• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan

1. Sitem pengelolaan Agroforestri Parak yang diusahakan oleh masyarakat Koto Malintang termasuk sistem Agroforestri Kompleks dengan komposisi jenis tanaman komersil seperti Durian (Durio zibetthinus), Bayur (Pterospermum javanicum), Kulit Manis (Cinnamomum burmani), Coklat (Theobroma kakao), Kopi (Coffea canephora dan Coffea robusta ) dan Surian (Toona sureni) dengan kegiatan pengelolaan meliputi Penanaman, Pemeliharaan, Pemanenan dan Pemasaran

2. Kelembagaan adat yang memiliki keterlibatan langsung dalam pengaturan sistem Agroforesti Parak adalah Kelembagaan Kerapatan Adat Nagari (KAN) Yang terdiri dari Unsur Ninik Mamak dan Imam Khatib. Selain itu terdapat lembaga lain seperti Pemerintahan Nagari, Dinas Pertanian Perkebunan, Kelompok Tani, PT. PLN PLTA Maninjau dan PKK yang berperan dalam pengelolaan Agroforesti Parak

3. Di Kanagarian Koto Malintang terdapat hukum yang berlaku dalam pengaturan Parak yaitu Hukum Adat dengan berbagai sanksi yang ditetapkan masyarakat seperti sanksi Pengolahan Tanaman kayu dan sanksi Balange. Sanksi pengolahan tanaman kayu merupakan peraturan penebangan pohon didalam hutan ataupun Parak dengan ketentuan-ketentuan yang sudah diatur. Sedangkan sanksi Balange merupakan sanksi mengenai peraturan pemanenan tanaman durian.

Saran

1. Diperlukan penguatan institusi kelembagaan adat dan pemerintah yang terlibat dalam Agroforestri Parak agar dapat mendampingi masyarakat dalam pengelolaan Parak agar kesinambungan dan kelestarian dalam Agroforestri Parak tersebut tetap terjaga.

2. Diharapkan peran serta dari pemerintah daerah dalam membantu masyarakat dalam proses pelegalan hukum adat agar hukum adat di koto malintang mempunyai sumber hukum yang kuat termasuk hukum adat dalam Pengelolaan Parak.

Latar Belakang

Luas hutan Indonesia menempati peringkat ketiga setelah Brazil dan Zaire. Kekayaan hutan tropis Indonesia memiliki 10% dari sisa sumber daya didunia. Menurut Oetomo (1997) dalam Lahjie (2004), menyatakan bahwa saat ini kawasan hutan yang benar-benar bervegetasi tinggal 21.4 juta hektar, dengan demikian berarti dalam kurun waktu tiga dekade terakhir telah terjadi kehilangan hutan, khususnya hutan hujan tropis seluas 78.6 hektar. Selama kurun waktu tersebut hutan telah mengalami perubahan, baik fisik maupun biologis. Kebijakan pemerintah dalam bidang kehutanan seperti pengusahaan di bidang kehutanan, perkebunan dan transmigrasi semuanya berpengaruh terhadap struktur perekonomian negara pada umumnya dan rakyat pada khususnya.

Kebijakan program kehutanan yang sentralistik berupa keuntungan yang besar akan Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak memperhatikan masyarakat tradisional merupakan permasalahan besar yang dirasakan masyarakat tradisional yang selama ini secara langsung berinteraksi dengan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Nurochmat (2005) pengakuan dan pengaturan terhadap masyarakat tradisional dan masyarakat hukum adat sering kali menjadi masalah terkait dengan kewenangan menilai ekstensi masyarakat tradisional atau masyarakat hukum adat.

Masalah yang paling sering muncul adalah adanya konflik dari kepentingan hutan antara masyarakat dengan pemerintah karena adanya intervensi yang tinggi terhadap hukum yang telah diatur oleh masyarakat adat sendiri, sehingga hukum tersebut terkesampingkan. Menurut Resosudarmo dan Colfer

(2003) dalam Nurochmat (2005) sebagian undang-undang yang berkaitan dengan kehutanan selama tahun 70-an dan 80-an merugikan hak-hak dan sumber kehidupan masyarakat tradisional atau masyarakat hukum adat, karena ekstrasi kayu secara komersil lebih dipentingkan dari pada pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal.

Anggapan yang rendah terhadap pengetahuan masyarakat hukum adat dalam megelola hutan tidaklah benar. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) (1999), menyatakan bahwa masyarakat adat mempunyai pengetahuan dan pengaturan mengenai keanekaragaman hayati yang mengagumkan. Pengetahuan ini mereka peroleh dari interaksi yang intensif dengan ekosistem alam dan pengetahuan tersebut mereka wariskan kepada generasi-generasi penerus.

Agroforestri merupakan suatu kebudayaan bertani yang sudah lama dipraktekan oleh masyarakat di Indonesia. Salah satunya adalah Agroforestri Parak di Koto Malintang Maninjau Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat. Menurut Okung Pak (1982) dalam de Foresta, dkk (2000) Agroforestri di Koto Malintang merupakan kebudayaan pertanian yang berkembang sejak zaman Belanda. Teknik tersebut berawal dari penanaman pohon pada lahan bekas tegakan hutan yang sebelumnya ditanami padi. Kemudian mengalami perkembangan menjadi kegiatan pengembangan kebun pohon campuran, secara keseluruhan jenis tanaman yang diusahakan merupakan jenis tanaman komersil yang tetap mempertahankan spesies-spesies asli yang ada di daerah tersebut.

Masyarakat di Koto Malintang mempunyai pengaturan sendiri terhadap pengelolaan Agroforestri. Michon (1986) menyatakan pengaturan terhadap Parak

telah ada sejak dahulu dimana sumber daya yang diperoleh dari tanah Parak pembagiannya dapat menyangkut pohon atau hasil lainnya dari Parak tergantung pada beberapa faktor seperti sifat pohon, pola produksi dan orang yang menanam. Peranan masyarakat sangat penting sekali, dimana setiap suku-suku diatur dalam lembaga adat yang merupakan tempat musyawarah dan wadah untuk menyelesaikan masalah adat termasuk juga penyimpangan-penyimpangan adat.

Terjaganya kelestarian dalam pengelolaan Agroforestri Parak yang dipraktekan oleh masyarakat Maninjau selama ini tidak terlepas dari bentuk peraturan dan sanksi yang telah di atur oleh adat mereka. Sejalan dengan pengelolaan Agroforestri dan peraturan adat tersebut penulis ingin mengetahui pengelolaan Agroforestri Parak tersebut berdasarkan aturan adat yang diterapkan oleh masyarakat adat, baik itu dari segi aspek kesukuan adat maupun dari proses aturan kelembagaan adat.

Perumusan Masalah

1. Agroforestri Parak sejak puluhan tahun telah diusahakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup terutama untuk pemenuhuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Namun keberadaan Agroforestri Parak yang telah berkembang dari tahun ketahun menghadapi ancaman pengkonversian ke perkebunan dengan adanya usaha untuk menanami jenis spesies yang memiliki nilai jual yang tinggi.

2. Pengaturan komponen dalam Agroforestri Parak sangat ditentukan oleh bentuk pengelolahan yang telah dilakukan oleh masyarakat. Pengaturan komponen tersebut sangat ditentukan oleh peran serta lembaga yang ada dalam masyarakat serta hukum adat yang berlaku. Identifikasi Kelembagaan

dan hukum adat tersebut perlu dikaji kembali apakah kelembagaan dan hukum adat tersebut masih berlaku ditengah-tengah kehidupan masyarakat atau tidak berlaku lagi.

Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana pengelolaan Agroforestri Parak di Koto Malintang Maninjau termasuk penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasarnya ?

2. Bagaimana bentuk-bentuk kelembagaan adat yang terlibat dalam pengelolaan Agroforestri Parak ?

3. Bagaimana hukum adat dalam pengelolaan Agroforestri Parak ?

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengelolaan Agroforestri Parak di Koto Malintang Maninjau termasuk penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasarannya. 2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kelembagaan yang terlibat dalam

pengelolaan Agroforestri Parak.

3. Untuk mengetahui hukum adat dalam pengelolaan Agroforestri Parak.

Manfaat Penelitian

1. Sebagai acuan dalam pengelolaan Agroforestri yang berdasarkan pengetahuan dan kearifan lokal agar kelestarian hutan dapat terjaga.

2. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak dalam mempertimbangkan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya Agroforestri Parak Maninjau untuk masa yang akan datang.

Dokumen terkait