• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rinitis Akibat Kerja Pada Pekerja Pembuat Roti.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rinitis Akibat Kerja Pada Pekerja Pembuat Roti."

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perkembangan pariwisata di Bali yang sangat pesat membawa dampak yang positif yaitu berkembangnya industri makanan sehingga menciptakan lapangan kerja.1 Di sisi lain lingkungan kerja dapat menimbulkan masalah baru yaitu penyakit akibat kerja.1,2

Sebagian besar industri makanan terutama roti pada proses produksinya menggunakan tepung gandum, yang dapat menimbulkan dampak dari debu tepung gandum.1 Debu merupakan partikel zat padat yang dihasilkan oleh kekuatan alami atau proses pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan dengan cepat, peledakan, dan lain-lain. Sifat partikel berbeda dengan material aslinya dan menempati sebagian besar ruang di udara.3,4 Menurut Heederick dan Houba, nilai ambang batas paparan inhalasi debu gandum yang menyebabkan terjadinya sensitisasi saluran napas adalah 0,5-1 mg/m3.5

Dari observasi pendahuluan dan pengukuran kadar debu di ruangan pengolahan tepung di PT R pada tahun 2011 didapatkan kadar debu respirabel sebesar 1,667 mg/m3, debu total 7,738 mg/m3 dan ruang non pengolahan dengan

kadar debu respirabel sebesar 0,48 mg/m3. Masalah kesehatan timbul jika pekerja

terpajan tepung gandum yang melebihi nilai ambang batas (NAB) serta terjadi pajanan yang terus menerus selama beberapa tahun. Debu tepung gandum yang mencemari tempat kerja merupakan penyebab gangguan kesehatan pada pekerja terutama penyakit pada saluran napas yaitu Rinitis Akibat Kerja (RAK). 1,6

(2)

2

menimbulkan stress sehingga merugikan kinerja perusahaan dan kesehatan pekerja.7

Para pekerja pembuat roti berisiko terhadap dampak yang ditimbulkan oleh debu tepung gandum. Houba R, dkk8 melaporkan prevalensi RAK pada pembuat roti di Netherlands cukup tinggi yaitu sebesar 21%. Penelitian yang dilakukan oleh Fahrudin I9 pada pekerja yang terpapar debu gandum di bagian

pengepakan PT R di Jakarta tahun 2005 menunjukkan prevalensi RAK sebesar 38,1%. Berdasarkan data laporan pola penyakit pekerja PT R di balai pengobatan rujukan PT R di Ubung, Denpasar Utara pada tahun 2010 didapatkan penyakit yang banyak ditemukan adalah penyakit pada saluran napas atas, yaitu bulan Juli 40 kasus (32%), Agustus 52 kasus (46%), September 60 kasus (48%), Oktober 55 kasus (44%), November 59 kasus (47,2%), dan Desember 63 kasus (50,4%). Akan tetapi di antara para pekerja pembuat roti dengan gangguan saluran napas tersebut belum diketahui seberapa banyak yang merupakan RAK. Dari pengamatan pendahuluan, didapatkan 30% pekerja perusahaan pembuat roti PT R di bagian pengolahan dengan keluhan gangguan pada hidung selama bekerja yang berkurang setelah bekerja atau pada saat libur.

Berdasarkan data diatas serta belum pernah dilakukannya penelitian tentang RAK pada pekerja pembuat roti di Bali sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat hubungan antara faktor-faktor yang terkait seperti riwayat atopi, merokok, usia, masa kerja, paparan debu gandum dan pemakaian alat pelindung diri (APD) dengan rinitis akibat kerja?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum: mengetahui faktor terkait dengan rinitis akibat kerja pada pekerja perusahaan pembuat roti PT R

2. Tujuan Khusus:

(3)

3

- Mengetahui pengaruh paparan debu gandum dengan rinitis akibat kerja pada pekerja perusahaan pembuat roti PT R

- Mengetahui pengaruh riwayat atopi dengan rinitis akibat kerja pada pekerja perusahaan pembuat roti PT R

- Mengetahui pengaruh merokok dengan rinitis akibat kerja pada pekerja perusahaan pembuat roti PT R

- Mengetahui pengaruh usia dengan rinitis akibat kerja pada pekerja perusahaan pembuat roti PT R

- Mengetahui pengaruh masa kerja dengan rinitis akibat kerja pada pekerja perusahaan pembuat roti PT R

- Mengetahui pengaruh pemakaian alat pelindung diri dengan rinitis akibat kerja pada pekerja perusahaan pembuat roti PT R

1.4. Manfaat Penelitian

1. Dalam bidang akademik dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang diagnosis rinitis akibat kerja serta pengaruh paparan debu tepung gandum terhadap timbulnya rinitis akibat kerja.

(4)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung

Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil sepanjang tulang piramid hidung. Hidung bagian dalam terdiri dari kerangka tulang yang dilapisi mukosa respiratorius. Septum nasi membagi kavitas nasi menjadi dua sisi yang tersusun atas kartilago dan tulang yang dilapisi mukosa dan sebagian kecil terbungkus kulit. Secara aerodinamik hidung dibagi menjadi: vestibulum yang dilapisi epitel skuamus bertatah, regio ismus tempat resistensi sekitar 50% aliran pernapasan, kavitas nasi dengan konka inferior, medius dan superior yang dilapisi epitel torak berlapis semu bersilia.10

Gambar 1.

(5)

5

mengandung sel reseptor penciuman. Pada dinding lateral hidung terdapat konka inferior, media dan superior. Celah diantara konka dan dinding lateral hidung dinamakan meatus, terdiri dari meatus superior, meatus medius dan meatus inferior. Meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis, pada meatus medius terdapat kompleks osteomeatal tempat bermuaranya sinus maksilaris, sinus etmoidalis anterior dan sinus frontalis, sedangkan sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis mengalir melalui meatus superior.10

Mukosa dilapisi oleh epitel toraks bertingkat bersilia, sel goblet, sel basal serta kelenjar submukosa. Sel goblet dan kelenjar submukosa menghasilkan palut lendir, imunoglobulin A, laktoferin dan lisozim yang berfungsi menyaring partikel yang terhirup, pembersihan hidung dan sebagai pertahanan terhadap infeksi.Pada epitel toraks terjadi proses metabolisme aktif yang dilengkapi mitokondria dengan konsentrasi tinggi serta beberapa enzim yang dapat mencerna mediator endogen ataupun partikel terinhalasi yang bersifat toksik.10

Transpor mukosilia tergantung konsistensi dari mukus dan efektifitas gerakan silia dengan gerakan sekitar 1000 kali per menit yang menggerakkan lapisan gel superfisial dan debris yang terperangkap dengan kecepatan 3 hingga 25 mm per menit. Infeksi bakteri atau virus seperti juga inflamasi akibat alergi akan menurunkan bersihan mukosilia. Partikel alergen di udara akan terhirup melalui hidung. Mayoritas partikel berukuran lebih besar dari 5 mm akan terdeposit pada permukaan mukosa hidung dan kemudian ditranspor dari hidung ke faring selama 15-30 menit. Selama proses tersebut, partikel dengan ukuran yang besar tidak terjadi penetrasi langsung ke mukosa hidung tetapi substansi antigen yang larut dalam air akan terurai dan terserap secara cepat melalui mukosa hidung.10

(6)

6

nervus olfaktorius dan nervus trigeminus. Nervus trigeminus dapat memberikan sensasi berupa rasa segar atau dingin misalnya respons terhadap mentol sampai rasa terbakar atau menyengat misalnya amonia dan klorin. Cabang terminal nervus trigeminus termasuk ion channel neuron nosiseptif diameter kecil yaitu serabut C dan A yang mengandung beberapa jenis ion channel. Serabut C juga mengeluarkan neuropeptida vasoaktif yang selanjutnya dapat dilepaskan sebagai bagian dari refleks nosiseptif. 12-14

2.2. Definisi Rinitis Akibat Kerja

Rinitis menurut International Consensus Report on the Diagnosis and Management of Rhinitis tahun 1994 seperti yang dikutip oleh Bachert C13 merupakan suatu proses inflamasi mukosa hidung yang ditandai dengan dua atau lebih gejala yaitu hidung tersumbat, rinore, bersin- bersin, gatal di hidung dan gangguan penghidu selama lebih dari 1 jam per hari. Rinitis diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu rinitis alergi, rinitis infeksi yang bersifat akut atau kronik dan kelompok “lain-lain” yang terdiri dari rinitis idiopatik, sindrom rinitis non alergi eosinofilik atau NARES, rinitis akibat kerja, rinitis hormonal, rinitis medikamentosa, rinitis atrofi dan rinitis yang disebabkan faktor rangsangan makanan atau emosional.15

(7)

7 2.3. Klasifikasi

EAACI Task Force on OccupationalRhinitis 2009mengajukan pembagian rinitis di lingkungan kerja yang hampir menyerupai konsep klasifikasi asma akibat kerja atau occupational asthma yang telah dianut sebelumnya. Pembagian ini bertujuan untuk kepentingan klinis dan penelitian epidemiologi. Rinitis di lingkungan kerja dibagi menjadi (i) rinitis akibat kerja: disebabkan oleh zat alergen atau iritan di lingkungan kerja pada pekerja yang sebelumnya tidak memiliki gejala rinitis, (ii) eksaserbasi rinitis oleh pajanan lingkungan kerja: didefinisikan sebagai rinitis baik alergi maupun nonalergi yang terjadi pada pekerja yang sebelumnya sudah memiliki gejala rinitis dan bertambah berat setelah terpajan zat alergen atau iritan di lingkungan pekerjaan.7

RAK alergi merupakan reaksi hipersensitif dengan karakteristik klinis berupa hipersensitifitas hidung oleh agen spesifik di lingkungan kerja yang muncul setelah periode laten. Reaksi alergi tidak terjadi pada pajanan pertama terhadap suatu zat. Interval terjadinya sensitisasi berlangsung dari beberapa minggu sampai beberapa tahun. 7,16-19

RAK dengan perantara IgE disebabkan oleh bahan-bahan dengan berat molekul tinggi atau high molecular weight/HMW yang berasal dari hewan atau tanaman seperti urin tikus percobaan laboratorium, wol, serangga dan tungau, debu, tepung gandum, lateks, alergen tumbuh-tumbuhan, misalnya daun tembakau, kopi, merica, enzim biologis yang digunakan pada industri pembuatan detergen, obat- obatan, protein ikan dan makanan laut.7,16-19

(8)

8

cara berikatan dengan protein untuk membentuk ikatan hapten-protein.7,16-19

Bagan 1.

Klasifikasi rinitis akibat kerja (Dikutip dari Moscato G)7

RAK nonalergi dengan Reactive Upper Airways Dysfunction

Syndrome/RUDS merupakan reaksi rinitis nonimunologi yang terjadi setelah satu

kali pajanan terhadap kadar iritan yang tinggi.7,17

RAK terinduksi iritan juga dapat dipergunakan untuk gejala rinitis yang disebabkan berbagai pajanan iritan berulang tanpa harus disertai adanya pajanan yang jelas terhadap iritan dalam konsentrasi tinggi seperti gas, kabut, uap, uap air dan debu termasuk asap rokok, nitrogen oksida, sulfur oksida, ozon, PAN atau peroxyacetyl nitrite, hypochlorite, ammonia, chloramines, gas chlorine, formaldehyde, glycol ethers.7,16-19

Rinitis korosif merupakan RAK terinduksi iritan yang terparah ditandai dengan inflamasi persisten mukosa hidung berupa atropi, ulserasi atau perforasi mukosa hidung dan epistaksis. 7

Rinitis yang berhubungan dengan kerja

Rinitis yang disebabkan oleh kerja =

Rinitis Akibat Kerja (RAK)

Rinitis yang tereksaserbasi oleh kerja=

Rinitis Eksaserbasi Kerja

o

RAK alergi (dengan periode laten) * diperantaraiolehIgE

* tidak diperantarai IgE

o

RAK non alergi (tanpa periode laten) * terpapar tunggal: RUDS

* terpapar multipel:RAK yang diinduksi bahan iritan

* rinitis korosif

(9)

9

Gejala rinitis yang memburuk karena pekerjaan dicetuskan oleh berbagai kondisi kerja seperti agen iritan yang berasal dari kimia, debu, asap, faktor fisik karena perubahan temperatur, emosi, mantan perokok, bau parfum, dan lain-lain. Gambaran klinisnya serupa dengan RAK, tapi mekanisme yang mempengaruhi timbulnya rinitis sulit untuk diselidiki.7

2.4. Epidemiologi

Houba R, Heederik D, Doekes G8 melakukan studi potong lintang pada 393 pekerja dari 21 pabrik roti dengan menggunakan pengukuran immunoassay, mendapatkan suatu asosiasi positif dan kuat antara pajanan alergen tepung terigu dan sensitisasi tepung terigu. Pada pajanan tinggi dan sedang alergen tepung diperoleh odds ratio atau OR 5,2 (1,6-16,2) dan 2,7 (0,5-14,5) untuk pekerja atopi dan 2,5 (2,8-7,5) dan 1,4 (0,3-6,4) untuk non atopi, dibandingkan dengan pekerja dengan pajanan rendah alergen tepung. Pada pekerja yang tersensitisasi dan dengan kenaikan pajanan alergen lebih sering mendapat gejala yang berhubungan dengan kerja dengan OR untuk pajanan tinggi dan sedang alergen tepung yaitu 3,5 (1,6-7,5) dan 2,6 (0,9-7,8) dibandingkan dengan pekerja dengan pajanan rendah alergen tepung.

Smith TA dan Smith PW20 melaporkan prevalensi uji tusuk kulit positif pada tepung gandum pada pekerja pembuat roti sebesar 6% dan 3% pada pekerja pembuat kue dengan populasi yang terdiri dari 394 pekerja pembuat roti dan 77 pekerja pembuat kue di Inggris.

Studi kasus kontrol yang dilaporkan Fahrudin I9 pada suatu PT produsen

tepung gandum yang mempelajari hubungan antara faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan rinitis akibat kerja mendapatkan riwayat atopi dan pemakaian alat pelindung diri yang kurang baik berhubungan dengan terjadinya rinitis akibat kerja yaitu masing-masing dengan OR 4,24; p 0,00; 95%CI 2,35-7,66 dan OR 2,06; p 0,014; 95%CI 1,16-3,65.

(10)

10

insiden rinitis akibat kerja yang meningkat yaitu 8,4% setelah 1 tahun bekerja dan 12,5% setelah 2 tahun bekerja.

2.5. Patofisiologi

Inflamasi mukosa hidung pada RAK dapat disebabkan oleh dua mekanisme, yaitu: (1) mekanisme imunologi melalui sensitisasi oleh zat dengan berat molekul tinggi dengan jalur yang diperantarai IgE atau konjugasi hapten-protein oleh zat dengan berat molekul rendah, baik episodik maupun persisten, (2) mekanisme nonimunologi oleh karena inflamasi iritasi.16,17

2.5.1. Mekanisme imunologi atau alergi

Menurut pembagian Allergic Rinitis and Its Impact on Asthma tahun 2008 rinitis alergi dapat digolongkan dalam 2 klasifikasi yaitu intermiten bila gejala kurang dari 4 hari per minggu atau dalam kurun waktu kurang dari 4 minggu dan persisten bila gejala ditemukan lebih dari 4 hari per minggu dan dalam kurun waktu lebih dari 4 minggu.22

(11)

11

degranulasi. Degranulasi sel mastosit merupakan saat yang penting dalam mengawali fase cepat dan proses pelepasan histamin, prostaglandin, triptase, leukotrien dan faktor kemotaktik lainnya yang merangsang pengeluaran sel inflamasi seperti eosinofil, basofil dan neutrofil.16,23

Gambar 2.

(12)

12

Mediator yang dilepaskan sel mastosit akan memberikan efek terhadap pembuluh darah seperti vasodilatasi, penebalan mukosa, peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi rinore. Efek pada ujung saraf vidianus akan menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin selain itu kelenjar mukosa dan sel goblet juga akan mengalami hipersekresi. Jika pajanan dihentikan, reaksi akan hilang dalam beberapa jam. Jika pajanan terjadi terus menerus, akan terjadi reaksi fase lambat yang ditandai dengan edema mukosa serta sumbatan hidung yang lebih berat. Reaksi ini dimulai 4 sampai 12 jam setelah pajanan awal dan dihubungkan dengan terbentuknya sel inflamasi seperti eosinofil, basofil dan neutrofil yang mengikuti reaksi fase akut. Reaksi fase lambat akan berakhir setelah 72 jam pajanan dihentikan. Hal ini menjelaskan mengapa tidak terjadi perbaikan gejala pada pekerja pada saat libur akhir pekan, sehingga dapat membingungkan dalam menegakkan diagnosis rinitis akibat kerja. Cuti dengan jangka waktu yang lebih lama mungkin diperlukan agar kecurigaan adanya penyebab di tempat kerja dapat diyakini. Pada pekerja dengan alergi, biasanya bereaksi terhadap beberapa alergen di rumah, di luar rumah serta di tempat kerja. Hal ini merupakan salah satu penyebab sulitnya menegakkan RAK.16,24

Eosinofil melepaskan mediator yang menyebabkan disfungsi epitel hidung sehingga menyebabkan sumbatan hidung, pernapasan yang berat serta gangguan tidur dan mendengkur. Inflamasi lokal akan bertambah dengan pengaruh sekresi yang terus-menerus dari sitokin yang berbeda yaitu faktor nekrosis tumor alfaatau TNF , yang dihasilkan oleh sel mastosit, makrofag, eosinofil dan limfosit yang merangsang serabut sensoris di mukosa hidung. Perangsangan saraf ini akan menyebabkan hipereaktif dan hipersensitif dari mukosa hidung meskipun terpajan dengan rangsangan nonalergi seperti udara dingin dan asap rokok. Hal ini juga menjelaskan mengapa pekerja yang menderita rinitis akibat kerja, gejala akan muncul di luar lingkungan kerja ketika mereka terpajan dengan zat iritan.16

2.5.2. Mekanisme nonimunologi atau inflamasi iritasi

(13)

13

melibatkan membran mukosa yaitu epitel dan mukus, komplemen, fagosit, mediator atau efek langsung pada saat zat iritan kontak dengan mukosa hidung, walaupun masih banyak yang menyatakan patofisiologinya masih belum jelas. Pada mekanisme kontak langsung, zat iritan menyebabkan rangsangan pada mukosa yang hipereaktif sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler, sensitivitas serabut sensoris dari percabangan N.V sehingga terjadi rinitis.13,14

Proses pengaktifan reseptor iritan pada saluran napas dapat menimbulkan bermacam-macam keluhan yaitu bersin, rinore, hidung tersumbat, ingus belakang hidung, epistaksis, gangguan penghidu, batuk, asma, nyeri dada, bronkospasme, disfungsi laring, dan lain-lain. Bersamaan dengan udara dingin dan kering, bahan kimia yang bersifat iritan dapat mencetuskan gejala saluran napas atas yang memiliki gambaran yang hampir sama dengan rinitis alergi, sehingga kadang-kadang sulit untuk menegakkan diagnosis rinitis iritan.13,14,19,26

Gambar 3.

Mekanisme inflamasi hidung karena zat iritan (Dikutip dari Sarin S)14

(14)

14

sensoris pada serabut C dan A dari percabangan N.V pada saat terpajan debu, gas larut air dan uap zat kimia. Untuk mengetahuinya biasanya dengan cara mengidentifikasi zat penyebab atau dengan melakukan swab sekret hidung, kerokan mukosa hidung atau biopsi.12-14

2.6. Debu Tepung Gandum

Debu merupakan partikel-partikel zat padat yang dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanisme seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan dengan cepat, peledakan dan lain-lain, baik dari bahan organik maupun non-organik. Debu organik yaitu debu yang berasal dari tumbuhan, binatang dan mikrobial.3,4 Pengaruh debu pada penyakit saluran napas ditentukan oleh sifat-sifat debu itu sendiri, yaitu: ukuran debu, kadar debu, fibrogenitas debu dan tingkat pajanan debu. Debu tepung gandum termasuk debu organik yang bersifat alergen terhadap saluran napas yang dapat menyebabkan rinitis alergi pada penderita alergi. Ukuran debu sangat bervariasi, umumnya debu yang berukuran lebih dari 10 μm akan diendapkan di saluran napas bagian atas dan debu yang berukuran lebih kecil akan masuk ke saluran napas bagian bawah. Debu respirable yaitu debu dengan diameter antara 1-10 μm dan dapat masuk ke saluran napas atas sampai alveoli.2,4

(15)

15

hipertrofi dan hipersekresi saluran napas. Tingkat pajanan ditentukan oleh lamanya waktu pajanan dan kadar debu rata-rata di udara lingkungan kerja.2,4

Pada industri pembuatan roti, pajanan debu tepung gandum umumnya terjadi pada saat proses pengolahan. Debu tepung gandum menimbulkan reaksi alergi dan iritasi terhadap saluran napas manusia, mulai dari saluran napas bagian atas berupa hipersekresi kelenjar mukosa hidung maupun peradangan pada sinus paranasalis. Berbagai penelitian efek debu tepung gandum terhadap saluran napas atas terbukti menimbulkan rinitis alergi.9

2.7. Faktor-Faktor Predisposisi Rinitis Akibat Kerja 2.7.1. Genetik

Faktor genetik pada penderita atopi akan mengakibatkan peningkatan ekspresi, sintesa dan pengeluaran promediator inflamasi spesifik dari sel mukosa berupa IL-8, GM-CSF dan TNFα dalam jumlah yang lebih banyak daripada nonatopi. Seseorang yang mempunyai riwayat atopi dan bekerja di tempat dengan kadar debu tepung gandum tinggi, mempunyai risiko lebih besar untuk menderita rinitis akibat kerja.17,27

2.7.2. Usia

Penelitian Harianto dan Sumarman tahun 1999 didapatkan prevalensi tertinggi antara usia 10-30 tahun sebesar 45%.28 Sedangkan Nathan dkk, 1997

prevalensi rinitis alergi pada usia 18-34 tahun sebesar 18,4% dan 35-49 tahun sebesar 17,6%.29

(16)

16

terjadi aterosklerosis sehingga proses diapedesis sel-sel inflamasi terganggu yang menyebabkan sel-sel inflamasi ke jaringan rendah. Selain itu pada orang tua kemungkinan telah terjadi neuropati saraf vidianus sehingga terjadi penurunan respon mukosa hidung terhadap histamin.27,28

2.7.3. Masa kerja

Pengaruh debu pada penyakit saluran napas ditentukan oleh sifat-sifat debu itu sendiri, yaitu: ukuran debu, kadar debu, fibrogenitas debu dan tingkat pajanan debu. Masa kerja berhubungan dengan seringnya pekerja terpajan debu tepung gandum yang merupakan alergen, dimana pajanan yang terus menerus menyebabkan akumulasi sel-sel inflamasi seperti sel-sel APC, limfosit yaitu Th0, Th1, Th2, limfosit B, sel mastosit, basofil dan eosinofil yang menginfiltrasi mukosa hidung.Pengaruh debu terhadap timbulnya rinitis akibat kerja tergantung oleh beberapa faktor, di antaranya adalah dosis pajanan. Masa kerja akan berpengaruh terhadap dosis pajanan yang diterima oleh pekerja. Seorang yang mempunyai masa kerja lama, tentu dosis pajanan yang telah diterima tinggi, yang akhirnya akan menimbulkan penyakit rinitis akibat kerja.27,30,31 Walusiak J21 mendapatkan insiden rinitis akibat kerja cukup tinggi yaitu 8,4% setelah 1 tahun bekerja dan 12,5% setelah 2 tahun bekerja.

2.7.4. Riwayat merokok

Merokok merupakan salah satu faktor predisposisi untuk terjadinya rinitis akibat kerja. Seseorang dianggap perokok apabila mempunyai kebiasaan merokok secara teratur minimal satu batang setiap hari.30 Asap rokok menyebabkan rinitis

(17)

17 2.7.5. Faktor alat pelindung diri (APD)

Alat pelindung diri yang dipakai dengan baik akan dapat melindungi pekerja dan menurunkan tingkat pajanan debu tepung gandum yang merupakan alergen dan iritan pada kadar yang tinggi yang dapat menyebabkan rinitis. Pekerja yang tidak memakai alat pelindung diri dengan baik akan berisiko lebih besar untuk menderita rinitis.3,4

2.7.6. Faktor geografi

Sinar matahari menyebabkan peningkatan komponen oksidan fotokimia dimana puncak pajanan terjadi pada siang hari, sehingga terjadi peningkatan keluhan saat musim panas. 31 Udara yang lembab baikyang bersuhu panas maupun dingin dapat menjadi pencetus kambuhnya gejala alergi.27,31,32

2.8. Diagnosis

Kriteria dalam menegakkan diagnosis RAK adalah riwayat penyakit yang muncul atau bertambah berat di tempat kerja. Pada pemeriksaan klinis menunjukkan gambaran yang positif. Pemeriksaan uji tusuk kulit terhadap zat alergen spesifik di tempat kerja, IgE spesifik, uji provokasi hidung, pemeriksaan rinomanometri atau peak nasal inspiratory flow meter dan pemeriksaan olesan atau kerokan mukosa hidung menunjukkan hasil yang positif.12,16

2.8.1. Anamnesis

(18)

18

merokok, alkohol, hobi serta akivitas di waktu luang lainnya juga perlu ditelusuri.12,16,19

2.8.2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pekerja yang menderita rinitis akibat kerja memiliki sekret hidung encer dan bening serta edema konka. Mukosa hidung biasanya terlihat pucat, berwarna merah muda atau hiperemis. Pemeriksaan rutin seperti rinoskopi atau endoskopi serat optik perlu untuk melihat rongga hidung, faring dan struktur glotis serta ada atau tidaknya polip hidung. Sekresi pus dari muara sinus, hiperplasi limfoid, neoplasma, perubahan pita suara perlu dilihat untuk membedakannya dengan RAK. Stigmata lain seperti rinokonjungtivitis alergi, kemosis atau allergic shiner perlu diperiksa.12,16,19

2.8.3. Pemeriksaan penunjang 2.8.3.1. Uji tusuk kulit

Salah satu metode pemeriksaan alergi yang paling sering digunakan

adalah uji tusuk kulit atau skin prick test. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit di kulit. Uji tusuk kulit banyak dipakai karena sederhana, mudah, cepat dan cukup aman sehingga sering dipakai sebagai pemeriksaan penyaring. Kelebihan cara ini ialah pemeriksaan dapat dilakukan dengan beberapa jenis alergen pada waktu yang bersamaan dan hasil pemeriksaan didapatkan dalam 15-20 menit.33 Kekurangan teknik ini untuk mendiagnosis RAK adalah kadang-kadang sulit mendapatkan ekstrak alergen spesifik yang dicurigai dari tempat kerja, sehingga perlu dilanjutkan dengan uji provokasi hidung dengan menggunakan alergen yang diambil langsung dari lingkungan kerja dan tidak memerlukan ekstrak yang khusus.17-19

2.8.3.2. Uji provokasi hidung

(19)

19

menempatkan alergen definitif atau iritan yang dicurigai sebagai penyebab rinitis pada mukosa hidung dan reaksi yang timbul dimonitor. Beberapa penelitian terdahulu menggunakan metode uji provokasi hidung dan metode ini dianggap merupakan standar baku emas dalam menegakkan RAK. Akan tetapi kesulitan yang dihadapi adalah tidak semua zat di tempat kerja dapat digunakan pada uji provokasi, terutama zat-zat iritan. Metode uji provokasi juga berisiko untuk terjadinya reaksi yang hebat pada saluran napas atas dan bawah, karena dipajankan langsung dengan bahan yang diperkirakan sebagai penyebab penyakitnya.34

2.8.3.3. Rinomanometri

Rinomanometri merupakan metode yang sangat objektif dan akurat dalam

menilai perubahan nilai tahanan hidung sebelum dan sesudah uji provokasi dengan alergen yang dicurigai. Rinomanometri yang dianggap paling fisiologis adalah rinomanometri anterior aktif, karena mengukur secara bersamaan aliran udara pada satu hidung dengan pneumotachometer dan tekanan nasofaring pada hidung kontralateral dengan manometer yang dihubungkan dengan cuping hidung kontralateral. Pemeriksaan dikatakan positif jika setelah uji provokasi dilakukan, aliran udara menurun lebih dari 40% dan jika tahanan hidung meningkat lebih dari 60%. Interpretasi dilakukan dengan membandingkan gejala yang muncul setelah pemeriksaan serta mengukur kualitas serta beratnya sekresi cairan hidung sebelum, selama tes dan sesudahnya. Rinomanometri akustik merupakan pemeriksaan yang sangat bermanfaat dalam mendiagnosis RAK karena sederhana, mudah dilakukan, tidak invasif dibandingkan dengan rinomanometri anterior dan posterior.35,36

2.8.3.4. Peak Nasal Inspiratory F low Meter

(20)

20

juga mudah untuk dibawa dan sering digunakan untuk monitoring penderita rinitis alergi dimanapun penderita berada. Alat ini juga memberikan informasi yang akurat terhadap sumbatan hidung dan respon terhadap pengobatan. Keterbatasan alat ini yaitu hanya dapat mengukur kecepatan aliran udara sedangkan tekanan transnasal tergantung usaha pasien pada saat inspirasi maksimal. Nilai normal pada orang Eropa yang ditetapkan dengan alat ini adalah 100–300 liter per menit, dengan keakuratan 10%.37 Pengukuran aliran udara hidung maksimum dengan PNIF meter dilakukan sebelum, selama dan sesudah pergantian kerja.17 PNIF meter pada uji provokasi dikatakan positif bila didapatkan sedikitnya dua gejala yaitu bersin-bersin, rinore, hidung buntu dan penurunan PNIF lebih dari 20%.34,38

2.8.3.5. Pemeriksaan sitologi mukosa hidung

Respons lain yang dapat diukur adalah penilaian jumlah eosinofil, basofil, neutrofil dan sel lainnya serta mengukur mediator-mediator lokal yang dilepaskan oleh sel mastosit yang berdegranulasi. Bahan pemeriksaan diperoleh dari usapan, kerokan, bilasan atau biopsi. Pemeriksaan sitologi ini dilakukan untuk melihat adanya eosinofil sebagai parameter rinitis alergi atau neutrofil sebagai parameter rinitis iritan. Dari penelitian sebelumnya polymononuclear neutrophils atau PMNs telah terbukti berhubungan dengan iritasi inflamasi, sedangkan eosinofil berhubungan dengan respons alergi.39

2.8.3.6. Pemeriksaan IgE dan bersihan mukosilia

Pemeriksaan IgE total jarang digunakan untuk skrining pada rinitis alergi,

(21)

21 2.8.4. Algoritme Diagnosis

Algoritme diagnosis RAK telah ditetapkan oleh EAACI Task Force on Occupational Rhinitis pada tahun 2009.

Bagan 2.

Algoritme diagnosis rinitis akibat kerja (Dikutip dari Moscato G)7 Riwayat pekerjaan dan klinis

Pemeriksaan hidung

Tes imunologi

(tes cukit kulit atau antibodi Ig E spesifik)

Tidak tersedia Tersedia

Negatif Positif

Tes provokasi hidung di laboratorium Berdasarkan

(22)

22

(23)

23 BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

3.2. Hipotesis Penelitian

Terdapat hubungan antara faktor-faktor terkait seperti atopi, usia, merokok, masa kerja , paparan debu gandum dan pemakaian alat pelindung diri dengan rinitis akibat kerja.

Masa kerja

Merokok Suhu dan kelembaban

Usia Paparan debu

Pakai APD

Riwayat atopi Kadar

debu tepung gandum

Iritasi mukosa hidung

Respon Ig E

(24)

24 BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk mengetahui prevalensi rinitis akibat kerja pada para pekerja perusahaan pembuat roti di PT R yang bertugas di bagian pengolahan dan non pengolahan serta menyajikan secara analitik hubungan antara faktor-faktor yang terkait dengan rinitis akibat kerja.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 17-26 Januari 2013 di perusahaan pembuat roti PT X untuk pemeriksaan fisik dan PINF meter serta poliklinik rujukan PT R di Denpasar untuk pemeriksaan uji tusuk kulit.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah semua pekerja perusahaan pembuat roti di PT R, yang berjumlah 125 orang.

4.3.2. Sampel penelitian

Populasi yang bersedia ikut serta dalam penelitian dan memenuhi kriteria penelitian, dipilih secara consecutive sampling yaitu setiap responden yang memenuhi kriteria inklusi diikutsertakan dalam penelitian.

4.4. Kriteria Seleksi Sampel 4.4.1. Kriteria inklusi

1. Pekerja perusahaan pembuat roti di PT R yang secara tertulis bersedia mengikuti penelitian ini secara penuh yaitu wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan PNIF meter dan uji tusuk kulit dengan menandatangani surat persetujuan.

4.4.2. Kriteria eksklusi

1. Pekerja pembuat roti yang sedang dalam pengobatan dengan antihsitamin dalam waktul 72 jam dan atau steroid sistemik 2 minggu. 2. Adanya infeksi akut yang ditandai dengan suhu badan lebih dari 37°C

(25)

25

3. Adanya sekret purulen atau mukopurulen, deviasi septum, konka bulosa, hipertrofi konka, polip atau tumor di kavum nasi dari hasil pemeriksaan rinoskopi anterior.

4.4.3. Kriteria drop out

1. Mengundurkan diri atau menolak mengikuti penelitian.

4.5. Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan rumus : n = Z2 x p (1-p) L2

Keterangan :

n : besar sampel minimal.

Zα : tingkat kemaknaan pada nilai α = 5%, maka nilai Z = 1,96.

P : proporsi rinitis akibat kerja pada pekerja pembuat roti, diambil 30%. (berdasarkan pengamatan pendahuluan)

L : presisi peneliti, diambil 10%. n = 1,96 2 x 0,3(1-0,3)

0,12

n = 80,67 dibulatkan menjadi 81 sampel

4.6. Hubungan Antar Variabel

Variabel bebas Usia

Riwayat atopi Merokok Masa kerja

Paparan debu tepung gandum APD

(26)

26

- Variabel tergantung : Rinitis akibat kerja. - Variabel bebas : - Usia.

- Riwayat atopi. - Merokok.

- Paparan debu tepung gandum - Masa Kerja.

- APD

4.7. Definisi Operasional

4.7.1. Pekerja perusahaan pembuat roti: pekerja perusahaan pembuat roti di

PT R yang dalam 1 tahun terakhir secara terus menerus bertugas di bagian pengolahan dan non pengolahan selama 8 jam per hari.

4.7.2. Rinitis akibat kerja: Episode serangan bersin-bersin, hidung beringus,

hidung tersumbat dan ingus belakang hidung yang berhubungan dengan pekerjaan. Gejala timbul atau memberat pada saat bekerja dan hilang atau berkurang pada saat pulang kerja atau pada saat libur. RAK ditetapkan bila terdapat gejala rinitis dari anamnesis dan terdapat penurunan aliran udara >20% dengan pemeriksaan PNIF meter pada awal dan akhir berdinas.

4.7.3. Paparan debu tepung gandum : Ada tidaknya paparan debu tepung

gandum ditentukan berdasarkan lokasi tempat bekerja di perusahaan. Terdapat paparan debu gandum positif bila bekerja di bagian pengolahan dan tidak terpapar debu gandum bila bekerja di bagian non pengolahan.

4.7.4. Riwayat atopi: riwayat adanya satu atau lebih penyakit seperti asma

bronkiale, eksim, rinitis alergi, konjungtivitis, alergi makanan atau obat dan urtikaria pada orang, orang tua atau saudara kandung orang.

4.7.5. Atopi: orang yang positif RAK disertai kecenderungan untuk memproduksi

IgE yang ditandai dengan hasil uji tusuk kulit positif terhadap 1 alergen atau lebih.

4.7.6. Kebiasaan merokok: kebiasaan merokok seseorang yang dinilai

(27)

27

yang didapat dari kuisioner. Penggolongannya yaitu bukan perokok (IB= 0) dan perokok (IB ≥1).

4.7.7. Masa kerja: lama masa kerja seorang pekerja pembuat roti dalam tahun

sejak awal bertugas sebagai pembuat roti sampai saat penelitian yang didapat dari data personalia, kelebihan bulan dibulatkan ke atas.

4.7.8. Usia: usia responden sejak lahir dalam tahun yang didapat dari kuisioner,

kelebihan bulan dibulatkan ke atas.

4.7.9. Kebiasaan pakai APD: kebiasaan menggunakan APD berupa masker

penutup hidung dan mulut yang disediakan oleh perusahaan. Penggolongannya yaitu memakai bila hampir selalu digunakan dan tidak memakai bila digunakan kadang-kadang atau hampir tidak pernah digunakan.

4.8. Cara Kerja

4.8.1. Bahan dan alat penelitian

- Formulir penelitian.

- Formulir persetujuan penelitian atau informed consent. - Lampu kepala, spekulum hidung.

- PNIF meter merek In Check buatan Clement Clark Ltd.

- Uji tusuk kulit: alergen “Indrayana”, kapas, alkohol 70%, penggaris, blood lancet.

4.8.2. Proses pengumpulan data

(28)

28 4.8.3. Pengukuran sumbatan hidung

4.8.3.1.Persiapan alat:

1. PNIF meter merek In Check buatan Clement Clarke International ltd., 2. Sungkup hidung yang telah didesinfeksi dengan alkohol 70%

Gambar 4. PNIF meter 4.8.3.2.Prosedur kerja:

1) Orang dalam posisi duduk tenang, 2) Kursor PINF ditempatkan pada posisi start, 3) Orang diminta untuk ekspirasi maksimal, 4) Sungkup hidung dari PNIF diletakkan menutupi hidung dan mulut dengan rapat dan tidak boleh ada celah, agar udara tidak bocor keluar, 5) Orang diminta untuk menutup mulut dengan rapat dan melakukan inspirasi maksimal melalui hidung selama 1 detik, 6) Hasil dicatat dengan melihat posisi kursor yang berwarna merah di skala, 7) Pemeriksaan diulang sebanyak 3 kali, kemudian hasilnya dipilih yang paling tinggi.

4.8.3.3.Interpretasi: hasil dikatakan positif jika terdapat penurunan aliran udara

sebesar >20% dari nilai baseline yang diambil sebelum orang masuk kerja.

4.8.4. Uji tusuk kulit 4.8.4.1.Persiapan bahan :

(29)

29 4.8.4.2.Persiapan pasien :

1) Jelaskan apa yang akan dilakukan pada penderita dan tujuannya, 2) Sampel tidak sedang mengkonsumsi obat yang mempunyai efek antialergi, yaitu antihsitamin minimal 3 kali periode washout atau 72 jam, steroid sistemik 2 minggu, 3) Periksa tekanan darah sebelum tes alergi untuk membandingkan jika sewaktu-waktu terjadi reaksi sistemik, 4) Pastikan tidak mengalami serangan alergi berat 24 jam sebelumnya, seperti asma bronkhial, 5) Jelaskan kemungkinan timbul tanda dan gejala reaski alergi sistemik dari ringan sampai yang berat selama tes alergi, 6) Tanda tangan informed consent, 7) Desinfeksi daerah lokasi tes kulit yaitu bagian volar lengan bawah.

4.8.4.3.Prosedur tes kulit

1) Teteskan larutan kontrol positif atau histamin dan kontrol negatif atau bufer fosfat, 2) Histamin sebelah radial dan bufer sisi ulnar dengan jarak minimal 2 jari, 3) Tusuk dengan blood lanset sedalam lapisan epikutan, dicukit tepat ditempat tetesan dan tidak sampai berdarah. Reaksi ditunggu selama 5-10 menit. Jika sudah terbentuk bentol merah minimal diameter 3 mm pada tempat histamin dan tidak terbentuk pada bufer atau maksimal diameter bentol 1 mm maka dilanjutkan dengan penetesan alergen yang akan diperiksa. Mulai dari proksimal sisi radial ke distal dengan jarak kurang lebih 1 jari, kemudian naik ke sisi ulnar. Reaksi tes kulit dibaca 10-15 menit.

4.8.4.3.Interpretasi:

Penilaian hasil dibandingkan dengan reaksi histamin pada masing-masing penderita. Positip (+++) : jika bentol diameternya minimal 3 mm atau sama dengan reaksi histamin, positip (++) : lebih kecil dari histamin, positip (+) : diameter bentol kurang lebih 1 mm. Hasil tes kulit dianggap positip jika terjadi bentol pada alergen sedikitnya sama dengan bentol dari reaksi histamin.

(30)

30 4.9. Alur Penelitian

4.10. Manajemen dan Analisis Data

Pada penelitian ini karakteristik orang dianalisis secara deskriptif yang meliputi usia, riwayat atopi, merokok, masa kerja, paparan debu gandum dan APD

Pekerja perusahaan pembuat roti

bertugas di lapangan

Informed consent

Anamnesis

Pemeriksaan umum dan THT

PNIF awal

Bekerja selama 8 jam kerja

Tidak terdapat penurunan aliran

udara>20% dari pengukuran sebelumnya

Terdapat penurunan aliran udara>20%

dari pengukuran sebelumnya PNIF akhir

Normal

RAK

RAK atopi RAK nonatopi

(31)

31

(32)

32 BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1. Karakteristik Subyek Penelitian

Pada penelitian ini didapatkan 82 orang yang memenuhi kriteria penerimaan sampel dengan karakteristik sebagai berikut:

Tabel 5.1. Distribusi berdasarkan karakteristik usia, jenis kelamin, masa kerja,

riwayat atopi, status merokok, tempat kerja, dan pemakaian alat pelindung diri

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)

Usia

Tidak terpapar/ bag.non pengolahan

(33)

33 5.2. Prevalensi RAK

Dari 82 orang yang diperiksa didapatkan 23 orang dengan RAK dengan prevalensi sebesar 28%.

Tabel 5.2. Prevalensi RAK

Karakteristik N %

Tanpa RAK RAK

59 23

71,9 28,1

Total 82 100,0

5.3. Uji Tusuk Kulit

Tabel 5.3. Distribusi RAK berdasarkan hasil uji tusuk kulit

Uji tusuk kulit N %

Uji tusuk kulit + (RAK atopi) 15 65,2

Uji tusuk kulit – (RAK non atopi) 8 34,8

Total 23 100,0

Hasil uji tusuk kulit dilakukan terhadap 23 kejadian RAK tersebut, didapatkan RAK atopi pada 15 kasus atau 65,2% dan RAK non atopi pada 8 kasus atau 34,8%.

5.4. Hubungan Usia dengan RAK

Tabel 5.4. Hubungan faktor usia dengan RAK

Usia RAK Tanpa RAK Total (%)

n % n %

< 40 tahun 9 22,5 % 31 77,5 % 40 (100,0%)

≥ 40 tahun 14 33,3 % 28 66,7 % 42 (100,0%)

(34)

34 5.5. Hubungan Masa Kerja dengan RAK

Tabel 5.5. Hubungan masa kerja dengan RAK

Masa kerja RAK Tanpa RAK Total (%)

N % N %

≤ 18 tahun 7 16,7 % 35 83,3 % 42 (100,0%)

>18 tahun 16 40,0 % 24 60,0% 40 (100,0%)

Berdasarkan analisis bivariat dengan mengabaikan faktor lainnya didapatkan masa kerja lebih dari 18 tahun secara bermakna meningkatkan risiko RAK 3,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan masa kerja kurang dari 18 tahun (X2=5,5 OR=3,3 IK95%=1,2-9,3 p=0,02).

5.6. Hubungan Riwayat Atopi dengan RAK

Tabel 5.6. Hubungan riwayat atopi dengan RAK

Riwayat atopi RAK Tanpa RAK Total (%)

N % N %

Tidak ada 10 18,5% 44 81,5% 54 (100,0%)

Ada 13 46,4% 15 53,6% 28 (100,0%)

Berdasarkan analisis bivariat dengan mengabaikan faktor lainnya didapatkan riwayat atopi secara bermakna meningkatkan risiko RAK 3,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja tanpa riwayat atopi (X2=7,1 OR=3,8 IK95%=1,4-10,5 p= 0,01).

5.7. Hubungan Merokok dengan RAK Tabel 5.7. Hubungan merokok dengan RAK

Merokok RAK Tanpa RAK Total

n % N %

Tidak 17 29,8% 40 70,2% 57 (100,0%)

(35)

35

Hasil analisis bivariat pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara merokok dengan kejadian RAK (X2=0,3 OR=0,7 IK95%=0,3-2,2 p=0,59).

5.8. Hubungan Paparan Debu Tepung Gandum dengan RAK

Dijumpai kejadian RAK lebih tinggi pada orang yang terpapar debu tepung gandum dibandingkan dengan yang tidak terpapar debu gandum yang disajikan pada tabel 5.8.

Tabel 5.8. Hubungan paparan debu tepung gandum dengan RAK

Paparan debu tepung gandum RAK Tanpa RAK Total (%)

n % N %

Tidak terpapar/bag. non pengolahan

4 8,0% 46 92,0% 50 (100,0%)

Terpapar/bag. Pengolahan 19 59,4% 13 40,6% 32 (100,0%) Perbedaan kejadian tersebut secara analisis bivariat didapatkan paparan debu tepung gandum secara bermakna meningkatkan risiko kejadian RAK 16,8 kali lebih tinggi daripada kelompok yang tidak terpapar debu tepung gandum (X2=25,5 OR=16,8 IK95%=4,9-58,2 p= 0,00).

5.9. Hubungan pemakaian APD dengan RAK

Tabel 5.9. Hubungan APD dengan RAK

APD RAK Tanpa RAK Total (100%)

n % N %

Tidak memakai 19 27,9% 49 72,1% 68 (100,0%)

Memakai 4 28,6% 10 71,4% 14 (100,0%)

(36)

36 5.10. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel independen yang merupakan faktor determinan terjadinya RAK atau yang paling berpengaruh terhadap kejadian RAK. Analisis multivariat dilakukan dengan analisis regresi logistik. Variabel yang diikutsertakan pada analisis multivariat ini didasarkan pada nilai p yang didapatkan pada analisis multivariat.

Tabel 5.10. Tabel hasil analisis korelasi logistik faktor risiko RAK

Faktor risiko Koef.

regresi B

Statistik

wald Nilai p OR

IK95%

Batas bawah Batas atas

Paparan debu gandum 2.584 13.428 .000 13.274 3.326 52.759

Riwayat atopi .576 .860 .354 1.778 .527 6.005

Masa kerja .143 .046 .831 1.154 .3 4.275

Constant -3.978 9.840 .002 .019

(37)

37 BAB VI

PEMBAHASAN

Hidung merupakan target potensial pajanan debu tepung gandum yang menyebabkan terjadinya inflamasi mukosa hidung melalui mekanisme imunologi dan non imunologi atau inflamasi iritasi serta menyebabkan perubahan resistensi aliran udara. PNIF buatan Clement Clark ltd merupakan alat untuk mengukur derajat aliran udara hidung dengan menghitung besarnya kecepatan aliran udara dalam satuan liter per menit. Sampai saat ini belum ada kriteria yang baku mengenai persentase derajat penurunan aliran udara pada obstruksi hidung.37 Eire MA pada penelitiannya menggunakan kriteria RAK dengan penurunan PNIF sebesar 20% dari nilai baseline yang diukur setelah 8 jam bekerja dibandingkan dengan nilai PNIF sebelum bekerja.38 Pada penelitian ini didapatkan prevalensi rinitis akibat kerja pada pekerja pembuat roti sebesar 28%. Pada kelompok yang terpapar debu tepung gandum atau bekerja di bagian pengolahan kejadiannya sebesar 59,4% sedangkan pada kelompok yang tidak terpapar atau bagian non pengolahan sebesar 8%. Hal ini karena reaksi alergi tidak terjadi pada pajanan pertama terhadap suatu zat, tetapi interval terjadinya sensitisasi berlangsung dari beberapa minggu sampai beberapa tahun. 7,16-19 Fahrudin I mendapatkan prevalensi RAK pada pekerja yang terpajan debu gandum pada bagian pengepakan PT X sebesar 38,1%.9

(38)

38

saraf sensoris tipe C yang merupakan percabangan n.V, sehingga reaksi yang terjadi tidak tergantung pada kadar IgE yang akan mengalami penurunan setelah usia 40 tahun.13,14,27

Dijumpai kejadian RAK lebih tinggi pada kelompok masa kerja lebih dari 18 tahun yaitu sebesar 40% dibandingkan dengan kelompok masa kerja kurang dari 18 tahun. Berdasarkan analisis bivariat didapatkan masa kerja lebih dari 18 tahun meningkatkan risiko kejadian RAK 3,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan masa kerja kurang dari 18 tahun, tetapi pada hasil analisis multivariat setelah dimasukkan faktor lainnya seperti paparan debu gandum, masa kerja lebih dari 18 tahun tidak terbukti sebagai faktor risiko yang meningkatkan kejadian RAK. Dalam hal ini, masa kerja lebih dari 18 tahun mempunyai peranan terhadap kejadian RAK, tetapi tidak dominan. Pekerja yang telah bekerja lebih dari 18 tahun pada bagian yang tidak terpapar debu gandum atau non pengolahan akan memiliki risiko lebih kecil untuk terjadinya RAK bila dibandingkan mereka yang bekerja di bagian pengolahan atau yang terpapar debu tepung gandum. Sarin S menyatakan, adanya pajanan kronis terhadap zat iritan akan meningkatkan prevalensi alergi dan hiperesponsif mukosa hidung baik terhadap alergen atau zat iritan.14

(39)

39

lebih responsif terhadap rangsangan non spesifik seperti asap rokok, bau yang merangsang dan kadar debu yang tinggi.17

Pada 23 orang dengan RAK didapatkan 17 orang atau 29,8% yang tidak merokok dan 6 orang atau 24,0% yang merokok, sedangkan pada kelompok tanpa RAK didapatkan 40 orang atau 70,2% yang tidak merokok dan 19 orang atau 76,0% yang merokok. Dari hasil analisis statistik didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara merokok dengan kejadian RAK dengan nilai p>0,05 (tabel 5.7). Hal ini kemungkinan faktor debu tepung gandum lebih besar pengaruhnya terhadap RAK dibandingkan dengan faktor merokok. Studi yang dilakukan oleh Fahrudin I juga mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara merokok dan RAK (p>0,05).9

Kejadian RAK dijumpai lebih tinggi pada kelompok pekerja yang terpapar debu tepung gandum atau bekerja di bagian pengolahan yaitu sebanyak 19 orang atau 59,4% dibandingkan dengan pekerja yang tidak terpapar debu tepung gandum atau bekerja di bagian non pengolahan yaitu 4 orang atau 8,0%. Orang tanpa RAK pada kelompok terpapar debu tepung gandum sebanyak 13 orang atau 40,6% dan kelompok tidak terpapar sebanyak 46 orang atau 92,0%. Dari hasil analisis statistik didapatkan risiko pekerja yang terpapar debu gandum atau yang bekerja di bagian pengolahan 16,8 kali lebih tinggi untuk menderita RAK dibandingkan dengan mereka yang tidak terpapar debu tepung gandum atau bekerja di bagian non pengolahan (tabel 5.8). Pada analisis regresi logistik, paparan debu gandum juga terbukti determinan meningkatkan risiko kejadian RAK (p<0,05). Hal ini karena debu tepung gandum termasuk debu organik yang bersifat alergen terhadap saluran napas yang dapat menyebabkan rinitis alergi pada penderita alergi. Kadar debu yang tinggi akan menimbulkan reaksi alergi dan iritasi terhadap saluran napas, mulai dari saluran napas bagian atas berupa hipersekresi kelenjar mukosa hidung dan menyebabkan timbulnya RAK.9

(40)

40

hubungan yang bermakna antara pemakaian APD dengan kejadian RAK (p>0,05). Hasil pada penelitian ini serupa dengan penelitian Fahrudin I.9 Tidak ada perbedaaan RAK antara kelompok dengan atau tanpa APD, dimana kejadian RAK pada pekerja yang memakai APD sebesar 28,6% sedangkan yang tidak memakai APD yaitu sebesar 27,9%, sehingga tidak bisa dibedakan antara yang memakai APD ataupun tidak terhadap ada tidaknya paparan debu gandum.

Dengan analisis bivariat terhadap 6 faktor risiko terjadinya RAK yaitu usia, masa kerja, merokok, riwayat atopi, paparan debu gandum, dan pemakaian APD didapatkan 3 faktor yang mempengaruhi terjadinya RAK yaitu masa kerja, riwayat atopi, dan paparan debu gandum. Dari ketiga faktor tersebut bila dilakukan analisis multivariat atau regresi logistik , hanya 1 faktor yang terbukti mempunyai hubungan bermakna meningkatkan risiko kejadian RAK pada pekerja pembuat roti di PT R, yaitu adanya paparan debu gandum (p<0,05), sedangkan faktor yang lain tidak terbukti (tabel 5.10).

(41)

41 BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pekerja pembuat roti di PT R di Sempidi, Badung, Bali pada tahun 2013 didapatkan prevalensi RAK sebesar 28%. RAK pada kelompok yang terpapar debu gandum atau bekerja di bagian pengolahan sebesar 59,4% sedangkan bagian non pengolahan sebesar 8,0%. Dari 6 faktor yang diteliti seperti usia, masa kerja, riwayat atopi, merokok, paparan debu gandum, dan pemakaian APD, hanya paparan debu gandum yang terbukti secara bermakna meningkatkan risiko kejadian RAK pada pekerja pembuat roti sedangkan yang lainnya tidak terbukti.

7.2. Saran

(42)

42 DAFTAR PUSTAKA

1. Eddy. Hubungan antara pajanan tepung dengan faal paru pada tenaga kerja pabrik tepung terigu PT. ISM BSFM [tesis]. Jakarta: Pasca Sarjana Universitas Indonesia; 2002.

2. Yunus F. Dampak debu industri pada paru pekerja dan pengendaliannya. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Bagian Pulmunologi FKUI/Unit Paru RSUP Persahabatan Jakarta.[diakses 8 Agustus 2006]. Diunduh dari: URL:http://www.kalbe.co.id/files/cdk/file/14DampakDebuIndustripadaParuP ekerja115.pdf

3. Undang-Undang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) No. 1 tahun 1970.

[diakses 27 Januari 2011]. Diunduh dari: URL:

http://www.scribd.com/doc/12966864/Peraturan-PerundangUndangan-K3 4. Cayanto, Wardani RS dan Nurullita U. Hubungan masa kerja dan pemakaian

alat pelindung diri (masker) dengan gangguan fungsi paru (FEV 1.0 dan FVC) pada penyapu jalan raya di kelurahan Mugassari dan Pleburan kota Semarang [tesis]. Semarang: Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah; 2007.

5. Heederik D and Houba R. An Exploratory quantitative risk assessment for high molecular weight sensitizer: wheat flour. Ann.Occup.Hyg 2001;45(3):175-85.

6. Aviandari G, Budiningsih S dan Ikhsan M. Prevalensi gangguan obstruksi paru dan faktor-faktor yang berhubungan pada pekerja dermaga dan silo gandum di PT R [tesis]. Jakarta: Pasca Sarjana Universitas Indonesia; 2008. 7. Moscato G, Vandenplas O, Wijk RGV, Malo JL, Perfetti L, Quirce S et al.

EAACI Position Paper on Occupational Rhinitis. Respiratory Research 2009;10:20-1.

(43)

43

9. Fahrudin I. Rinitis akibat kerja dan faktor-faktor yang berhubungan. Studi pada pekerja yang terpajan debu tepung gandum di bagian pengepakan PT X tahun 2005 [tesis]. Jakarta: Pasca Sarjana Universitas Indonesia; 2006.

10. Ballenger JJ. Clinical anatomy and physiology of the nose and paranasal sinuses. Dalam: Ballenger JJ, Snow JB, penyunting. Otolaryngology head and neck surgery. Edisi ke-15. Baltimore: William & Wilkins, 1996; h.3-18. 11. Putz, R., dan Pabst, R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Dalam: Suyono, J.Y.

penyunting bahasa Indonesia. Edisi ke-21. Jakarta: EGC. 2000; h.90-1. 12. Shusterman D. Toxicology of nasal irritants. Current Allergy and Asthma

Reports 2003; 3:258–65.

13. Meggs WJ. Neurogenic inflammation and sensitivity to environmental chemical. Environmental Health Perspectives 1993; 101:234-8.

14. Sarin S, Undem B, Sanico A, Togias A. The role of the nervous system in rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2006;118:999-1014.

15. Bachert C. Persistent rhinitis – allergic or nonallergic? Allergy 2006; 5(76):11-5.

16. Arandelovic M, Stankovic I, Jovanovic J, Borisov S, Stankovic S. Allergic rhinitis-possible occupational disease-criteria cuggestion. Acta Fac. Med. Naiss 2004; 21(2):65-71.

17. Baratawidjaya KG dan Rengganis I. Rinitis Alergi. Dalam: Baratawidjaya KG dan Rengganis I, penyunting. Alergi dasar. Edisi ke-1. Jakarta: Interna Publising, 2009; h.233-63.

18. Gautrin D, Desrosiers M, Castano R. Occupational rhinitis. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2006; 6(2):77-84.

19. Drake-Lee A, Ruckley R, Parker A. Occupational rhinitis: A poorly diagnosed condition. J Laryngol & Otol 2002; 116(8):580-5.

20. Smith TA and Smith PW. Respiratory symptoms and sensitization in bread and cake bakers. Occup Med 1998;48:321-8.

(44)

44

22. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J,Fokkens WJ, Togias A et al. Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA). Allergy 2008;63(68):8-160.

23. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmona N. Rinitis alergi. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, penyunting. Buku ajar THT. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; h. 128-133.

24. DeBenardo R. Occupational Rhinitis. Occupational Airways 2001;7:1-4. 25. Kumar, V., Abbas A.K., et al. Diseases of the Immune System. Dalam:

Schmitt W, Gruliow R, penyunting. Pathologic basis of Disease. Edisi ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2010; h.254-62.

26. Shusterman D. Review of The Upper Airway, Including Olfaction, as Mediator of Symptoms. Environ Health Perspect 2002;10(4):649-53.

27. World Health Organization. Principles and methods for assessing allergic hypersensitization associated with exposure to chemicals. Environ Health Criteria,1999; h. 117-65.

28. Harianto dan Sumarman I. Prevalensi rinitis alergi perenial pada penduduk usia 10 tahun keatas di kodya dan kabupaten Bandung. Konggres Nasional XII Perhati-KL, Semarang, 28-30 Oktober, 1999.

29. Nathan RA, Meltzer EO, Selner JC and Storms W. Prevalence of Allergic Rhinitis in The United States. J Allergy Clin Immunol 1997;99:808-14. 30. Amin M. Peranan Defisiensi Alfa-1-Antitripsin, rokok dan polusi udara

(debu) sebagai faktor predisposisi penyakit paru obstruktif menahun. Dalam: Amin M., penyunting. Penyakit paru obstruktif menahun: polusi udara, rokok dan alfa-1-antitripsin. Edisi ke-1. Surabaya: Airlangga University Press, 1996; h. 61-132.

31. D’Amato G, Liccardi G, D’Amato M and Cazzola M. Outdoor air pollution, climatic changes and allergic bronchial asthma. Eur Respir J 2002;20:763-76. 32. Gilmour IM, Jaakkola MS, London SJ, Nel AE, Rogers CA. How exposure to

(45)

45

114(4):627-33. [diakses 10 Agustus 2010]. Diunduh dari: URL: http://www. medscape.com./viewarticle/530466.

33. Irawati N. Tes cukit: persiapan, metode dan interpretasinya. Kongres Nasional XIII Perhati-KL, Bali, 14-16 Oktober, 2003.

34. Rajakulasingam K. Nasal provocation testing. Dalam: Adkinson JR, Busse WW, Bochner BS, Holgate ST, Simons ER, dan Lemaske RF, penyunting. Middleton’s Allergy: Principle and Practice. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier Inc.,2003; h.1281-94.

35. Nathan RA, Eccles R, Howarth PH, Steinsva SK, Alkis Togias A. Objective monitoring of nasal patency and nasal physiology in rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2005; 115:442-59.

36. Hytonen ML, Sala EL, Malmberg HO, Nordman H. Acoustic rhinometry in the diagnosis of occupational rhinitis. Am J Rhinol 1996; 10:393-7.

37. Starling RS, Peake HL, Salome CM, Toelle BG, Marks GB, dan Lean L. Repeatability of peak nasal inspiratory flow measurements and utility for assessing the severity of rhinitis. Allergy 2005;60:795-800.

38. Eire MA, Pineda F, Losada S V, Cuesta CG, Villalva MM. Occupational rhinitis and asthma due to cedroarana (cedrelinga catenaeformis ducke) wood dust allergy. J Investig Allergol Clin Immunol 2006;16(6): 385-7.

(46)

46 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RINITIS AKIBAT

KERJA PADA PEKERJA PEMBUAT ROTI

Untuk Memperoleh Gelar Spesialis di Bidang

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Bedah Kepala Leher

Oleh : Ni Putu Setiawathi

Pembimbing :

dr. Made Sudipta, Sp THT–KL dr. AA Sagung Puteri, Sp THT–KL

PPDS-1 ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK- BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/ RSUP SANGLAH DENPASAR

(47)

Gambar

Gambar 1. Rongga hidung (dikutip dari Atlas Anatomi Manusia Sobotta 21 ed, 2000)
Gambar 2. Mekanisme imunologi pada rinitis alergi (dikutip dari Diseases of the Immune
Gambar 3. Mekanisme inflamasi hidung karena zat iritan (Dikutip dari Sarin S)
 Gambar 4. PNIF meter
+6

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Faktor Risiko Paparan Debu Kayu terhadap Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Industri Pengolahan Kayu PT.. Surya Sindoro Sumbing Wood Industri

Nugraheni,S.F.s.Analisis faktor risiko kadar debu organik di udara terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja industri penggilingan padi di kabupaten demak.. Tesis, megister

Adanya hubungan antara kadar debu total dengan kapasitas vital paru pada pekerja pembuat asbes di area finishing line PT.. Dari keenam faktor risiko, hanya kadar

Dalam penelitian ini beberapa faktor yang diduga menjadi faktor risiko terhadap kejadian dermatitis kontak antara lain: (1) faktor agent, yaitu lama kontak dengan iritan

Faktor yang terbukti merupakan faktor risiko kejadian TB paru pada wanita yaitu paritas &gt; 2, memiliki riwayat kontak, paparan polusi asap dapur, dan luas

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja penggilingan padi hubungan kebiasaan merokok, penggunaan APD, masa kerja, paparan debu dengan kejadian ISPA

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja penggilingan padi hubungan kebiasaan merokok, penggunaan APD, masa kerja, paparan debu dengan kejadian ISPA

Penelitian ini yang dilakukan pada pekerja dermaga dan silo gandum perusahaan X yang terpajan debu biji gandum tidak ditemukan responden yang mengalami gangguan