:
1. Sistem koakan (quarre system)
Keuntungan dalam sistem koakan antara lain:
a. Alat yang digunakan mudah didapat, murah dan mudah diaplikasikan b. Pelaksanaan kerja lebih efisien
Kerugian dalam sistem koakan antara lain:
a. Mengingat bentuk dan ukuran alat yang besar dan kasar dengan penanganan oleh pekerja yang tidak tetap koakan umumnya terlalu dalam dan lebar sehingga membahayakan kelestarian produksi
b. Getah yang dihasilkan tercampur kotoran karena penampung selalu terbuka
c. Luka yang lebar mudah terserang penyakit 2. Sistem bor
Keuntungan sistem bor ini antara lain:
a. Kualitas getah yang dihasilkan lebih baik daripada sistem koakan demikian juga dengan kuantitasnya. Sistem bor menghasilkan 20 gram/lubang/hari
b. Interval sadapan lebih panjang dari sistem koakan
c. Tidak rentan penyakit, karena luka yang dibuat lebih kecil Sedangkan untuk kekurangan dari sistem bor ini adalah: a. Tenaga yang diperlukan lebih banyak dari sistem koakan b. Alat yang diperlukan lebih mahal
3. Sistem Amerika
Penyadapan getah pinus dengan menggunakan sistem Amerika dilakukan dengan dua cara, yaitu sistem Amerika dengan perlakuan permukaan dan sistem Amerika asam sulfat.
Perbedaan sistem Amerika asam sulfat dengan sistem Amerika dengan perlakuan permukaan terletak pada kedalaman luka dan penggunaan bahan kimia, yaitu asam sulfat (H2SO4). Luka sadap berbentuk V pada sistem Amerika dengan perlakuan permukaan memiliki kedalaman luka 2-5 cm sedangkan untuk sistem Amerika asam sulfat hanya 1 cm.
Sistem penyadapan getah pinus di Indonesia yang biasa digunakan adalah dengan menggunakan sistem penyadapan koakan dengan jumlah koakan lebih dari satu dalam satu pohon, namun sistem penyadapan dengan menggunakan sistem koakan masih memiliki kelemahan, diantaranya produktivitas rata-rata getah yang dihasilkan rendah yaitu 8,30 gram/quarre/hari data berdasarkan penelitian Darmastuti (2011), bagian luka yang terbuka relatif besar, getah yang tertampung banyak terdapat kotoran karena tempurung penampung yang selalu terbuka dan kualitas gondorukem yang dihasilkan rendah. Selain itu menurut Adhi (2006), kelemahan-kelemahan lain dalam sistem koakan ini adalah alat sadap
yang sederhana dan tenaga yang berbeda-beda menyebabkan luka terlalu dalam, dikhawatirkan kelestarian produksi getah dan pohon kurang terjaga.
Berdasarkan alasan tersebut maka digunakan metode bor pada penyadapan pinus yang memiliki keunggulan, diantaranya bagian luka sadap yang terbuka relatif kecil, sehingga diharapkan dapat meminimalisir terserangnya bahaya penyakit atau hama dan kebakaran dan kelestarian produksi getah dan pohon lebih terjamin serta produktivitas rata-rata getah yang dihasilkan dengan metode bor lebih besar dari pada dengan menggunakan sistem koakan. Menurut Wibowo (2006) dengan menggunakan metode bor getah yang keluar akan lebih cepat karena getah-getah tersebut tidak beraksi dengan udara bebas sehingga pembekuan getah dapat dikurangi.
Disamping memiliki keunggulan, penggunaan metode bor dalam penelitian ini juga memiliki kelemahan diantaranya alat penyadapan yang masih manual sehingga tenaga yang dibutuhkan untuk menyadap harus besar, serta tenaga penyadap harus merupakan tenaga yang tetap karena dibutuhkan keahlian khusus dalam menyadap untuk mengurangi tingkat kerusakan mata bor yang digunakan, selain itu alat bor manual yang susah didapat dan harganya yang relatif mahal dan pengaplikasian alat bor manual yang susah di lapang.
Menurut Sumantri dan Endom (1989) dalam upaya peningkatan produksi getah pinus, Perum Perhutani secara intensif terus melakukan sadapan baru disamping melakukan juga percobaan baru untuk mencari sistem sadap yang lebih tepat, dalam arti penyadapan yang dilakukan mampu mendapatkan hasil getah yang lebih banyak sedang kerusakan batang akibat sadapan sekecil mungkin. Dengan pola sadapan seperti itu diharapkan batang pohon yang diperoleh masih dalam keadaan mulus di saat pemanenan dan dengan demikian dapat memberikan nilai yang tinggi.
Penyadapan getah tusam pada umumnya dilakukan dengan cara koakan (quarre) baik dengan maupun tanpa bahan perangsang (stimulant). Selain itu, telah banyak dilakukan percobaan penyadapan dengan cara lain, seperti cara rill
dan cara bor. Agaknya suatu cara atau teknik penyadapan belum tentu cocok secara menyeluruh pada semua lokasi penyadapan. Sebagai contoh di daerah Sumedang dan Sukabumi, cara koakan memberi hasil sadap yang lebih tinggi
dibanding cara rill (Mardikanto dan Tobing 1996, diacu dalam Sudrajat et al.
2002).
2.5 Peranan Zat Stimulansia
Menurut Sumadiwangsa (2000) dalam penyadapan getah pinus bahan perangsang yang digunakan macamnya adalah beragam, tetapi komponen