• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari keseluruhan pembahasan dan penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan antara lain sebagai berikut:

1. Ada pengaruh bakteri Staphylococcus aureus terhadap terjadinya SAR. 2. Ada pengaruh Streptococcus α-hemolytic terhadap terjadinya SAR.

6.2 Saran

Mengingat adanya pengaruh bakteri Staphylococus dan Streptococcus α -hemolytic terhadap terjadinya SAR, maka disarankan agar pasien harus menjaga kebersihan mulut untuk mengurangi virulensi SAR.Dokter gigi mengetahui bahwa bakteri berpengaruh terhadap terjadinya SAR maka pengobatan SARyang sesuai dapat dilakukan. Obat dapat mempengaruhi bakteri dengan mempengaruhi aktivitas bakteri sehingga dapat dipergunakan sebagai obat kumur pada SAR.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stomatitis Aftosa Rekuren

Stomatitis aftosa rekuren (SAR) ditandai dengan munculnya ulser nekrotik yang dikelilingi haloeritematus pada mukosa mulut. Lesi SAR biasanya terjadi pada mukosa mulut dan jarang terjadi pada gusi. SAR merupakan lesi mulut yang sering terjadi yaitu 5%-25% pada populasi umum. Penderita SAR biasanya berkisar antara umur 10-40 tahun, umumnya dapat terjadi pada perempuan, laki-laki atau juga individual yang berasal dari sosial ekonomi tinggi.9

2.1.1 Etiologi

Sampai saat ini etiologi SAR masih tidak diketahui, namun ada beberapa faktor yang berhubung dengan SAR seperti stres, defisiensi nutrisi, perubahan hormonal, berhenti merokok, obat-obatan, alergi, virus, dan bakteri.5

1. Stres

Stres merupakan faktor etiologi SAR. Stres dapat menyebabkan trauma pada jaringan lunak rongga mulut dikaitkan dengan kebiasaan parafungsional seperti mengigit bibir atau mukosa pipi dan trauma ini menyebabkan terjadi ulser pada rongga mulut. Stres dapat juga mempengaruhi aktivitas imun dengan meningkatkan jumlah leukosit pada ulser tersebut dan terjadinya SAR. Stres dikatakan bertindak sebagai faktor pemicu SAR dan bukannya faktor etiologi pada pasien SAR.10

2. Defisiensi Nutrisi

Pasien defisiensi nutrisi memiliki hubungan dengan terjadinya SAR. Sebagian penderita SAR diperkirakan mengalami defisiensi vitamin B12. Laporan kasus Volkov (2005) terhadap tiga pasien SAR menyatakan bahwa terjadinya SAR dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 karena kurangnya asupan nutrisi dari produk hewani seperti daging yang menyebabkan rendahnya kadar serum vitamin B12. Para

6

ahli memperkirakan bahwa ada hubungannya dengan adanya penekanan imunitas selular (cell-mediated immunity) pada sel mukosa.5,11

3. Perubahan Hormonal

Keadaan hormonal wanita yang sedang menstruasi dapat dihubungkan dengan terjadinya SAR. Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan progestron. SAR sering terjadi pada masa menstruasi atau pada fase luteal menstruasi.12

4. Berhenti Merokok

SAR dapat terjadi setelah penderita berhenti merokok. Prevalensi dan keparahan SAR pada perokok berat lebih rendah dibandingkan dengan perokok sedang. Penggunaan tembakau tanpa asap juga terkait dengan prevalensi yang lebih rendah dari SAR.13

5. Obat-obatan

Obat-obatan tertentu dikaitkan dengan SAR. Obat-obatan tersebut adalah NSAID dan obat Captopril. Obat-obatan ini akan menyebabkan hipersensitifitas T-limfosit yang terjadi pada mukosa mulut sehingga ulser SAR muncul.14

6. Alergi

SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik, permen karet, bahan gigi tiruan atau bahan tambalan, serta bahan makanan. Setelah kontak dengan bahan tersebut terjadi rangsangan terhadap mukosa, maka mukosa akan meradang. Gejala ini disertai rasa panas, kadang timbul gatal, dapat juga didahului dengan vesikel yang sifatnya sementara kemudian berkembang menjadi SAR.10

7. Virus

Hasil penelitian Sun et al. menemukan Epstein-barr virus dengan menggunakan tes Polymerase chain reaction. Virus tersebut diperoleh dari lesi pre-ulseratif pasien SAR. Hasil penelitian ini menunjukkan virus ditemukan pada lesi pre ulseratif pasien SAR. 4,5

8. Bakteri

Streptococcus dalam mulut dikatakan merupakan faktor pemicu SAR. Menurut penelitian Barile et al., mikroorganisme yang terlibat langsung dalam patogenesis lesi akan memicu produksi antibodi yang bereaksi dengan mukosa mulut. Penelitian ini juga telah mengemukakan bahwa bentuk L Streptococcus α-hemolytic, Streptococcus sanguis, telah diidentifikasi sebagai Streptococcus mitis adalah agen penyebab SAR. 3,4,5,14

2.1.2 Gambaran Klinis dan Klasifikasi

SAR dimulai dengan rasa terbakar atau sakit selama 24-48 jam sebelum ulser muncul dan kemudian diikuti dengan eritema. SAR ditandai dengan ulser bulat dan dangkal. Ulser ditutupi pseudomembran kuning keabu-abuan, berbatas jelas dan dikelilingi eritematus halo.15

1. SAR Tipe Minor

SAR tipe minor (Mikulicz's apthae) merupakan jenis SAR yang paling sering terjadi pada populasi dengan prevalensi 75-85%. SAR tipe ini memiliki diameter kurang dari 10 mm dan cenderung mengenai daerah seperti mukosa labial, bukal, dan dasar mulut. Ulser dapat tunggal atau berjumlah lebih dari satu yang biasanya akan sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas jaringan parut.15

Gambar 1. Stomatitis aftosa rekuren tipe

8

2. SAR Tipe Mayor

Prevalensi SAR tipe mayor (Periadenitis mucosa necrotica recurrents atau Stutton disease) adalah 10-15% pada populasi. SAR tipe mayor biasanya terjadi setelah pubertas. Simtom pada tahap prodromal lebih serius dari tipe minor. Diameter SAR tipe mayor lebih dari 10 mm. SAR tipe mayor biasanya sangat sakit dan sering muncul pada bibir, palatum lunak dan pangkal tenggorokan. SAR tipe mayor terjadi beberapa minggu hingga bulan. Pasien SAR tipe mayor biasanya disertai dengan gejala-gejala seperti demam karena dehidrasi, serta disfagia dan malaise karena asupan nutrisi kurang akibat pasien merasa sakit sewaktu ingin makan dan minum.15

Gambar 2. Stomatitis aftosa rekuren tipe

mayor.15

3. SAR Tipe Herpetiformis

Stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiformis paling sedikit dijumpai pada populasi dengan prevalensi 5-10%. Ulser biasanya terdiri dari 5 sampai 100 ulser dengan diameter antara 1-3 mm dengan bentuk kecil, bulat, dan sakit. SAR tipe herpetiformis terjadi selama 10-14 hari. SAR tipe herpetiformis bisa mengenai hampir semua mukosa rongga mulut. Simtom yang menyertai biasanya lebih parah dari tipe minor.1

Gambar 3: Stomatitis aftosa rekuren tipe

herpetiformis.15

2.1.3 Diagnosis

Diagnosis SAR didasarkan pada gambaran klinis dan riwayat penyakit penderita.15 Tanda khas yang utama merupakan satu atau lebih ulser yang rekuren, sakit, dengan interval beberapa hari atau berbulan.16 Penting untuk menanyakan riwayat penyebab penyakit misalnya apakah pasien baru berhenti merokok, apakah pasien mengganti pasta giginya, apakah disebabkan oleh makanan tertentu. Untuk itu dapat diupayakan melalui anamnesa yang lengkap dan terarah, pemeriksaan klinis ekstra dan intraoral yang teliti. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, atau pemeriksaan sitologi atau histopatologi guna menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit lain sebagai penyebab SAR pada penderita tersebut.15

2.1.4 Perawatan

Perawatan SAR pada masa kini hanya berupa perawatan simtomatis. Tujuan dari pengobatan simtomatik yang dilakukan adalah untuk mengurangi rasa nyeri, mengurangi jumlah dan ukuran SAR, dan mencegah rekurensi. Obat yang dapat digunakan antara lain: anestetikum (benzocaine 4% dalam borax glycerine), obat kumur antibiotika (chlorhexidine gluconate 0,2%, larutan tetrasiklin 2%), anti inflamasi (sodium hyaluronat), dan kortikosteroid topikal (triamcinolone in orabase). Kortikosteroid tidak hanya mempercepat penyembuhan lesi, tetapi dapat mengurangi rasa sakit pada ulser. Padatriamcinolone in orabase, kortikosteroid dicampur dengan media Orabase sehingga dapat melekat pada mukosa mulut yang selalu basah. Obat

10

ini memiliki sifat anti inflamasi. Selain itu, obat kumur tetrasiklin dapat menurunkan frekuensi dan keparahan SAR. Obat kumur chlorhexidine 0,2% juga dapat digunakan untuk meredakan durasi dan ketidaknyamanan pada SAR.9,16

2.2 Pengaruh bakteri terhadap terjadinya Stomatitis Aftosa Rekuren Bakteri merupakan mikroorganisme yang paling banyak ditemukan di rongga mulut. Faktor yang berpengaruhi dalam pertumbuhan mikroorganisme adalah temperatur, ph, potensial oksidasi reduksi, ketersediaan nutrisi, struktur anatomi rongga mulut, aliran saliva dan substansi antimikroba. Masing-masing faktor berperan dalam menyeleksi mikroorganisme rongga mulut dan membantu mempertahankan keseimbangan populasi bakteri di rongga mulut.2,3Menurut penelitian Dar-Odehdkk, oral higiene berpengaruh terhadap terjadinya SAR.17

Bakteri sering dikaitkan dengan etiologi dari penyakit mulut. Menurut penelitian Donatsky dkk bahwa bakteri Streptococcus, Staphylococcus dan Nerisseria ditemui pada masa penelitian dilakukan dengan menggunakan tes kultur.15

2.2.1 Steptococcus α-Hemolytic

Streptococcus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat, susunan khas seperti rantai selama masa pertumbuhannya dan bakteri ini tersebar luas di alam. Beberapa diantaranya merupakan anggota flora normal pada manusia, yang lainnya menyebabkan penyakit pada manusia oleh infeksi Streptococcus dan sebagian lagi oleh sensitisasi terhadap bakteri ini. Bakteri ini menghasilkan berbagai zat ekstraseluler dan enzim. 2

Streptococcus adalah golongan bakteri yang heterogen. Tidak ada satu sistem pun yang cukup baik untuk mengklasifikasikannya. Pengelompokan Streptococcus menjadi beberapa kategori utama berdasarkan karakteristik koloni pertumbuhan, pola hemolysis pada media Blood agar (hemolisis α, hemolisis β dan hemolisis γ), komposisi antigen pada substansi dinding sel dan reaksi biokimia. 2

agar, meskipun pengunaan media yang diperkaya dengan glukosa dan serum mungkin diperlukan. Berdasarkan proses yang terjadi pada Blood agar dan lisisnya sel darah merah, Streptococcus dibagi menjadi Streptococcus α-hemolytic, β -hemolytic, dan γ-hemolytic.2

Streptococcus α-hemolytic pada media kultur menunjukkan zona sempit

hemolisis sebagian dan perubahan warna hijau di sekitar koloni. Perubahan warna hijau memberikan nama viridians pada bakteri ini (viridians:hijau). Streptococcus salivarius merupakan spesies yang termasuk pada kelompok ini. Streptococcus β -haemolytic pada media kultur menunjukkan zona bening dari hemolisis yang sempurna di sekitar koloni. Streptococcus γ-hemolytic tidak menghasilkan hemolisis atau perubahan warna, Streptococcus facealis merupakan spesies yang termasuk di dalam kelompok ini. 2

2.2.2 Staphylococcus Aureus

Staphylococcus merupakan sel gram positif berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur seperti anggur. Staphylococcus aureus berkolonisasi pada nares anterior, tetapi juga ditemui pada bagian tubuh yang lain termasuk kulit, rongga mulut dan saluran percernaan. 2

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif dengan diameter 0,7-1,2 mikron, tidak bergerak, tidak berspora dan mampu membentuk kapsul, berbentuk kokus dan tersusun seperti buah anggur. Pada kuman yang telah difagositosis dan pada biakan tua, bakteri dapat muncul menjadi gram negatif.2

Staphylococcus aureus tumbuh dengan baik pada kaldu biasanya pada suhu 37°C. Pertumbuhan terbaik adalah pada suasana aerob tetapi dapat juga dalam udara yang hanya mengandung hydrogen karena bakteri ini juga bersifat anaerob fakultatif. Batas-batas suhu untuk pertumbuhan bakteri ini adalah 6-44°C ( optimum 37°C) dan batas untuk pH adalah 4,2-9,3 (optimum 7).2

Manitol salt agar merupakan media selektif yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi Staphylococusa aureus. Media ini terdiri dari mannitol, Nacl (7.5%) dan phenol red dalam nutrient agar. Nacl dalam media ini dapat menghambat

12

pertumbuhan bakteri lain. Staphylococcus aureus tumbuh baik pada media ini dengan menghasilkan warna kuning disekitar koloni sebagai hasil fermentasi mannitol.2

Stres Virus Obat-obatan Defisiensi nutrisi Perubahan Hormonal Berhenti merokok Stomatitis aftosa rekuren

SAR tipe minor

SAR tipe mayor SAR tipe herpetiform -Streptococcus α -Hemolytic -Staphylococcus Aureus Bakteri Alergi

14

2.4 Kerangka Konsep

Efek +

Bakteri

Efek - Efek + Efek -

Non Stomatitis Aftosa Rekuren Stomatitis Aftosa

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rongga mulut merupakan habitat bagi mikroorganisme. Mikroorganisme yang dapat menetap dalam rongga mulut bervariasi diantaranya adalah virus, mycoplasma, bakteri, jamur dan terkadang juga ditemukan protozoa. Gigi, gingiva, lidah, kerongkongan dan mukosa bukal dalam rongga mulut merupakan tempat pembiakan mikroorganisme.1

Penyakit rongga mulut sering dikaitkan dengan berbagai bakteri. Bakteri yang sering ditemui pada penyakit mulut adalah bakteri jenis Streptococcus dan Staphylococcus.Streptococcus dibagi menjadi streptoococcusα-hemolytic, β -hemolytic dan γ-hemolytic.2 Hasil penelitian Barile et al. (cit. Bankvall) menemukan bentuk L dari Streptococcus α-hemolytic yakni Streptococcus sanguis merupakan agen penyebab timbulnya SAR. Namun menurut penelitian selanjutnya, organisme ini dianggap sebagai strain dari Streptococcusmitis atau Streptococcus oralis. Heliobacter pylori juga merupakan bakteri yang berperanan dalam timbulnya Stomatitis aftosa rekuren (SAR). Heliobacter pylori adalah bakteri gram negatif dan berbentuk S. Heliobacter pylori timbul pada pasien dengan ulser duodenum.3

Beberapa spesies Staphylococcus tergolong flora normal pada kulit dan selaput mukosa manusia, spesies lain dapat menyebabkan abses, infeksi pyogens dan septikemia yang fatal. Staphylococcus aureus merupakan salah satu spesies Staphylococcus yang penting sebagai patogen utama bagi manusia, hampir setiap orang akan mengalami beberapa tipe infeksi Staphylococcus aureus sepanjang hidupnya, mulai keracunan makanan atau infeksi kulit ringan, sampai infeksi berat yang mengancam jiwa.2,3 Penelitian Donatsky dkk(cit. Marchini) menemukan bakteri Streptococcus, congulase negative Staphylococcus dan Neiserria pada lesi SAR.4

Stomatitis aftosa rekuren (SAR) merupakan salah satu penyakit mulut yang sering ditemukan pada masyarakat umum.SAR terjadi dalam bentuk ulser kecil, bulat

2

atau oval, berulang, batas margin yang jelas, eritema halo dan dasar abu-abu atau kekuningan.4 Sampai saat ini etiologi SAR masih tidak diketahui, namun ada beberapa faktor yang berhubungan dengan SAR seperti stress, defisiensi nutrisi, perubahan hormonal, berhenti merokok, obat-obatan, alergi, bakteri, dan virus.5Komplikasi SAR adalah susah berbicara, mengunyah dan menelan makanan. Pengobatan SAR biasanya diobati dengan perawatan paliatif.4

Berdasarkan penelitian Suling dkk, prevalensi SAR rata-rata pada populasi dunia adalah 20%. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa Indonesia FKG Universitas Sam Ratulangi diperolehi sebesar 68.2% responden pernah mengalami SAR.6 Menurut penelitian Bankvall dkkbahwa bakteri mungkin bertindak sebagai patogen atau sumber antigen yang menyebabkan produksi antibodi sehingga menyebabkan inflamasi pada mukosa mulut.4Andy Sun dkk telah melakukan penelitian untuk melihat apakah ada hubungan antara bakteri dan antigen terhadap terjadinya SAR, dengan melihat respon poliferatif untuk spesies Streptococcus yang berbeda dalam sel mononuclear dengan menggunakan subjek penelitian 39 yang menderita SAR dan 21 subjek penelitian yang menderita Lichen planus, dan sebagai kontrol digunakan 22 orang yang sehat diperoleh p<0,05. Hasil penelitian yang sudah dilakukan menyatakan bahwa selain virus, antigen Streptococcus mempunyai hubungan dengan timbulnya SAR.7

Berdasarkan uraian beberapa teori yang menunjukkan adanya hubungan antara SAR dengan sejumlah bakteri, namun ada juga literatur lain yang menyebutkan bahwa tidak terdapat bukti adanya hubungan yang langsung antara SAR dan mikroba, maka pengaruh bakteri terhadap SAR harus dikaji lagi lebih dalam (cit. Fernandes).8 Oleh karena itu, peneliti perlu melakukan penelitian tentang pengaruh bakteri terhadap SAR pada pasien di RSGM USU.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka timbul permasalahan umum:

1) Apakah ada pengaruh bakteri Streptococcus dan Staphylococcus terhadap terjadinya SAR?

Berdasarkan latar belakang maka timbul permasalahan khusus:

1) Apakah terdapat pengaruh bakteri Streptococcus α-hemolytic terhadap timbulnya SAR pada pasien di RSGM USU?

2) Apakah terdapat pengaruh bakteri Staphylococcus aureus terhadap timbulnya SAR pada pasien di RSGM USU?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini dilakukan adalah :

Untuk mengetahui pengaruh bakteri Streptococcus dan Staphylococcus terhadap timbulnya SAR pada pasien.

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui pengaruh bakteri Streptococcus α-hemolytic terhadap timbulnya SAR pada pasien di RSGM USU.

2) Untuk mengetahui pengaruh bakteri Staphylococcus aureus terhadap timbulnya SAR pada pasien di RSGM USU.

1.4 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah, maka hipotesis dari penelitian ini adalah: 1) Ada pengaruh bakteri Steptococcus α-hemolytic terhadap terjadi SAR pada pasien di RSGM USU.

2) Ada pengaruh bakteri Staphylococcus aureus terhadap terjadi SAR pada pasien di RSGM USU.

4

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:

1) Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi bagi kedokteran gigi terutama bidang Ilmu Penyakit Mulut bahwa bakteri dapat menjadi faktor penyebab sehingga dapat menentukan perawatan yang tepat.

2) Hasil penelitian diharapkan dapat dikembangkan sebagai informasi awal bagi penelitian selanjutnya mengenai pengaruh bakteri terhadap SAR.

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah:

1) Informasi ini dapat digunakan Dinas Kesehatan sebagai program kesehatan dalam penyembuhan SAR.

2) Bagi tenaga kesehatan dapat menjadi masukan dan memberi informasi dalam penanggulangi penyakit yang pengaruh bakteri terhadap SAR sehingga dapat menentukan pilihan antibiotik yang tepat.

3) Sebagai informasi untuk program penyuluhan kesehatan gigi dan mulut bagi masyarakat mengenai pengaruh bakteri terhadap SAR sehingga selalu perlu menjaga kesehatan rongga mulut dan mengurangi virulensi bakteri.

Tahun 2016 Lau Mei Wan

Pengaruh bakteri terhadap terjadinya Stomatitis Aftosa Rekuren pada pasien RSGM USU.

Xi + 34halaman

Rongga mulut merupakan habitat bagi mikroorganisme yaitu virus, mycoplasma, bakteri, jamur dan terkadang juga ditemukan protozoa. Penyakit rongga mulut sering dikaitkan dengan bakteri. Bakteri yang sering ditemui pada penyakit mulut adalah jenis Streptococcus dan Staphylococcus.Berdasarkan uraian beberapa teori yang menunjukkan adanya hubungan antara SAR dengan sejumlah bakteri, namun ada juga literatur lain yang menyebutkan bahwa tidak terdapat bukti adanya hubungan yang langsung antara SAR dan mikroba, maka pengaruh bakteri terhadap SAR harus dikaji lagi lebih dalam.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bakteri Streptococcus α-hemolytic dan Staphylococcus aureus terhadap timbulnya SAR pada pasien di RSGM USU. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive sampling. Penelitian ini melibatkan 16 pasien SAR dan non SAR yang berkunjung ke RSGM USU. Pengambilan sampel dilakukan dengan melakukan pemeriksaan oral. Analisa data pada penelitian ini menggunakan uji Pearson Correlation. Pada analisis bivariat dalam penelitian ini jelas dapat dilihat analisis bakteri Streptococcus α

-Correlationmenunjukkan nilai p=0,004 (p<0,05), artinya terdapat perbedaan yang signifikan pada pengaruh Streptococcus α-hemolytic terhadap SAR. Pada analisis bakteri Staphylococcus aureus terhadap SAR dengan uji statistik menggunakan uji Pearson Correlation menunjukkan nilai p=0,004 (p<0,05), artinya terdapat perbedaan yang signifikan pada Staphylococcus aureus terhadap SAR. Sebagai kesimpulan, bakteri dapat dijumpai pada SAR sehingga perlu mempertimbangkan penggunaan antibiotik dalam penyembuhan SAR.

STOMATITIS AFTOSA REKUREN

DI RSGM USU

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh: LAU MEI WAN NIM : 110600173

Pembimbing:

Dr. Wilda Hafny Lubis,drg.,M.Si

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut Tahun 2016

Lau Mei Wan

Pengaruh bakteri terhadap terjadinya Stomatitis Aftosa Rekuren pada pasien RSGM USU.

Xi + 34halaman

Rongga mulut merupakan habitat bagi mikroorganisme yaitu virus, mycoplasma, bakteri, jamur dan terkadang juga ditemukan protozoa. Penyakit rongga mulut sering dikaitkan dengan bakteri. Bakteri yang sering ditemui pada penyakit mulut adalah jenis Streptococcus dan Staphylococcus.Berdasarkan uraian beberapa teori yang menunjukkan adanya hubungan antara SAR dengan sejumlah bakteri, namun ada juga literatur lain yang menyebutkan bahwa tidak terdapat bukti adanya hubungan yang langsung antara SAR dan mikroba, maka pengaruh bakteri terhadap SAR harus dikaji lagi lebih dalam.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bakteri Streptococcus α-hemolytic dan Staphylococcus aureus terhadap timbulnya SAR pada pasien di RSGM USU. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive sampling. Penelitian ini melibatkan 16 pasien SAR dan non SAR yang berkunjung ke RSGM USU. Pengambilan sampel dilakukan dengan melakukan pemeriksaan oral. Analisa data pada penelitian ini menggunakan uji Pearson Correlation. Pada analisis bivariat dalam penelitian ini jelas dapat dilihat analisis bakteri Streptococcus α

-bakteri Staphylococcus aureus terhadap SAR dengan uji statistik menggunakan uji Pearson Correlation menunjukkan nilai p=0,004 (p<0,05), artinya terdapat perbedaan yang signifikan pada Staphylococcus aureus terhadap SAR. Sebagai kesimpulan, bakteri dapat dijumpai pada SAR sehingga perlu mempertimbangkan penggunaan antibiotik dalam penyembuhan SAR.

PENGARUH BAKTERI TERHADAP TERJADINYA

STOMATITIS AFTOSA REKUREN

DI RSGM USU

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh: LAU MEI WAN NIM : 110600173

Pembimbing:

Dr. Wilda Hafny Lubis,drg., M.Si

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 4 Mei 2016

Pembimbing: Penulis,

Dr.Wilda Hafny Lubis, M.Si Lau Mei Wan

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 4 Mei 2016.

TIM PENGUJI

KETUA : Dr. Wilda Hafny Lubis, drg., M.Si

ANGGOTA : 1. Sayuti Hasibuan,drg., SP.PM 2. Indri Lubis, drg

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas Berkat dan Rahmat-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi dengan judul “Pengaruh bakteri terhadap terjadinya Stomatitis Aftosa di RSGM USU” ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi penulis untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini penulis persembahkan untuk keluarga tercinta, Ayah Lau Yu Sun dan Ibu Tham Yaw Moi, serta Adinda Mei Yan, Mei Xian dan Wai Keong atas segala perhatian, motivasi, harapan dan doa serta memenuhi segala kebutuhan penulis selama ini.

Pada kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr.Wilda Hafny Lubis,drg., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan sabar, tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran memberikan bimbingan, motivasi, arahan dan saran-saran yang sangat berharga yang telah diberikan untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan

Dokumen terkait