• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Ada 6 faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat Asam Jawa tidak memanfaatkan pelayanan Puskesmas Aek Torop yaitu dari faktor predisposisi (kepercayaan, pengetahuan dan sikap), faktor pendukung, faktor pendorong, serta faktor kebutuhan.

Hasil penelitian menunjukkan faktor kepercayaan baik (30,9%) dan tidak baik (69,1%), faktor pengetahuan baik (56,7%) dan tidak baik (43,3%), faktor sikap baik (77,1%) dan tidak baik (22,9%), faktor pendukung baik (61,7%) dan tidak baik (38,3%), faktor pendorong baik (28,3%), kurang baik (44,6%), dan tidak baik (27,1%), serta faktor kebutuhan baik (49,8%) dan tidak baik (50,2%) terhadap perilaku masyarakat Asam Jawa yang tidak memanfaatkan pelayanan Puskesmas Aek Torop.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa faktor kepercayaan tidak baik (69,1%), faktor pengetahuan baik (56,7%), faktor sikap baik (77,1%), faktor pendukung baik (61,7%), faktor pendorong kurang baik (44,6%) serta faktor kebutuhan tidak baik (50,2%). Dari keenam faktor tersebut pengetahuan (56,7%), sikap (77,1%), faktor pendukung (61,7%) dalam kategori baik tetapi masyarakat juga tidak mau memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan Puskesmas Aek Torop. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan masyarakat mayoritas SLTA (35%), pekerjaan petani (41%), serta penghasilan masyarakat mayoritas < Rp.1600.000/bulan. Pendidikan tinggi akan mempengaruhi pemilihan pelayanan

kesehatan yang mempunyai fasilitas yang lebih baik serta dapat menilai baik tidaknya pelayanan yang diberikan petugas kesehatan Puskesmas. Dengan pekerjaan responden yang mapan tentu mempengaruhi penghasilan keluarga. Dengan penghasilan yang tinggi responden dapat memilih pelayanan kesehatan yang bermutu/berkualitas.

Sedangkan faktor kepercayaan tidak baik (69,1%), faktor pendorong kurang baik (44,6%), serta faktor kebutuhan tidak baik (50,2%). Hal ini disebabkan rendahnya mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan sehingga mempengaruhi tindakan masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan Puskesmas Aek Torop.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian maka penting diberi saran kepada beberapa pihak yaitu :

6.2.1. Praktek Keperawatan

Perawat perlu meningkatkan disiplin, keterampilan serta keramahtamahan dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan sehingga mempengaruhi masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan Puskesmas.

6.2.2. Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini memberikan informasi terhadap pendidikan keperawatan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan. Informasi yang didapat menjadi masukan bagi calon perawat yang akan bekerja di Puskesmas sehingga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat.

6.2.3. Penelitian Keperawatan

Desain deskriptif eksploratif yang digunakan pada penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu berupa angket/kuesioner pertanyaan, serta wawancara 1 pertanyaan. Peneliti tidak melakukan wawancara secara detail karena peneliti sedang dalam masa studi. Saran untuk penelitian selanjutnya dengan deskriptif kualitatif dengan metode wawancara secara mendalam setiap item pertanyaan didalam angket/kuesioner sehingga pembahasannya lebih lengkap.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Perilaku

Dilihat dari aspek biologisnya, perilaku merupakan sesuatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Pada hakikatnya kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) mempunyai bentangan yang sangat luas, seperti : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, membaca, menulis, dan sebagainya. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup berperilaku karena mereka mempunyai aktivitas masing- masing. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2007).

Skinner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar) karena terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespon. Skinner membedakan adanya dua respon dalam proses terjadinya perilaku, yaitu :

1. Respondent respon atau reflexive, yakni respon yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut

elicting stimulation karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap,

misalnya : makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya yang terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respons ini juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah

menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraanya dengan mengadakan pesta, dan sebagainya.

2. Operant respon atau instrumental respon, yakni respon yang timbul dan

berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforces, karena memperkuat respon, misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya, maka petugas kesehatan akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya (Notoatmodjo, 2007).

Berdasarkan teori Skiner yang menyatakan perilaku sebagai respon maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

1. Perilaku tertutup (Covert behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.

2. Perilaku terbuka (Overt Behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar.

Dari penjelasan di atas dapat disebutkan bahwa perilaku itu terbentuk di dalam diri seseorang dan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu :

Yaitu stimulus yang berasal dari luar diri seseorang, antara lain : lingkungan baik fisik dan non fisik yang berupa sosial, budaya, ekonomi maupun politik.

b. Faktor internal

Yaitu stimulus yang berasal dari dalam diri seseorang, antara lain : perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti dan sebagainya.

Faktor eksternal merupakan faktor yang memiliki peran yang sangat besar dalam bentuk perilaku manusia karena dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya dimana seseorang itu berada.

2.2. Domain Perilaku

Bloom (1908) membagi perilaku manusia itu ke dalam tiga domain, ranah atau kawasan yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotorik (psychomotorik). Teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yakni pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan praktik/tindakan (practice) (Notoatmodjo, 2007). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni :

2.2.1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt

behavior) (Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu : 1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau pengguanaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian- bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria-kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dilakukan dengan mengajukan pertanyaan- pertanyaan yang berkaitan dengan persepsi masyarakat tentang penggunaan puskesmas dan konsep sehat sakit masyarakat atau pengertian masyarakat tentang penyakit.

Indikator yang dapat digunaakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi :

1. Pengetahuan tentang sehat dan penyakit meliputi : 1. Penyebab penyakit

2. Gejala dan tanda-tanda penyakit

3. Bagaimana cara pengobatan, atau kemana mencari pengobatan 4. Bagaimana cara penularannya

5. Bagaimana cara pencegahannya 2. Pengetahuan tentang cara hidup sehat

1. Jenis-jenis makanan yang bergizi

2. Manfaat makanan yang bergizi bagi kesehatan 3. Pentingnya olahraga bagi kesehatan

4. Penyakit-penyakit atau bahaya merokok, minum-minuman keras, narkoba, dan sebagainya

5. Pentingnya istirahat cukup, rekreasi, dan lain sebagainya bagi kesehatan 3. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan

1. Manfaat air bersih

2. Cara-cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk kotoran dan sampah 3. Manfaat pencahayaan dan penerangan rumah sehat

4. Akibat polusi bagi kesehatan

Menurut Green dalam Notoatmodjo (2007), pengetahuan menjadi salah satu faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku seseorang atau masyarakat terhadap kesehatan. Jika masyarakat tahu apa saja pelayanan puskesmas, maka kemungkinan masyarakat akan menggunakan fasilitas kesehatan juga akan berubah seiring dengan pengetahuan seperti apa yang diketahuinya.

2.2.2. Sikap (Attitude)

Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Jadi manifestasi dari sikap tidak dapat langsung dilihat, namun hanya dapat ditafsirkan.

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003) sikap mempunyai 3 komponen pokok yang bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude), yaitu :

1. Kepercayaan, ide, dan konsep terhadap suatu objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek 3. Kecenderungan untuk bertindak

Sikap mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Sikap dibentuk dan diperoleh sepanjang perkembangan seseorang dalam hubungannya dengan objek tertentu

2. Sikap dapat berubah sesuai dengan keadaan dan syarat-syarat tertentu terhadap suatu kelompok.

3. Sikap dapat berupa suatu hal tertentu tetapi dapat juga kumpulan dari hal-hal tersebut

4. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dari segi-segi perasaan

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap juga terdiri dari berbagai tingkatan yakni (Notoatmodjo, 2007) :

1. Menerima (Receiving)

Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespons (Responding)

Merespon, diartikan sebagai memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.

3. Menghargai (Valuing)

Menghargai, diartikan sebagai mengajak orang lain untuk mengerjakan dan mendiskusikan suatu masalah.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko.

2.2.3. Praktik atau Tindakan (practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt

behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan

faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Notoatmodjo (2007), tindakan memiliki 4 tingkatan yaitu : 1. Persepsi (Perception)

Persepsi adalah mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

2. Respon Terpimpin (Guided Response)

Respon terpimpin adalah dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.

3. Mekanisme (Mechanism)

Mekanisme adalah suatu kondisi dimana seseorang mampu melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan. 4. Adopsi (Adoption)

Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran dari tindakan tersebut.

Pengukuran tindakan dapat dilakukan secara tidak langsung dan langsung. Secara langsung dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran secara

langsung dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmotmodjo, 2007).

2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu :

1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)

Faktor predisposisi mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan.

2. Faktor Pendukung (Enabling Factors)

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

3. Faktor Pendorong (Renforcing Factor)

Faktor pendorong mencakup sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

2.4. Perilaku kesehatan

Perilaku kesehatan menurut skinner (1938), sebagaimana dikutip oleh Notoatmodjo (2007), perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan.

Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007), membuat klasifikasi tentang perilaku kesehatan yang terdiri dari :

1. Perilaku Hidup Sehat

Perilaku hidup sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya yang mencakup antara lain :

a. Makan dengan menu seimbang (appropriate diet) b. Olahraga teratur

c. Tidak merokok

d. Tidak minum minuman keras dan narkoba e. Istirahat yang cukup

f. Mengendalikan stress

g. Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya tidak berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks.

2. Perilaku Sakit (Illness Behaviour)

Perilaku sakit ini mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang : gejala dan penyebab penyakit, dan sebagainya.

3. Perilaku Peran Sakit (The Sick Role Behaviour)

Orang sakit (pasien) mempunyai hak dan kewajiban sebagai orang sakit, yang harus diketahui oleh orang lain (terutama keluarganya). Perilaku ini disebut perilaku peran sakit (the sick role) yang meliputi :

a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan

b. Mengenal / mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan/penyembuhan penyakit yang layak

c. Mengetahui hak (misalnya ; hak memperoleh perawatan, memperoleh pelayanan kesehatan, dan sebagainya) dan kewajiban orang sakit (memberitahukan penyakitnya kepada orang lain terutama kepada dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain, dan sebagainya).

Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas terutama petugas kesehatan dan diperlukan juga undang-undang kesehatan untuk memperkuat perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2003)

2.5. Perilaku Sakit

Suchman dalam Notoatmodjo (2007) membagi 5 tahap kejadian yang menganalisa bagaimana proses seseorang di dalam membuat keputusan sehubungan dengan pencarian atau pemecahan masalah perawatan kesehatannya yaitu :

1. Tahap pengalaman/pengenalan gejala (The symptom experience)

Pada tahap ini individu membuat keputusan bahwa di dalam dirinya ada suatu gejala penyakit, yang didasarkan pada adanya rasa ketidakenakan pada badannya, yang dirasakan sebagai ancaman bagi hidupnya.

2. Tahap asumsi peran sakit (The assumption of sick role)

Pada tahap ini individu membuat keputusan bahwa ia sakit dan memerlukan pengobatan, ia mencari informasi dan pengakuan dari anggota keluarga lain, tetangga atau rekan kerja.

3. Tahap kontak dengan pelayanan kesehatan (The medical care contact)

Pada tahap ini individu mulai berhubungan dengan fasilitas/pelayanan kesehatan, sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, informasi yang ada pada dirinya tentang jenis-jenis pelayanan kesehatan.

4. Tahap ketergantungan pasien (The dependent patient stage)

Pada tahap ini individu memutuskan bahwa dirinya, karena perbuatannya sebagai pasien, maka untuk kembali sehat harus tergantung dan pasrah kepada fasilitas pengobatan.

5. Tahap penyembuhan atau rehabilitasi (The recovery of rehabilitation)

Pada tahap ini pasien atau individu memutuskan untuk melepaskan diri dari peran pasien. Ini ada 2 kemungkinan yaitu : pertama karena ia pulih kembali sebelum sakit, dan kedua karena ia menjadi cacat.

2.6. Model penggunaan pelayanan kesehatan

Salah satu model penggunaan pelayanan kesehatan adalah model sistem kesehatan (health system model). Anderson (1974) dalam Notoatmodjo (2007) menggambarkan model sistem kesehatan berupa model kepercayaan kesehatan yang menggambarkan 3 kategori utama dalam pelayanan kesehatan, yakni : karakteristik predisposisi, karakteristik pendukung, karakteristik kebutuhan.

2.6.1. Karakteristik predisposisi (Predisposing characteristic)

Karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu mempunyai kecenderungan untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya ciri-ciri individu, yang digolongkan kedalam 3 kelompok sebagai berikut :

a. Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin dan umur

b. Struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan atau ras, dan sebagainya

c. Manfaat-manfaat kesehatan (kepercayaan), seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses penyembuhan penyakit.

Karakteristik predisposisi ini tidak serta merta berpengaruh langsung terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan akan tetapi sebagai faktor pendorong untuk menimbulkan hasrat guna memanfaatkan pelayanan kesehatan.

2.6.2. Karakteristik pendukung (Enabling charateristic)

Karakteristik ini mencerminkan bahwa meskipun individu mempunyai predisposisi untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan namun beberapa faktor harus tersedia untuk menunjang pelaksanaanya seperti faktor kemampuan (penghasilan dan simpanan, askes, dll) dan dari komunitas (fasilitas pelayanan kesehatan).

2.6.3. Karakteristik kebutuhan (Need characteristics)

Faktor predisposisi dan faktor yang memungkinkan untuk mencari pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan. Dengan kata lain kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan.

2.7. Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan

Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit dan tidak merasakan sakit (disease but no illness) tentu tidak bertindak apa-apa terhadap

penyakit tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga merasakan sakit, maka baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha, antara lain :

1. Tidak bertindak/kegiatan apa-apa (no action) 2. Bertindak mengobati diri sendiri (self treatment)

3. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan alternatif (traditional

remedy)

4. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung obat (chemist shop) dan sejenisnya termasuk tukang-tukang jamu

5. Mencari pengobatan dengan pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modren yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan ke dalam pengobatan Puskesmas dan Rumah Sakit. 6. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modren yang diselenggarakan oleh

dokter (private medicine) (Notoatmodjo, 2003)

2.8. Puskesmas

2.8.1. Pengertian Puskesmas

Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) adalah suatu unit pelaksana fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan partisipasi masyarakat dalam bidang kesehatan, serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatannya secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu (Mubarak dan Chayatin, 2009 : 36).

Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju menuju terwujudnya Indonesia Sehat. Kecamatan Sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Trihono, 2005).

Menurut Mubarak dan Chayatin, (2009 : 38) mengatakan bahwa misi puskesmas sebagai pusat pengembangan kesehatan yang dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain sebagai berikut :

1. Memperluas jangkauan pelayanan kesehatan sampai ke desa-desa 2. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan

3. Mengadakan peralatan dan obat-obatan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat

4. Mengembangkan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa

2.8.3. Tujuan Puskesmas

Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional, yakni meningkatnya kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas, agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Trihono, 2005).

2.8.4. Fungsi Puskesmas

1. Sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat di wilayahnya

2. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat;

3. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya

2.8.5. Kegiatan puskesmas

Menurut Mubarak dan Chayatin, (2009 : 39) mengatakan bahwa terdapat 20 usaha pokok kesehatan yang dapat dilakukan oleh puskesmas. Namun, pelaksananaanya sangat bergantung pada faktor tenaga, sarana dan prasarana, biaya yang tersedia, serta kemampuan manajemen dari tiap-tiap puskesmas.

Berdasarkan buku kebijakan dasar PUSKESMAS yang disusun oleh Depkes RI tahun 2003, terdapat tujuh kegiatan sebagai upaya kesehatan wajib, yakni :

a. Upaya Promosi Kesehatan b. Upaya Kesehatan Lingkungan

c. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana d. Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat

e. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular f. Upaya Pengobatan

g. Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP)

Selain itu juga terdapat upaya kesehatan pengembangan yang disesuaikan dengan kemampuan Puskesmas, yakni :

b. Upaya Kesehatan Olahraga

c. Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat d. Upaya Kesehatan Kerja

e. Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut f. Upaya Kesehatan Jiwa

g. Upaya Kesehatan Mata h. Upaya Kesehatan Usia Lanjut

i. Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional j. Upaya Kesehatan Remaja

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Puskesmas adalah sarana pelayanan kesehatan dasar yang amat penting di indonesia. Puskesmas merupakan unit yang strategis dalam mendukung terwujudnya perubahan status kesehatan masyarakat menuju peningkatan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal tentu diperlukan upaya pembangunan sistem pelayanan kesehatan dasar yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat selaku konsumen dari pelayanan kesehatan dasar tersebut (Profil kesehatan indonesia, 2007).

Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan tingkat pertama dan terdepan dalam sistem pelayanan kesehatan, harus melakukan upaya kesehatan wajib (basic

six) dan beberapa upaya kesehatan pilihan yang disesuaikan dengan kondisi,

kebutuhan, tuntutan, kemampuan dan inovasi serta kebijakan pemerintah daerah setempat. Puskesmas dalam menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh dan terpadu dilaksanakan melalui upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan, dan pemulihan disertai dengan upaya penunjang yang diperlukan. Ketersediaan sumber daya baik dari segi kualitas maupun kuantitas, sangat mempengaruhi pelayanan kesehatan (Profil kesehatan indonesia, 2009).

Pada saat ini puskesmas telah didirikan di hampir seluruh pelosok tanah air. Untuk menjangkau seluruh wilayah kerjanya, puskesmas diperkuat dengan puskesmas pembantu serta puskesmas keliling. Jumlah puskesmas di Indonesia sampai dengan akhir tahun 2009 sebanyak 8.737 unit dengan rincian jumlah puskesmas perawatan 2.704 unit dan puskesmas non perawatan sebanyak 6.033 unit. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui keterjangkauan penduduk terhadap puskesmas adalah rasio puskesmas per 100.000 penduduk. Dalam kurun waktu 2005 hingga 2009, rasio ini menunjukkan adanya peningkatan. Rasio puskesmas per 100.000 penduduk pada tahun 2005 sebesar 3,50 pada tahun 2009 meningkat menjadi 3,78 (Profil kesehatan indonesia, 2009).

Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan masyarakat di puskesmas, beberapa puskesmas non perawatan telah ditingkatkan statusnya menjadi puskesmas perawatan. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, yaitu tahun 2005-2009 telah terjadi peningkatan jumlah puskesmas perawatan dari 2.077 unit pada tahun 2005 menjadi 2.704 unit pada tahun 2009(Profil kesehatan indonesia, 2009).

Sampai tahun 2008 jumlah puskesmas di Provinsi Sumatera Utara adalah 493 unit, setiap kecamatan di Provinsi Sumatera Utara sudah memiliki paling sedikit 1 (satu) puskesmas. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Sumatera Utara (13.042.317 jiwa), maka 1 puskesmas melayani 26.455 jiwa, bila dibandingkan dengan standar nasional , 1 (satu) puskesmas melayani 30.000 jiwa, berarti Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mampu menyediakan sarana kesehatan khususnya puskesmas mencapai standar nasional tersebut (Profil

Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2008) dan di Kabupaten Labuhanbatu Selatan sendiri saat ini tercatat 11 puskesmas yang melayani kesehatan dasar untuk

Dokumen terkait