• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecenderungan Bullying

1. Definisi Kecenderungan Bullying

Dalam Bahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia kata bully

berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah (Echols, 1976). Bullying

diartikan sebagai suatu tindakan negatif dan agresif atau tindakan yang disengaja atau berulang yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain, biasanya terjadi secara berkala. Merupakan tindakan yang kejam dan berdasarkan ketidakseimbangan kekuatan (Sullivan, 2005).

Menurut American Psychiatric Association (APA), bullying adalah perilaku agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a) perilaku negatif atau jahat yang dimaksud untuk merusak atau membahayakan (b) perilaku yang diulang selama jangka waktu tertentu (c) hubungan yang melibatkan ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat (dalam Stein dkk, 2006).

Selain itu, menurut Rigby (dalam Astuti, 2008) bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan senang.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kecenderungan bullying

kepada seseorang atau lebih dengan maksud menyakiti orang tersebut yang dilakukan secara berulang-ulang dan disebabkan karena ketidak seimbangan kekuasaan antara kedua belah pihak tersebut.

2. Bullying Di Sekolah

Menurut Rudi (2010) bullying dapat terjadi di lingkungan mana saja dimana terjadi interaksi sosial antar manusia, antara lain di sekolah (school bullying), tempat kerja (workplace bullying), pada internet dan teknologi digital (cyber bullying), lingkungan politik (political bullying), lingkungan militer (military bullying), dan perpeloncoan.

Bullying yang terjadi di sekolah (school bullying) adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.

Siswa/siswi yang menjadi korban bullying adalah siswa/siswi yang biasanya cenderung pasif, gampang terintimidasi, atau mereka yang memiliki sedikit teman, memiliki kesulitan untuk mempertahankan diri dan korban bisa juga lebih kecil dan lebih muda. Para siswi pelaku bullying melakukan tindakannya kepada rekan-rekan perempuannya dengan kreatif, dalam kelompok, serta tidak kalah kerasnya dibandingkan para pelaku siswa. Umumnya siswi-siswi yang menjadi korban adalah mereka yang cantik, menarik, anak orang berada, kurus dan tampak lemah, pandai tapi lemah fisiknya dan disayang guru (Siswanti, 2009).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecenderungan Bullying

Beane (2008), dalam bukunya menjelaskan bahwa ada beberapa faktor sosial yang menyebabkan bullying, diantarany yaitu:

a. Media

Beane (2008) menyebutkan bahwa media memiliki dampak yang cukup signifikan bagi anak-anak saat ini. Beberapa penelitian mengidentifikasikan bahwa anak-anak yang melihat banyak kekerasan di televisi, video, game, dan film lebih sering menjadi agresif dan kurang empati terhadap yang lainnya. Dalam kenyataannya, diantara penelitian yang meneliti kekerasan di televisi melihat terdapat peningkatan pengukuran dari 3% menjadi 15% pada perilaku agresif individu setelah melihat kekerasan di televisi.

Selain itu siaran olahraga yang sering di tayangkan oleh media juga menjadi contoh yang mengajarkan kekerasan pada anak. Beberapa bentuk kekerasan oleh raga tim diantaranya seperti ice hockey, sepak bola, dan rugby. Terkadang media memperlihatkan pemain yang melakukan kekerasan, kontroversial dan agresif. Anak-anak sering memilih pahlawan olahraga tersebut seperti role model atau meniru perilaku mereka (Beane, 2008).

b. Keluarga

Selain media, Beane (2008) juga menyebutkan bahwa orang tua juga memiliki pengaruh terhadap perilaku agresif anak tersebut. Orang tua merupakan

role model pertama bagi anak-anak mereka. Tak jarang bahwa penyebab dari munculnya perilaku bullying pada anak ialah datang dari orang tua. Terkadang orang tua merasa bahwa mereka memiliki kendali atas anak-anak mereka,

sehingga sering kali mereka menggunakan kekerasan untuk membuat anak-anak mematuhi mereka.

c. Teman Sebaya

Beane (2008) menyebutkan bahwa anak-anak mungkin ditolak bukan karena perilaku atau karakteristik yang mereka miliki, namun karena peer group

membutuhkan target untuk ditolak. Penolakan tersebut membantu kelompok menentukan batas-batas penerimaan mereka dengan membawa kesatuan dalam kelompok. Dengan kata lain, individu-individu yang ditargetkan menjadi kambing hitam berfungsi untuk kepentingan kepaduan kelompok. Ini adalah salah satu alasan siswa begitu bersemangat untu bergabung di dalam kelompok bahkan ketika mereka tidak sama seperti orang yang ada di dalam.

d. Lingkungan Masyarakat

Salah satu lingkungan yang disebutkan oleh Beane (2008) yang juga mebawa pengaruh besar bagi anak ialah masyarakat, karena bagaimanapun juga anak hidu dan besar di dalam sebuah masyarakat. Apa yang terjadi di masyarakat tempat ia tinggal akan mebawa pengaruh yang sangat signifikan, dimana anak akan belajar untuk berperilaku seperti orang-orang yang ada di dalamnya. Jika anak dibesarkan dalam lingkungan dan nilai masyarakat yang keras, maka anak akan tumbuh menjadi anak yang keras juga, namun jika anak dibesarkan dalam lingkungan yang bermoral dan baik, maka anak juga akan menjadi pribadi yang bermoral dan baik pula. Lingkungan yang selalu memperlihakan kekerasan pada anak akan mengajarkan kepada anak bahwa perilaku tersebut diperbolehkan untuk dilakukan.

e. Sekolah

Kemudian lingkungn sosial yng terakhir adalah sekolah. Beane (2008) menyebutkan bahwa kondisi sekolah juga dapat memberi pengaruh terhadap perilaku agresif anak. Beberapa faktor yang terkait diantaranya yaitu:

- Rendahnya moral staf

- Ketidakjelasan standar perilaku

- Ketidakkonsistenan metode pendisiplinan

- Buruknya organisasi

- Supervisi yang tidak memadai

- Anak-anak tidak diperlakukan sebagai individu

- Tidak memadainya fasilitas

- Kurangnya dukungan untuk murid baru

- Tidak ada kebijakan anti-bullying

- Tidak ada prosedur yang jelas mengenai penanganan dan penyelesaian kejadian bullying

- Pengabaian bullying oleh warga sekolah

- Kelas yang kacau

- Kurangnya dukungan untuk murid berkebutuhan khusus

- Tidak ada ruang untuk aktifitas yang tenang

- Warga sekolah yang menggunakan sindiran yang menyakitkan

Menurut Ariesto (dalam Mudjijanti, 2011) penyebab terjadinya bullying antara lain:

a) Keluarga

Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah: orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stres, agresi, dan permusuhan. Anak akan mempelajari

bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku coba-cobanya itu, ia akan belajar bahwa mereka yang memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan perilaku agresif itu dapat meningkatkan status dan kekuasaan seseorang. Dari sini anak mengembangkan bullying tersebut.

b) Sekolah

Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak lain. dan menghormati antar sesama anggota sekolah.

c) Faktor kelompok sebaya

Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Beberapa anak melakukan bullying dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak

nyaman dengan perilaku tersebut. Bullying termasuk tindakan yang disengaja oleh pelaku pada korbannya, yang dimaksudkan untuk menggangu seorang yang lebih lemah. Faktor individu dimana kurangnya pengetahuan menjadi salah satu penyebab timbulnya bullying, Semakin baik tingkat pengetahuan remaja tentang bullying maka akan dapat meminimalkan atau menghilangkan perilaku bullying.

4. Jenis-jenis Kecenderungan Bullying

Kecenderungan bullying dapat dilihat dari jenis-jenis bullying yang dikemukakan oleh Sullivan (2005), diantaranya adalah:

a. Bullying Fisik

Bullying fisik adalah bentuk bullying yang paling nyata dan terjadi ketika seseorang terluka secara fisik, yang meliputi menggigit, memukul, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, mendorong, menjambak, atau bentuk serangan fisik lainnya.

b. Bullying Nonfisik

Bullying nonfisik terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal

1) Bullying verbal meliputi: telepon ancaman, meminta uang atau barang dengan paksa, mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengintimidasi, memberi panggilan nama ( name-calling), mencela/mengejek ras, memaki, dan menyebarkan gosip. 2) Bullying non-verbal. Bullying non-verbal dibagi menjadi secara

langsung dan tidak langsung.

kasar, melihat dengan sinis, menampilkan ekspresi muka yang jahat.

Bullying non-verbal tidak langsung meliputi: mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng, dan membuat orang dibenci oleh orang lain.

c. Merusak Benda Milik Orang Lain

Merusak benda milik orang lain meliputi: menyobek pakaian, merusak buku, menghancurkan, dan mengambil benda milik orang lain.

B. Persepsi Terhadap Iklim Sekolah

1. Definisi Persepsi

Robbins (1996) menyatakan persepsi merupakan suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera untuk memberi makna kepada lingkungan. Persepsi merupakan upaya mengamati dunia, mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian (Chaplin, 1999). Persepsi adalah proses mengatur dan menginterpretasikan informasi sensoris untuk memberikan makna (King, 2010).

Menurut Walgito (1994), persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap ransangan yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang

2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Walgito (1994), diantaranya:

1) Perhatian yang selektif

Individu memusatkan perhatiannya pada rangsang-rangsang tertentu saja. Dengan demikian, objek-objek atau gejala lain tidak akan tampil ke muka sebagai objek pengamat.

2) Ciri-ciri rangsang

Rangsang yang bergerak diantara rangsang yang diam akan lebih menarik perhatian. Demikian juga rangsang yang paling besar diantara yang kecil; yang kontras dengan latar belakangnya dan yang intensitas rangsangnya paling kuat.

3) Nilai-nilai dan kebutuhan individu

Seorang seniman mempunyai pola dan citra rasa yang berbeda dalam pengamatannya dibanding dengan orang yang bukan seniman.

4) Pengalaman terdahulu

Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsi dunianya.

3. Aspek-aspek Persepsi

Beberapa aspek-aspek dalam dunia persepsi menurut Walgito (1994) diantaranya adalah:

1) Sensor sel dasar

yaitu sifat sensori dasar dari masing-masing indera cahaya untuk penglihatan, bau untuk penciuman, suhu untuk perasa, bunyi untuk pendengaran dan sifat permukaan bagi peraba.

2) Dimensi ruang

Dunia persepsi mempunyai sifat ruang (dimensi ruang). Kita dapat menyatakan atas bawah, tinggi rendah, luas sempit, depan dan belakang. 3) Dimensi waktu

Dunia persepsi mempunyai dimensi waktu seperti cepat, lambat, tua dan muda.

4) Konteks

Objek-objek atau gejala-gejala dalam dunia pengamatan mempunyai struktur yang menyatu dengan konteksnya. Struktur dan konteks ini merupakan keseluruhan yang menyatu. Kita melihat meja tidak berdiri sendiri tetapi dalam ruang tertentu di saat tertentu, letak atau posisi tertentu. 5) Tujuan

Dunia persepsi merupakan dunia penuh arti, kita cenderung melakukan pengamatan atau persepsi pada gejala-gejala yang mempunyai makna bagi kita, yang ada hubungannya dengan diri kita.

4. Definisi Iklim Sekolah

Menurut Owens (1995), iklim sekolah adalah suasana lingkungan kerja di sekolah yang dirasakan oleh warga sekolah. Pengertian iklim sekolah tersebut mengandung dua hal penting, yakni pertama, iklim sekolah merupakan persepsi dari para anggota sekolah yang bersangkutan terhadap berbagai aspek yang ada di

lingkungan sekolah tersebut, baik aspek personal, sosial, maupun kultural. Kedua, iklim sekolah menyangkut afeksi yang membentuk pola perilaku yang selanjutnya menjadi karakteristik sekolah yang mempengaruhi atau membentuk perilaku warga di dalam sekolah.

Iklim sekolah adalah perasaan pribadi setiap anggota sekolah yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam membentuk tujuan (goal orientation), membantu meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan dan prestasi belajar siswa, serta kepuasan guru atas keberhasilannya mengajar (Pintrich & Shunck, 1996).

Sergiovanni dan Starrat (dalam Hadiyanto, 2004) berpendapat bahwa iklim sekolah merupakan karakteristik yang ada (the enduring characteristics), yang menggambarkan ciri-ciri psikologis (psychological character) dari suatu sekolah tertentu, yang membedakan suatu sekolah dari sekolah yang lain, mempengaruhi tingkah laku guru dan peserta didik dan merupakan perasaan psikologis (psychological feel) yang dimiliki guru dan peserta didik di sekolah tertentu.

Mengutip pendapat Litwin dan Stringer, Sergiovanni dan Starrat (dalam Hadiyanto, 2004) juga mengatakan bahwa iklim sekolah merupakan efek subyektif yang dirasakan (perceive subjective effects) dari sistem formal, gaya informal dari manajer, dan faktor penting yang lain dari lingkungan pada sikap (attitude), kepercayaan (beliefs), nilai (values) dan motivasi (motivation) orang-orang yang bekerja pada suatu lembaga tertentu (sekolah).

Hadiyanto (2004) menyimpulkan bahwa iklim sekolah adalah situasi atau suasana yang muncul karena adanya hubungan antara kepala sekolah dengan

guru, guru dengan guru, guru dengan peserta didik atau hubungan antar peserta didik yang menjadi ciri khas sekolah yang ikut mempengaruhi proses belajar mengajar di sekolah.

Hoy dan Miskel (dalam Ulfah, 2009) menyebutkan bahwa iklim sekolah adalah situasi, suasana atau atmosfer, suatu karakteristik internal dalam suatu sekolah yang membedakannya dengan sekolah lain dan mempengaruhi perilaku orang-orang di dalamnya. Iklim sekolah juga dapat diartikan sebagai bentuk dasar dari pengalaman orang-orang dalam kehidupan sekolah dan refleksi dari norma, tujuan, nilai, hubungan interpersonal, prakter belajar mengajar, dan stuktrur organisasi (Thapa dkk, 2012).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa iklim sekolah adalah perasaan pribadi setiap anggota sekolah tentang pengalaman personel terhadap situasi dan kondisi lingkungan sekolah tersebut yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam membentuk tujuan (goal orientation), membantu meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan dan prestasi belajar siswa, serta kepuasan guru atas keberhasilannya mengajar.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Iklim Sekolah

Faktor-faktor yang mempengaruhi iklim sekolah menurut Owens (1991) terdiri dari :

1) Ekologi yaitu lingkungan fisik seperti gedung, bangku, kursi, alat elektronik, dan lain-lain.

Sekolah adalah lingkungan sosial bagi anak/siswa, dimana di dalam sekolah terjadi proses interaksi baik siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru.

Di dalam sekolah juga terjadi kontak secara fisik dimana siswapun akan berhubungan dengan segala fasilitas yang ada di dalam sekolah tersebut. Oleh karena itu sekolah harus di desain sedemikian rupa oleh warga sekolah sehingga sekolah merupakan lingkungan yang menyenangkan bagi siswa dalam tugas dan peranannya di dalam sekolah sebagai peserta didik dan tugas serta peranannya dalam perkembangan fisik maupun emosionalnya. 2) Hubungan sosial

Hubungan sosial adalah cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang di sekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya. Hubungan sosial ini juga menyangkut penyesuaian diri terhadap lingkungan, seperti makan dan minum sendiri, mentaati peraturan, membangun komitmen bersama dalam kelompok atau organisasinya, dan sejenisnya. Hubungan sosial juga merupakan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan mengandung kesadaran untuk saling menolong. Hubungan sosial terjadi karena ada interaksi sosial yang melibatkan emosi atau perasaan. Hubungan sosial yang positif antar warga sekolah akan mempengaruhi terciptanya iklim yang kondusif.

3) Sistem sosial yakni ketatausahaan, perorganisasian, pengambilan keputusan dan pola komunikasi

Sekolah sebagai sebuah sistem sosial apat diartikan sebagai organiasi sosial yang mempunyai struktur tertentu yang melibatkan sejumlah orang dengan tugas melaksanakan suatu fungsi untuk memenuhi suatu kebutuhan. Melaksanakan suatu fungsi yang dimaksudkan itu seperti ketatausahaan,

perorganisasian, pengambilan keputusan dan pola komunikasi antar warga yang ada di dalam sekolah. Jika fungsi tersebut telah dilaksanakan dengan baik maka akan membantu terciptanya iklim sekolah yang positif.

4) Budaya yakni nilai-nilai, kepercayaan, norma dan cara berpikir orang-orang dalam organisasi

Budaya sekolah diartikan sebagai sistem makna yang dianut bersama oleh warga sekolah yang membedakannya dengan sekolah lain. Budaya sekolah yang baik akan mendorong seluruh anggota masyarakat sekolah untuk meningkatkan kinerjanya agar tujuan sekolah dapat tercapai. Karena nilai, moral, sikap dan perilaku siswa selama di sekolah dipengaruhi oleh struktur dan kultur sekolah, serta interaksi mereka dengan aspek-aspek dan komponen yang ada di dalamnya, seperti kepala sekolah, guru, materi pelajaran dan hubungan antarsiswa sendiri. Budaya sekolah adalah salah satu faktor yang mempengaruhi terciptanya iklim atau suasana sekolah. Iklim atau suasana sekolah merupakan bagian dari kultur sekolah yang dipandang dan dipahami oleh anggota sekolah tersebut.

6. Persepsi terhadap Iklim Sekolah

Persepsi terhadap iklim sekolah adalah proses penginterpretasian terhadap informasi mengenai perasaan pribadi setiap anggota sekolah tentang pengalaman personel terhadap situasi dan kondisi lingkungan sekolah tersebut yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam membentuk tujuan (goal orientation), membantu meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan dan prestasi belajar siswa, serta kepuasan guru atas keberhasilannya mengajar (Pintrich &

Shunck, 1996).

Persepsi siswa terhadap hubungan antar warga sekolah akan mempengaruhi keterlibatan siswa secara emosional. Persepsi siswa terhadap kemampuan warga sekolah mengatasi kegagalan akan mempengaruhi keterlibatan siswa secara kognitif. Sedangkan persepsi siswa terhadap kejelasan peraturan dan lingkungan sekolah mempengaruhi keterlibatan siswa secara behavior (Purwita, 2013).

Bagaimana siswa memandang atau mempersepsikan sekolah juga menentukan perilaku mereka di sekolah. Persepsi warga sekolah terhadap lingkungan sekolahnya dapat menjadi prediktor terhadap afeksi siswa, kognitif dan behavioral engagement (Wang & Halcombe dalam Voight, dkk 2011). Pandangan atau persepsi siswa terhadap sekolahnya adalah subyektif, sehingga penilaian siswa terhadap norma dan kondisi lingkungan sekolahnya bisa berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Iklim sekolah yang positif ternyata dapat dipersepsi siswa secara negatif. Perbedaan ini juga mempengaruhi tingkah laku dan perasaan siswa di sekolah (Purwita, 2013).

7. Indikator Pengukuran Persepsi Terhadap Iklim Sekolah

Aspek-aspek iklim sekolah dikemukakan oleh Pintrich dan Schunk (1996) yaitu:

a. Rasa memiliki dan menjadi bagian dari komunitas (a sense of community and belongingness)

Merupakan perasaan pribadi yang setiap orang miliki terhadap kelompok atau organisasinya dan memiliki komitmen terhadap tujuan dan nilai-nilai

organisasi tersebut. Sebaliknya, organisasi dalam hal ini sekolah, juga peduli dan memberikan perhatian yang sepenuhnya terhadap kebutuhan setiap anggota di dalamnya.

Pada sekolah staf administrasi, staf pengajar dan para siswa saling menghormati dan peduli satu sama lainnya, akan berhubungan erat dengan kinerja positif guru dan siswa, yaitu orientasi tujuan (goal orientation), self efficacy, usaha (efforts), ketekunan (persistence), dan pretasi yang positif (Lee dkk dalam Pintrich & Schunk, 1996).

b. Kehangatan dan kesopanan dalam hubungan personal (warmth and civility in personal relation)

Dimensi ini merefleksikan kehidupan afektif sekolah yang berkenaan dengan kehangatan dan kesopanan yang diekspresikan dalam hubungan antar pribadi di sekolah. Berkaitan dengan hubungan guru dan siswa, perasaan kepedulian, perhatian, dukungan, dan hormat terhadap siswa serta interaksi yang positif antara guru dan siswa, akan berhubungan positif dengan hasil motivasional. Perhatian terhadap kesejahteraan orang lain atau terciptanya masyarakat yang peduli terhadap sesama dapat menciptakan pengaruh yang positif bagi seluruh siswa, bahkan bagi siswa yang beresiko mengalami kegagalan dalam sekolah (Bryk, Lee, dan Holland dalam Pintrich dan Schunk, 1996).

c. Perasaan aman dan nyaman(feelings of safety and security)

Iklim sekolah mengacu pada perasaan guru dan siswa terhadap keamanan dan kenyamanan personal. Persepsi ini mengacu pada perasaan seseorang dalam mengambil resiko dan merasa nyaman dalam menuangkan ide, opini dan

beraktivitas. Saat ini ada beberapa sekolah yang mengabaikan kebebasan siswa dalam mengemukakan ide dan pendapatnya. Sekolah lebih memusatkan perhatian dan penciptaan rasa aman dan bebas dari rasa takut serta cemas terhadap kejahatan secara fisik. Oleh karena itu sekolah seharusnya memperhatikan kedua aspek tersebut, yaitu rasa aman dalam menuangkan pendapat dan rasa aman dari ancaman fisik.

Selain itu aspek-aspek iklim sekolah juga dikemukakan oleh Thapa, dkk (2012) yaitu :

a. Rasa Aman (safety)

Terbagi menjadi 3 bagian yaitu : aturan dan norma (roles and norms),

keamanan fisik (physical safety), danemosional sosial (social emotional).

1) Aturan dan Norma (roles and norms)

Mengkomunikasikan peraturan tentang kekerasan fisik secara jelas, mengkomunikasikan peraturan tentang kekerasan verbal, pelecahan dan tindakan pemaksaan secara jelas, serta konsisten dalam memberikan intervensi dalam hal tersebut

2) Keamanan Fisik (physical safety)

Keadaan dimana siswa merasa aman dari kekerasan fisik di sekolah. 3) Emosional Sosial (social emotional)

Keadaan dimana siswa merasa aman dari kekerasan verbal, pelecehan, dan pengucilan.

b. Hubungan (relationship)

Hubungan (relationship) terbagi atas: menghargai keberagaman (respect fordiversity), hubungan dan keterikatan sekolah (school connectedness/ engagement), dukungan sosial (social support), dan kepemimpinan (leadership).

1) Menghargai keberagaman (respect for diversity)

Saling menghormati terhadap perbedaan individu seperti: gender, ras, suku, agama dan sebagainya dalam lingkungan sekolah baik antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, guru dengan guru, dan semua norma yang berlaku.

2) Hubungan dan keterikatan sekolah (school connectedness/engagement)

Identifikasi positif pada norma-norma sekolah untuk seluruh anggota sekolah seperti siswa, staff, guru, dan keluarga dari siswa tersebut

3) Dukungan Sosial (social support)

Bentuk dukungan dari teman sebaya pada siswa seperti berteman untuk bersosialisasi, untuk memecahkan masalah, untuk kebutuhan akademik, dan untuk penyesuaian diri siswa baru.

4) Kepemimpinan (leadership)

Menciptakan dan mengkomunikasikan pandangan secara jelas, agar tujuan mudah dicapai dan mendapat dukungan dari staff sekolah.

c. Belajar dan mengajar (teaching and learning)

Belajar dan mengajar (teaching and learning) terbagi atas pengetahuan sosial dan kepentingan umum (social and civic learning); dukungan untuk pengetahuan akademik (support for academic learning); dukungan untuk

pengetahuan profesional (support for professional learning)

d. Lingkungan instututional (institutional environmental)

Lingkungan instututional (institutional environmenta)l terbagi atas hubungan sekolah (school connectedness) dan keadaan sekolah (surrounding of

Dokumen terkait