• Tidak ada hasil yang ditemukan

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pekerja pembuat roti di PT R di Sempidi, Badung, Bali pada tahun 2013 didapatkan prevalensi RAK sebesar 28%. RAK pada kelompok yang terpapar debu gandum atau bekerja di bagian pengolahan sebesar 59,4% sedangkan bagian non pengolahan sebesar 8,0%. Dari 6 faktor yang diteliti seperti usia, masa kerja, riwayat atopi, merokok, paparan debu gandum, dan pemakaian APD, hanya paparan debu gandum yang terbukti secara bermakna meningkatkan risiko kejadian RAK pada pekerja pembuat roti sedangkan yang lainnya tidak terbukti.

7.2. Saran

Beberapa hal yang dapat disarankan antara lain: 1) satu-satunya faktor yang terbukti meningkatkan risiko kejadian RAK adalah paparan debu gandum. Didapatkan pekerja yang bekerja di bagian pengolahan lebih dari setengahnya menderita RAK, dengan tingkat penggunaan masker sangat rendah serta cara penggunaan yang tidak benar. Sehingga untuk menekan risiko kejadian RAK, disarankan untuk menggunakan APD atau masker yang benar dan secara continue bagi pekerja, sedangkan bagi perusahaan agar menyediakan masker standar dan mengawasi penggunaan masker oleh para pekerja, 2) Perlu dilakukan tindakan pengendalian dan pengelolaan lingkungan ruang pengolahan oleh perusahaan seperti menambah exhouser atau penyedot debu agar kadar debu tepung gandum tidak melebihi NAB sehingga dapat menurunkan angka prevalensi RAK, 3) Pada pemeriksaan pra kerja, riwayat atopi dan tes cukit kulit sebaiknya dilakukan khususnya untuk tapisan calon pekerja yang akan bekerja di bagian yang berhubungan dengan debu tepung gandum yaitu bagian pengolahan, 4) Pada kelompok pekerja yang menggunakan APD yang baik ternyata terdapat kejadian RAK positif, sehingga diperlukan penelitian untuk mengembangkan APD atau masker yang lebih aman dan nyaman untuk dipakai, dan berkualitas.

42 DAFTAR PUSTAKA

1. Eddy. Hubungan antara pajanan tepung dengan faal paru pada tenaga kerja pabrik tepung terigu PT. ISM BSFM [tesis]. Jakarta: Pasca Sarjana Universitas Indonesia; 2002.

2. Yunus F. Dampak debu industri pada paru pekerja dan pengendaliannya. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Bagian Pulmunologi FKUI/Unit Paru RSUP Persahabatan Jakarta.[diakses 8 Agustus 2006]. Diunduh dari: URL:http://www.kalbe.co.id/files/cdk/file/14DampakDebuIndustripadaParuP ekerja115.pdf

3. Undang-Undang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) No. 1 tahun 1970.

[diakses 27 Januari 2011]. Diunduh dari: URL:

http://www.scribd.com/doc/12966864/Peraturan-PerundangUndangan-K3 4. Cayanto, Wardani RS dan Nurullita U. Hubungan masa kerja dan pemakaian

alat pelindung diri (masker) dengan gangguan fungsi paru (FEV 1.0 dan FVC) pada penyapu jalan raya di kelurahan Mugassari dan Pleburan kota Semarang [tesis]. Semarang: Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah; 2007.

5. Heederik D and Houba R. An Exploratory quantitative risk assessment for high molecular weight sensitizer: wheat flour. Ann.Occup.Hyg 2001;45(3):175-85.

6. Aviandari G, Budiningsih S dan Ikhsan M. Prevalensi gangguan obstruksi paru dan faktor-faktor yang berhubungan pada pekerja dermaga dan silo gandum di PT R [tesis]. Jakarta: Pasca Sarjana Universitas Indonesia; 2008. 7. Moscato G, Vandenplas O, Wijk RGV, Malo JL, Perfetti L, Quirce S et al.

EAACI Position Paper on Occupational Rhinitis. Respiratory Research 2009;10:20-1.

8. Houba R, Heederik D, Doekes G. Wheat Sensitization and Work-related Symptoms in the Baking Industry Are Preventabel. An Epidemioloical Study. Am J Respir Crit Care Med 1998;158:1499-1503.

43

9. Fahrudin I. Rinitis akibat kerja dan faktor-faktor yang berhubungan. Studi pada pekerja yang terpajan debu tepung gandum di bagian pengepakan PT X tahun 2005 [tesis]. Jakarta: Pasca Sarjana Universitas Indonesia; 2006.

10. Ballenger JJ. Clinical anatomy and physiology of the nose and paranasal sinuses. Dalam: Ballenger JJ, Snow JB, penyunting. Otolaryngology head and neck surgery. Edisi ke-15. Baltimore: William & Wilkins, 1996; h.3-18. 11. Putz, R., dan Pabst, R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Dalam: Suyono, J.Y.

penyunting bahasa Indonesia. Edisi ke-21. Jakarta: EGC. 2000; h.90-1. 12. Shusterman D. Toxicology of nasal irritants. Current Allergy and Asthma

Reports 2003; 3:258–65.

13. Meggs WJ. Neurogenic inflammation and sensitivity to environmental chemical. Environmental Health Perspectives 1993; 101:234-8.

14. Sarin S, Undem B, Sanico A, Togias A. The role of the nervous system in rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2006;118:999-1014.

15. Bachert C. Persistent rhinitis – allergic or nonallergic? Allergy 2006; 5(76):11-5.

16. Arandelovic M, Stankovic I, Jovanovic J, Borisov S, Stankovic S. Allergic rhinitis-possible occupational disease-criteria cuggestion. Acta Fac. Med. Naiss 2004; 21(2):65-71.

17. Baratawidjaya KG dan Rengganis I. Rinitis Alergi. Dalam: Baratawidjaya KG dan Rengganis I, penyunting. Alergi dasar. Edisi ke-1. Jakarta: Interna Publising, 2009; h.233-63.

18. Gautrin D, Desrosiers M, Castano R. Occupational rhinitis. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2006; 6(2):77-84.

19. Drake-Lee A, Ruckley R, Parker A. Occupational rhinitis: A poorly diagnosed condition. J Laryngol & Otol 2002; 116(8):580-5.

20. Smith TA and Smith PW. Respiratory symptoms and sensitization in bread and cake bakers. Occup Med 1998;48:321-8.

21. Walusiak J. Occupational upper airway disease. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2006;6:167-72.

44

22. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J,Fokkens WJ, Togias A et al. Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA). Allergy 2008;63(68):8-160.

23. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmona N. Rinitis alergi. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, penyunting. Buku ajar THT. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; h. 128-133.

24. DeBenardo R. Occupational Rhinitis. Occupational Airways 2001;7:1-4. 25. Kumar, V., Abbas A.K., et al. Diseases of the Immune System. Dalam:

Schmitt W, Gruliow R, penyunting. Pathologic basis of Disease. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2010; h.254-62.

26. Shusterman D. Review of The Upper Airway, Including Olfaction, as Mediator of Symptoms. Environ Health Perspect 2002;10(4):649-53.

27. World Health Organization. Principles and methods for assessing allergic hypersensitization associated with exposure to chemicals. Environ Health Criteria,1999; h. 117-65.

28. Harianto dan Sumarman I. Prevalensi rinitis alergi perenial pada penduduk usia 10 tahun keatas di kodya dan kabupaten Bandung. Konggres Nasional XII Perhati-KL, Semarang, 28-30 Oktober, 1999.

29. Nathan RA, Meltzer EO, Selner JC and Storms W. Prevalence of Allergic Rhinitis in The United States. J Allergy Clin Immunol 1997;99:808-14. 30. Amin M. Peranan Defisiensi Alfa-1-Antitripsin, rokok dan polusi udara

(debu) sebagai faktor predisposisi penyakit paru obstruktif menahun. Dalam: Amin M., penyunting. Penyakit paru obstruktif menahun: polusi udara, rokok dan alfa-1-antitripsin. Edisi ke-1. Surabaya: Airlangga University Press, 1996; h. 61-132.

31. D’Amato G, Liccardi G, D’Amato M and Cazzola M. Outdoor air pollution, climatic changes and allergic bronchial asthma. Eur Respir J 2002;20:763-76. 32. Gilmour IM, Jaakkola MS, London SJ, Nel AE, Rogers CA. How exposure to

environment tobacco smoke, outdoor air pollutans, and increased pollen burden influences the incidence of asthma. Environ Health Perspect. 2006;

45

114(4):627-33. [diakses 10 Agustus 2010]. Diunduh dari: URL: http://www. medscape.com./viewarticle/530466.

33. Irawati N. Tes cukit: persiapan, metode dan interpretasinya. Kongres Nasional XIII Perhati-KL, Bali, 14-16 Oktober, 2003.

34. Rajakulasingam K. Nasal provocation testing. Dalam: Adkinson JR, Busse WW, Bochner BS, Holgate ST, Simons ER, dan Lemaske RF, penyunting. Middleton’s Allergy: Principle and Practice. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier Inc.,2003; h.1281-94.

35. Nathan RA, Eccles R, Howarth PH, Steinsva SK, Alkis Togias A. Objective monitoring of nasal patency and nasal physiology in rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2005; 115:442-59.

36. Hytonen ML, Sala EL, Malmberg HO, Nordman H. Acoustic rhinometry in the diagnosis of occupational rhinitis. Am J Rhinol 1996; 10:393-7.

37. Starling RS, Peake HL, Salome CM, Toelle BG, Marks GB, dan Lean L. Repeatability of peak nasal inspiratory flow measurements and utility for assessing the severity of rhinitis. Allergy 2005;60:795-800.

38. Eire MA, Pineda F, Losada S V, Cuesta CG, Villalva MM. Occupational rhinitis and asthma due to cedroarana (cedrelinga catenaeformis ducke) wood dust allergy. J Investig Allergol Clin Immunol 2006;16(6): 385-7.

39. Howarth PH, Persson CGA, Meltzer EO. Objective monitoring of nasal airway inflammation in rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2005; 159:414-41.

46 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RINITIS AKIBAT

Dokumen terkait